Terbangun pagi itu, Rain menemukan dirinya di sebuah ruang asing. Ia merasa belum pernah berada di sana sebelumnya. Rain juga tahu persis bahwa ini bukanlah kamar di apartemennya, apalagi kamar di rumah bundanya.
Sembari memegang kepalanya yang terasa berat, Rain mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sehingga ia berada di tempat itu. Begitu nyawanya terkumpul, Rain segera terduduk. ”Oh, shit! Gue ngapain semalam?” Pelan tapi pasti Rain berhasil mengumpulkan serpihan ingatannya. Sial. Ternyata tadi malam ia hampir saja meniduri seorang perempuan. Rain tidak ingat siapa perempuan itu karena blackout. Yang jelas bukan Sydney. Karena perempuan yang akan ditidurinya masih virgin. Rain batal menidurinya. Bagi Rain, ia tidak akan pernah meniduri perempuan yang masih perawan. Perempuan perawan adalah wanita yang akan dijadikannya istri suatu saat nanti. Bukan untuk teman tidur. Bobby. Nama itu adalah orang kedua yang melintas di benaknya. Di sela-sela ingatannya yang samar, Rain berhasil mengingat bahwa lelaki itu adalah orang terakhir bersamanya sebelum ia berada di kamar ini. Bangkit dari ranjang dan bermaksud untuk ke kamar mandi. Langkah kaki Rain tiba-tiba terhenti ketika mendapati sesuatu di lantai. “Kartu ATM?” Rain mendesis pelan. Rain membungkuk untuk memungutnya. Oh tidak. Ini bukan kartu ATM, melainkan Kartu Tanda Penduduk. "Lady Queenara." Rain mengernyit ketika membaca rangkaian kata yang tertera di sana. Nama tersebut mengingatkannya pada seseorang. Lady, perempuan yang akan dijodohkan dengannya. Perempuan yang tadi malam mengantar minuman ke hadapannya dan teman-teman satu gengnya. Kalau kartu pengenal tersebut ada di sini, apa mungkin perempuan tersebut adalah wanita yang hampir saja ditidurinya tadi malam? Jika iya, berarti Lady adalah perempuan baik-baik. Bukan seperti dugaannya. Mungkin Rain terlalu picik menilai. Namun menurutnya perempuan yang mampu memelihara keperawanannya adalah perempuan yang pandai menjaga diri dan kehormatan. Rain kembali terduduk di tepi ranjang. Tidak habis pikir kenapa semua ini bisa terjadi. Yang bisa memberi penjelasan adalah Bobby, dan juga perempuan itu. Lady. *** ”Lo, Rain, masuk yuk!” Bobby yang membuka pintu apartemennya agak terkejut saat melihat kedatangan Rain yang tiba-tiba. “Kenapa gue bisa ada di kamar hotel?” tanya Rain to the point begitu baru saja melangkahkan kakinya ke dalam. Bobby tertawa lebar. ”Jangan ketawa lo, Bob. Gue butuh penjelasan dari lo. Kalau gue nggak salah inget kemarin lo kan yang anter gue ke kamar itu?” ”Lo kok jadi ngegas gini? Calm down, Man! Minum dulu gih.” Bobby mengambil bir kalengan dari lemari pendingin, memberi pada Rain. “Gue ke sini nggak mau minum. Gue cuma mau minta lo buat jelasin semuanya.” Nada suara Rain meninggi. ”Hey, dude, lo kenapa jadi emosi begini? Tuh cewek nggak oke mainnya? Dia udah ngecewain lo?” ”Bukan itu masalahnya, tapi justru karena dia masih virgin.” “Wowww, seriously?” Bobby ikut terkejut. Rain mendengkus kesal. “Kenapa lo kasih dia ke gue?” “Kan semalem gue udah janji mau kasih lo gift, ya dia gift-nya.” “Gift my ass! Gue kan udah bilang sama lo kalau nggak bakal main sama cewek random kayak gitu. Gue kan udah punya Sydney.” “Sorry deh, sorry.” ”Ck!” *** Di sebuah rumah kontrakan sederhana. “Dy, hari ini kamu lagi off ya?” tanya Nia, teman serumah Lady karena tidak biasanya jam segini Lady masih tidur-tiduran. “Bukan off, tapi aku izin, kepalaku agak pusing,” jawab Lady yang masih meringkuk di bawah selimut. Nia yang awalnya bertanya sambil berdiri di depan pintu kamar Lady memajukan langkah mendekati gadis itu. ”Kamu sakit, Dy?” tanyanya sembari meraba kening Lady. “Nggak panas,” sambungnya setelah merasakan suhu badan Lady normal dan biasa saja. “Aku nggak demam, cuma sedikit pusing.” ”Kalau gitu aku beliin obat di warung depan ya? Kamu tunggu sebentar.” Lady termenung sendiri sepeninggal Nia. Kejadian yang dialaminya kemarin malam melekat dengan kuat di benaknya. Membuatnya trauma luar biasa. Ia hampir saja diperkosa oleh orang yang tak pernah ia sangka. Bahkan orang itu melakukan kekerasan padanya dengan mengikat kedua tangannya. Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan di pipi Lady. Ia teringat kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Andai saja mereka masih ada mungkin hidupnya tidak akan sengsara begini. Mungkin ia tidak akan bekerja serabutan demi tetap bisa bertahan hidup dan melanjutkan kuliah. Apalagi sampai bekerja di kelab malam yang begitu penuh risiko. Lady memang masih memiliki saudara. Namun mereka semua menjauh dan tidak ingin mengenalnya lagi. Mereka tidak ingin menanggung warisan utang yang ditinggalkan oleh orang tua Lady. *** Rain berusaha keras melupakan apa yang terjadi kemarin malam. Namun bayang-bayang Lady terus melintas di depan matanya. Rain tidak bisa mengabaikan begitu saja. Semestinya ia bersikap biasa-biasa saja. Toh, mereka gagal melakukannya. Nyatanya ada sekelumit rasa bersalah yang diam-diam menyelinap di hatinya. Merasa ingin tahu tentang keadaan Lady sesudah kejadian itu, setelah pulang dari apartemen Bobby, Rain langsung menuju rumah sakit. Banyak yang ingin ia ketahui dari bundanya mengenai Lady. Perempuan yang hampir ditidurinya malam itu. ”Lho, Rain, tumben ke sini?” Kanayya sedikit kaget saat Rain menemuinya di rumah sakit. ”Aku mau bicara sebentar sama Bunda, itu kalau Bunda lagi nggak sibuk,” ucap Rain serius. Kanayya sempat mengerutkan kening. Pasti ada hal penting yang ingin disampaikan Rain hingga mengejarnya ke rumah sakit. “Mau bicara apa, Rain?” ”Ini tentang cewek itu, Nda.” ”Cewek? Cewek mana?” ”Cewek yang mau Bunda jodohkan sama aku.” “Maksud kamu Lady?” “Iya, dia.” “Kenapa dengan Lady?” ”Sebenarnya siapa dia? Aku ingin tahu tentang dia yang sesungguhnya tanpa ada yang Bunda sembunyikan.” Kanayya membetulkan duduk sebelum menjawab pertanyaan Rain. Ia memandangi muka anaknya itu lekat-lekat. “Bunda kan sudah bilang sebelumnya kalau Lady kerja di sini sebagai cleaning service.” “Tapi kemarin malam aku ketemu dia di kelab malam. Dia kerja di sana. Aku nggak ngerti gimana mungkin dia bisa pura-pura polos dan baik di hadapan Bunda.” “Dia nggak pura-pura, Rain. Lady anaknya memang baik. Soal kerja di kelab malam, itu pekerjaan sampingan dia. Pekerjaan utamanya tetap di sini,” urai Kanayya memberitahu. Ia mengambil jeda sesaat untuk mengamati ekspresi Rain, kemudian meneruskan penjelasannya. “Lady itu tinggal sebatang kara setelah kedua orang tuanya meninggal. Dia harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, termasuk untuk membiayai kuliahnya. Dia juga menanggung banyak utang yang ditinggalkan orang tuanya.” Cukup lama Rain terdiam setelah mendengarkan penuturan Kanayya. Jadi cewek itu kuliah sambil kerja dan tidak punya orang tua lagi. Kasihan juga kalau begitu. “Memang keluarganya yang lain nggak ada, Nda?” “Ada, tapi udah nggak mau peduli. Jadi semua dia yang menanggung.” “Oh.” “Sekarang kamu mengerti kan? Itulah sebabnya Bunda ingin menjodohkan kamu dengan dia. Selain baik, dia nggak punya siapa-siapa lagi. Kasihan dia, Rain…” Rain tersenyum samar. Di dalam hatinya merasa kasihan juga. Tapi ia masih menolak mentah-mentah perjodohan itu. Namun lebih baik ia tidak memperlihatkannya pada Kanayya. “Hari ini dia nggak masuk, katanya lagi sakit.” “Sakit apa, Nda?” Suara Rain terdengar antusias. Bukan apa-apa. Jangan-jangan ada hubungannya dengan kejadian tadi malam. Sedikit yang melekat di ingatan Rain, ia mengikat kedua tangan Lady saat itu. ”Bunda kurang tahu. Dibesuk gih, kan calon jodoh,” goda Kanayya sambil tersenyum. ”Apa sih, Nda!” Rain mendelik. “Udah, kamu ke sana aja dulu, kasihan dia sendiri.” Kanayya menulis alamat rumah Lady di secarik kertas dan memberikan pada Rain. ‘Bodoh amat, dia mau sakit juga bukan urusan gue,’ cetus Rain di dalam hati. Namun anggota tubuhnya berkhianat. Rain menyetir mobilnya menuju rumah Lady. ***Orang bilang hari pernikahan adalah di mana sepasang pengantin akan menjadi raja dan ratu sehari. Itulah yang akan dirasakan Agha dan Brienna.Setelah melalui tahap demi tahap serta banyak ritual unik, akhirnya sehari lagi Agha dan Brienna resmi menjadi sepasang suami istri.Pernikahan Brienna dan Agha begitu kontras dengan resepsi pernikahan Qeyzia dan Ryan. Pernikahan Brienna diselenggarakan secara adat keluarga Agha yang masih begitu kental. Prosesi adat tersebut diawali dengan mangaririt boru atau menyelidiki apakah perempuan yang akan dipinang memiliki latar belakang yang baik. Tahapan ini juga dilakukan untuk memastikan kalau perempuan yang akan dipinang belum ada yang melamar. Orang tua Agha datang pada keluarga Brienna menyampaikan maksud untuk meminang. Akan tetapi, keluarga Brienna tidak seketika memberi jawaban, namun pada pertemuan selanjutnya.Setelahnya dilanjutkan dengan padamos hata, yaitu prosesi mengenalkan calon pengantin laki-laki langsung kepada keluarga calon p
“Tadi ngomongin apa aja sama Brie, Yang?” tegur Ryan pada Qey yang sejak tadi membisu di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada dalam perjalanan pulang ke apartemen setelah dari rumah orang tua Qeyzia tadi.Lamunan Qey dibuyarkan suara Ryan. Ia lalu menoleh pada suaminya itu. “Ngomong biasa, tentang pengalaman selama Kak Brie di Medan.””Brie kayaknya happy banget ya?”Qey tersenyum dan mengiakan. ‘Gimana nggak happy. Keluarga suaminya baik begitu,’ ucapnya di dalam hati. Namun yang tersampaikan dari mulutnya adalah, “Iya, happy banget. Aku nggak pernah ngeliat Kak Brie sehappy itu.”“Kalau kamunya gimana? Nggak ikutan bahagia?""Bahagia dong, masa enggak.""Kalau bahagia kenapa wajahnya biasa-biasa aja?""Harusnya gimana?""Senyum yang lebar kek.""Nih aku senyum." Qey mengembangkan bibirnya selebar mungkin. Meyakinkan ia juga bahagia atas kebahagiaan kakaknya. Qey menyembunyikan lara hatinya jauh-jauh. Ia tidak ingin Ryan tahu apa yang dirasakannya saat ini.Tapi bukan Ryan naman
Qey cepat keluar dari kamar mandi dengan gugup dan duduk di tepi ranjang. Apa yang baru saja dilihatnya membuat Qey benar-benar malu. Di saat bersamaan rasa bersalah terasa menghujamnya. Ini semua adalah akibat ulahnya. Seharusnya ia melaksanakan kewajibannya sebagai istri dan melayani Ryan dengan sebaik mungkin. Jadi pemandangan barusan tentu tidak akan pernah disaksikannya. Tak lama berselang Ryan keluar dari kamar mandi dengan wajah pias. Jujur saja ini bukanlah yang pertama. Namun ketika Qey menangkap basahnya ia tidak pernah semalu ini.Ryan turut duduk di sebelah Qeyzia. Ia mendapati kegugupan di wajah istrinya.Selama beberapa detik mereka hanya diam. Qey meremas ujung bajunya sedangkan Ryan tidak tahu harus berkata apa dan memulai semua dari mana.Ryan berdeham berkali-kali. Selain malu ia juga tidak pernah segugup ini. "Yang ...," panggilnya pelan, membuat istrinya itu menoleh padanya. "Maaf, aku–""Seharusnya aku yang minta maaf." Qey menyahut cepat. "Ini semua aku yang sal
“Ya ampun, kok jadinya malah kekirim sih? Bukannya kehapus.” Brie mengguman pelan ketika menyadari apa yang baru ia lakukan.Ck! Brie berdecak kesal menyesali sikapnya yang gegabah. Coba tadi kalau ia tidak asal pencet. Duh … gimana nih?Brie kemudian merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Untuk kesekian kalinya ia terkejut ketika terdengar notifikasi dari ponselnya.Lantas Brie melihat ke layar gawai. Pesannya tadi terkirim dan sekarang ia menerima balasannya.“Hey, Brie, senang sekali mengetahui kamu akan menikah. Tapi dengan sangat sedih aku ingin mengatakan padamu, Mommy sudah … meninggal. From Kyle.”Brie langsung terduduk. Tidak percaya pada apa yang baru saja dibacanya. Ibunya sudah meninggal? Sejak kapan? Lantas kenapa ia tidak tahu sama sekali mengenai hal tersebut?Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca Brie mengetikkan balasan untuk saudara tirinya itu.Brienna: Kapan Mommy meninggal? Kenapa tidak memberitahuku?Hanya dalam hitungan detik balasan pesan dari Kyle masuk ke
Bab panjang panjang ya, Kak. 15 bab. Happy reading ♡***Ryan menggenggam tangan Qey dan meletakkan di atas pahanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi berada di setir. Setelah dari apartemen Ryan tadi keduanya saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Natassa.Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Ryan. Hari yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Nanti setelah sampai di rumah ibunya Ryan akan langsung menyampaikan niatnya untuk menikahi Qey.Sedangkan Qey yang duduk di samping Ryan tak bersuara sejak tadi. Ia masih sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi beserta hal besar yang sudah diputuskannya.Qey menerima lamaran Ryan untuk menjadi istri laki-laki itu.Dalam temaram cahaya di mobil, Qey menurunkan pandangan pada tangan kirinya, yang berakhir tepat di bagian jari manisnya. Cincin dari Ryan kini tersemat indah di sana. Sebagai tanda ikatan awal dirinya dan laki-laki itu sebelum mereka disatukan dalam hubungan yang benar-benar sakral."Suka cincinnya, Yang?"Tegu
“Saya pengennya pesta pernikahan nanti nggak cuma biasa-biasa saja. Tapi unik, mewah, elegan dan berkesan, yang nggak akan pernah dilupakan oleh siapa pun, terutama oleh tamu-tamu yang datang.” Perempuan itu menerangkan konsep pernikahan impian sesuai keinginannya dengan sangat menggebu-gebu. Matanya turut berbinar seakan sedang membayangkan apa yang ada di kepalanya.“Baik, saya setuju dengan ide Mbak. Kita punya beberapa paket, di antaranya adalah paket ballroom wedding, rooftop wedding, garden party, dan juga beach party.”“Kalau menurut Mbak sendiri bagusnya yang mana ya?”“Mama!!!”Qeyzia refleks memalingkan muka dan memandang ke sumber suara. Senyumnya merekah seketika kala melihat putra kesayangannya berlari kecil ke arahnya diikuti sang pengasuh dari belakang.“Sebentar ya, Mbak, silakan Mbak lihat-lihat katalognya dulu.” Qeyzia lantas bangkit dari duduknya dan meninggalkan si klien.Klien? Iya klien.Dua tahun berlalu sejak kematian Maxwell. Pelan tapi pasti Qeyzia mulai bang