“Papa dulu sama Mama nikah umur berapa?” Pertanyaan itu meluncur dari bibir Giandra yang membuat Ale menoleh padanya. Saat iitu mereka baru saja selesai duet membawakan lagu lawas It Must Have Been Love. Ale yang memetik gitar dan Giandra yang bersenandung.”Kira-kira pertengahan dua puluh empat masuk dua puluh lima. Kenapa, Gi, kok nanya gitu sama Papa, udah mau nikah kamu?”Giandra nyengir kuda. “Ya mana bisa, Pa, kan aku masih ada kontrak.””Terus tadi tiba-tiba nanya gitu ke Papa kenapa?””Iseng aja sih. Tapi untuk ukuran laki-laki umur segitu kan lumayan cepat. Gimana sih, Pa, rasanya nikah muda?”Ale menyandarkan punggung ke dinding bersama dengan menarik mundur pikirannya ke masa lalu. Terlalu banyak hal menyakitkan yang terjadi kala itu. Sebenarnya Ale belum pernah menceritakan tentang sisi gelap hidupnya pada Giandra serta anak-anak yang lain. Ale bahkan tidak ingin lagi mengingatnya. Semuanya cukup menjadi rahasia kelamnya dengan Alana.“Rasanya bahagia karena ada yang mend
Hanya sesaat. Celine segera memalingkan muka dari Giandra dan lebih memilih melihat ke arah lain, lebih tepatnya menundukkan kepala dalam-dalam. Sedangkan Tanya masih memeluk Giandra.“Tanya, aku ikut berduka, sorry, aku nggak tahu kalau abang yang kamu maksud ternyata David.” Giandra berbisik di telinga Tanya.“Nggak apa-apa, Gi, makasih ya udah datang.” Suara Tanya terdengar serak akibat kebanyakan menangis.Giandra mengurai pelukan. Lalu matanya berlarian mencari-cari sosok personil Let It Be serta manajer mereka.“Mas Haris sama yang lain tadi udah ke sini, tapi mereka baru aja pulang sekitar sepuluh menit yang lalu,” beritahu Tanya seakan bisa membaca apa yang ada di pikiran Giandra.Lalu Giandra dan Tanya berjalan bersisian menuju pusara David.“Ma, Pa, ini Giandra, temen satu band aku, dia gitarisnya.” Tanya mengenalkan Giandra pada kedua orang tuanya.Giandra menjabat tangan keduanya bergantian. “Saya ikut berduka, Om, Tante.” Giandra menyampaikan rasa belasungkawa.“Terima ka
Satu per satu pelayat di pemakaman David mulai meninggalkan tempat itu setelah menyampaikan ucapan belasungkawa pada keluarga yang sedang berduka. Kini yang tersisa hanyalah para sahabat dan kerabat dekat."Tante pulang dulu nggak apa-apa, Lin?" tanya Alana. Setelah mengurai pelukan tadi mereka sama-sama diam dan disibukkan oleh pikiran masing-masing. Alana tidak berani mengusik Celine yang sedang bersedih terlalu dalam. Tapi Alana sangat paham apa yang Celine rasakan saat ini. Tentunya tidak mudah untuk menjalaninya. Ditinggal meninggal oleh calon suami justru di saat mereka akan menikah. Sudah begitu harus mengandung janin yang entah bagaimana nasibnya."Nggak apa-apa, Tante," lirih Celine meskipun ia masih ingin lebih lama Alana bersamanya. Dengan memeluk Alana tadi Celine merasa sesuatu yang berbeda. Ia bisa menyampaikan kesedihannya meskipun hanya terucap di dalam hati.Alana memeluk Celine sekali lagi dan memintanya untuk tetap bersabar. "Kapan-kapan kalau kamu mau cerita tel
“Kamu mau ngomong apa, Qey? Ayo bilang sekarang sama Papa,” kata Rain pada Qey sambil menatap serius pada anaknya itu, menunggu apa yang akan Qey sampaikan.Qey balas memandang pada Rain. Sudah berhari-hari ia merenung dan memikirkan baik-baik hal ini sebelum tekadnya menjadi bulat. “Qey…,” tegur Rain pada Qey yang masih membisu.”Pa, rencananya aku mau pindah dari sini.””Pindah?” Rain mengulang kata-kata Qey dengan dahi berkerut.“Iya, Pa, aku mau tinggal di apartemen aja.”Rain tersenyum geli. “Kamu ini ada-ada aja. Kalau ada rumah kenapa harus tiggal di apartemen?””Iya sih, Pa, tapi rumah kita kan jauh dari kampusku. Jadi aku putusin buat tinggal di apartemen aja yang lebih dekat dengan kampus. Aku juga mau lebih fokus kuliah.” Qey membeberkan alasannya pada Rain dan berharap Rain bisa menerimanya.“Seberapa jauh sih jarak rumah dari kampus kamu? Paling juga berapa kilo.””Tapi tetap aja jauh, Pa, apalagi kalau lagi macet aku bisa telat nyampe di sana. Tolong, Pa, izinin aku bua
Qey mengambil soft drink dari kulkas serta segelas air putih dan meletakkan beberapa iris lapis legit ke dalam piring lalu berjalan ke ruang tamu, mengantarnya untuk sang tamu istimewa.Di ruang tamu rumahnya yang besar Qey melihat Max dan Brie duduk berdekatan di sofa yang sama. Qey meletakkan air putih di atas meja tepat di hadapan Brie sedangkan soft drink di depan Max, diakhiri dengan piring berisi lapis legit di tengah-tengahnya.“Silakan,” ucap Qey dengan nada dingin lalu bergerak pergi dari sana.Brie memandangi punggung Qey hingga menghilang dari ruang matanya. Brie merasa heran karena Qey bersikap tidak biasa. Apa ada yang salah? Brie tahu kalau Qey dan Max memang berhubungan dekat dan sangat akrab. Bahkan di ambang putus asanya Brie sempat mengira jika keduanya saling mencintai. Tapi jika memang begitu seharusnya Max menyatakan cintanya pada Qey kan? Bukan pada Brie. Seharusnya begitu kan logikanya?Brie kemudian menatap pada Max dan menemukan wajah kaku Max. Brie tidak tah
Seperti ditampar kesadaran, Giandra tersentak. Apa yang telah dilakukannya? Semua kata-kata dan nasihat dari Ale terngiang di telinganya kini yang membuat Giandra seketika mengusap muka dan mengembuskan napasnya.Celine yang sejak tadi berada di pelukan Giandra melepaskan diri dari laki-laki itu dan dan turun dari ranjang. Dengan tertatih-tatih ia berjalan menuju kamar mandi.Celine bersandar di balik pintu kamar mandi sambil menahan perih yang menggerogoti bagian bawah tubuhnya.‘Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan?’ Ia membatin di dalam hati.Bercinta dengan pria asing yang baru dikenalnya merupakan hal paling bodoh dan tergila yang pernah dilakukannya sepanjang dua puluh enam tahun hidup di dunia.Celine menyalakan shower dan membasahi dirinya dengan air.Seluruh badannya kemerahan. Giandra meninggalkan jejak di mana-mana. Nyaris di sekujur tubuhnya. Bekas kemerahan itu tidak kunjung hilang meskipun Celine sudah menggosoknya sekuat yang ia bisa.‘Duh, kok nggak mau hilang sih?’ kel