Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu.
"Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri. Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room. "Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya. "Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri. Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata. "Gimana menurut anda?" "Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?" "B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya. "Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum tipis menghibur Lady. "Iya, Dok," sahut Lady mafhum. *** "Bunda langsung pulang aja ya, Rain. Lady ikut sama kamu biar nanti kalian bisa langsung pergi," kata Kanayya setelah mereka berada di mobil. "Iya, Nda." Rain mengantar Kanayya ke rumahnya sesuai dengan permintaan perempuan itu. "Kamu nggak mampir dulu?" "Lain kali aja, Nda. Salam sama Tante, Mama dan Papa." "Nanti Bunda sampein. Kamu pindah duduk ke depan, Dy, temenin Rain." Patuh, Lady melaksanakan perintah Kanayya. Baru saja akan menjatuhkan diri di jok ia disambut dengan helaan napas berat laki-laki itu. "Anda nggak suka kalau saya duduk di sini?" tanya Lady yang mengerti keresahan Rain. "Anda saya, anda saya, lo pikir ini di kantor?" Lady tersenyum samar. Apa pun yang dilakukannya tidak pernah benar di mata Rain. "Kamu nggak suka aku duduk di sini?" ulangnya. "Udah tau pake nanya." "Kamu kok gitu banget sama aku? Aku tahu diri kok kalau emang nggak pantes buat kamu, tapi aku manusia lho. Aku juga punya perasaan." Perkataan Lady berhasil membuat Rain menoleh pada perempuan itu. "Maksud lo apa? Lo tertekan dengan perjodohan ini?" Lady tidak menjawab. Ia lebih memilih memandang keramaian lalu lintas di luar sana. "Kalau orang lagi ngomong tuh didengerin, bukannya malah ngeliat ke mana-mana." Ada nada kesal dalam nada suara Rain yang tertangkap oleh telinga Lady. Lady memutar kepalanya ke arah Rain. Seulas senyum tipis terbit dari bibirnya. "Sakit ya rasanya kalau nggak dihargai? Itu juga yang aku rasakan selama ini. Kamu menganggap aku seperti sampah. Kamu nggak pernah menghargai aku. Kalau kamu bilang aku bukan tipemu, kamu juga harus tahu kalau kamu juga bukan tipeku. Aku nggak pernah bermimpi berjodoh dengan laki-laki arogan, sombong, suka menghina orang. Tapi keadaanku bikin aku harus menerima perjodohan ini." Kali ini Rain benar-benar tidak berkutik mendengar pengakuan lugas Lady. Ia tidak menyangka kalau perempuan tersebut akan sejujur itu padanya. Kemudian, di sepanjang sisa perjalanan mereka keduanya sama-sama menyimpan suara. *** "Kalau lo mau istirahat jangan di ranjang gue, tapi di sana." Rain menunjuk sofa setelah mereka tiba di apartemen. "Siapa juga yang mau tidur di ranjang kamu," balas Lady. "Bagus kalau lo paham." Rain tersenyum asimetris dan meninggalkan Lady sendiri. Membunuh waktu, Lady tidak tahu apa yang dilakukannya. Alhasil ia memainkan ponsel. "Tolong handuk gue dong!" Suara itu berasal dari dalam kamar mandi. "Kamu ngomong sama aku?" Lady balas berseru. "Emangnya kalau bukan sama lo siapa lagi? Sama kuntilanak? Ambilin handuk gue di dalam lemari!" Bergerak dari tempat duduknya, Lady membuka lemari. Ia mencari handuk yang dimaksud. Baru saja ia akan menarik dari lipatan pakaian, mata bundarnya melebar ketika melihat susunan baju perempuan di sana. Ada perempuan tinggal di sini? "Ngapain aja sih lo? Gue udah kedinginan nih!" Suara kesal Rain terdengar lagi yang memaksa Lady untuk bergerak. "Ini handuknya." Lady memberikan handuk putih tersebut setelah Rain membuka setengah pintu kamar mandi. Ia kembali ke tempat duduknya dan membiarkan Rain berpakaian. "Ngapain lo kayak gitu? Lagi menilai apartemen gue? Pengen tau gue punya apa aja?" tanya Rain melihat Lady mengedarkan mata ke setiap penjuru ruangan. "Di sini kamu tinggal sama siapa?" Pertanyaan itu sama sekali tidak pernah diprediksi Rain sebelumnya. "Ya sendirilah, emang lo pikir sama siapa lagi?" "Aku ngeliat ada baju cewek di lemari." "Lancang lo ya, berani-beraninya periksa barang-barang gue." "Kan tadi kamu sendiri yang minta buat ngambilin handuk. Jadi aku nggak sengaja ngeliatnya. Emang itu baju siapa? Kamu bukan cowok setengah mateng kan yang pake baju-baju cewek?" Lady membalikkan kata-kata Rain waktu itu. "Bukan urusan lo juga buat tahu itu baju siapa. Kita memang dijodohkan, tapi sedikit pun lo nggak berhak ikut campur dalam hidup gue." "Iya," sahut Lady singkat. Kemarin bra, sekarang baju. Membuatnya tidak mampu untuk tetap berpikir positif. "Daripada lo kepo nggak jelas kayak gitu mending sekarang pake baju lo tadi, kita pergi. Gantinya di sana." Rain menunjuk kamar mandi. Lady membawa paper bag berisi gaun yang dibeli tadi, lalu masuk ke kamar mandi. Ia tidak langsung mengganti bajunya, namun menyandarkan punggung ke belakang pintu sembari mengatur napas. Lady membayangkan, jika saja suatu saat nanti ia benar-benar menjadi istri Rain mungkin lelaki itu akan membuatnya makan hati setiap hari. "Lalad, lo ngapain lagi di dalam? Nggak bisa apa cepet sedikit?" Kalau saja suara Rain tidak memanggilnya mungkin Lady masih akan terpaku di belakang pintu. "Iya sebentar, ini lagi ganti baju." Cepat, dibukanya paper bag dan mengeluarkan gaun premium itu dari sana. Lady mengusap dengan tangannya serta memandang penuh kekaguman. Ini adalah baju termahal pertamanya. Rasanya bagai bermimpi. Sedikit pun Lady tidak berani mengimpikan memakai gaun mahal yang kini ada di tangannya. Gaun malam berwarna biru itu melekat begitu pas di tubuhnya yang ideal yang membuat kepercayaan dirinya ikut meningkat. "Lalad, ngapain aja sih lo sampe selama itu?" Suara Rain terdengar lagi. "Masih hidup kan lo?" Rain yang tidak sabar membuat Lady bergerak cepat. Dengan terburu-buru ia memakai bedak, memulas blush on tipis-tipis di pipinya serta mewarnai bibirnya dengan lipstick. Lady lalu keluar dari kamar mandi setelah dandan kilat tersebut. "Aku sudah siap," ucapnya pada Rain yang sedang membelakanginya. Mendengar suara Lady, Rain menoleh. Lelaki itu kembali kehilangan kemampuan mengerjapkan mata saat melihat jelmaan cleopatra di hadapannya. ***Orang bilang hari pernikahan adalah di mana sepasang pengantin akan menjadi raja dan ratu sehari. Itulah yang akan dirasakan Agha dan Brienna.Setelah melalui tahap demi tahap serta banyak ritual unik, akhirnya sehari lagi Agha dan Brienna resmi menjadi sepasang suami istri.Pernikahan Brienna dan Agha begitu kontras dengan resepsi pernikahan Qeyzia dan Ryan. Pernikahan Brienna diselenggarakan secara adat keluarga Agha yang masih begitu kental. Prosesi adat tersebut diawali dengan mangaririt boru atau menyelidiki apakah perempuan yang akan dipinang memiliki latar belakang yang baik. Tahapan ini juga dilakukan untuk memastikan kalau perempuan yang akan dipinang belum ada yang melamar. Orang tua Agha datang pada keluarga Brienna menyampaikan maksud untuk meminang. Akan tetapi, keluarga Brienna tidak seketika memberi jawaban, namun pada pertemuan selanjutnya.Setelahnya dilanjutkan dengan padamos hata, yaitu prosesi mengenalkan calon pengantin laki-laki langsung kepada keluarga calon p
“Tadi ngomongin apa aja sama Brie, Yang?” tegur Ryan pada Qey yang sejak tadi membisu di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada dalam perjalanan pulang ke apartemen setelah dari rumah orang tua Qeyzia tadi.Lamunan Qey dibuyarkan suara Ryan. Ia lalu menoleh pada suaminya itu. “Ngomong biasa, tentang pengalaman selama Kak Brie di Medan.””Brie kayaknya happy banget ya?”Qey tersenyum dan mengiakan. ‘Gimana nggak happy. Keluarga suaminya baik begitu,’ ucapnya di dalam hati. Namun yang tersampaikan dari mulutnya adalah, “Iya, happy banget. Aku nggak pernah ngeliat Kak Brie sehappy itu.”“Kalau kamunya gimana? Nggak ikutan bahagia?""Bahagia dong, masa enggak.""Kalau bahagia kenapa wajahnya biasa-biasa aja?""Harusnya gimana?""Senyum yang lebar kek.""Nih aku senyum." Qey mengembangkan bibirnya selebar mungkin. Meyakinkan ia juga bahagia atas kebahagiaan kakaknya. Qey menyembunyikan lara hatinya jauh-jauh. Ia tidak ingin Ryan tahu apa yang dirasakannya saat ini.Tapi bukan Ryan naman
Qey cepat keluar dari kamar mandi dengan gugup dan duduk di tepi ranjang. Apa yang baru saja dilihatnya membuat Qey benar-benar malu. Di saat bersamaan rasa bersalah terasa menghujamnya. Ini semua adalah akibat ulahnya. Seharusnya ia melaksanakan kewajibannya sebagai istri dan melayani Ryan dengan sebaik mungkin. Jadi pemandangan barusan tentu tidak akan pernah disaksikannya. Tak lama berselang Ryan keluar dari kamar mandi dengan wajah pias. Jujur saja ini bukanlah yang pertama. Namun ketika Qey menangkap basahnya ia tidak pernah semalu ini.Ryan turut duduk di sebelah Qeyzia. Ia mendapati kegugupan di wajah istrinya.Selama beberapa detik mereka hanya diam. Qey meremas ujung bajunya sedangkan Ryan tidak tahu harus berkata apa dan memulai semua dari mana.Ryan berdeham berkali-kali. Selain malu ia juga tidak pernah segugup ini. "Yang ...," panggilnya pelan, membuat istrinya itu menoleh padanya. "Maaf, aku–""Seharusnya aku yang minta maaf." Qey menyahut cepat. "Ini semua aku yang sal
“Ya ampun, kok jadinya malah kekirim sih? Bukannya kehapus.” Brie mengguman pelan ketika menyadari apa yang baru ia lakukan.Ck! Brie berdecak kesal menyesali sikapnya yang gegabah. Coba tadi kalau ia tidak asal pencet. Duh … gimana nih?Brie kemudian merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Untuk kesekian kalinya ia terkejut ketika terdengar notifikasi dari ponselnya.Lantas Brie melihat ke layar gawai. Pesannya tadi terkirim dan sekarang ia menerima balasannya.“Hey, Brie, senang sekali mengetahui kamu akan menikah. Tapi dengan sangat sedih aku ingin mengatakan padamu, Mommy sudah … meninggal. From Kyle.”Brie langsung terduduk. Tidak percaya pada apa yang baru saja dibacanya. Ibunya sudah meninggal? Sejak kapan? Lantas kenapa ia tidak tahu sama sekali mengenai hal tersebut?Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca Brie mengetikkan balasan untuk saudara tirinya itu.Brienna: Kapan Mommy meninggal? Kenapa tidak memberitahuku?Hanya dalam hitungan detik balasan pesan dari Kyle masuk ke
Bab panjang panjang ya, Kak. 15 bab. Happy reading ♡***Ryan menggenggam tangan Qey dan meletakkan di atas pahanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi berada di setir. Setelah dari apartemen Ryan tadi keduanya saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Natassa.Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Ryan. Hari yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Nanti setelah sampai di rumah ibunya Ryan akan langsung menyampaikan niatnya untuk menikahi Qey.Sedangkan Qey yang duduk di samping Ryan tak bersuara sejak tadi. Ia masih sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi beserta hal besar yang sudah diputuskannya.Qey menerima lamaran Ryan untuk menjadi istri laki-laki itu.Dalam temaram cahaya di mobil, Qey menurunkan pandangan pada tangan kirinya, yang berakhir tepat di bagian jari manisnya. Cincin dari Ryan kini tersemat indah di sana. Sebagai tanda ikatan awal dirinya dan laki-laki itu sebelum mereka disatukan dalam hubungan yang benar-benar sakral."Suka cincinnya, Yang?"Tegu
“Saya pengennya pesta pernikahan nanti nggak cuma biasa-biasa saja. Tapi unik, mewah, elegan dan berkesan, yang nggak akan pernah dilupakan oleh siapa pun, terutama oleh tamu-tamu yang datang.” Perempuan itu menerangkan konsep pernikahan impian sesuai keinginannya dengan sangat menggebu-gebu. Matanya turut berbinar seakan sedang membayangkan apa yang ada di kepalanya.“Baik, saya setuju dengan ide Mbak. Kita punya beberapa paket, di antaranya adalah paket ballroom wedding, rooftop wedding, garden party, dan juga beach party.”“Kalau menurut Mbak sendiri bagusnya yang mana ya?”“Mama!!!”Qeyzia refleks memalingkan muka dan memandang ke sumber suara. Senyumnya merekah seketika kala melihat putra kesayangannya berlari kecil ke arahnya diikuti sang pengasuh dari belakang.“Sebentar ya, Mbak, silakan Mbak lihat-lihat katalognya dulu.” Qeyzia lantas bangkit dari duduknya dan meninggalkan si klien.Klien? Iya klien.Dua tahun berlalu sejak kematian Maxwell. Pelan tapi pasti Qeyzia mulai bang