Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.
“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini. “Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya. “Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya. “Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.” “Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--” “Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima nggak?” “Job apaan?” “Iklan.” “Iklan apa?” ”Iklan sabun pengilat sepeda motor.” ”Apa? Yang bener aja lo, Le. Masa gue dikasih iklan sabun. Gue nggak mau,” tolak Rain mentah-mentah. “Hei, Man, biar kata cuma sabun tapi ini cuannya gede. Ayolah Rain, terima aja,” bujuk Ale dari seberang sana. “Lo kayak yang baru kenal gue kemarin sore. Gue nggak peduli cuannya gede atau cuma seiprit. Gue mau iklan yang prestise.” “Rain, tapi kan--” “Nope, gue nggak mau. Gue ke sana sekarang,” tukas Rain mengakhiri panggilan. Sebagai seorang idol, Rain paling tahu cara membuat kualitasnya tetap terjaga. Ia tidak akan mau membintangi iklan komersial sembarangan. Bagi Rain, prestise lebih berharga daripada uang. Rain sudah menentukan kelasnya sendiri. *** ”Rain, akhirnya lo dateng juga,” sambut Ale saat Rain tiba di camp. “Apa lagi, Le? Gue nggak mau iklan sabun,” sahut Rain mengira Ale akan membicarakan masalah itu lagi. ”Lo suudzon banget ya sama gue, kan gue cuma nyapa lo doang.” Rain menjatuhkan diri di sofa dan merentangkan kedua kaki ke atas meja. Ia mulai menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. “Schedule gue apa aja?” “Bulan ini kosong. Kompetisi kan baru mulai bulan depan. Kalau lo mau, banyak iklan yang antri, lo tinggal pilih mau yang mana.” “Coba lo sebutin apa aja.” ”Ada iklan rokok, tapi ini gue skip, nggak bagus buat image lo. Terus ada iklan bank, baju-baju cowok, snack, sama helm SNI. Terus, ada iklan parfum juga.” “Kalau iklan parfum gimana? Ini bukan yang kaleng-kaleng kan?” Rain tampat tertarik. ”Bukanlah. Yang ini limited edition, tapi gue nggak yakin lo bakal terima.” ”Kenapa?” Rain mengembuskan asap rokok ke udara. ”Scene-nya di ranjang sama cewek cuma ditutupin selimut doang. Lo dan dia harus naked. Gimana?” Ale menatap Rain ragu-ragu. “Hmm…naked ya? Nggak deh. Nyokap gue bisa hipertensi kalau sampai tahu.” Ale mencibir. “Gimana kalau nyokap lo tahu kalau lo dan Sydney living together?” Rain mengibaskan tangan. Membuang jauh-jauh pikiran buruk dari kepalanya. Selama ini yang bundanya tahu adalah bahwa ia dan Sydney memang berpacaran, tapi tidak tahu sama sekali seperti apa persisnya gaya pacaran mereka. ‘Pokoknya Bunda nggak boleh tahu seperti apa gaya hidup aku sebenarnya,’ batin Rain. Selama ini ia cukup beruntung karena Kanayya selalu percaya padanya. Setiap kali Kanayya datang ke apartemennya kebetulan tidak ada Sydney di sana. Rain kemudian mengembuskan napas berat yang membuat Ale jadi bertanya. “Kenapa lagi? Ada masalah?” ”Lo percaya nggak kalau zaman sekarang masih ada yang namanya perjodohan?” ”Percaya aja sih, malah makin marak kalau menurut gue. Lo dijodohin?” “Hmmm.” ”Serius?” Ale menatap Rain lebih lekat. ”Iya. Gue nggak ngerti sama Bunda, bisa-bisanya menjodohkan gue sama cleaning service? Dipikir gue OB apa!” “Apa?” Ale yang terkejut kemudian tertawa. ”Jangan ngakak lo, nyet. Ini gue lagi curhat.” ”Oke, oke, gimana ceritanya?” Lelaki dengan nama lengkap Alexander Lee itu menyimpan tawa dalam-dalam. “Jadi di rumah sakit tempat kerja Bunda tuh ada cewek yang kerja jadi cleaning service. Bunda bilang dia baik banget, beda sama cewek-cewek di sekitar gue yang katanya cuma manfaatin gue doang.” ”Terus lo mau?” Rain menggeleng kuat-kuat. Sampai kapan pun dia tidak akan rela berjodoh sama perempuan itu. “Ya udah, lo tinggal bilang ke nyokap, clear kan?” “Nggak segampang itu, Le.” “Nggak gampang gimana?” “Gue nggak mau bikin Bunda sedih dan kecewa. Dari zaman gue masih dalam kandungan gue cuma punya Bunda. Bahkan Bunda rela nggak nikah lagi demi membesarkan gue. Padahal gue nggak masalah andai pun Bunda mau nikah lagi. Dari dulu tuh banyak banget yang pengen ngelamar Bunda, tapi ditolak semua. Jadi bisa lo bayangin kan gimana sayangnya gue ke Bunda? Gue nggak mau bikin Bunda kecewa. Gue cuma mau Bunda bahagia. Cuma itu.” ”I see…” Ale merasa ikut prihatin. “Tapi tuh cewek penampakannya gimana?” “Lo inget nggak pelayan yang anter minuman waktu kita lagi di Romantic?” ”Hmmm… yang 36B?” ”Yup.” “Jadi dia?” Ale terkejut. “Kok bisa?” Lalu meluncurlah cerita panjang dari bibir Rain mengenai sepenggal kisah Lady dan kehidupannya. Tapi tidak ada solusi apa-apa yang bisa diberikan sang manajer karena semuanya tergantung pada Rain. *** Sudah beberapa hari ini yang dilakukan Rain hanya tidur-tiduran. Selain jadwalnya kosong, Sydney juga lagi liburan dengan keluarganya ke luar negeri. Rain terkejut ketika siang itu bundanya datang. Tidak hanya sendiri, tapi berdua dengan perempuan menyebalkan itu lagi. Rain langsung menunjukkan muka tidak suka saat melihat Lady. “Astaga, Rain, ini kamar atau kandang kambing?” Kanayya geleng-geleng kepala melihat kamar Rain yang berantakan. Rain menyeringai sambil garuk-garuk kepala. ”Maklum, Nda, namanya juga bujangan,” ia beralasan. ”Biar saya yang bersihin, Dok.” Dengan inisiatif sendiri, Lady langsung mengambil sapu dan mulai membersihkan ruangan itu. ”Nggak usah, Dy, kamu bukan pembantu di sini,” larang Kanayya. Lady tidak peduli dan tersenyum singkat. “Nggak apa-apa, Dok.” Ia melanjutkan kegiatannya. ’Susah emang kalau jiwa babu, nggak bisa ngeliat berantakan dikit langsung ngerasa terpanggil,’ cibir Rain di dalam hati. “Rain, Bunda mau ajak kamu nyekar ke makam Ayah. Kamu bisa ikut?” ujar Kanayya. ”Sekarang, Bund?” Kanayya menganggukkan kepala. Puluhan tahun berlalu. Tapi ia masih rutin mengunjungi pusara mendiang suaminya. Cintanya memang tidak pernah mati pada laki-laki itu meskipun sang pemilik jiwa sudah lama berpulang. “Aku ikut kalau gitu, kebetulan aku nggak lagi ngapa-ngapain.” “Kita tunggu Lady dulu kalau begitu.” Rain melirik pada Lady yang masih sibuk bersih-bersih. “Dia ikut juga?” tanyanya kurang senang. ”Iya.” “Tapi untuk apa, Nda?” “Apa salahnya, Rain? Suatu saat Lady kan bakal jadi istri kamu.” Istri? Perempuan itu? Hiii… Rain bergidik jijik. Meninggalkan Kanayya sendiri, Rain berjalan ke belakang. Dilihatnya Lady sedang memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang. Perempuan itu menoleh padanya saat mendapati sebuah bra. ”Ini punya anda?” ”Gila lo ya! Lo pikir gue cowok setengah mateng pake bra segala,” desis Rain separuh berbisik sambil merebut pakaian dalam tersebut dari tangan Lady. Jangan sampai Kanayya melihatnya. “Jadi punya siapa?” Lady keheranan. “Bukan urusan lo. Paham?” Rain bergegas pergi ke kamar mandi membawa bra tersebut. Lady tinggal sendiri. Ia masih sangat marah pada Rain atas kejadian malam itu. Tapi sungkan menunjukkannya pada Kanayya. Kalau saja tadi Kanayya tidak mengajaknya ke sini, ia tidak akan mau. ***Bab panjang panjang ya, Kak. 15 bab. Happy reading ♡***Ryan menggenggam tangan Qey dan meletakkan di atas pahanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi berada di setir. Setelah dari apartemen Ryan tadi keduanya saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Natassa.Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Ryan. Hari yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Nanti setelah sampai di rumah ibunya Ryan akan langsung menyampaikan niatnya untuk menikahi Qey.Sedangkan Qey yang duduk di samping Ryan tak bersuara sejak tadi. Ia masih sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi beserta hal besar yang sudah diputuskannya.Qey menerima lamaran Ryan untuk menjadi istri laki-laki itu.Dalam temaram cahaya di mobil, Qey menurunkan pandangan pada tangan kirinya, yang berakhir tepat di bagian jari manisnya. Cincin dari Ryan kini tersemat indah di sana. Sebagai tanda ikatan awal dirinya dan laki-laki itu sebelum mereka disatukan dalam hubungan yang benar-benar sakral."Suka cincinnya, Yang?"Tegu
“Saya pengennya pesta pernikahan nanti nggak cuma biasa-biasa saja. Tapi unik, mewah, elegan dan berkesan, yang nggak akan pernah dilupakan oleh siapa pun, terutama oleh tamu-tamu yang datang.” Perempuan itu menerangkan konsep pernikahan impian sesuai keinginannya dengan sangat menggebu-gebu. Matanya turut berbinar seakan sedang membayangkan apa yang ada di kepalanya.“Baik, saya setuju dengan ide Mbak. Kita punya beberapa paket, di antaranya adalah paket ballroom wedding, rooftop wedding, garden party, dan juga beach party.”“Kalau menurut Mbak sendiri bagusnya yang mana ya?”“Mama!!!”Qeyzia refleks memalingkan muka dan memandang ke sumber suara. Senyumnya merekah seketika kala melihat putra kesayangannya berlari kecil ke arahnya diikuti sang pengasuh dari belakang.“Sebentar ya, Mbak, silakan Mbak lihat-lihat katalognya dulu.” Qeyzia lantas bangkit dari duduknya dan meninggalkan si klien.Klien? Iya klien.Dua tahun berlalu sejak kematian Maxwell. Pelan tapi pasti Qeyzia mulai bang
Jika biasanya setiap berhadapan dengan masalah maka Ryan akan melarikannya pada alkohol, maka kali ini tidak. Laki-laki itu pulang ke apartemennya setelah dari rumah ibunya tadi. Ia sadar bahaya tengah menanti di depannya. Sebentar saja ia lalai maka akan terjebak dalam bahaya itu. Ryan tidak ingin ada kejadian one night stand lagi.Kucing anggora miliknya mengeong waktu Ryan membuka pintu apartemen. Catty seakan tahu bahwa tuannya yang datang.Kucing itu langsung meloncat ke dalam pangkuannya saat Ryan baru saja mendudukkan diri di sofa. Ryan mengelus bulu-bulunya yang halus. Catty pun memejamkan matanya.Ryan juga memejam. Sembari tangannya mengelus Catty, ia mulai memikirkan cara agar Natassa mau menerima Qeyzia.Atau sebaiknya kawin lari saja?Hal itu yang akan dilakukannya jika ia dan Qeyzia saling mencintai. Yang terjadi, bukan saja restu orang tua yang menjadi penghalang, namun juga Ryan tahu bagaimana perasaan Qeyzia padanya. Perempuan itu masih sangat mencintai suaminya dan
Natassa menegakkan duduk. Disisipkannya sejumput rambut ke belakang telinga. Seakan dengan demikian ia bisa menangkap dengan lebih jelas maksud perkataan anaknya.“Gimana, Yan?” ucapnya minta diulangi.Ryan tidak tahu apa ibunya benar-benar tidak menangkap maksudnya tadi atau hanya ingin mendengar dengan lebih jelas.“Jadi begini, Ma, aku mau menikahi Qeyzia. Aku mencintai Qey dari dulu, Ma. Aku ingin menjadi suaminya dan dia menjadi istriku.”Natassa langsung menggelengkan kepalanya yang membuat Ryan terkesiap. “No! Mama nggak setuju.””Nggak setuju kenapa, Ma?” tanya Ryan kecewa.“Yan, jelas aja Mama nggak setuju. Kamu kan tahu sendiri kalau Qeyzia janda, udah gitu punya anak pula. Sedangkan kamu masih single, belum pernah menikah apalagi punya anak.” Natassa menuturkan alasannya dengan menggebu-gebu.“Status buat aku bukan masalah, Ma. Walaupun Qeyzia janda dan punya anak tetap nggak akan ngerubah perasaanku ke dia.”“Itu buat kamu, Yan, bukan buat Mama. Bagi Mama tetap itu masalah
Ryan masih duduk di kursi di sisi ranjang rumah sakit. Dari tadi tidak sedetik pun laki-laki itu melepaskan pandangannya dari Qey yang tidur di hadapannya.Ryan tidak ingin melewatkan momen saat Qey membuka mata dan dirinya adalah orang pertama yang dilihat perempuan itu. Namun getaran yang terasa di pahanya membuat Ryan harus beranjak. Ibunya yang menelepon.Ryan keluar dari ruang rawat Qey menuju balkon. Kamar tempat Qey dirawat sekarang terpisah dari ruang lainnya dan memiliki balkon sendiri. ”Halo, Ma,” sapa Ryan setelah menempelkan ponsel ke telinga.“Yan, kamu nggak jadi ke rumah?” tanya Natassa di seberang sana.Ryan terdiam sesaat. Ia memang sudah berjanji akan berkunjung ke rumah Natassa. Seperti biasa minimal satu kali dalam satu minggu ia akan datang ke sana.“Ryan, kamu dengar suara Mama?”“Iya, Ma. Maaf aku nggak jadi ke sana.””Kenapa? Kamu masih di kantor? Sudah berapa kali Mama katakan, jangan terlalu diforsir. Bekerja secukupnya, sesuai tenagamu aja, Yan.””Bukan itu
Qey semakin terdesak ke belakang ketika Fanny berdiri semakin dekat dan memepetnya. Perempuan itu terlihat sangat mengerikan. Matanya berkilat penuh emosi dan terlihat seperti iblis. Bahkan Diah belum pernah melihat Fanny semurka ini sebelumnya.Qey merintih pelan menahan sakit di kedua bagian pipinya. Qey tidak ada niat menyebut nama Maxwell, namun rasa cintanya yang terlalu besar pada laki-laki itu membuatnya hanya mampu menasbihkan nama Maxwell. Tidak ada yang lain yang bisa diingatnya saat itu selain Maxwell, termasuk Ryan sekalipun. Meski ia tahu Maxwell tidak akan mungkin datang padanya.Qey baru akan mendorong Fanny agar menyingkir dari hadapannya, namun perempuan itu lebih dulu menjambak rambutnya.“Duh, sakit …. Lepasin! Lepasin gue, Fan!” Qey memohon di sela-sela rintihan. Tidak hanya menjambak rambutnya, namun sebelah tangan Fanny juga memelintir tangan Qey dengan keras yang membuatnya kembali memanggil nama Maxwell. “Max …. Maxwelll …, tolong aku, Max ….”“Bener-bener lo y