Share

Pura-Pura

last update Last Updated: 2025-03-27 17:55:58

Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.

Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.

Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan.

Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.

Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.

”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.

“Nda, udah, jangan nangis lagi.” Rain mengusap-usap punggung Kanayya menenangkan. “Malu sama orang, Nda,” sambungnya lagi saat Kanayya tidak kunjung berhenti. Orang yang dimaksudkan Rain adalah Lady.

“Dia memang sukses sekarang, tapi aku pikir, aku gagal mendidik dia.”

“Ya ampun, Nda.” Rain mulai geram sekaligus malu pada Lady.

“Aku takut, Nis. Aku takut dia jadi orang nggak bener. Orang-orang bilang dia playboy, beda banget sama kamu. Aku nggak ngerti kenapa nggak satu pun sifat kamu yang turun ke dia. Jadi aku putuskan buat menjodohkan dia. Aku yakin kamu pasti setuju sama pilihanku.”

‘Ini Bunda kok jadi ngedrama gini di depan tuh CS,’ batin Rain antara kesal dan malu. Selama ini tidak pernah sekalipun ibunya itu bersikap over acting di depan orang lain.

Sementara itu Lady termangu menyaksikan interaksi ibu dan anak di hadapannya. Ikatan mereka begitu kuat, sepertinya sih.

“Rain, kamu nggak mau bilang sesuatu buat Ayah?” tanya Kanayya memandang ke arah Rain dengan matanya yang basah.

Rain mengulurkan tangan, menyapukan jari di pipi Kanayya, mengeringkan air mata perempuan itu.

”Udah di dalam hati, aku udah doa juga buat Ayah.”

“Tapi Bunda pengen dengar kamu ngucapinnya langsung.”

“Apa yang harus aku ucapkan, Nda?”

”Berjanjilah kalau kamu sungguh-sungguh menerima perjodohan ini. Kamu dan Lady. Kamu akan menikahinya dan mencoba mencintai dia.”

‘Bunda lebay banget,’ kecam Rain di dalam hati.

“Rain…,” tegur Kanayya karena putranya itu hanya diam.

Melihat wajah penuh harap Kanayya, Rain menjadi tidak tega. Tapi permintaan perempuan yang masih terlihat cantik dan awet muda itu terlalu berat untuk ia wujudkan. Tapi…

Arrggghhhhh…Rain menjadi geram sendiri karena merasa tidak punya pilihan lain.

“Rain…,” tegur Kanayya sekali lagi.

Rain melepaskan napas berat. “Iya, Nda, demi Bunda dan Ayah aku bersedia dijodohkan dengan Lady. Aku akan menikahi dia, tapi nggak sekarang.”

“Iya, nggak sekarang. Bunda tahu kalau kalian butuh waktu untuk saling mengenal dulu.” Kanayya tersenyum lega.

Memindahkan matanya, Rain menatap lurus pada Lady yang hanya bisa diam sejak tadi. Sebuah tatapan yang dalam dan begitu menusuk. Lady bisa merasakan betapa Rain juga terpaksa melakukannya. Tapi ia juga tidak berdaya untuk menolak.

***

“Rain itu sebenarnya baik. Dia memang agak sombong, tapi hatinya baik kok. Saya yakin kalau sudah sama kamu dia bakal berubah,” kata Kanayya sembari mengarahkan kepala pada Lady yang duduk sendiri di jok belakang. Mereka baru saja pulang dari makam dan saat ini sedang berhenti karena tiba-tiba Rain ingin buang air kecil.

Lady tersenyum kecil. Tidak tahu cara menanggapinya.

“Tapi kamu nggak terpaksa kan saya jodohkan sama Rain?”

”Nggak, Dok.” Lady berdusta. Jelas saja dirinya terpaksa.

Keduanya lalu sama-sama terdiam ketika Rain kembali ke mobil.

"Lagi ngomongin apa, Nda?" Rain tahu pasti tadi kedua perempuan beda generasi itu membicarakan sesuatu dan tiba-tiba saja mengunci mulut saat ia datang.

"Ngomong biasa aja, bukan ngomongin kamu."

Rain menarik hand brake, melanjutkan perjalanan mereka, sedangkan Kanayya terlihat menerima telepon dan berbicara dengan seseorang.

"Duh, maaf banget ya, Mbak, kayaknya saya nggak bisa datang, udah terlanjur ada acara di tempat lain. Ya sudah kalau begitu, nanti biar anak saya saja yang mewakili."

Usai percakapan tersebut Kanayya menoleh ke arah Rain. "Dari temen Bunda. Kamu bisa kan mewakili Bunda?"

"Ke mana, Nda?"

"Acara nikahan anaknya Om River. Tadi tuh yang nelfon Tante Tiwi, istrinya."

"Duh, Nda, kenapa nggak suruh Tante Alana aja? Masa aku ke acara gituan?"

"Gituan gimana, Rain? Lagian Alana juga nggak bisa. Gini deh, nanti kamu pergi ditemenin sama Lady, gimana?"

Rain langsung menoleh ke spion tengah, mencuri pandang ke arah Lady yang duduk sendiri di belakang.

"Aku sendiri aja kalau gitu," tolak Rain mentah-mentah.

"Ditemenin Lady aja biar kamu nggak canggung," putus Kanayya tidak ingin dibantah.

"Nda, tapi-"

"Sssttt... Bunda nggak mau dengar alasan apa pun. Di depan belok kiri, kita ke butik langganan Bunda."

"Katanya Bunda nggak bisa datang, ngapain juga ke butik?"

"Bukan untuk Bunda, tapi kita beli baju untuk Lady."

"Dok, nggak usah repot-repot, pakai baju saya aja, Dok," sela Lady dari belakang. Ia merasa tidak enak hati. Entah bagaimana caranya membalas kebaikan perempuan itu.

"Nggak apa-apa, Dy, sekali-sekali." Kanayya mengulas senyum, meyakinkan jika semua baik-baik saja dan bukan masalah yang besar.

Lady terkungkung dalam rasa canggung tak berkesudahan. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima perlakuan perempuan di depannya. Meskipun sudah menolak tapi apa pun alasannya tetap tidak bisa diterima Kanayya. Sementara itu Rain yang memandangnya melalui spion membuatnya salah tingkah. Tatapan laki-laki itu begitu mengintimidasi.

"Ayo, Dy, kamu suka yang mana? Nggak usah sungkan-sungkan." Kanayya menyuruh Lady memilih gaun pesta setelah sampai di butik.

Lady menggigit bibir, masih merasa tidak enak hati. "Terserah Dokter saja," jawabnya pasrah.

"Hmmm, Rain, coba kamu yang pilih untuk Lady."

"Kok aku? Mana aku tahu baju cewek." Rain menolak permintaan itu, bundanya ada-ada saja.

"Bunda kan nggak gaul, nggak ngerti fashion. Lady juga. Kamu kan publik figur, selera kamu pasti bagus."

'Ck!' Rain berdecak di dalam hati. Ia tahu Kanayya sengaja berpura-pura agar ia terus berinteraksi dengan Lady.

"Lo suka warna apa?" tanya Rain ketus.

"Kok masih lo manggilnya?" tegur Kanayya.

Rain menahan napas, kesal. "Kamu suka warna apa?" ulangnya pada Lady.

"Biru," jawab perempuan itu.

Rain mengambil sehelai gaun biru laut. "Nih!"

"Bunda ke toilet dulu ya, kamu temenin Lady ke fitting room."

Setelah Kanayya meninggalkan mereka, Rain berbisik pada Lady sambil mengancam. "Lo jangan seneng dulu, gue nggak tulus sama lo, tapi terpaksa. Inget baik-baik, kalau di depan Bunda kita pura-pura mau dijodohkan. Catet di otak lo, PURA-PURA! Jadi lo jangan kegeeran."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Finally Found You

    Mobil yang membawa Rain serta Chris dan seorang lagi kawannya yang bernama Daniel terus melaju.Kondisi jalan yang mulus dan tidak padat adalah hal yang mereka temui pada awal perjalanan sepanjang New England Highway. Lalu mereka melewati hutan eucalyptus dan pepohonan lain khas Australia, daerah-daerah kecil, peternakan domba dan sapi, hingga perkebunan anggur.Setelah sekitar empat jam perjalanan dari Sydney akhirnya mereka tiba di Tamworth. Tapi perjalanan belum berakhir di sana. Tempat tinggal Ney berada di pedesaan. Sedangkan Tamworth adalalah kotanya.Tamworth menyambut mereka dengan dingin yang menusuk. Pusat keramaian dan jalan di sana sangat sepi. Hanya sedikit kendaraan dan orang yang tampak di sana. Toko-toko pun banyak yang tutup. Di bagian kotanya pohon-pohon peneduh berjejer rapi di trotoar yang terhampar di kedua sisi jalan. Masing-masing tampak nyaris selebar jalanan kendaraan di tengahnya. Walaupun tidak begitu lebar, jalannya terdiri dari dua arah serta terdapat are

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Mencari Sydney

    (S2) Niat Baik Qey Dan Rencana Mencari Sydney Part 2Rain dan Lady tidak langsung menjawab. Keduanya saling pandang meningkahi keinginan anak mereka.“Ma, Pa, aku bersedia. Kalau sumsum tulangku cocok dan sesuai dengan Kak Brie pake punyaku aja.” Qey menyatakan kesungguhan tekadnya pada kedua orang tuanya. Qey tidak main-main dengan niatnya.Rain dan Lady saling diam, tidak langsung memberi keputusan. Banyak hal yang mereka pikirkan saat ini.“Ayolah, Ma, Pa, katanya waktu Kak Brie udah nggak lama lagi. Katanya Kak Brie hanya bisa selamat dengan transplantasi itu. Jadi apa lagi yang ditunggu?” Qey mendesak menyadarkan Rain dan Lady yang termangu.“Qey, kamu yakin dengan apa yang akan kamu lakukan?” tanya Rain mengonfirmasi sebelum melakukan tindakan tersebut.”Yakin, Pa, yang penting Kak Brie bisa selamat,” jawab Qey tanpa ragu. Segala rasa sedih dan merasa tersisihkan akibat perhatian orang-orang di sekitarnya yang berlebihan pada Brienna perlahan memudar saat Qey menyaksikan sendiri

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Niat Baik Qey & Rencana Mencari Sydney

    “Eh, Qey, tumben ke sini?” Alana terkejut ketika pagi itu Qeyzia datang ke rumahnya. Saat itu Alana baru saja akan berangkat kerja dan langsung turun dari mobil ketika melihat Qeyzia datang.Qey tersenyum tipis. “Aku mau ketemu Gian. Gian-nya ada, Tante?”“Ada tuh di kamarnya masih belum bangun. Bangunin gih. Sekalian kalau mau sarapan langsung sarapan aja ya.”“Iya, Tante.”“Tante tinggal dulu nggak apa-apa kan? Mau ke kantor.”“Nggak apa-apa, Tante.”Qey menunggu sejenak, melepas Alana pergi. Begitu mobil bergerak dan Ale membunyikan klakson sambil meninggalkan halaman barulah Qey masuk ke dalam rumah.Qey langsung gerak cepat menuju kamar Giandra. Iseng memutar gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Dengan langkah perlahan Qey masuk ke dalam.Giandra tampak berbaring di atas tempat tidur sambil memeluk guling. Tampak nyenyak dan tidak terusik oleh apa pun.Qey lalu duduk di tepi ranjang. Ia termangu sesaat sambil memindai wajah Giandra inci demi inci. Wajah itu tetap terlihat g

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Berpura-pura Itu Melelahkan

    Giandra memandangi Celine yang sedang tidur di pelukannya. Celine terlihat sangat pulas dalam lelap. Akan tetapi tidak sepicing pun Giandra bisa memejamkan mata. Berbagai pikiran kini memberati kepalanya.Sudah sejak kemarin mereka berada di sini dan yang keduanya lakukan hanyalah tidur-tiduran, jalan-jalan menikmati pemandangan lalu kembali lagi ke hotel.Dan… sejak berada di sini juga Giandra tidak pernah menyentuh Celine dalam hal yang lebih intim. Giandra khawatir jika apa yang akan dilakukannya nanti bisa memengaruhi kehamilan Celine.Giandra hanya berani menyentuh Celine sebatas memeluk dan menciumnya. Tidak lebih.Baru saja Giandra mencoba memejamkan mata, suara notifikasi terdengar berdenting dari ponselnya. Masih dengan posisi berbaring, Giandra menjangkau ponsel dengan sebelah tangan. Ada pesan dari Haris.Mas Haris: Lo lagi di mana, Gi?Giandra mengembuskan napas lelah. Ternyata ia lupa mematikan ponselnya.Giandra: Di luar kota, Mas.Mas Haris: Ngapain?Giandra: Lagi nuli

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   We’re Hubby And Wifey Now

    “Papa dulu sama Mama nikah umur berapa?” Pertanyaan itu meluncur dari bibir Giandra yang membuat Ale menoleh padanya. Saat iitu mereka baru saja selesai duet membawakan lagu lawas It Must Have Been Love. Ale yang memetik gitar dan Giandra yang bersenandung.”Kira-kira pertengahan dua puluh empat masuk dua puluh lima. Kenapa, Gi, kok nanya gitu sama Papa, udah mau nikah kamu?”Giandra nyengir kuda. “Ya mana bisa, Pa, kan aku masih ada kontrak.””Terus tadi tiba-tiba nanya gitu ke Papa kenapa?””Iseng aja sih. Tapi untuk ukuran laki-laki umur segitu kan lumayan cepat. Gimana sih, Pa, rasanya nikah muda?”Ale menyandarkan punggung ke dinding bersama dengan menarik mundur pikirannya ke masa lalu. Terlalu banyak hal menyakitkan yang terjadi kala itu. Sebenarnya Ale belum pernah menceritakan tentang sisi gelap hidupnya pada Giandra serta anak-anak yang lain. Ale bahkan tidak ingin lagi mengingatnya. Semuanya cukup menjadi rahasia kelamnya dengan Alana.“Rasanya bahagia karena ada yang mend

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Rencana Nikah Siri

    Hanya sesaat. Celine segera memalingkan muka dari Giandra dan lebih memilih melihat ke arah lain, lebih tepatnya menundukkan kepala dalam-dalam. Sedangkan Tanya masih memeluk Giandra.“Tanya, aku ikut berduka, sorry, aku nggak tahu kalau abang yang kamu maksud ternyata David.” Giandra berbisik di telinga Tanya.“Nggak apa-apa, Gi, makasih ya udah datang.” Suara Tanya terdengar serak akibat kebanyakan menangis.Giandra mengurai pelukan. Lalu matanya berlarian mencari-cari sosok personil Let It Be serta manajer mereka.“Mas Haris sama yang lain tadi udah ke sini, tapi mereka baru aja pulang sekitar sepuluh menit yang lalu,” beritahu Tanya seakan bisa membaca apa yang ada di pikiran Giandra.Lalu Giandra dan Tanya berjalan bersisian menuju pusara David.“Ma, Pa, ini Giandra, temen satu band aku, dia gitarisnya.” Tanya mengenalkan Giandra pada kedua orang tuanya.Giandra menjabat tangan keduanya bergantian. “Saya ikut berduka, Om, Tante.” Giandra menyampaikan rasa belasungkawa.“Terima ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status