“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain merangkul erat pinggang Lady, membawanya berjalan menjauh dari dance floor. Rain tersenyum sekilas pada beberapa orang yang mengenalinya dan menyapanya.“Rain, kamu beneran mau kita ngelakuinnya di mobil?” Lady masih ragu sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, memindai situasi di sekelilingnya. Lady khawatir jika nanti sedang asyik masyuk tiba-tiba saja ada yang menangkap basah mereka.“Udah, Lad, nggak usah banyak tanya, masuk aja dulu.” Rain menuntun Lady agar naik ke mobil di saat perempuan itu masih berdiri termangu.Setelah lady masuk duluan barulah Rain ikut naik dan menutup pintu. Embusan napas lepas keluar dari mulut Rain menunjukkan ia merasa lega berada di tempat ini.“Geser, Lad.” Rain meminta Lady untuk menggeser posisinya bukan agar ia bisa duduk di sebelah perempuan itu tapi untuk berbaring di pangkuannya.Lady menundukkan kepala, memandang Rain dengan tatapan sayang seraya membelai kepala laki-laki itu. Rain saat ini lebih terlihat bagaikan seorang anak yang seda
Malam semakin menua, tapi justru geliat kehidupan di Broken Wings semakin menguar. Musik yang menghentak menenggelamkan setiap pemilik jiwa yang berada di dalamnya. Membuat mereka melupakan bahwa kehidupan yang sebenarnya ada di luar sana.“Ale, kita pulang yuk,” ajak Zee setelah melirik jam di pergelangannya. Perempuan itu mulai khawatir. Sepuluh menit berlalu dari pukul satu malam, dan ia masih berkeliaran di luar.“Udah nggak betah sama aku?” Ale menggoda Zee sembari menyunggingkan senyum hangat untuk perempuan itu.Zee balas melengkungkan bibir. “Bukan begitu, tapi ini udah larut malam. Udah jam satu sepuluh menit.” Meskipun hatinya masih merasa berat, tapi Ale terpaksa harus mengakhiri kebersamaan mereka malam itu. Kemudian bola matanya bergulir liar mencari Rain, namun tak menemukannya. Jangan-jangan Rain dan Lady masih berada di mobil hingga saat ini.”Zee, duduk dulu yuk, pulangnya bentar lagi.” Ale mengalihkan Zee untuk sesaat.“Kenapa? Tapi ini udah terlalu malam.” Zee agak
Hal pertama yang dilakukan Rain dan Lady setibanya mereka di rumah adalah mandi, membersihkan diri setelah aktivitas manusia dewasa yang mereka lakukan di mobil tadi. Sesudahnya mereka sama-sama beristirahat.“Duh, Rain, aku capek banget, pengen tidur aja sampai minggu depan,” ujar Lady tanpa bermaksud mengeluh. Sekarang saja tubuhnya mulai terasa remuk. Ia rasa butuh waktu satu hari lagi untuk beristirahat, tapi hal lain sudah menantinya.“Ya udah, tidur gih sampai minggu depan.” Rain menimpali sambil tertawa.Lady merapat ke sisi Rain. Sedangkan laki-laki itu membiarkan pergelangannya dijadikan istrinya sebagai bantal. Seraya tangannya melingkari tubuh lady, bibirnya ikut mengecup puncak kepala sang istri dengan penuh cinta.”Aku tahu kamu kelelahan. Kita baru nyampe tapi aku udah ngajak kamu clubbing. Udah gitu aku malah minta yang iya-iya.”Senyum kecil terbit di bibir Lady. “Tumben kamu sadar?”“Aku sadar kok, tapi kalau kepengen mau diapain? Percuma juga ada istri, ya nggak sih?
Ini adalah menit kesepuluh Ale termangu di tempatnya setelah pengakuan Zee tadi. Dan hingga detik ini ia masih sukar memercayai semua penuturan perempuan itu. Bukannya Ale tidak percaya pada Zee, namun yang ditolak logikanya adalah tentang kehamilan Sydney.”Ale, udah jam dua.” Zee memberitahu setelah melihat penunjuk waktu digital di ponselnya.Ale tersentak menyadari malam sudah semakin larut dan saat ini sedang menuju pagi.”Sorry, Zee, aku kebawa perasaan, berasa aku sendiri yang mengalami. Bukan apa-apa, Rain udah kuanggap sebagai saudara sendiri. Apalagi sekarang mereka lagi bahagia-bahagianya. Aku nggak tega kebahagiaan mereka dirusak oleh hal-hal kayak gini.”“Aku juga minta maaf. Harusnya tadi aku menahan diri buat nggak kasih tahu kamu. Tapi aku pikir kamu adalah orang yang tepat. Kamu bisa bicarakan ini sama Rain terlebih dulu, anggap aja sebagai bentuk antisipasi kalau Sydney minta pertanggungjawaban.”Ale mengusap mukanya gusar. Mungkin nanti setelah tiba di apartemennya
“Siapa yang datang pagi-pagi begini, Nda?” tanya Rain setelah Bibi berlalu meninggalkan ruang makan.“Bunda juga nggak tahu,” jawab Kanayya seraya menyeka bibirnya dengan serbet. Lebih awal mengakhiri sarapan pagi itu.“Pasien mungkin ya, Nda?” kata Lady ikut mengira.“Bisa jadi sih. Bunda ke depan dulu.” Kanayya bangkit dari kursi untuk kemudian meninggalkan tempat itu.Tinggallah Rain berdua dengan Lady di ruang makan.Rain merasa gemas melihat mulut Lady yang celemotan oleh bekas susu. Ia mengulurkan tangan menjangkau bibir sang istri dan menyapukan jemari di sana. “Ada bekas susu nempel di mulut kamu.”Selama sepersekian detik Lady terpana. Semakin hari cara Rain memperlakukannya bertambah manis.“Kok malah bengong? Habisin gih,” suruh Rain agar Lady lekas menuntaskan sarapan pagi. Ia tertawa sambil mengusap lembut pundak sang istri.“Eh, iya,” gumaman kecil keluar dari mulut Lady setelah sadar dari ketermanguan.*Kanayya menggegas langkah ke ruang depan lantaran tidak ingin tamu
Jasmine sontak memandang pada Rain dengan tatapan curiga. Untuk apa laki-laki itu hanya meminta berdua saja dengan anaknya di dalam ruangan? Jangan-jangan Rain akan mencelakakan Sydney. Pikiran buruk perempuan itu semakin liar berputar di kepalanya."Kenapa kami harus keluar? Kamu mau apa?" Jasmine memandang miring pada Rain."Saya mau bicara dengan anak Tante.""Tapi kenapa harus berdua? Memangnya apa yang mau dibicarakan?""Tentang solusi masalah ini. Apa Tante nggak ngerti juga? Nanti kalau saya sudah selesai bicara dengan Sydney, Tante dan semuanya boleh masuk. Tapi sekarang tolong kasih saya waktu untuk bicara berdua." Suara tegas Rain kembali membahana.Kemudian Jasmine memandang pada suaminya meminta pertimbangan. Lelaki itu mengerti dan lekas angkat suara. "Kalau kamu memang mau membicarakan solusinya kenapa hanya berdua? Kenapa kami tidak boleh berada di sini?""Om tenang saja, saya hanya minta waktu sebentar. Saya nggak akan mencelakai Sydney kalau memang hal itu yang ada d
Sukar dijabarkan dengan kata-kata bagaimana terkejutnya Kanayya setelah mendengarkan penuturan Jacob padanya. Pikirannya masih sibuk mencerna beberapa menit setelah panggilan dari laki-laki itu berakhir. Hingga kemudian ia tersadar lantas bergerak keluar dari kamarnya.“Rain, ini Bunda!” Kanayya berseru seraya memanggil nama sang putra. Ia merasakan getaran dari suaranya sendiri.Selang beberapa detik setelahnya daun pintu pun terbuka bersama dengan sosok Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya.”Iya, Nda?””Rain mana, Dy?” kejar Kanayya cepat.”Lagi pasang baju, baru siap mandi.”“Kalau sudah selesai langsung temui Bunda.”“Baik, Nda.”Kanayya meninggalkan kamar anaknya sedangkan Lady menutup pintu dan menghampiri Rain yang sedang berpakaian.“Rain, tadi Bunda yang manggil, kalau udah selesai langsung temui.” Lady memberitahu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Kanayya tadi.“Bunda mau ngomong apa, Lad?”“Aku juga nggak tahu, tapi dari yang aku lihat di mukanya Bunda kayak yan
Dentingan notifikasi handphone Rain menginterupsi Rain dan Lady yang sedang bermesraan. Mereka baru saja tiba di rumah sekitar beberapa menit yang lalu dan menghabiskan waktu di kamar.“Siapa lagi sih?” gumam Rain kesal.Lady membantu Rain menjangkau ponsel dan memberikan pada sang suami.Mendapati pesan dari Sydney, Rain berdecih jengkel. “Mau apa lagi sih dia?”Rain kemudian menekuri ponselnya selama beberapa saat. Membaca pesan yang dikirimkan Sydney padanya. Sempat terdiam namun kemudian tertawa ringan. “Ada-ada aja,” gumamnya pelan.“Ada apa, Rain? Siapa yang chat?” tanya Lady di sebelahnya. Rain memberikan gawainya pada Lady agar sang istri bisa membacanya sendiri.Menerima ponsel yang disodorkan Rain, Lady terdiam cukup lama. Sebagai sesama wanita hatinya jelas tergugah. Ia sangat mengerti apa yang dirasakan Sydney. Kasihan, pikirnya.Apa yang Lady pikirkan lantas ia sampaikan pada sang suami. “Rain, kasihan dia.”“Lad, itu hanya modus, aku harap kamu jangan sampai luluh. Dia
“Kamu mau ke mana?” tanya Kanayya pagi itu pada Rain yang sudah rapi.“Mau ikut Lalad ke toko, Nda.”“Tumben?” “Sekali-sekali aku pikir nggak ada salahnya. Lagian aku juga nggak ada kegiatan di rumah.”Kanayya tidak bertanya lagi. Rain juga tidak mengatakan jika sesungguhnya ia akan bertemu dengan Sydney. Nanti saja. Rain pikir Kanayya tidak perlu tahu urusannya dengan perempuan itu.“Rain, kamu nggak mau ambil job iklan atau apa?” tanya Alana sebelum Rain dan Lady keluar meninggalkan rumah. “Kapan-kapan kali ya, Na, biar masalah ini kelar dulu.”“Bunda setuju. Nanti kamu nggak usah cari manajer baru, biar Lady yang manajerin kamu.” Kanayya menyarankan.Rain memandang pada Lady dan tersenyum lebar. "Boleh juga,” ucapnya. Lalu ia beralih pada Lady, meminta pendapat sang istri. “Kamu mau kan, Lad?”Lady kelihatan bingung. Perempuan itu menggigit bibirnya. “Caranya gimana? Aku nggak punya pengalaman sama sekali.”“Nggak perlu punya pengalaman apa-apa kok, Lad. Kerjaan kamu cuma arrange
“Rain, dibales,” beritahu Lady pada Rain yang sudah naik duluan ke ranjang sedangkan Lady baru saja memakai krim malamnya.“Dia bilang apa?” tanya Rain tanpa membuka mata.“Okay, Bae, besok aku ke sana. I love you.” Lady menyampaikan balasan chat dari Sydney yang baru saja ia baca di handphone Rain.Rain detik itu membuka mata. “Jangan main-main, Lad.” Rain sangka Lady sedang meledeknya dengan kata I love you yang diucapkan Sydney.“Main-main gimana? Nggak percaya nih baca sendiri.” Lady memberikan ponsel di tangannya pada Rain.Lady ternyata tidak bohong. Rain melihat sendiri di gawainya balasan dari Sydney sama persis dengan yang diucapkan Lady.Rain berdecih, lalu setelahnya mematikan ponsel dan meletakkan di nakas.”Nggak kamu bales?” tanya Lady yang kini ikut berbaring di samping Rain di kasur.”Nggak ada yang perlu dibales. Infonya sudah jelas.”“Nggak mau bilang I love you too?” Perempuan itu menggodanya.”Jangan nakal ya, Lad, atau nanti aku–”“Aku apa?” potong Lady kilat.Ra
Malam itu juga Rain meluncur ke apartemen Ale berdua dengan laki-laki itu. Ketika Ale bertanya untuk apa laptop lama tersebut dan apa yang akan mereka cari, Rain masih merahasiakannya. Membuat Ale penasaran setengah mati.“Ayolah, Rain, untuk apa laptop itu?” Ale yang menyetir terus mendesak agar Rain memberitahu.“Nanti lo juga bakal tahu sendiri.” Rain masih bersikukuh merahasiakannya.”Apa bedanya sih nanti sama sekarang?”“Ya bedalah, Nyet. Tapi lo yakin kan kalo laptop itu masih ada?” Sudah sejauh ini akan sia-sia kalau ternyata hasilnya zonk.”Ada kalo nggak dimakan kecoa,” ucap Ale asal.“Garing.”Dengan tidak sabar Rain menarik langkah cepat setelah mereka tiba di Heaven Residence. Gerak-gerik Rain membuat Ale benar-benar penasaran apa sebenarnya yang ingin dicari Rain di laptopnya."Kalo misal nggak ada, gimana?" Ale menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi."Jangan macem-macem lo ya!" ujar Rain cemas."Gue nggak macem-macem. Itu kan misalnya.""Pokoknya harus
Rumah besar itu semakin sepi karena semua penghuninya sibuk di kamar masing-masing.Kanayya tidak habis pikir pada ide gila yang disampaikan Jacob tadi siang. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkannya. Kanayya tidak bisa membayangkan apa tanggapan Jasmine jika mengetahui ide tidak waras suaminya.Kanayya menjangkau ponselnya ketika dentingan notifikasi terdengar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Kanayya membacanya pelan-pelan.“Gimana, dokter Kanayya? Apa tawaran saya tadi siang sudah dipikirkan?”-JacobOh, ternyata dia. Kanayya tidak tahu dari mana pria itu mendapatkan nomor ponselnya. Tapi tentu saja bukan hal yang sulit bagi orang semacam Jacob untuk mencari tahu nomor selulernya. Pria itu punya kaki tangan di mana-mana.“Maaf, Pak Jacob, saya tidak bisa.” Kanayya menolak tegas keinginan laki-laki itu.“Anda yakin? Apa Anda sudah pikirkan baik-baik? Saya tahu anda sangat menyayangi Rain dan menantu anda. Tentu anda tidak akan membuat mereka menderita kan?”“Iya,
Jacob tidak serta merta menjawab permintaan Rain. Pria itu tampak berpikir untuk sesaat. Menimbang-nimbang apa yang diinginkan oleh Rain. Bagaimana baik dan buruknya maupun dampak serta resikonya."Papi, aku pikir nggak ada salahnya Papi kasih Rain kesempatan. Masalahnya ini bukanlah segampang yang kita pikir." Zee yang sejak tadi diam saja membaca situasi kini menyampaikan pendapatnya."Mami nggak setuju, jangan terlalu mudah percaya, Pi, Mami khawatir dia akan kabur. Sedikit pun jangan kasih dia kesempatan untuk lolos, jangan kasih dia celah, kasihan anak kita, nanti Sydney yang akan jadi korbannya." Jasmine bersikeras mempertahankan pendapatnya dan terus memengaruhi suaminya."Rain orangnya nggak kayak gitu, Mi, Pi. Dia nggak akan kabur atau lari. Aku udah lama kenal Rain," ujar Zee lagi."Kenal bukan berarti kamu tahu semua tentang dia, Zee!" Jasmine menyergah dengan keras putri bungsunya."Bener, Mi, tapi Rain–""Sudah! Sudah! Mami nggak minta pendapat kamu. Mending kamu diam aja
Rain masih duduk di lantai dengan tubuh lemas. Di sisi kiri dan kanannya ada Lady dan Alana yang mendampingi. Ketiganya sama-sama membisu merenungi takdir hidup sendiri-sendiri.Rain yang baru saja menemukan cinta sejatinya harus diuji lagi dengan cobaan hidup bertubi-tubi. Pun dengan Lady. Ia baru saja akan berbahagia setelah bertahun-tahun hidup menderita. Sedangkan Alana lain lagi ceritanya. Ia mencintai laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada.Apa pun itu, masalah terbesar mereka saat ini adalah Sydney yang terbukti mengandung anak Rain."Rain, ikut Bunda ke ruangan." Tiba-tiba Kanayya melintas di depan mereka.Rain menengadah dan mendapati raut perempuan itu masih sama seperti tadi. Sedih dan kecewa.Rain cepat berdiri dan mendesak Kanayya dengan pertanyaan yang sama yang berulang-ulang ia cetuskan."Nda, itu semua nggak bener kan? Semua salah kan, Nda? Jujur sama aku, Om Jacob kasih uang berapa ratus juta untuk rumah sakit ini? Berapa miliar, Nda?""Hati-hati kalau