Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.
Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda. Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa. Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis. ”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya. “Nda, udah, jangan nangis lagi.” Rain mengusap-usap punggung Kanayya menenangkan. “Malu sama orang, Nda,” sambungnya lagi saat Kanayya tidak kunjung berhenti. Orang yang dimaksudkan Rain adalah Lady. “Dia memang sukses sekarang, tapi aku pikir, aku gagal mendidik dia.” “Ya ampun, Nda.” Rain mulai geram sekaligus malu pada Lady. “Aku takut, Nis. Aku takut dia jadi orang nggak bener. Orang-orang bilang dia playboy, beda banget sama kamu. Aku nggak ngerti kenapa nggak satu pun sifat kamu yang turun ke dia. Jadi aku putuskan buat menjodohkan dia. Aku yakin kamu pasti setuju sama pilihanku.” ‘Ini Bunda kok jadi ngedrama gini di depan tuh CS,’ batin Rain antara kesal dan malu. Selama ini tidak pernah sekalipun ibunya itu bersikap over acting di depan orang lain. Sementara itu Lady termangu menyaksikan interaksi ibu dan anak di hadapannya. Ikatan mereka begitu kuat, sepertinya sih. “Rain, kamu nggak mau bilang sesuatu buat Ayah?” tanya Kanayya memandang ke arah Rain dengan matanya yang basah. Rain mengulurkan tangan, menyapukan jari di pipi Kanayya, mengeringkan air mata perempuan itu. ”Udah di dalam hati, aku udah doa juga buat Ayah.” “Tapi Bunda pengen dengar kamu ngucapinnya langsung.” “Apa yang harus aku ucapkan, Nda?” ”Berjanjilah kalau kamu sungguh-sungguh menerima perjodohan ini. Kamu dan Lady. Kamu akan menikahinya dan mencoba mencintai dia.” ‘Bunda lebay banget,’ kecam Rain di dalam hati. “Rain…,” tegur Kanayya karena putranya itu hanya diam. Melihat wajah penuh harap Kanayya, Rain menjadi tidak tega. Tapi permintaan perempuan yang masih terlihat cantik dan awet muda itu terlalu berat untuk ia wujudkan. Tapi… Arrggghhhhh…Rain menjadi geram sendiri karena merasa tidak punya pilihan lain. “Rain…,” tegur Kanayya sekali lagi. Rain melepaskan napas berat. “Iya, Nda, demi Bunda dan Ayah aku bersedia dijodohkan dengan Lady. Aku akan menikahi dia, tapi nggak sekarang.” “Iya, nggak sekarang. Bunda tahu kalau kalian butuh waktu untuk saling mengenal dulu.” Kanayya tersenyum lega. Memindahkan matanya, Rain menatap lurus pada Lady yang hanya bisa diam sejak tadi. Sebuah tatapan yang dalam dan begitu menusuk. Lady bisa merasakan betapa Rain juga terpaksa melakukannya. Tapi ia juga tidak berdaya untuk menolak. *** “Rain itu sebenarnya baik. Dia memang agak sombong, tapi hatinya baik kok. Saya yakin kalau sudah sama kamu dia bakal berubah,” kata Kanayya sembari mengarahkan kepala pada Lady yang duduk sendiri di jok belakang. Mereka baru saja pulang dari makam dan saat ini sedang berhenti karena tiba-tiba Rain ingin buang air kecil. Lady tersenyum kecil. Tidak tahu cara menanggapinya. “Tapi kamu nggak terpaksa kan saya jodohkan sama Rain?” ”Nggak, Dok.” Lady berdusta. Jelas saja dirinya terpaksa. Keduanya lalu sama-sama terdiam ketika Rain kembali ke mobil. "Lagi ngomongin apa, Nda?" Rain tahu pasti tadi kedua perempuan beda generasi itu membicarakan sesuatu dan tiba-tiba saja mengunci mulut saat ia datang. "Ngomong biasa aja, bukan ngomongin kamu." Rain menarik hand brake, melanjutkan perjalanan mereka, sedangkan Kanayya terlihat menerima telepon dan berbicara dengan seseorang. "Duh, maaf banget ya, Mbak, kayaknya saya nggak bisa datang, udah terlanjur ada acara di tempat lain. Ya sudah kalau begitu, nanti biar anak saya saja yang mewakili." Usai percakapan tersebut Kanayya menoleh ke arah Rain. "Dari temen Bunda. Kamu bisa kan mewakili Bunda?" "Ke mana, Nda?" "Acara nikahan anaknya Om River. Tadi tuh yang nelfon Tante Tiwi, istrinya." "Duh, Nda, kenapa nggak suruh Tante Alana aja? Masa aku ke acara gituan?" "Gituan gimana, Rain? Lagian Alana juga nggak bisa. Gini deh, nanti kamu pergi ditemenin sama Lady, gimana?" Rain langsung menoleh ke spion tengah, mencuri pandang ke arah Lady yang duduk sendiri di belakang. "Aku sendiri aja kalau gitu," tolak Rain mentah-mentah. "Ditemenin Lady aja biar kamu nggak canggung," putus Kanayya tidak ingin dibantah. "Nda, tapi-" "Sssttt... Bunda nggak mau dengar alasan apa pun. Di depan belok kiri, kita ke butik langganan Bunda." "Katanya Bunda nggak bisa datang, ngapain juga ke butik?" "Bukan untuk Bunda, tapi kita beli baju untuk Lady." "Dok, nggak usah repot-repot, pakai baju saya aja, Dok," sela Lady dari belakang. Ia merasa tidak enak hati. Entah bagaimana caranya membalas kebaikan perempuan itu. "Nggak apa-apa, Dy, sekali-sekali." Kanayya mengulas senyum, meyakinkan jika semua baik-baik saja dan bukan masalah yang besar. Lady terkungkung dalam rasa canggung tak berkesudahan. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima perlakuan perempuan di depannya. Meskipun sudah menolak tapi apa pun alasannya tetap tidak bisa diterima Kanayya. Sementara itu Rain yang memandangnya melalui spion membuatnya salah tingkah. Tatapan laki-laki itu begitu mengintimidasi. "Ayo, Dy, kamu suka yang mana? Nggak usah sungkan-sungkan." Kanayya menyuruh Lady memilih gaun pesta setelah sampai di butik. Lady menggigit bibir, masih merasa tidak enak hati. "Terserah Dokter saja," jawabnya pasrah. "Hmmm, Rain, coba kamu yang pilih untuk Lady." "Kok aku? Mana aku tahu baju cewek." Rain menolak permintaan itu, bundanya ada-ada saja. "Bunda kan nggak gaul, nggak ngerti fashion. Lady juga. Kamu kan publik figur, selera kamu pasti bagus." 'Ck!' Rain berdecak di dalam hati. Ia tahu Kanayya sengaja berpura-pura agar ia terus berinteraksi dengan Lady. "Lo suka warna apa?" tanya Rain ketus. "Kok masih lo manggilnya?" tegur Kanayya. Rain menahan napas, kesal. "Kamu suka warna apa?" ulangnya pada Lady. "Biru," jawab perempuan itu. Rain mengambil sehelai gaun biru laut. "Nih!" "Bunda ke toilet dulu ya, kamu temenin Lady ke fitting room." Setelah Kanayya meninggalkan mereka, Rain berbisik pada Lady sambil mengancam. "Lo jangan seneng dulu, gue nggak tulus sama lo, tapi terpaksa. Inget baik-baik, kalau di depan Bunda kita pura-pura mau dijodohkan. Catet di otak lo, PURA-PURA! Jadi lo jangan kegeeran." ***Bab panjang panjang ya, Kak. 15 bab. Happy reading ♡***Ryan menggenggam tangan Qey dan meletakkan di atas pahanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi berada di setir. Setelah dari apartemen Ryan tadi keduanya saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Natassa.Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Ryan. Hari yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Nanti setelah sampai di rumah ibunya Ryan akan langsung menyampaikan niatnya untuk menikahi Qey.Sedangkan Qey yang duduk di samping Ryan tak bersuara sejak tadi. Ia masih sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi beserta hal besar yang sudah diputuskannya.Qey menerima lamaran Ryan untuk menjadi istri laki-laki itu.Dalam temaram cahaya di mobil, Qey menurunkan pandangan pada tangan kirinya, yang berakhir tepat di bagian jari manisnya. Cincin dari Ryan kini tersemat indah di sana. Sebagai tanda ikatan awal dirinya dan laki-laki itu sebelum mereka disatukan dalam hubungan yang benar-benar sakral."Suka cincinnya, Yang?"Tegu
“Saya pengennya pesta pernikahan nanti nggak cuma biasa-biasa saja. Tapi unik, mewah, elegan dan berkesan, yang nggak akan pernah dilupakan oleh siapa pun, terutama oleh tamu-tamu yang datang.” Perempuan itu menerangkan konsep pernikahan impian sesuai keinginannya dengan sangat menggebu-gebu. Matanya turut berbinar seakan sedang membayangkan apa yang ada di kepalanya.“Baik, saya setuju dengan ide Mbak. Kita punya beberapa paket, di antaranya adalah paket ballroom wedding, rooftop wedding, garden party, dan juga beach party.”“Kalau menurut Mbak sendiri bagusnya yang mana ya?”“Mama!!!”Qeyzia refleks memalingkan muka dan memandang ke sumber suara. Senyumnya merekah seketika kala melihat putra kesayangannya berlari kecil ke arahnya diikuti sang pengasuh dari belakang.“Sebentar ya, Mbak, silakan Mbak lihat-lihat katalognya dulu.” Qeyzia lantas bangkit dari duduknya dan meninggalkan si klien.Klien? Iya klien.Dua tahun berlalu sejak kematian Maxwell. Pelan tapi pasti Qeyzia mulai bang
Jika biasanya setiap berhadapan dengan masalah maka Ryan akan melarikannya pada alkohol, maka kali ini tidak. Laki-laki itu pulang ke apartemennya setelah dari rumah ibunya tadi. Ia sadar bahaya tengah menanti di depannya. Sebentar saja ia lalai maka akan terjebak dalam bahaya itu. Ryan tidak ingin ada kejadian one night stand lagi.Kucing anggora miliknya mengeong waktu Ryan membuka pintu apartemen. Catty seakan tahu bahwa tuannya yang datang.Kucing itu langsung meloncat ke dalam pangkuannya saat Ryan baru saja mendudukkan diri di sofa. Ryan mengelus bulu-bulunya yang halus. Catty pun memejamkan matanya.Ryan juga memejam. Sembari tangannya mengelus Catty, ia mulai memikirkan cara agar Natassa mau menerima Qeyzia.Atau sebaiknya kawin lari saja?Hal itu yang akan dilakukannya jika ia dan Qeyzia saling mencintai. Yang terjadi, bukan saja restu orang tua yang menjadi penghalang, namun juga Ryan tahu bagaimana perasaan Qeyzia padanya. Perempuan itu masih sangat mencintai suaminya dan
Natassa menegakkan duduk. Disisipkannya sejumput rambut ke belakang telinga. Seakan dengan demikian ia bisa menangkap dengan lebih jelas maksud perkataan anaknya.“Gimana, Yan?” ucapnya minta diulangi.Ryan tidak tahu apa ibunya benar-benar tidak menangkap maksudnya tadi atau hanya ingin mendengar dengan lebih jelas.“Jadi begini, Ma, aku mau menikahi Qeyzia. Aku mencintai Qey dari dulu, Ma. Aku ingin menjadi suaminya dan dia menjadi istriku.”Natassa langsung menggelengkan kepalanya yang membuat Ryan terkesiap. “No! Mama nggak setuju.””Nggak setuju kenapa, Ma?” tanya Ryan kecewa.“Yan, jelas aja Mama nggak setuju. Kamu kan tahu sendiri kalau Qeyzia janda, udah gitu punya anak pula. Sedangkan kamu masih single, belum pernah menikah apalagi punya anak.” Natassa menuturkan alasannya dengan menggebu-gebu.“Status buat aku bukan masalah, Ma. Walaupun Qeyzia janda dan punya anak tetap nggak akan ngerubah perasaanku ke dia.”“Itu buat kamu, Yan, bukan buat Mama. Bagi Mama tetap itu masalah
Ryan masih duduk di kursi di sisi ranjang rumah sakit. Dari tadi tidak sedetik pun laki-laki itu melepaskan pandangannya dari Qey yang tidur di hadapannya.Ryan tidak ingin melewatkan momen saat Qey membuka mata dan dirinya adalah orang pertama yang dilihat perempuan itu. Namun getaran yang terasa di pahanya membuat Ryan harus beranjak. Ibunya yang menelepon.Ryan keluar dari ruang rawat Qey menuju balkon. Kamar tempat Qey dirawat sekarang terpisah dari ruang lainnya dan memiliki balkon sendiri. ”Halo, Ma,” sapa Ryan setelah menempelkan ponsel ke telinga.“Yan, kamu nggak jadi ke rumah?” tanya Natassa di seberang sana.Ryan terdiam sesaat. Ia memang sudah berjanji akan berkunjung ke rumah Natassa. Seperti biasa minimal satu kali dalam satu minggu ia akan datang ke sana.“Ryan, kamu dengar suara Mama?”“Iya, Ma. Maaf aku nggak jadi ke sana.””Kenapa? Kamu masih di kantor? Sudah berapa kali Mama katakan, jangan terlalu diforsir. Bekerja secukupnya, sesuai tenagamu aja, Yan.””Bukan itu
Qey semakin terdesak ke belakang ketika Fanny berdiri semakin dekat dan memepetnya. Perempuan itu terlihat sangat mengerikan. Matanya berkilat penuh emosi dan terlihat seperti iblis. Bahkan Diah belum pernah melihat Fanny semurka ini sebelumnya.Qey merintih pelan menahan sakit di kedua bagian pipinya. Qey tidak ada niat menyebut nama Maxwell, namun rasa cintanya yang terlalu besar pada laki-laki itu membuatnya hanya mampu menasbihkan nama Maxwell. Tidak ada yang lain yang bisa diingatnya saat itu selain Maxwell, termasuk Ryan sekalipun. Meski ia tahu Maxwell tidak akan mungkin datang padanya.Qey baru akan mendorong Fanny agar menyingkir dari hadapannya, namun perempuan itu lebih dulu menjambak rambutnya.“Duh, sakit …. Lepasin! Lepasin gue, Fan!” Qey memohon di sela-sela rintihan. Tidak hanya menjambak rambutnya, namun sebelah tangan Fanny juga memelintir tangan Qey dengan keras yang membuatnya kembali memanggil nama Maxwell. “Max …. Maxwelll …, tolong aku, Max ….”“Bener-bener lo y