Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.
“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini. “Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya. “Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya. “Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.” “Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--” “Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima nggak?” “Job apaan?” “Iklan.” “Iklan apa?” ”Iklan sabun pengilat sepeda motor.” ”Apa? Yang bener aja lo, Le. Masa gue dikasih iklan sabun. Gue nggak mau,” tolak Rain mentah-mentah. “Hei, Man, biar kata cuma sabun tapi ini cuannya gede. Ayolah Rain, terima aja,” bujuk Ale dari seberang sana. “Lo kayak yang baru kenal gue kemarin sore. Gue nggak peduli cuannya gede atau cuma seiprit. Gue mau iklan yang prestise.” “Rain, tapi kan--” “Nope, gue nggak mau. Gue ke sana sekarang,” tukas Rain mengakhiri panggilan. Sebagai seorang idol, Rain paling tahu cara membuat kualitasnya tetap terjaga. Ia tidak akan mau membintangi iklan komersial sembarangan. Bagi Rain, prestise lebih berharga daripada uang. Rain sudah menentukan kelasnya sendiri. *** ”Rain, akhirnya lo dateng juga,” sambut Ale saat Rain tiba di camp. “Apa lagi, Le? Gue nggak mau iklan sabun,” sahut Rain mengira Ale akan membicarakan masalah itu lagi. ”Lo suudzon banget ya sama gue, kan gue cuma nyapa lo doang.” Rain menjatuhkan diri di sofa dan merentangkan kedua kaki ke atas meja. Ia mulai menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. “Schedule gue apa aja?” “Bulan ini kosong. Kompetisi kan baru mulai bulan depan. Kalau lo mau, banyak iklan yang antri, lo tinggal pilih mau yang mana.” “Coba lo sebutin apa aja.” ”Ada iklan rokok, tapi ini gue skip, nggak bagus buat image lo. Terus ada iklan bank, baju-baju cowok, snack, sama helm SNI. Terus, ada iklan parfum juga.” “Kalau iklan parfum gimana? Ini bukan yang kaleng-kaleng kan?” Rain tampat tertarik. ”Bukanlah. Yang ini limited edition, tapi gue nggak yakin lo bakal terima.” ”Kenapa?” Rain mengembuskan asap rokok ke udara. ”Scene-nya di ranjang sama cewek cuma ditutupin selimut doang. Lo dan dia harus naked. Gimana?” Ale menatap Rain ragu-ragu. “Hmm…naked ya? Nggak deh. Nyokap gue bisa hipertensi kalau sampai tahu.” Ale mencibir. “Gimana kalau nyokap lo tahu kalau lo dan Sydney living together?” Rain mengibaskan tangan. Membuang jauh-jauh pikiran buruk dari kepalanya. Selama ini yang bundanya tahu adalah bahwa ia dan Sydney memang berpacaran, tapi tidak tahu sama sekali seperti apa persisnya gaya pacaran mereka. ‘Pokoknya Bunda nggak boleh tahu seperti apa gaya hidup aku sebenarnya,’ batin Rain. Selama ini ia cukup beruntung karena Kanayya selalu percaya padanya. Setiap kali Kanayya datang ke apartemennya kebetulan tidak ada Sydney di sana. Rain kemudian mengembuskan napas berat yang membuat Ale jadi bertanya. “Kenapa lagi? Ada masalah?” ”Lo percaya nggak kalau zaman sekarang masih ada yang namanya perjodohan?” ”Percaya aja sih, malah makin marak kalau menurut gue. Lo dijodohin?” “Hmmm.” ”Serius?” Ale menatap Rain lebih lekat. ”Iya. Gue nggak ngerti sama Bunda, bisa-bisanya menjodohkan gue sama cleaning service? Dipikir gue OB apa!” “Apa?” Ale yang terkejut kemudian tertawa. ”Jangan ngakak lo, nyet. Ini gue lagi curhat.” ”Oke, oke, gimana ceritanya?” Lelaki dengan nama lengkap Alexander Lee itu menyimpan tawa dalam-dalam. “Jadi di rumah sakit tempat kerja Bunda tuh ada cewek yang kerja jadi cleaning service. Bunda bilang dia baik banget, beda sama cewek-cewek di sekitar gue yang katanya cuma manfaatin gue doang.” ”Terus lo mau?” Rain menggeleng kuat-kuat. Sampai kapan pun dia tidak akan rela berjodoh sama perempuan itu. “Ya udah, lo tinggal bilang ke nyokap, clear kan?” “Nggak segampang itu, Le.” “Nggak gampang gimana?” “Gue nggak mau bikin Bunda sedih dan kecewa. Dari zaman gue masih dalam kandungan gue cuma punya Bunda. Bahkan Bunda rela nggak nikah lagi demi membesarkan gue. Padahal gue nggak masalah andai pun Bunda mau nikah lagi. Dari dulu tuh banyak banget yang pengen ngelamar Bunda, tapi ditolak semua. Jadi bisa lo bayangin kan gimana sayangnya gue ke Bunda? Gue nggak mau bikin Bunda kecewa. Gue cuma mau Bunda bahagia. Cuma itu.” ”I see…” Ale merasa ikut prihatin. “Tapi tuh cewek penampakannya gimana?” “Lo inget nggak pelayan yang anter minuman waktu kita lagi di Romantic?” ”Hmmm… yang 36B?” ”Yup.” “Jadi dia?” Ale terkejut. “Kok bisa?” Lalu meluncurlah cerita panjang dari bibir Rain mengenai sepenggal kisah Lady dan kehidupannya. Tapi tidak ada solusi apa-apa yang bisa diberikan sang manajer karena semuanya tergantung pada Rain. *** Sudah beberapa hari ini yang dilakukan Rain hanya tidur-tiduran. Selain jadwalnya kosong, Sydney juga lagi liburan dengan keluarganya ke luar negeri. Rain terkejut ketika siang itu bundanya datang. Tidak hanya sendiri, tapi berdua dengan perempuan menyebalkan itu lagi. Rain langsung menunjukkan muka tidak suka saat melihat Lady. “Astaga, Rain, ini kamar atau kandang kambing?” Kanayya geleng-geleng kepala melihat kamar Rain yang berantakan. Rain menyeringai sambil garuk-garuk kepala. ”Maklum, Nda, namanya juga bujangan,” ia beralasan. ”Biar saya yang bersihin, Dok.” Dengan inisiatif sendiri, Lady langsung mengambil sapu dan mulai membersihkan ruangan itu. ”Nggak usah, Dy, kamu bukan pembantu di sini,” larang Kanayya. Lady tidak peduli dan tersenyum singkat. “Nggak apa-apa, Dok.” Ia melanjutkan kegiatannya. ’Susah emang kalau jiwa babu, nggak bisa ngeliat berantakan dikit langsung ngerasa terpanggil,’ cibir Rain di dalam hati. “Rain, Bunda mau ajak kamu nyekar ke makam Ayah. Kamu bisa ikut?” ujar Kanayya. ”Sekarang, Bund?” Kanayya menganggukkan kepala. Puluhan tahun berlalu. Tapi ia masih rutin mengunjungi pusara mendiang suaminya. Cintanya memang tidak pernah mati pada laki-laki itu meskipun sang pemilik jiwa sudah lama berpulang. “Aku ikut kalau gitu, kebetulan aku nggak lagi ngapa-ngapain.” “Kita tunggu Lady dulu kalau begitu.” Rain melirik pada Lady yang masih sibuk bersih-bersih. “Dia ikut juga?” tanyanya kurang senang. ”Iya.” “Tapi untuk apa, Nda?” “Apa salahnya, Rain? Suatu saat Lady kan bakal jadi istri kamu.” Istri? Perempuan itu? Hiii… Rain bergidik jijik. Meninggalkan Kanayya sendiri, Rain berjalan ke belakang. Dilihatnya Lady sedang memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang. Perempuan itu menoleh padanya saat mendapati sebuah bra. ”Ini punya anda?” ”Gila lo ya! Lo pikir gue cowok setengah mateng pake bra segala,” desis Rain separuh berbisik sambil merebut pakaian dalam tersebut dari tangan Lady. Jangan sampai Kanayya melihatnya. “Jadi punya siapa?” Lady keheranan. “Bukan urusan lo. Paham?” Rain bergegas pergi ke kamar mandi membawa bra tersebut. Lady tinggal sendiri. Ia masih sangat marah pada Rain atas kejadian malam itu. Tapi sungkan menunjukkannya pada Kanayya. Kalau saja tadi Kanayya tidak mengajaknya ke sini, ia tidak akan mau. ***Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
“Rain, akhirnya kamu datang juga. Tadi Bunda kamu bilang ke Tante kalau nggak bisa datang. Jadinya kamu yang mewakili.”“Iya, Tante, Bunda yang minta aku datang ke sini,” jawab Rain pada Tiwi, teman sang bunda. Keduanya kemudian saling mendekap hangat.Tiwi kemudian mengamati perempuan yang berdiri di sebelah Rain. “Ini pacar baru kamu, Rain?”“Bukan, Tante, ini temenku.”“Temennya cantik banget,” komentar Tiwi saat melihat Lady yang berdiri kaku di sebelah Rain. Lady tersenyum tipis merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Masa sih dirinya secantik itu? Ia merasa biasa-biasa saja. Dan selama ini belum pernah ada yang menyanjungnya dengan berlebihan.“Pembalap kita akhirnya datang juga. Tumben nih, lagi nggak sibuk?” River datang ke tengah-tengah mereka.”Nggak, Om, jadwalku kebetulan lagi kosong, makanya bisa ke sini.” Rain beralasan.River kemudian menepuk pelan pundak Rain. “Om bangga sama kamu, Rain. Nggak nyangka di umur semuda ini tapi prestasi kamu udah nggak kehitung lagi.
Rain dan Lady pulang sebelum acara pesta berakhir. Nyaris di sepanjang acara Rain tidak memedulikan dan membiarkan Lady sendirian. Sementara ia sibuk dengan teman-teman yang ditemuinya di tempat itu."Biar aku naik taksi aja," putus Lady saat Rain berniat mengantarnya pulang."Nggak, gue anter lo sampe rumah." Rain menolak ide Lady. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu pulang sendirian malam-malam begini."Nggak usah kalau nggak ikhlas. Aku lebih baik naik taksi aja.""Lo tuh nggak tau terima kasih banget. Tinggal duduk diam apa salahnya? Masuk!" perintah Rain setelah membuka pintu mobil.Terpaksa Lady mengikuti kemauan laki-laki itu setelah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan cepat Rain beralih ke bangku pengemudi dan menyalakan mesin. Dalam diam, Lady mencuri pandang ke arah Rain. Lelaki itu gagah, juga terlihat angkuh di saat bersamaan. Hidungnya yang tinggi semakin menambah kesan arogan apalagi jika dilihat dari samping begini."Lo kenapa ngeliat gue kayak gitu?"
“Rain, kamu kan nggak lagi ngapa-ngapain. Jemput aku nanti siang di bandara. Aku sama Zee balik duluan. Mami sama Papi masih di Sydney.”Rain menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Sydney. Sudah seminggu ini Sydney dan keluarganya berlibur ke Sydney. Sesuai dengan namanya, perempuan itu memang lahir di Sydney saat dulu orang tuanya bermukim di sana."Oke, Han, nanti aku jemput kamu." Rain membalas pesan tersebut.Meletakkan ponsel, Rain cepat-cepat mandi. Selama tidak ada kegiatan, hidupnya memang tidak teratur. Tidak ada yang dilakukannya selain tidur-tiduran, ngerokok, minum dan main ponsel.***Wajah cemberut Sydney adalah hal pertama yang dilihat Rain ketika ia sampai di bandara."Kangen banget sama kamu, hidup aku sepi nggak ada kamu," bisik Rain di telinga Sydney ketika ia memeluk erat perempuan itu."Bohong," tuding Sydney mengurai pelukan Rain dari tubuhnya."Bohong gimana?" Kerutan kecil tercipta di dahi Rain.Sydney mengambil ponsel dari dalam tas dan menunjukkan
“Jawab aku, Rain, ini punya siapa?”Rain bangkit dari ranjang, berjalan ke arah sofa mendekati Sydney. “Oh itu. Kemarin aku nemenin Bunda ke butik, terus Bunda mampir ke sini." Rain memamerkan senyum maut yang biasanya selalu berhasil membuat Sydney luluh."Tumben banget Bunda kamu belanja baju. Udah gitu kamu juga mau nemenin." Sydney masih tak percaya pada alasan yang disampaikan Rain."Nggak ada yang aneh kok, Han. Kadang-kadang Bunda emang suka belanja baju. Karena aku lagi nggak ada kegiatan makanya Bunda minta aku buat nemenin. Udah ah, masa kayak gitu aja ngebahasnya sampe satu jam. Aku kangen nih. Ke sana yuk!" Rain mengedipkan sebelah mata menggoda Sydney seraya melirik ranjang."Aku juga mau ditemenin beli baju." Sydney merengek manja."Iya... nanti aku temenin tapi sekarang sayang-sayangan dulu dong, udah penuh nih," janji Rain sembari menarik pelan tangan Sydney menuju ranjang.Desahan halus mencuri keluar dari bibir Sydney kala Rain mengecup leher jenjangnya."Jangan kasi
Rain melangkah cepat mengejar Lady. Begitu satu langkah berada di belakang perempuan itu ia berhasil mencekal lengannya.Lady tersentak dan sontak menoleh ke belakang. "Sakit, lepasin tanganku!""Ikut gue sekarang!" Rain menyeret paksa Lady agar mengikutinya. Laki-laki itu membawa ke arah toilet. "Duh, sakit... lepasin!" Lady tidak bohong. Cekalan Rain di tangannya terlalu kuat dan membuatnya kesakitan.Rain tidak peduli. Ia menyandarkan perempuan itu di dinding lorong toilet. "Gue kan udah bilang jangan kerja di sini lagi, kenapa lo masih ngeyel?"Lady mengernyit. Tatapan mata Rain yang menusuk terasa begitu mengintimidasinya."Bukan urusanmu aku mau kerja di mana. Kok jadi kamu yang ngatur?" Lady menarik tangannya yang dicekal Rain sejak tadi."Jelas jadi urusan gue karena--""Karena apa?"Rain terdiam, kehilangan kata-kata untuk bicara."Pokoknya gue nggak mau lo kerja di sini lagi. Gue nggak suka."Lady tersenyum awkward menyaksikan lelaki di hadapannya. Tidak mengerti pada sik
'Rasanya kok aneh gini?' Lady berhenti menyesap ketika minuman tersebut terasa tidak bersahabat di lidahnya."Kenapa?" tanya Rain yang terlihat santai mengepulkan asap rokok."Aku nggak suka, nggak enak. Sudah ya, aku ke belakang dulu, nanti bos marah." Lady mengangkat tubuh dari kursi dan bersiap-siap untuk pergi, namun tangan Rain lebih sigap menahannya agar tetap berada di tempat itu."Di sini dulu temenin gue.""Sorry, aku nggak bisa.""Lima menit lagi nggak bisa juga?" tatap Rain tajam.Lady melihat jam di pergelangan tangannya dengan resah. "Nggak bisa.""Lo pulangnya jam berapa?""Tiga puluh menit lagi.""Ya sudah, sana! Gue tungguin." Rain mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir seekor anak ayam."Menunggu? Kamu mau menungguku?""Iya, lo budek apa?"Ekspresi wajah Lady seketika berubah mendengar kalimat Rain yang kasar. "Justru karena aku mendengar kata-kata kamu dengan jelas makanya aku tanya lagi."Rain menghela napas sedikit keras, kesal pada Lady yang menurutnya lemot
Dentingan notifikasi handphone Rain menginterupsi Rain dan Lady yang sedang bermesraan. Mereka baru saja tiba di rumah sekitar beberapa menit yang lalu dan menghabiskan waktu di kamar.“Siapa lagi sih?” gumam Rain kesal.Lady membantu Rain menjangkau ponsel dan memberikan pada sang suami.Mendapati pesan dari Sydney, Rain berdecih jengkel. “Mau apa lagi sih dia?”Rain kemudian menekuri ponselnya selama beberapa saat. Membaca pesan yang dikirimkan Sydney padanya. Sempat terdiam namun kemudian tertawa ringan. “Ada-ada aja,” gumamnya pelan.“Ada apa, Rain? Siapa yang chat?” tanya Lady di sebelahnya. Rain memberikan gawainya pada Lady agar sang istri bisa membacanya sendiri.Menerima ponsel yang disodorkan Rain, Lady terdiam cukup lama. Sebagai sesama wanita hatinya jelas tergugah. Ia sangat mengerti apa yang dirasakan Sydney. Kasihan, pikirnya.Apa yang Lady pikirkan lantas ia sampaikan pada sang suami. “Rain, kasihan dia.”“Lad, itu hanya modus, aku harap kamu jangan sampai luluh. Dia
“Kamu mau ke mana?” tanya Kanayya pagi itu pada Rain yang sudah rapi.“Mau ikut Lalad ke toko, Nda.”“Tumben?” “Sekali-sekali aku pikir nggak ada salahnya. Lagian aku juga nggak ada kegiatan di rumah.”Kanayya tidak bertanya lagi. Rain juga tidak mengatakan jika sesungguhnya ia akan bertemu dengan Sydney. Nanti saja. Rain pikir Kanayya tidak perlu tahu urusannya dengan perempuan itu.“Rain, kamu nggak mau ambil job iklan atau apa?” tanya Alana sebelum Rain dan Lady keluar meninggalkan rumah. “Kapan-kapan kali ya, Na, biar masalah ini kelar dulu.”“Bunda setuju. Nanti kamu nggak usah cari manajer baru, biar Lady yang manajerin kamu.” Kanayya menyarankan.Rain memandang pada Lady dan tersenyum lebar. "Boleh juga,” ucapnya. Lalu ia beralih pada Lady, meminta pendapat sang istri. “Kamu mau kan, Lad?”Lady kelihatan bingung. Perempuan itu menggigit bibirnya. “Caranya gimana? Aku nggak punya pengalaman sama sekali.”“Nggak perlu punya pengalaman apa-apa kok, Lad. Kerjaan kamu cuma arrange
“Rain, dibales,” beritahu Lady pada Rain yang sudah naik duluan ke ranjang sedangkan Lady baru saja memakai krim malamnya.“Dia bilang apa?” tanya Rain tanpa membuka mata.“Okay, Bae, besok aku ke sana. I love you.” Lady menyampaikan balasan chat dari Sydney yang baru saja ia baca di handphone Rain.Rain detik itu membuka mata. “Jangan main-main, Lad.” Rain sangka Lady sedang meledeknya dengan kata I love you yang diucapkan Sydney.“Main-main gimana? Nggak percaya nih baca sendiri.” Lady memberikan ponsel di tangannya pada Rain.Lady ternyata tidak bohong. Rain melihat sendiri di gawainya balasan dari Sydney sama persis dengan yang diucapkan Lady.Rain berdecih, lalu setelahnya mematikan ponsel dan meletakkan di nakas.”Nggak kamu bales?” tanya Lady yang kini ikut berbaring di samping Rain di kasur.”Nggak ada yang perlu dibales. Infonya sudah jelas.”“Nggak mau bilang I love you too?” Perempuan itu menggodanya.”Jangan nakal ya, Lad, atau nanti aku–”“Aku apa?” potong Lady kilat.Ra
Malam itu juga Rain meluncur ke apartemen Ale berdua dengan laki-laki itu. Ketika Ale bertanya untuk apa laptop lama tersebut dan apa yang akan mereka cari, Rain masih merahasiakannya. Membuat Ale penasaran setengah mati.“Ayolah, Rain, untuk apa laptop itu?” Ale yang menyetir terus mendesak agar Rain memberitahu.“Nanti lo juga bakal tahu sendiri.” Rain masih bersikukuh merahasiakannya.”Apa bedanya sih nanti sama sekarang?”“Ya bedalah, Nyet. Tapi lo yakin kan kalo laptop itu masih ada?” Sudah sejauh ini akan sia-sia kalau ternyata hasilnya zonk.”Ada kalo nggak dimakan kecoa,” ucap Ale asal.“Garing.”Dengan tidak sabar Rain menarik langkah cepat setelah mereka tiba di Heaven Residence. Gerak-gerik Rain membuat Ale benar-benar penasaran apa sebenarnya yang ingin dicari Rain di laptopnya."Kalo misal nggak ada, gimana?" Ale menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi."Jangan macem-macem lo ya!" ujar Rain cemas."Gue nggak macem-macem. Itu kan misalnya.""Pokoknya harus
Rumah besar itu semakin sepi karena semua penghuninya sibuk di kamar masing-masing.Kanayya tidak habis pikir pada ide gila yang disampaikan Jacob tadi siang. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkannya. Kanayya tidak bisa membayangkan apa tanggapan Jasmine jika mengetahui ide tidak waras suaminya.Kanayya menjangkau ponselnya ketika dentingan notifikasi terdengar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Kanayya membacanya pelan-pelan.“Gimana, dokter Kanayya? Apa tawaran saya tadi siang sudah dipikirkan?”-JacobOh, ternyata dia. Kanayya tidak tahu dari mana pria itu mendapatkan nomor ponselnya. Tapi tentu saja bukan hal yang sulit bagi orang semacam Jacob untuk mencari tahu nomor selulernya. Pria itu punya kaki tangan di mana-mana.“Maaf, Pak Jacob, saya tidak bisa.” Kanayya menolak tegas keinginan laki-laki itu.“Anda yakin? Apa Anda sudah pikirkan baik-baik? Saya tahu anda sangat menyayangi Rain dan menantu anda. Tentu anda tidak akan membuat mereka menderita kan?”“Iya,
Jacob tidak serta merta menjawab permintaan Rain. Pria itu tampak berpikir untuk sesaat. Menimbang-nimbang apa yang diinginkan oleh Rain. Bagaimana baik dan buruknya maupun dampak serta resikonya."Papi, aku pikir nggak ada salahnya Papi kasih Rain kesempatan. Masalahnya ini bukanlah segampang yang kita pikir." Zee yang sejak tadi diam saja membaca situasi kini menyampaikan pendapatnya."Mami nggak setuju, jangan terlalu mudah percaya, Pi, Mami khawatir dia akan kabur. Sedikit pun jangan kasih dia kesempatan untuk lolos, jangan kasih dia celah, kasihan anak kita, nanti Sydney yang akan jadi korbannya." Jasmine bersikeras mempertahankan pendapatnya dan terus memengaruhi suaminya."Rain orangnya nggak kayak gitu, Mi, Pi. Dia nggak akan kabur atau lari. Aku udah lama kenal Rain," ujar Zee lagi."Kenal bukan berarti kamu tahu semua tentang dia, Zee!" Jasmine menyergah dengan keras putri bungsunya."Bener, Mi, tapi Rain–""Sudah! Sudah! Mami nggak minta pendapat kamu. Mending kamu diam aja
Rain masih duduk di lantai dengan tubuh lemas. Di sisi kiri dan kanannya ada Lady dan Alana yang mendampingi. Ketiganya sama-sama membisu merenungi takdir hidup sendiri-sendiri.Rain yang baru saja menemukan cinta sejatinya harus diuji lagi dengan cobaan hidup bertubi-tubi. Pun dengan Lady. Ia baru saja akan berbahagia setelah bertahun-tahun hidup menderita. Sedangkan Alana lain lagi ceritanya. Ia mencintai laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada.Apa pun itu, masalah terbesar mereka saat ini adalah Sydney yang terbukti mengandung anak Rain."Rain, ikut Bunda ke ruangan." Tiba-tiba Kanayya melintas di depan mereka.Rain menengadah dan mendapati raut perempuan itu masih sama seperti tadi. Sedih dan kecewa.Rain cepat berdiri dan mendesak Kanayya dengan pertanyaan yang sama yang berulang-ulang ia cetuskan."Nda, itu semua nggak bener kan? Semua salah kan, Nda? Jujur sama aku, Om Jacob kasih uang berapa ratus juta untuk rumah sakit ini? Berapa miliar, Nda?""Hati-hati kalau
Keluarga Rain dan keluarga Sydney sudah tiba di rumah sakit sejak lima belas menit yang lalu. Mereka diminta menunggu untuk beberapa saat. Rain dan Lady duduk berdampingan dengan tangan saling menggenggam seakan sedang berbagi kekuatan satu sama lain. Alana yang semula ragu akhirnya memutuskan untuk ikut ke rumah sakit. Sedangkan keluarga Sydney menunggu di sudut lain.Sydney tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Rain. Tatapannya begitu mendamba. Meski Rain tidak sedetik pun ingin menoleh padanya tapi perempuan itu tak peduli. Rain boleh saja bersikap seperti itu sekarang. Rain boleh benci padanya. Yang diyakini perempuan itu Rain pasti akan kembali ke pelukannya cepat atau pun lambat. Ya.Kanayya menghilang dari sisi mereka untuk mengurus segala sesuatunya. Sedangkan Rain sudah semakin tidak sabar. Satu-satunya yang terlihat paling rileks di antara mereka adalah Sydney. Sekarang sang selebgram begitu asyik memeriksa notifikasi sosial media miliknya dan membalas satu demi satu
Setelah menanti beberapa hari yang benar-benar menguji kesabaran dan ketahanan jantung, maka saat itu pun tiba. Saat di mana mereka akan mengetahui hasil tes DNA yang dilakukan tempo hari. Semua diliputi perasaan harap-harap cemas dan mengencangkan doa di hati masing-masing. Semoga hasil tes DNA yang mereka terima nanti adalah hasil yang paling jujur. Hanya dalam hitungan jam maka mereka semua akan mengetahui bagaimana hasilnya. Tiga hari ini adalah hari terpanjang yang pernah mereka lalui. Selama tiga malam ini pula mereka kesulitan untuk memejamkan mata.”Nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia bukan anak aku!” Rain berteriak sekuat yang ia bisa. Ia memandang ketakutan pada Sydney yang berdiri di hadapannya sambil menggendong seorang bayi dan tak henti menyodorkan pada Rain. Perempuan itu menyeringai lebar dan tampak mengerikan.”Rain, ini anak kamu, gendong dia, Rain, ini darah daging kamu.”“Bukan! Dia bukan anakku! Pergi kalian!” Rain kembali berteriak ketakutan. Ia berlari sekencang