Share

TAK INGIN TERJERAT DALAM BELENGGU PERNIKAHAN!

TAK INGIN TERJERAT DALAM BELENGGU PERNIKAHAN

"Kenapa kau bisa ada di kamar hotelku semalam?" tanya Dion dengan nada mengintimidasi, dia bertanya sambil berjalan maju mendekati Aruna merangsek masuk ke dalam kos Aruna.

"Apa yang kau lakukan di sini semalam bersamaku? Apa yang sebenarnya terjadi? Hah?" teriak Dion memekakkan telinga.

"Hah? Apa maksud Pak Dion?" tanya Aruna sambil meneguk ludahnya dengaan kasar.

'Brak' Dion melempar kartu nama Aruna di lantai. Aruna terkejut menyadarinya, dia merutuki kebodohannya sendiri. Karena terlalu terburu- buru, Aruna sampai melupakan tanda pengenalnya. Tangan Dion mencengkram dagu Aruna, menengadahkannya ke atas. Mata mereka saling bertatapan.

"Katakan padaku, Aruna! Apa yang terjadi semalam?" tanya Dion.

Tak sengaja mata Dion menangkap bekas merah di leher Aruna. Dia tertegun, apakah semua kejadian itu nyata bukan mimpi belaka, jujur saja sekarang dia bingung tentang apa yang terjadi sebenarnya. Dia melakukannya antara sadar dan tidak.

"Se- semalam Bapak itu sedang ma-mabuk saat melakukan entertain dengan patner. Bapak hampir di jebak oleh seorang wanita yang tak di kenal. Saya mencoba untuk...." Aruna terdiam menahan sesak di dada yang mulai menjulur ke ulu hatinya.

"Untuk apa? Hah?" bentak Dion lagi.

"Saya mencoba untuk mencegah wanita itu masuk dalam kamar Bapak! Saya mengira wanita itu seorang pengutit yang mungkin ingin menjatuhkan bisnis, Bapak. Saat saya berhasil mendorong wanita itu keluar dari kamar hotel, justru saya terjebak sendiri," jawab Aruna sambil memejamkan matanya ketakutan.

"Lalu apalagi yang terjadi?" tanya Dion.

"Ba- Bapak ti- tidak mau melepaskan saya dari kamar hotel! Baru tadi pagi Bapak melepaskan saya! A- apakah Bapak tidak mengingat semua kejadian itu?" tanya Aruna dengan wajah kebingungan.

Seketika Dion langsung terdiam saat mendengar semua pernyataan Aruna, entahlah dia harus percaya pada gadis itu atau tidak. Karena selama ini Aruna merupakan salah satu orang yang paling dia percaya, tentulah dia tidak akan pernah berbohong pada dirinya. Terlebih lagi Aruna sudah bekerja padanya sepuluh tahun. Tentulah dia tak mungkin main-main dalam hal ini, tapi dia juga masih mencerna semuanya.

"Apakah semalam itu benar -benar bukan mimpi?" tanya Dion pada dirinya sendiri.

Dion mengusap wajahnya dengan kasar. Dia mencoba berkali-kali mengingat kejadian semalam. Tetapi nihil, semakin dia mencoba mengingat kejadian itu maka dia hanya meyakini semua mimpi. Tapi jika memang mimpi mengapa leher Aruna seperti itu. Dion melepaskan cengkramannya pada wajah Aruna lalu pergi berlalu begitu saja tanpa kata.

"Apakah aku benar- benar melakukannya dengan Aruna ya semalam? Mengapa dia tak meminta tanggung jawab? Mengapa dia langsung pergi dan tak menuntut apapun? Mengapa dia begitu bodohnya pergi tanpa mencari bukti," batin Dion dalam hati.

Dion pergi meninggalkan kos Aruna. Dia mengendarai mobilnya sendiri sambil menghentakkan tangannya di stang mobil. Dia tak yakin semalam menghabiskan bersama siapa, mengingat dirinya bangun pagi dalam keadaan telanjang dan hanya ada kartu nama Aruna.

"ARRRGGGGHHHH! Sialan!" teriak Dion membanting tangannya di atas kemudi.

Di sisi lain Aruna langsung luruh menjatuhkan diri di lantai. Jantungnya bedegub sangat keras, dia merasa terhina. Di campakkan Dion begitu saja tanpa ada pertanggung jawaban ataupun sekedar bertanya bagaimana kabarnya. Aruna sedang berusaha keras untuk menguatkan hati dan berdamai dengan diri sendiri. Sejak meninggalkan kamar hotel, Aruna merasa putus asa dan tak ada gunanya lagi.

Hidupnya hancur dan tak bisa menuntut semua perbuatan yang telah dilakukan oleh atasannya itu. Untuk apa dia menuntut, jika atasannya sama sekali tak mengingatnya? Dia tak ingin menyembah dan di anggap sebagai wanita murahan yang berusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bukankah Dion orang yang sangat kaya dan bisa melakukan apa saja? Bagaimana kalau dia melenyapkan nyawanya? Orang kecil seperti Aruna hany bisa diam di cengkram kekuasaan.

'Ting' 'Ting' 'Ting' Panggilan masuk dari Hendi. Aruna terdiam, dia sebenarnya gamang, haruskan dia keluar dari pekerjaan atau bertahan? Haruskan dia masuk kantor atau mengambil cuti? Tetapi bagaimana lagi Hendi sudah menghubunginya berkali-kali.

"Apa yang sebenarnya terjadi semalam ya?" batin Aruna dalam hati.

Ini pertama kalinya dia melihat Dion, Presdir- nya bertingkah sangat aneh saat mabuk semalam. Bukan sekali dua kali Aruna menemani Presdir nya dalam jamuan makan malam dan minum wine. Namun Predir nya itu cukup kuat untuk meminum beberapa sloki dan tidak akan bertindak sejauh ini meski dalam kondisi mabuk sekalipun. Sejauh ini Presdir sangat bisa mengendalikan diri.

"Apa rumor belakangan ini mengatakan bahwa Pak Dion memang selalu bermain dengan wanita itu bukan sekedar isapan jempol belaka? Tidak! Itu tak mungkin, selama sepuluh tahun ini aku membersamai Pak Dion, dia sama sekali tak pernah tidur dengan wanita! Pasti ada sesuatu yang tak beres," batin Aruna dalam hati.

Bahkan Aruna sangat tahu jadwal hariannya, Presdirnya itu sangat gila kerja. Bahkan dia hanya melakukan hubungan asmara palsu demi menutupi gosip penyuka sesama jenis yang beredar untuk menjatuhkannya. Maklum lah, jabatan CEO atau Presiden Direktur sangat rentang di kaitkan dengan rumor yang bisa saling menjatuhkan. Sebagai seorang Presdir, Dion selalu menjaga sikap dan jarah, bahkan cenderung berhati- hati dalam melakukan langkahnya. Tak mungkin dia sembrono seperti ini.

Meski begitu, rasa sedih, kecewa, bercampur menjadi satu. Tetapi Aruna segera menepisnya, sekarang bukan lagi waktunya untuk bercanda dan tidak boleh terbawa emosi. Jika dia menuruti hawa nafsu nya marah dan emosi, bisa- bisa dia menghancurkan pekerjaannya dan kariernya sekarang. Aruna segera mengendalikan hatinya, meski atasannya adalah seorang yang sangat menorehkan luka.

"Aruna, sadar! Perlu waktu setahun lagi lalu kita sudahi semua permainan ini! Kau bisa pulang ke kampung halaman dan mendirikan CV sendiri! Jangan menyerah, masa depan cerah sudah terlihat di depan sana, bersabarlah! Tahanlah semua luka dan sakit hatimu, semua akan indah pada waktunya?" tanya Aruna menyemangati dirinya sendiri.

Dia masih membutuhkan banyak uang untuk tetap bertahan hidup di kota metropolitan dan menyelesaikan semua tanggungan. Aruna berdiri, dia mengusap semua air mata yang jatuh di pipi bersiap untuk bekerja lagi. Uang lebih penting saat ini dari pada perasaannya sendiri. Aruna segera berganti pakaian lalu pergi ke kantor megah tempatnya mengabdi pada Dion selama ini.

"Berdamailah dengan dirimu sendiri, Aruna! Ingat jangan terbawa perasaanmu dan cukup sadar diri, lupan semuanya! Mengerti Aruna?" tanya Aruna pada dirinya sendiri sebelum melangkahkan kaki.

Aruna mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam kantor yang selama sepuluh tahun ini menemaninya bekerja. Dengan langkah kaki gontai, Aruna mencoba masuk ke dalam ruangan kerjanya. Sesampainya di meja kerja, Aruna segera menyibukkan diri dengan beberapa pekerjaan yang sudah menantinya. Untung saja kesibukan itu mampu mengalihkannya. Belum lama Aruna merasa ketenangan dunia, Dion keluar dari lift yang berada di samping meja kerja Aruna.

"Mengapa dia tak pernah terlihat jelek ya? Apakah itu yang namanya aura orang kaya?" batin Aruna. Bau khas parfum Dior menguar, ittu adalah ciri khas presiden direkturnya itu. Aroma harum khas orang kaya yang mampu membuat jantung Aruna bergetar hebat. Dia menahan napasnya dalam-dalam saat Dion menghampirinya dan menundukkan kepalanya.

"Selamat pagi, Pak," sapa Aruna berusaha keras untuk bersikap ramah. Dion menatap ke arah Aruna sekilas tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.

"Mana semua proposal, berkas, dan soft copy berkas yang harus saya tanda tangani?" tanya Dion yang baru saja keluar lift tanpa membalas sapaannya.

"Ini, Pak. Semua berkas sudah saya jadikan satu dan urutkan. Bapak Dion hanya tinggal tanda tangan saja," jelas Aruna.

Tanpa sadar saat mengulurkan berkas itu, Aruna menoleh. Dia melihat tampilan Dion yang selalu on the point. Sangat tampan dan mempesona serta kharisma yang luar biasa. Entah kapan lelaki itu berganti pakaian dan siap bekerja. Aruna melihat, Dion bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Sorot mata yang tajam itu seakan mengintimidasi dan menimbulkan aura angker dalam ruangan. Tanpa menjawab dan melihat Aruna lagi, Dion berlalu menuju ruangan khusus miliknya.

"Selamat pagi, Aruna! Kenapa wajahmu di tekuk begitu? Tumben kau terlambat, masuk tengah hari! Kau sakit ya?" tanya Hendi sambil terheran-heran melihat sahabatnya itu sudah murung sejak pagi. Aruna hanya membalas dengan tersenyum kecut ke arahnya.

Jika di pikir lagi sebenarnya Hendi lah dalang di balik semua ini. Mengingat dia yang menyuruhnya menyusul Presdir Dion semalam padahal itu adalah tugas Hendi sebagai personal asistennya. Setelah kepergian Hendi di belakang Dion, Aruna segera meluruhkan badannya di kursi kerja. Sungguh sekelebat bayangan Dion saja mampu membuatnya terkena serangan jantung setiap hari. Padahal dia sudah menjadi sekertarisnya sejak lama.

"Aku tak boleh seperti ini! Aku harus fokus bekerja," ujar Aruna meyakinkan dirinya sendiri lalu kembali menyelesaikan pekerjaan.

Sialnya ada bebarapa berkas yang memerlukan penanda tanganan Presdir- nya itu lagi, bagian HRD baru saja mengirimkannya untuk perekrutan karyawan baru. Akhirnya mau tak mau Aruna harus ke ruangan Dion. Berulang kali Aruna mondar mandi di lorong penghubung ruangan kantor Presdir. Perasaannya berkecamuk, tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena beberapa berkas memang harus ditandatangani oleh oleh Presiden Direkturnya.

"Kenapa aku konyol sekali? Mengapa aku yang salah tingkah sendiri! Sedangkan Pak Dion, tidak pernah menganggapku!" batin Aruna dalam hati. Dia merutuki kebodohannya sendiri.

Akhirnya dengan keberanian yang sudah ditingkatkan Aruna mencoba masuk dengan mengetuk pintunya. Belum sampai dia mengetuk pintu, ternyata Aruna mendengarkan perdebatan sengit antara Dion dengan Hendi. Aruna memepetkan telinga di daun pintu.

"Saya akan dimarahi lagi oleh Ketua Dewan Direksi kalau Pak Dion bersikap seenaknya begini! Dengarkan saya, Pak. Ini hanya acara coffe break! Tak akan lebih dari satu jam. Saya janji!" ucap Hendi membujuk Dion.

"TIDAK!" bentak Dion yang duduk di meja bertuliskan Presiden Direktur.

"Pak Dion, sampai kapan Bapak menolak undangan dari Pak Wijaya lagi? Please, ini tak akan menyita semua waktu, Bapak Presdir Dion yang terhormat," ujar Hendi bersikeras membujuk Dion.

"Pak! Pak Dion kan tahu sendiri siapa Pak Wijaya? Bapak kan teman sekelas anak nya dulu, Elizabeth! Tentu ini tidak akan seperti suasana perjodohan, anggap saja ngopi santai dengan teman lama. Bagaimana?" tanya Hendi.

"Hendi! Berapa kali aku harus bilang padamu untuk tidak ikut campur urusan pribadiku! Kau bekerja untukku sebagai personal asisten bukan sebagai baby sitterku! Diam, bekerja, tutup mulutmu!," bentak Dion dengan nada suara tinggi.

Dion memutar bangku kursi kerjanya dan menikmati pemandangan langit, terlihat beberapa burung lewat terbang bebas. Ingin rasanya Dion merasakan arti kebebasan seperti itu. Dia sudah muak dan lelah dengan semua aturan yang di terapkan keluargnya. Alasan keturunan selalu membuat Papa dan Eyangnya memaksa nya menikah. Mereka hanya memerintahkan tanpa pernah peduli semua perasaan dan keinginan anak membuat Dion seolah tak berhak menentukan pilihan sendiri. Hidupnya seakan di tata tanpa berhak menolaknya.

"Apa sih susahnya menikah, Pak? Bapak Presdir tinggal menikah dan memilih perempuan mana saja! Siapa yang berani menolakmu, Pak? Bibit, bebet, bobot nya jelas! Mapan, kaya, kolongmerat. Kau sempurna," puji Hendi.

"Apa kau tuli Hen? Kubilang tidak, itu artinya tidak! Pergilah dan lakukan pekerjaanmu dengan baik. Kau dibayar mahal untuk menyingkirkan semua hal yang tidak berguna seperti ini. Jika kau terus membual seperti ini kau saja yang menggantikan pernikahanku, atau aku harus memecatmu?" ancam Dion.

"Ba- baik, Pak," pamit Hendi ketakutan mendengar ancaman Dion yang tak pernah main- main.

Bagi Dion menikah itu ibarat terjebak dalam belenggu. Tanpa semua orang sadari ada trauma sendiri bagi Dion akan arti dan makna pernikahan serta keluarga.

Aruna syok setelah pernyataan dari Dion itu. Dia tak menyangka jika Presiden Direkturnya itu bisa memiliki pemikiran untuk tak menikah. Aruna baru menyadari satu hal penting, pantaslah sampai sekarang dia belum menikah padahal usia nya sudah matang.

"Jika Pak Dion tak ingin menikah, artinya? Dia tak akan pernah mau bertanggung jawab padaku, kan?" batin Aruna dalam hati.

Aruna menggebrak tembok dengan kerta berkas yang di bawa nya untuk melampiaskan emosinya. Dia tak menyangka orang kaya bisa semena- mena. Lalu harus bagaimana dia sekarang. Hanya satu solusinya, melupakan semua kejadian semalam lalu segera pergi setelah semua hutang di lunasi dan bersumpah tak akan pernah menemuinya lagi. Aruna menarik nafas panjang dan mengatur emosi.

'Tok' 'Tok'

"Permisi!" kata Aruna setengah berteriak.

"Masuk!" perintah Hendi.

"Maaf kalau mengganggu, Pak! Ini adalah laporan HRD untuk penambahan karyawan. Maaf saya tak sempat memasukkan dalam berkas tadi. Bapak silahkan menandatangani semua yang sudah saya beri tanda," ujar Aruna sambil menundukkan kepala dan menyerahkan draft dokumen dalam map kertas itu.

"Kau ingin memberiku sampah?" tanya Dion membanting dokumen di atas meja kerjanya.

"Maksudnya apa, Pak?" tanya Aruna yang terbengong sambil terheran-heran.

Dion tidak menjawab tetapi dia hanya warna batas dokumen. Aruna menghela nafas panjang, dia melupakan sesuatu bahwa Dion memiliki OCD yang lumayan parah tentang keselarasan warna apapun. Termasuk pembatas kertas yang harus sama, sejajar, dan warna sama. Tanpa banyak bicara Aruna segera menyadari kesalahannya. Dia mengambil berkas yang ada di meja kerja Dion. Dia segera mengganti berkas dengan mengeprint ulang data itu dan mengulang memberikan pembatas warna yang sama.

"Dasar! Rada ada gila- gilanya memang! Harusnya dia periksa ke rumah sakit mendatangi psikolog! Agar OCD nya sembuh!" gerutu Aruna mengomel sendiri.

Paahal biasanya Aruna santai saja, bahkan dia sebelum menyerahkan berkas masuk dari manapun akan selalu mengeceknya. Namun karena emosi tadi dia lupa tak memastikan lagi. Dia kembali ke ruangan Presdir, Hendi sudah keluar dari ruangan itu. Sekarang di ruangan hanya ada Dion dan Aruna.

"I- ini berkasnya, Pak," ucap Aruna sambil menyerahkan berkas itu, nyalinya seketika menciun saat berhadapan dengan Dion.

Dion menerima uluran berkas itu lalu mengeceknya berulang kali. Sudah beberapa menit berlalu tetapi dia masih asyik mengecek berkas itu. Padahal dari awal masalahnya hanya pembatas kertas saja.

"Dia sedang mengecek berkas atau mencari kesalahanku sih?," batin Aruna dalam hati terus mengeluh.

"Pak, maaf kalau memang Bapak masih mau mengeceknya lagi saya izin ke luar dulu! Saya masih memiliki beberapa pe..."

"Tidak! Tetap di situ diam! Kau pikir siapa yang mau mengantarkan berkas ini ke ruanganmu? Aku di sini Presiden direkturnya bukan kamu! Jika aku masih harus mengantarkannya sendiri, untuk apa aku memperkerjakanmu! Buang- buang uang untuk menggajimu? Hah?" cerca Dion tanpa ampun langsung memotong pembicaraan Aruna.

Aruna pun langsung terdiam dan tetap berdiri tanpa mengatakan atau menyanggah apapun. Dia hanya menarik nafas panjang. Menganggap mungkin Presiden Direkturnya sedang mengalami PMS lelaki. Dengan sabar Aruna berkas yang akan di tanda tangani oleh Dion. Untunglah tak lama kemudian, masuklah Hendi ke dalam ruangan lagi. Itu cukup membuat hati Aruna sedikit lega.

Dion melirik sesaat ke arah Aruna. Dia sengaja membuatnya berdiri lama, karena memberikan kesempatan Aruna berbicara masalah semalam. Tapi nyatanya Aruna terus terdiam tak sedikitpun membahas kejadian itu. Hal ini membuat Dion bertambah bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya. Akhirnya Dion menandatangani semua berkas itu dan memberikan pada Aruna.

"Terima kasih, Pak! Saya permisi dulu kalau begitu," ujar Aruna sambil membungkuk tanda menghormati Dion. Dion terdiam dengan sejuta ekspresi yang susah diartikan.

"Pak," panggil Hendi.

"Bagaimana nasib coffe break dan makan siang nya? Saya baru dihubungi oleh Ketua Dewa Direksi lagi," kata Hendi.

"Ayolah, Pak! Tak akan lama," pinta Hendi lagi.

"Ck! Hendi dengarkan aku! Aku ingin menanyakan sesuatu padamu!" ucap Dion mengalihkan pembicaraan dan menatap tajam ke arahnya.

"Ada apa, Pak?" tanya Hendi sedikit keheranan.

"Mengapa tadi malam Aruna menyusulku?"

Apakah yang akan dijelaskan oleh Hendi?

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ibu Narti
good sekali
goodnovel comment avatar
Laure Angel
hmmm... jiplakan cerita sebelah.. sampahhhh
goodnovel comment avatar
Evano Hariono
next author
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status