Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari.
‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’ Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa. Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang. Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita. Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi? Ketukan di depan pintu yang semakin intens membuat Lady tidak bisa tetap tinggal diam. Dengan tertatih ia keluar dari kamar menuju ruang depan. “Iya, sebentar!” Lady menyahut, meredam ketidaksabaran sang pengetuk pintu. Lady memutar knop. Dan… Begitu mengetahui yang datang mengunjunginya adalah lelaki yang hampir saja memerkosanya, membuat rasa benci dan kemarahannya kembali mengubun-ubun. ”Jangan ditutup. Gue mau ngomong sama lo,” larang Rain sembari menahan daun pintu agar tetap terbuka. “Saya nggak sudi bicara sama orang sebejat anda. Saya nggak mau bertemu lagi dengan pemerkosa seperti anda.” “Apa? Lo bilang gue pemerkosa?” balas Rain tidak terima. Seenaknya saja perempuan itu menudingnya. “Lo jangan asal tuduh. Maksud gue ke sini tuh baik. Biar lo nggak salah paham. Justru sekarang gue yang mau tanya sama lo, kenapa lo bisa ada di kamar itu? Jangan-jangan bener lagi kalau lo open BO!” “Jaga mulut anda. Jangan sembarangan kalau bicara. Saya ini perempuan baik-baik,” balas Lady atas tuduhan Rain padanya. Rain mendengkus dan memandang sinis. “Perempuan baik-baik tempatnya bukan di sana. Kalau lo memang perempuan baik-baik, jam segitu seharusnya lo ada di rumah. Bukan di kelab malam, apalagi sampai di kamar hotel. Apa pantas perempuan baik-baik ada di sana?” “Tuan pembalap yang terhormat, anda jangan melecehkan saya. Saya hanya melaksanakan pekerjaan saya sebaik mungkin. Jadi jangan pernah merendahkan saya.” ”Gue akan maklumin kalau lo kerja jadi pelayan yang kerjanya cuma mengantar minuman. Tapi ternyata lo emang pelayan plus-plus! Heran gue sama Bunda, masa cewek kayak gini mau dijodohin ke gue.” Rain geleng-geleng kepala sembari tetap memandang Lady dengan sinis. “Anda terlalu merendahkan saya. Saya sama sekali tidak sama seperti yang ada di pikiran anda.” Rain tersenyum miring pada Lady yang terus mencoba membela diri. Mengingat kejadian kemarin malam menumbuhkan dugaan di benaknya bahwa itu adalah kali pertama Lady menjual diri, buktinya perempuan itu masih virgin. “Sebelum anda menuduh saya yang bukan-bukan seharusnya anda berkaca dulu. Justru apa yang anda lakukan pada saya jauh lebih bejat.” Rain melipat tangan di depan dada. Ia menatap lurus-lurus pada perempuan di hadapannya. “Kalau gue memang bejat, jadi perempuan yang menjual diri kayak lo apa namanya?” Mendengar tudingan Rain yang semakin menjadi-jadi, Lady tidak mampu lagi menahan emosi. “Saya tidak menjual diri! Saya ke sana karena disuruh mengantar cocktail!” Rain berjengit mendengar nada suara Lady yang meninggi. “Siapa yang menyuruh lo?” “Saya tidak tahu, tapi orang itu ada bersama anda waktu di kelab.” “Maksud lo Bobby?” Lady mengedikkan bahu. Mana urusannya menanyakan nama orang itu. Yang menjadi pekerjaannya adalah melaksanakan segala sesuatunya menurut permintaan pengunjung dengan sebaik mungkin. ”Sekarang lo bilang ke gue dan ceritain kronologinya baik-baik,” pinta Rain tegas. “Ada tamu yang minta saya untuk mengantar cocktail ke kamar 301. Dia keburu pergi sebelum saya sempat menjawab.” “Orangnya gimana?” Lady kemudian menjelaskan semampu yang ia bisa mengenai laki-laki tersebut, yang membuat Rain menjadi tahu bahwa pria tersebut adalah Bobby. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala. ”Sekarang lo dengerin gue baik-baik,” ucap Rain tegas agar Lady tidak berpikiran macam-macam mengenainya. “Lo tahu sendiri kan kalau lo tuh bukan tipe gue? Amit-amit gue mau nidurin lo. Yang ada ntar gue bisa kena sifilis. Soal kejadian kemarin malam lo jangan salah paham. Gue dikerjain temen sampe mabuk. Gue nggak tahu kalau cewek itu adalah lo. Gue kasihan sama lo. Kalau hidup lo memang susah, tapi nggak sampe jual diri juga dong. Sekarang lo butuh berapa?” Rain buru-buru mengeluarkan dompet dan mengambil uang dari sana. “Cukup segini?” Lady menahan amarah sekuat yang ia bisa. Laki-laki di depannya ini benar-benar sudah menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Ingin rasanya memplaster mulut tanpa filternya. Berapa pun uang yang diberikan Rain tidak akan mampu menggantikan rasa sakitnya malam itu. Saat Rain melecehkannya, mengikat tangannya, lalu… menjamah tubuhnya hingga mereka nyaris saja bercinta. Lady benci membayangkan saat Rain menyesap bibirnya dan melumatnya dengan penuh gairah. Tidak hanya bibir, namun laki-laki itu meninggalkan jejak di setiap inci bagian tubuhnya. Andai saja bisa, Lady ingin menghapus bekas laki-laki itu di sana. Dari sekian banyak hari-hari buruknya, malam itu adalah malam paling naas dan menyakitkan dalam hidupnya. ”Simpan kembali uang anda, saya tidak butuh. Satu hal yang harus anda ingat, tidak semua bisa dibeli dengan uang!” geram Lady menolak mentah-mentah berlembar-lembar uang pemberian Rain. Rain tertegun. Sedangkan tangannya menggantung di udara dengan uang dalam genggaman. “Sombong banget sih lo! Apa duit segini masih belum cukup? Jadi lo maunya berapa?” Lady menahan napas. Mencoba kuat agar tetap bisa bersabar. Dugaannya ternyata benar. Rain tidak lebih dari laki-laki kaya yang arogan dan berpikir bahwa semua bisa diselesaikan dengan uang. Lady tidak butuh semua itu. Ia hanya ingin Rain meminta maaf dan mengakui segala kesalahannya malam itu meskipun menurut lelaki itu ia dikerjai temannya. Tapi Rain bukanlah tipe orang yang mudah mengeluarkan kata maaf. Baginya kata maaf itu mahal. Ajaib jika ia sampai meminta maaf apalagi pada perempuan seperti Lady. Sampai lebaran monyet juga nggak bakal kejadian. “Sekarang saya minta anda segera pergi dari sini, saya mau istirahat,” usir Lady tegas. “Oke, gue akan pergi. Lo pikir gue ke sini dengan sukarela? Waktu gue terlalu berharga buat ngunjungin orang nggak penting kayak lo. Asal lo tahu ya, gue ke sini cuma buat balikin ini.” Rain menyimpan kembali uangnya dan memberikan dompet dan kartu tanda pengenal milik Lady. Lady terperangah. Ini dia yang dicarinya dan membuat pusing kepalanya. “Kenapa KTP dan dompet saya bisa ada sama anda?” Bukannya menjawab, Rain malah tersenyum asimetris. “Kalau lo memang cewek baik-baik dan bukannya cewek nggak bener, lo buktiin. Tinggalin pekerjaan lo di sana. Terlalu berisiko.” Kemudian Rain pergi begitu saja, meninggalkan Lady yang berdiri terpaku di depan pintu. Baru saja kakinya bergerak beberapa langkah, Rain memutar tubuh. “Lo denger ya, lo jangan geer. Gue bukannya peduli sama lo. Dan sekali lagi gue ingetin, gue nggak akan membiarkan perjodohan nggak masuk akal ini terjadi. Lo bukan tipe gue. Catet!” Astaga. Ini entah untuk keberapa kalinya Rain mengucapkan hal yang sama. Andai saja laki-laki itu tahu jika dia juga bukan tipe Lady. Biar saja seribu perempuan mengelu-elukannya dan berebut ingin tidur dengannya, tapi bagi Lady meskipun makhluk berjenis laki-laki punah dan binasa dari muka bumi ini dan hanya Rain satu-satunya yang tersisa, ia tidak akan pernah memberikan dirinya pada laki-laki itu andai tidak terpaksa. Ya, terpaksa. Seperti saat ini. Kanayya sudah terlalu banyak membantunya, terutama dari segi finansial. Bahkan pernah menyelamatkannya dari debt collector yang hampir saja menganiayanya. Tapi tetap saja warisan utang dari kedua orang tuanya tidak ada habisnya. Lady juga tidak habis pikir bagaimana mungkin wanita berhati malaikat seperti Kanayya bisa memiliki anak seperti iblis. Wajahnya saja yang baby face, namun kelakuan nggak ada bedanya sama devil. Dari Rain Lady jadi tahu bahwa tidak selamanya bentuk wajah berbanding lurus dengan karakter. “Dibilangin malah bengong, denger nggak sih lo?” Suara Rain mengejutkan Lady, membuyarkan lamunan singkatnya. Perempuan itu lalu memandang lurus pada Rain dan berucap dengan suaranya yang tegas, “Kalau pun harus menikah, aku lebih memilih menikah dengan buaya daripada laki-laki buaya seperti kamu.” What the heck! Rain melongo mendengar perkataan Lady. Sebelum ia sempat membalas apa-apa, perempuan yang di matanya menyebalkan itu sudah keburu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. ***Orang bilang hari pernikahan adalah di mana sepasang pengantin akan menjadi raja dan ratu sehari. Itulah yang akan dirasakan Agha dan Brienna.Setelah melalui tahap demi tahap serta banyak ritual unik, akhirnya sehari lagi Agha dan Brienna resmi menjadi sepasang suami istri.Pernikahan Brienna dan Agha begitu kontras dengan resepsi pernikahan Qeyzia dan Ryan. Pernikahan Brienna diselenggarakan secara adat keluarga Agha yang masih begitu kental. Prosesi adat tersebut diawali dengan mangaririt boru atau menyelidiki apakah perempuan yang akan dipinang memiliki latar belakang yang baik. Tahapan ini juga dilakukan untuk memastikan kalau perempuan yang akan dipinang belum ada yang melamar. Orang tua Agha datang pada keluarga Brienna menyampaikan maksud untuk meminang. Akan tetapi, keluarga Brienna tidak seketika memberi jawaban, namun pada pertemuan selanjutnya.Setelahnya dilanjutkan dengan padamos hata, yaitu prosesi mengenalkan calon pengantin laki-laki langsung kepada keluarga calon p
“Tadi ngomongin apa aja sama Brie, Yang?” tegur Ryan pada Qey yang sejak tadi membisu di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada dalam perjalanan pulang ke apartemen setelah dari rumah orang tua Qeyzia tadi.Lamunan Qey dibuyarkan suara Ryan. Ia lalu menoleh pada suaminya itu. “Ngomong biasa, tentang pengalaman selama Kak Brie di Medan.””Brie kayaknya happy banget ya?”Qey tersenyum dan mengiakan. ‘Gimana nggak happy. Keluarga suaminya baik begitu,’ ucapnya di dalam hati. Namun yang tersampaikan dari mulutnya adalah, “Iya, happy banget. Aku nggak pernah ngeliat Kak Brie sehappy itu.”“Kalau kamunya gimana? Nggak ikutan bahagia?""Bahagia dong, masa enggak.""Kalau bahagia kenapa wajahnya biasa-biasa aja?""Harusnya gimana?""Senyum yang lebar kek.""Nih aku senyum." Qey mengembangkan bibirnya selebar mungkin. Meyakinkan ia juga bahagia atas kebahagiaan kakaknya. Qey menyembunyikan lara hatinya jauh-jauh. Ia tidak ingin Ryan tahu apa yang dirasakannya saat ini.Tapi bukan Ryan naman
Qey cepat keluar dari kamar mandi dengan gugup dan duduk di tepi ranjang. Apa yang baru saja dilihatnya membuat Qey benar-benar malu. Di saat bersamaan rasa bersalah terasa menghujamnya. Ini semua adalah akibat ulahnya. Seharusnya ia melaksanakan kewajibannya sebagai istri dan melayani Ryan dengan sebaik mungkin. Jadi pemandangan barusan tentu tidak akan pernah disaksikannya. Tak lama berselang Ryan keluar dari kamar mandi dengan wajah pias. Jujur saja ini bukanlah yang pertama. Namun ketika Qey menangkap basahnya ia tidak pernah semalu ini.Ryan turut duduk di sebelah Qeyzia. Ia mendapati kegugupan di wajah istrinya.Selama beberapa detik mereka hanya diam. Qey meremas ujung bajunya sedangkan Ryan tidak tahu harus berkata apa dan memulai semua dari mana.Ryan berdeham berkali-kali. Selain malu ia juga tidak pernah segugup ini. "Yang ...," panggilnya pelan, membuat istrinya itu menoleh padanya. "Maaf, aku–""Seharusnya aku yang minta maaf." Qey menyahut cepat. "Ini semua aku yang sal
“Ya ampun, kok jadinya malah kekirim sih? Bukannya kehapus.” Brie mengguman pelan ketika menyadari apa yang baru ia lakukan.Ck! Brie berdecak kesal menyesali sikapnya yang gegabah. Coba tadi kalau ia tidak asal pencet. Duh … gimana nih?Brie kemudian merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Untuk kesekian kalinya ia terkejut ketika terdengar notifikasi dari ponselnya.Lantas Brie melihat ke layar gawai. Pesannya tadi terkirim dan sekarang ia menerima balasannya.“Hey, Brie, senang sekali mengetahui kamu akan menikah. Tapi dengan sangat sedih aku ingin mengatakan padamu, Mommy sudah … meninggal. From Kyle.”Brie langsung terduduk. Tidak percaya pada apa yang baru saja dibacanya. Ibunya sudah meninggal? Sejak kapan? Lantas kenapa ia tidak tahu sama sekali mengenai hal tersebut?Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca Brie mengetikkan balasan untuk saudara tirinya itu.Brienna: Kapan Mommy meninggal? Kenapa tidak memberitahuku?Hanya dalam hitungan detik balasan pesan dari Kyle masuk ke
Bab panjang panjang ya, Kak. 15 bab. Happy reading ♡***Ryan menggenggam tangan Qey dan meletakkan di atas pahanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi berada di setir. Setelah dari apartemen Ryan tadi keduanya saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Natassa.Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Ryan. Hari yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Nanti setelah sampai di rumah ibunya Ryan akan langsung menyampaikan niatnya untuk menikahi Qey.Sedangkan Qey yang duduk di samping Ryan tak bersuara sejak tadi. Ia masih sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi beserta hal besar yang sudah diputuskannya.Qey menerima lamaran Ryan untuk menjadi istri laki-laki itu.Dalam temaram cahaya di mobil, Qey menurunkan pandangan pada tangan kirinya, yang berakhir tepat di bagian jari manisnya. Cincin dari Ryan kini tersemat indah di sana. Sebagai tanda ikatan awal dirinya dan laki-laki itu sebelum mereka disatukan dalam hubungan yang benar-benar sakral."Suka cincinnya, Yang?"Tegu
“Saya pengennya pesta pernikahan nanti nggak cuma biasa-biasa saja. Tapi unik, mewah, elegan dan berkesan, yang nggak akan pernah dilupakan oleh siapa pun, terutama oleh tamu-tamu yang datang.” Perempuan itu menerangkan konsep pernikahan impian sesuai keinginannya dengan sangat menggebu-gebu. Matanya turut berbinar seakan sedang membayangkan apa yang ada di kepalanya.“Baik, saya setuju dengan ide Mbak. Kita punya beberapa paket, di antaranya adalah paket ballroom wedding, rooftop wedding, garden party, dan juga beach party.”“Kalau menurut Mbak sendiri bagusnya yang mana ya?”“Mama!!!”Qeyzia refleks memalingkan muka dan memandang ke sumber suara. Senyumnya merekah seketika kala melihat putra kesayangannya berlari kecil ke arahnya diikuti sang pengasuh dari belakang.“Sebentar ya, Mbak, silakan Mbak lihat-lihat katalognya dulu.” Qeyzia lantas bangkit dari duduknya dan meninggalkan si klien.Klien? Iya klien.Dua tahun berlalu sejak kematian Maxwell. Pelan tapi pasti Qeyzia mulai bang