Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari.
‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’ Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa. Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang. Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita. Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi? Ketukan di depan pintu yang semakin intens membuat Lady tidak bisa tetap tinggal diam. Dengan tertatih ia keluar dari kamar menuju ruang depan. “Iya, sebentar!” Lady menyahut, meredam ketidaksabaran sang pengetuk pintu. Lady memutar knop. Dan… Begitu mengetahui yang datang mengunjunginya adalah lelaki yang hampir saja memerkosanya, membuat rasa benci dan kemarahannya kembali mengubun-ubun. ”Jangan ditutup. Gue mau ngomong sama lo,” larang Rain sembari menahan daun pintu agar tetap terbuka. “Saya nggak sudi bicara sama orang sebejat anda. Saya nggak mau bertemu lagi dengan pemerkosa seperti anda.” “Apa? Lo bilang gue pemerkosa?” balas Rain tidak terima. Seenaknya saja perempuan itu menudingnya. “Lo jangan asal tuduh. Maksud gue ke sini tuh baik. Biar lo nggak salah paham. Justru sekarang gue yang mau tanya sama lo, kenapa lo bisa ada di kamar itu? Jangan-jangan bener lagi kalau lo open BO!” “Jaga mulut anda. Jangan sembarangan kalau bicara. Saya ini perempuan baik-baik,” balas Lady atas tuduhan Rain padanya. Rain mendengkus dan memandang sinis. “Perempuan baik-baik tempatnya bukan di sana. Kalau lo memang perempuan baik-baik, jam segitu seharusnya lo ada di rumah. Bukan di kelab malam, apalagi sampai di kamar hotel. Apa pantas perempuan baik-baik ada di sana?” “Tuan pembalap yang terhormat, anda jangan melecehkan saya. Saya hanya melaksanakan pekerjaan saya sebaik mungkin. Jadi jangan pernah merendahkan saya.” ”Gue akan maklumin kalau lo kerja jadi pelayan yang kerjanya cuma mengantar minuman. Tapi ternyata lo emang pelayan plus-plus! Heran gue sama Bunda, masa cewek kayak gini mau dijodohin ke gue.” Rain geleng-geleng kepala sembari tetap memandang Lady dengan sinis. “Anda terlalu merendahkan saya. Saya sama sekali tidak sama seperti yang ada di pikiran anda.” Rain tersenyum miring pada Lady yang terus mencoba membela diri. Mengingat kejadian kemarin malam menumbuhkan dugaan di benaknya bahwa itu adalah kali pertama Lady menjual diri, buktinya perempuan itu masih virgin. “Sebelum anda menuduh saya yang bukan-bukan seharusnya anda berkaca dulu. Justru apa yang anda lakukan pada saya jauh lebih bejat.” Rain melipat tangan di depan dada. Ia menatap lurus-lurus pada perempuan di hadapannya. “Kalau gue memang bejat, jadi perempuan yang menjual diri kayak lo apa namanya?” Mendengar tudingan Rain yang semakin menjadi-jadi, Lady tidak mampu lagi menahan emosi. “Saya tidak menjual diri! Saya ke sana karena disuruh mengantar cocktail!” Rain berjengit mendengar nada suara Lady yang meninggi. “Siapa yang menyuruh lo?” “Saya tidak tahu, tapi orang itu ada bersama anda waktu di kelab.” “Maksud lo Bobby?” Lady mengedikkan bahu. Mana urusannya menanyakan nama orang itu. Yang menjadi pekerjaannya adalah melaksanakan segala sesuatunya menurut permintaan pengunjung dengan sebaik mungkin. ”Sekarang lo bilang ke gue dan ceritain kronologinya baik-baik,” pinta Rain tegas. “Ada tamu yang minta saya untuk mengantar cocktail ke kamar 301. Dia keburu pergi sebelum saya sempat menjawab.” “Orangnya gimana?” Lady kemudian menjelaskan semampu yang ia bisa mengenai laki-laki tersebut, yang membuat Rain menjadi tahu bahwa pria tersebut adalah Bobby. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala. ”Sekarang lo dengerin gue baik-baik,” ucap Rain tegas agar Lady tidak berpikiran macam-macam mengenainya. “Lo tahu sendiri kan kalau lo tuh bukan tipe gue? Amit-amit gue mau nidurin lo. Yang ada ntar gue bisa kena sifilis. Soal kejadian kemarin malam lo jangan salah paham. Gue dikerjain temen sampe mabuk. Gue nggak tahu kalau cewek itu adalah lo. Gue kasihan sama lo. Kalau hidup lo memang susah, tapi nggak sampe jual diri juga dong. Sekarang lo butuh berapa?” Rain buru-buru mengeluarkan dompet dan mengambil uang dari sana. “Cukup segini?” Lady menahan amarah sekuat yang ia bisa. Laki-laki di depannya ini benar-benar sudah menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Ingin rasanya memplaster mulut tanpa filternya. Berapa pun uang yang diberikan Rain tidak akan mampu menggantikan rasa sakitnya malam itu. Saat Rain melecehkannya, mengikat tangannya, lalu… menjamah tubuhnya hingga mereka nyaris saja bercinta. Lady benci membayangkan saat Rain menyesap bibirnya dan melumatnya dengan penuh gairah. Tidak hanya bibir, namun laki-laki itu meninggalkan jejak di setiap inci bagian tubuhnya. Andai saja bisa, Lady ingin menghapus bekas laki-laki itu di sana. Dari sekian banyak hari-hari buruknya, malam itu adalah malam paling naas dan menyakitkan dalam hidupnya. ”Simpan kembali uang anda, saya tidak butuh. Satu hal yang harus anda ingat, tidak semua bisa dibeli dengan uang!” geram Lady menolak mentah-mentah berlembar-lembar uang pemberian Rain. Rain tertegun. Sedangkan tangannya menggantung di udara dengan uang dalam genggaman. “Sombong banget sih lo! Apa duit segini masih belum cukup? Jadi lo maunya berapa?” Lady menahan napas. Mencoba kuat agar tetap bisa bersabar. Dugaannya ternyata benar. Rain tidak lebih dari laki-laki kaya yang arogan dan berpikir bahwa semua bisa diselesaikan dengan uang. Lady tidak butuh semua itu. Ia hanya ingin Rain meminta maaf dan mengakui segala kesalahannya malam itu meskipun menurut lelaki itu ia dikerjai temannya. Tapi Rain bukanlah tipe orang yang mudah mengeluarkan kata maaf. Baginya kata maaf itu mahal. Ajaib jika ia sampai meminta maaf apalagi pada perempuan seperti Lady. Sampai lebaran monyet juga nggak bakal kejadian. “Sekarang saya minta anda segera pergi dari sini, saya mau istirahat,” usir Lady tegas. “Oke, gue akan pergi. Lo pikir gue ke sini dengan sukarela? Waktu gue terlalu berharga buat ngunjungin orang nggak penting kayak lo. Asal lo tahu ya, gue ke sini cuma buat balikin ini.” Rain menyimpan kembali uangnya dan memberikan dompet dan kartu tanda pengenal milik Lady. Lady terperangah. Ini dia yang dicarinya dan membuat pusing kepalanya. “Kenapa KTP dan dompet saya bisa ada sama anda?” Bukannya menjawab, Rain malah tersenyum asimetris. “Kalau lo memang cewek baik-baik dan bukannya cewek nggak bener, lo buktiin. Tinggalin pekerjaan lo di sana. Terlalu berisiko.” Kemudian Rain pergi begitu saja, meninggalkan Lady yang berdiri terpaku di depan pintu. Baru saja kakinya bergerak beberapa langkah, Rain memutar tubuh. “Lo denger ya, lo jangan geer. Gue bukannya peduli sama lo. Dan sekali lagi gue ingetin, gue nggak akan membiarkan perjodohan nggak masuk akal ini terjadi. Lo bukan tipe gue. Catet!” Astaga. Ini entah untuk keberapa kalinya Rain mengucapkan hal yang sama. Andai saja laki-laki itu tahu jika dia juga bukan tipe Lady. Biar saja seribu perempuan mengelu-elukannya dan berebut ingin tidur dengannya, tapi bagi Lady meskipun makhluk berjenis laki-laki punah dan binasa dari muka bumi ini dan hanya Rain satu-satunya yang tersisa, ia tidak akan pernah memberikan dirinya pada laki-laki itu andai tidak terpaksa. Ya, terpaksa. Seperti saat ini. Kanayya sudah terlalu banyak membantunya, terutama dari segi finansial. Bahkan pernah menyelamatkannya dari debt collector yang hampir saja menganiayanya. Tapi tetap saja warisan utang dari kedua orang tuanya tidak ada habisnya. Lady juga tidak habis pikir bagaimana mungkin wanita berhati malaikat seperti Kanayya bisa memiliki anak seperti iblis. Wajahnya saja yang baby face, namun kelakuan nggak ada bedanya sama devil. Dari Rain Lady jadi tahu bahwa tidak selamanya bentuk wajah berbanding lurus dengan karakter. “Dibilangin malah bengong, denger nggak sih lo?” Suara Rain mengejutkan Lady, membuyarkan lamunan singkatnya. Perempuan itu lalu memandang lurus pada Rain dan berucap dengan suaranya yang tegas, “Kalau pun harus menikah, aku lebih memilih menikah dengan buaya daripada laki-laki buaya seperti kamu.” What the heck! Rain melongo mendengar perkataan Lady. Sebelum ia sempat membalas apa-apa, perempuan yang di matanya menyebalkan itu sudah keburu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. ***Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini.“Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya.“Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya.“Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.”“Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--”“Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima ngg
Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
“Rain, akhirnya kamu datang juga. Tadi Bunda kamu bilang ke Tante kalau nggak bisa datang. Jadinya kamu yang mewakili.”“Iya, Tante, Bunda yang minta aku datang ke sini,” jawab Rain pada Tiwi, teman sang bunda. Keduanya kemudian saling mendekap hangat.Tiwi kemudian mengamati perempuan yang berdiri di sebelah Rain. “Ini pacar baru kamu, Rain?”“Bukan, Tante, ini temenku.”“Temennya cantik banget,” komentar Tiwi saat melihat Lady yang berdiri kaku di sebelah Rain. Lady tersenyum tipis merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Masa sih dirinya secantik itu? Ia merasa biasa-biasa saja. Dan selama ini belum pernah ada yang menyanjungnya dengan berlebihan.“Pembalap kita akhirnya datang juga. Tumben nih, lagi nggak sibuk?” River datang ke tengah-tengah mereka.”Nggak, Om, jadwalku kebetulan lagi kosong, makanya bisa ke sini.” Rain beralasan.River kemudian menepuk pelan pundak Rain. “Om bangga sama kamu, Rain. Nggak nyangka di umur semuda ini tapi prestasi kamu udah nggak kehitung lagi.
Rain dan Lady pulang sebelum acara pesta berakhir. Nyaris di sepanjang acara Rain tidak memedulikan dan membiarkan Lady sendirian. Sementara ia sibuk dengan teman-teman yang ditemuinya di tempat itu."Biar aku naik taksi aja," putus Lady saat Rain berniat mengantarnya pulang."Nggak, gue anter lo sampe rumah." Rain menolak ide Lady. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu pulang sendirian malam-malam begini."Nggak usah kalau nggak ikhlas. Aku lebih baik naik taksi aja.""Lo tuh nggak tau terima kasih banget. Tinggal duduk diam apa salahnya? Masuk!" perintah Rain setelah membuka pintu mobil.Terpaksa Lady mengikuti kemauan laki-laki itu setelah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan cepat Rain beralih ke bangku pengemudi dan menyalakan mesin. Dalam diam, Lady mencuri pandang ke arah Rain. Lelaki itu gagah, juga terlihat angkuh di saat bersamaan. Hidungnya yang tinggi semakin menambah kesan arogan apalagi jika dilihat dari samping begini."Lo kenapa ngeliat gue kayak gitu?"
“Rain, kamu kan nggak lagi ngapa-ngapain. Jemput aku nanti siang di bandara. Aku sama Zee balik duluan. Mami sama Papi masih di Sydney.”Rain menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Sydney. Sudah seminggu ini Sydney dan keluarganya berlibur ke Sydney. Sesuai dengan namanya, perempuan itu memang lahir di Sydney saat dulu orang tuanya bermukim di sana."Oke, Han, nanti aku jemput kamu." Rain membalas pesan tersebut.Meletakkan ponsel, Rain cepat-cepat mandi. Selama tidak ada kegiatan, hidupnya memang tidak teratur. Tidak ada yang dilakukannya selain tidur-tiduran, ngerokok, minum dan main ponsel.***Wajah cemberut Sydney adalah hal pertama yang dilihat Rain ketika ia sampai di bandara."Kangen banget sama kamu, hidup aku sepi nggak ada kamu," bisik Rain di telinga Sydney ketika ia memeluk erat perempuan itu."Bohong," tuding Sydney mengurai pelukan Rain dari tubuhnya."Bohong gimana?" Kerutan kecil tercipta di dahi Rain.Sydney mengambil ponsel dari dalam tas dan menunjukkan
“Jawab aku, Rain, ini punya siapa?”Rain bangkit dari ranjang, berjalan ke arah sofa mendekati Sydney. “Oh itu. Kemarin aku nemenin Bunda ke butik, terus Bunda mampir ke sini." Rain memamerkan senyum maut yang biasanya selalu berhasil membuat Sydney luluh."Tumben banget Bunda kamu belanja baju. Udah gitu kamu juga mau nemenin." Sydney masih tak percaya pada alasan yang disampaikan Rain."Nggak ada yang aneh kok, Han. Kadang-kadang Bunda emang suka belanja baju. Karena aku lagi nggak ada kegiatan makanya Bunda minta aku buat nemenin. Udah ah, masa kayak gitu aja ngebahasnya sampe satu jam. Aku kangen nih. Ke sana yuk!" Rain mengedipkan sebelah mata menggoda Sydney seraya melirik ranjang."Aku juga mau ditemenin beli baju." Sydney merengek manja."Iya... nanti aku temenin tapi sekarang sayang-sayangan dulu dong, udah penuh nih," janji Rain sembari menarik pelan tangan Sydney menuju ranjang.Desahan halus mencuri keluar dari bibir Sydney kala Rain mengecup leher jenjangnya."Jangan kasi
Rain melangkah cepat mengejar Lady. Begitu satu langkah berada di belakang perempuan itu ia berhasil mencekal lengannya.Lady tersentak dan sontak menoleh ke belakang. "Sakit, lepasin tanganku!""Ikut gue sekarang!" Rain menyeret paksa Lady agar mengikutinya. Laki-laki itu membawa ke arah toilet. "Duh, sakit... lepasin!" Lady tidak bohong. Cekalan Rain di tangannya terlalu kuat dan membuatnya kesakitan.Rain tidak peduli. Ia menyandarkan perempuan itu di dinding lorong toilet. "Gue kan udah bilang jangan kerja di sini lagi, kenapa lo masih ngeyel?"Lady mengernyit. Tatapan mata Rain yang menusuk terasa begitu mengintimidasinya."Bukan urusanmu aku mau kerja di mana. Kok jadi kamu yang ngatur?" Lady menarik tangannya yang dicekal Rain sejak tadi."Jelas jadi urusan gue karena--""Karena apa?"Rain terdiam, kehilangan kata-kata untuk bicara."Pokoknya gue nggak mau lo kerja di sini lagi. Gue nggak suka."Lady tersenyum awkward menyaksikan lelaki di hadapannya. Tidak mengerti pada sik
Ale dan Zee baru saja meninggalkan Nirwana Mall. Mobil yang Ale kendarai bergerak pelan di jalan raya.“Kita ke rumah Rain dulu ya, Zee?””Nggak jadi ke toko Lady?”“Jadi, tapi Rain juga mau ikut ke sana.”“Boleh, kan kamu yang nyetir.” Zee coba bercanda dan pria kharismatik di sebelahnya langsung menebar senyum maut.”Kamu tadi kenapa bisa ada di Nirwana?” Ale tanya begitu karena haram hukumnya buat keluarga Jacob menginjakkan kaki di area milik keluarga Lee.”Kebetulan lewat dan mau ke ATM, ya udah, aku langsung berhenti.””Alesan.”“Kok alesan?”“Pasti lagi nyariin aku. Sengaja kan biar bisa ketemuan?”Zee tak kuasa menahan tawa menanggapi kenarsisan pria di sebelahnya.Ale memandang pada Zee dan tersenyum penuh makna. “Cantik banget.”“Apanya yang cantik?””Bajunya.”Refleks Zee menurunkan pandangan mengamati busananya sendiri. Saat ini ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan bagian ujung baju diselipkan ke dalam rok span berwarna beige yang panjangnya hanya sebatas lutut. Z
Melihat Rain senang dan sebahagia ini Lady juga ikut semringah. Ini baru rencana tapi Rain sudah sebahagia itu, apalagi jika nanti mereka benar-benar memiliki anak.“Lad, kayak yang Bunda bilang ke kamu kita kudu usaha, kita harus bakar kalori tiap hari, dari sekarang kita harus atur jadwalnya, Lad, kalau perlu tiga kali sehari kayak minum obat,” ucap Rain bersemangat.”Itu sih modus kamu aja kalii…” Lady tertawa sembari mencubit kecil lengan sang suami.“Modus untuk kebaikan apa salahnya?” Rain berkilah dan membalas cubitan Lady di tangannya dengan kecupan di pipi perempuan itu”Dasar kamu tuh ya, paling pinter kalau cari alasan.”Rain menarik Lady ke dekapannya saat istrinya itu berniat untuk pergi. ”Mau ke mana, Lad?”“Ya ke toko dong, mau ke mana lagi memangnya?”“Nggak bisa kamu di rumah aja? Temenin aku, Lad…” Rain memeluk Lady, berbisik di telinganya lalu menggigitnya pelan yang membuat Lady jadi meremang.“Aku kan harus kerja, Rain…,” kata Lady menolak.“Kamu kan owner, ngapai
Surat perjanjian kesepakatan itu akhirnya ditandatangani oleh kedua belah pihak. Keluarga Jacob akhirnya menyetujui meskipun awalnya keberatan dengan beberapa poin perjanjian yang dirasa memberatkan mereka. Namun, Wisnu serta Reno sebagai kuasa hukum berhasil mengatasinya.Rain dan ketiga perempuan tersayangnya pulang setelah semua tuntas. Namun sebelum itu Wisnu sempat berbisik padanya menanyakan Camry yang Rain janjikan. Pria itu sepertinya khawatir jika kliennya sampai ingkar."Pak Wisnu tenang saja, besok Bapak bisa ambil mobilnya. Kalau sekarang saya capek, Pak." Begitu jawaban Rain tadi. Syukurlah sang pengacara mau mengerti dan tidak mendesak.Mereka pulang ke rumah dengan kepala yang jauh lebih ringan. Satu masalah sudah terselesaikan. Rain harap setelah ini tidak ada masalah lain yang memberati kepalanya."Lad, kayaknya aku butuh distraksi." Rain memeluk Lady yang sedang mengganti baju dari belakang. Mereka baru saja tiba di rumah dan sekarang sedang berada di kamar.Lady mem
Mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan didampingi kuasa hukum masing-masing.“Maaf, kalau kami terlambat,” kata Wisnu membuka percakapan.“Tidak sama sekali.” Reno yang menjawab. Keduanya sama-sama melempar senyum hangat.Wisnu kemudian menyapa keluarga Jacob satu per satu. “Gimana kabarnya, Pak Jacob? Sehat?”Jacob menganggukkan kepala sambil tersenyum berwibawa.“Bu Jasmine sehat juga kan? Arisan lancar, Bu?”“Lancar, Pak. Bisa kita mulai sekarang?” Perempuan itu sudah kehabisan kesabarannya.“Tentu saja bisa, Bu. Tapi sebelum dimulai dan saya membacakan isi kesepakatan, sebaiknya Sydney juga hadir di sini.”“Sebentar.” Jasmine lalu beranjak dari sana untuk kemudian memanggil anaknya di kamar.Selagi menunggu, Wisnu dan Reno saling mendekat dan berbicara dengan suara separuh berbisik mengenai kesepakatan mereka.Selang beberapa menit kemudian Jasmine kembali muncul beserta Sydney serta perawat pribadi. Sementara yang lain duduk di sofa, Sydney duduk sendiri di ku
Sudah berbatang-batang rokok Rain isap. Puntungnya juga hampir menggunung memenuhi asbak. Sementara Wisnu sedang berbicara dengan Kanayya di dalam rumah.Rain menggeleng-gelengkan kepalanya nyaris putus asa kala menyadari saat ini sedang berhadapan dengan siapa. Mau tidak mau Rain mulai menyadari kebenaran perkataan Wisnu bahwa untuk menghadapi orang seperti Jacob dibutuhkan intrik yang cerdik.‘Tuhan… bantuin gue dong…’ Ia berteriak di dalam hati. Di saat itu Rain baru menyadari bahwa mungkin seseorang bisa membantunya. Ale. Jika selama ini sahabatnya itu selalu ada untuknya maka kali ini pasti Ale bisa menolong.”Nyet, bantuin gue,” ucap Rain ketika panggilan terhubung dengan Ale melalui saluran telepon.“Gue harus bantu apa? Kalau gue bisa pasti akan gue lakuin.” Ale menjawab dari seberang sana.“Gue udah bikin perjanjian sama bokapnya Sydney, tapi masa iya sih semua poinnya merugikan gue.” Rain kemudian menceritakan secara detail apa saja isi kesepakatan itu termasuk menyebutkan
“Gimana, Mas Rain? Apa sudah cukup jelas? Apa masih ada yang ingin ditanyakan?” tanya Reno, pengacara keluarga Jacob setelah sekian menit Rain masih termangu.“Saya nggak bisa tandatangani surat ini sekarang, Pak.” Rain menjawab sembari memandang lurus ke arah sang kuasa hukum.Seluruh keluarga Sydney terkejut mendengar penolakan Rain.“Kenapa? Apa ada yang kurang jelas? Saya bisa terangkan kalau Mas Rain masih kurang mengerti.”“Saya mengerti apa maksud dan tujuannya. Tapi saya nggak setuju pada beberapa poin di dalam surat perjanjian ini.” Rain menyatakan keberatan.“Bagian mana yang Mas Rain tidak setuju? Mungkin kita bisa bicarakan sama-sama.” Reno terus berusaha membujuk Rain. Sebagai kuasa hukum tentunya pria itu piawai bersilat lidah dan andal bernegosiasi.”Hampir semua bagian saya tidak setuju, terutama poin nomor dua, lima dan enam. Untuk apa konferensi pers? Apa kalian ingin membuat saya malu? Kalian ingin orang-orang jadi tahu, begitu tujuan kalian?”“Mas Rain, tolong jang
Jasmine sontak memandang pada Rain dengan tatapan curiga. Untuk apa laki-laki itu hanya meminta berdua saja dengan anaknya di dalam ruangan? Jangan-jangan Rain akan mencelakakan Sydney. Pikiran buruk perempuan itu semakin liar berputar di kepalanya."Kenapa kami harus keluar? Kamu mau apa?" Jasmine memandang miring pada Rain."Saya mau bicara dengan anak Tante.""Tapi kenapa harus berdua? Memangnya apa yang mau dibicarakan?""Tentang solusi masalah ini. Apa Tante nggak ngerti juga? Nanti kalau saya sudah selesai bicara dengan Sydney, Tante dan semuanya boleh masuk. Tapi sekarang tolong kasih saya waktu untuk bicara berdua." Suara tegas Rain kembali membahana.Kemudian Jasmine memandang pada suaminya meminta pertimbangan. Lelaki itu mengerti dan lekas angkat suara. "Kalau kamu memang mau membicarakan solusinya kenapa hanya berdua? Kenapa kami tidak boleh berada di sini?""Om tenang saja, saya hanya minta waktu sebentar. Saya nggak akan mencelakai Sydney kalau memang hal itu yang ada d
Sukar dijabarkan dengan kata-kata bagaimana terkejutnya Kanayya setelah mendengarkan penuturan Jacob padanya. Pikirannya masih sibuk mencerna beberapa menit setelah panggilan dari laki-laki itu berakhir. Hingga kemudian ia tersadar lantas bergerak keluar dari kamarnya.“Rain, ini Bunda!” Kanayya berseru seraya memanggil nama sang putra. Ia merasakan getaran dari suaranya sendiri.Selang beberapa detik setelahnya daun pintu pun terbuka bersama dengan sosok Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya.”Iya, Nda?””Rain mana, Dy?” kejar Kanayya cepat.”Lagi pasang baju, baru siap mandi.”“Kalau sudah selesai langsung temui Bunda.”“Baik, Nda.”Kanayya meninggalkan kamar anaknya sedangkan Lady menutup pintu dan menghampiri Rain yang sedang berpakaian.“Rain, tadi Bunda yang manggil, kalau udah selesai langsung temui.” Lady memberitahu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Kanayya tadi.“Bunda mau ngomong apa, Lad?”“Aku juga nggak tahu, tapi dari yang aku lihat di mukanya Bunda kayak yan
Dentingan notifikasi handphone Rain menginterupsi Rain dan Lady yang sedang bermesraan. Mereka baru saja tiba di rumah sekitar beberapa menit yang lalu dan menghabiskan waktu di kamar.“Siapa lagi sih?” gumam Rain kesal.Lady membantu Rain menjangkau ponsel dan memberikan pada sang suami.Mendapati pesan dari Sydney, Rain berdecih jengkel. “Mau apa lagi sih dia?”Rain kemudian menekuri ponselnya selama beberapa saat. Membaca pesan yang dikirimkan Sydney padanya. Sempat terdiam namun kemudian tertawa ringan. “Ada-ada aja,” gumamnya pelan.“Ada apa, Rain? Siapa yang chat?” tanya Lady di sebelahnya. Rain memberikan gawainya pada Lady agar sang istri bisa membacanya sendiri.Menerima ponsel yang disodorkan Rain, Lady terdiam cukup lama. Sebagai sesama wanita hatinya jelas tergugah. Ia sangat mengerti apa yang dirasakan Sydney. Kasihan, pikirnya.Apa yang Lady pikirkan lantas ia sampaikan pada sang suami. “Rain, kasihan dia.”“Lad, itu hanya modus, aku harap kamu jangan sampai luluh. Dia