Kuputar batang tembakau di antara jemari, menjaganya tetap utuh sebelum singgah dalam jepitan bibir. Belum kubakar. Hanya memperhatikan para wanita gila yang terus berteriak karena aksi Nabas bermain truth or dare di tengah ruangan, tepatnya, dia berdiri di pertengahan meja dalam keadaan menari setengah telanjang bersama salah satu klien tanpa musik.
"Mas Lingga mau dibakarin enggak rokoknya?"
Aku menoleh, mendapati salah seorang yang kuketahui sebagai istri pengusaha konstruksi terkenal melekat pada lenganku. Tangannya pun bergerak membelai lutut hingga pinggangku.
Spontan rambut halus di sepanjang lengan meremang. Geli.
"Eng ... enggak." Aku bergeser, memberi jarak yang bisa ditempati seorang lagi sebelum membakar ujung benda di bibirku.
Manis. Asapnya memenuhi rongga mulutku sebelum diembuskan ke udara.
"Minum aja, yok!" Datang lagi seora
Kepalaku masih berat meski hanya untuk beranjak turun dari taksi yang kutumpangi. Entah efek alkohol atau .... Ah, aku enggak pengin ngebayangin. Bawaannya mau muntah. Oleng. "Aksa dari mana?" Kurasakan seseorang menopang lenganku. Tingginya hampir menyamaiku dengan perawakan lebih kurus. "Ra?" Aku berharap tidak sedang berhalusinasi seperti semalam. Berkali-kali kuucapkan namanya setiap mencapai pelepasan. Gila! Apa yang terjadi denganku? Aku masih bisa berjalan, hanya belum fokus. Sampai tiba di kamar, Sara membantuku berbaring. Dia juga melepaskan sepatu yang kukenakan dan menekan-nekan pelipisku dengan jemari lentiknya. "Sa?" Kubalas dengan gumaman. Mataku berat, meminta lekat begitu kepala menyentuh bantal. "Lo kerja lagi?" "Gue capek, Ra." Ingin kukatakan ya, tetapi ini bak
Aksa!" Aku terkejut mendapati teriakan Sara yang telah berhasil membuka pintu. Kayaknya dia masih megang kunci cadangan, terlihat dari gantungan dalam genggamannya setelah menutup pintu. "Apa lagi?" Aku kembali berkutat pada tampilan layar ponsel yang menunjukkan sederet angka mengisi saldo rekeningku sementara jemari Sara menyelip di antara lenganku dan bertemu di depan perut. "Ikut ibadah?" tanya Sara sambil menyandarkan dagunya di bahu kananku. "Sara ...." Aku menoleh dan langsung dihadiahi ciuman, lagi. Kekehan mengiringi setelahnya. "Demi gue." Tatapan lebarnya yang memohon ternyata melemahkanku. Demi dia? Sejauh ini, aku melakukan segala hal demi dana yang masuk dalam rekeningku. Kuembuskan napas dengan kasar, sadari bakal berhadapan lagi dengan simbol ketuhanan setelah sekian lama menghindar hanya untuk menemani tuan putri.
Di lain waktu, Sara mengajakku berkunjung ke rumah pamannya. Iya, paman yang menjadi imam di paroki yang kami kunjungi saat ibadah. Aku mengendus 'niat baik' yang berbahaya. Apa mungkin dia punya niat mengembalikanku ke 'jalan yang benar'? "Wah, kirain Sara datang bareng Mbak Indar." Sapaan itu terdengar dari tempatku memarkir motor, hanya sekitar dua meter dari pintu rumah yang baru kuketahui merupakan fasilitas yang diberikan pihak gereja pada para pelayan Tuhan. Dia menyebutkan nama yang bisa kukorelasikan. Mamanya Sara. "Mama keluar kota, Paman." Benar? Aku menertawakan sendiri tebakan yang memenuhi kepala. Enggak biasa aku bisa mengingat para manusia selain orang tertentu yang sering dijumpai. "Tugas kantor?" "Iya." Sambil menggantungkan kedua helm di samping jok, aku menyimak pembicaraan mereka.
"Kak Aksa ...." Kebiasaanku melanglang ke seantero sekolah ternyata bisa menjadi jebakan. Saat mencari kesunyian di antara bangunan belum jadi setelah istirahat selesai, suara lemah menggoda itu mampir. Bukan Sara, aku mengenalinya. Cewek rese lain yang pernah kupermalukan. Abai, aku memilih mengisap bakaran dalam selipan jemariku seraya melihat langit yang semakin menggelap. Punggungku bersandar pada bagian dinding yang belum diplester, kasar oleh batu-bata dan semen. Namun, tarikan di bagian depan celana kelabuku mengejutkan. "Apa maksudnya ini?" Aku bergeser selangkah menjauh, berusaha menepis tangannya dan menjatuhkan sisa batang bara di tangan. "Masa enggak tahu?" Gadis itu, yang pernah memergokiku 'kerja' berjongkok di depan ritsleting dan membuka sisanya. "Apa gue perlu bayar kayak Sara biar enggak penasaran?" "Gue enggak tau." Aku bergeser
Cie ... yang jadian sama junior." Itu suara Kea, pacar Nabas. Atau kalau boleh ditegaskan, saudariku beda ibu. Tentu dia belum tahu. Itu masih rahasia antara aku dan Abah sampai beliau berani ambil keputusan. "Jadian?" Aku mempertanyakan maksudnya karena putrinya Abah itu ternyata melangkah di sisiku saat menuju area parkir seolah begitu akrab. Padahal, kami baru beberapa kali ketemu di luar sekolah. "Lo sama anak kelas sepuluh, yang—" "Info dari mana, Ke?" Nabas menengahi kami, turut berjalan sambil merentangkan lengannya dan berlabuh di bahuku dan Kea. "Aksa emang gitu dia. Ada aja yang naksir, tapi dianya milih anteng ke mana-mana sendiri." Enggak salah. Dia juga bilang gitu ke para tante yang sering menggunakan jasa kami saat berpergian. Ralat. Hanya Nabas. Lebih mudah memanfaatkan dia buat urusan sarang yang perlu diisi. "Oh ... kirain anak k
Aku dan Nabas diarahkan menuju suit yang lebih luas. Kutebak, ini ruangan penyewa jasa kami. Masuk ke dalam, kami disambut deretan sofa krem yang tampak sangat empuk. Tanpa sekat, lebih jauh lagi bertemu bar mini dengan sederet botol minuman dan camilan. Tidak berhenti, pramukamar mengajak kami menyusuri tangga naik dan menemukan wanita muda duduk di atas sofa besar menghadap dinding kaca yang menampakkan batas langit dan lautan sambil menyilangkan kaki. Bingung yang kurasa ketika pramukamar menunduk, berpamitan pada si penyewa. Pemuda lain mungkin akan terpesona dengan wajah putih bersih dan lekuk tubuh menggoda si wanita muda, tapi aku masih belum bisa menemukan ketertarikan selain dari aroma manis Sara. "Buka?" pinta wanita itu ketika aku dan Nabas berjarak satu meter di hadapannya. Cara dia bergerak dan penampilan yang terlihat berbeda dari penyewa kami sebelu
"Hei! Apa coba yang gue liat?" Teriakan yang menggema dalam suite yang kutempati menyadarkan keberadaan Nabas. Dia pasti melihatku dan ... Sara. Bergegas kutarik selimut dari lantai untuk menutupi tubuh Sara yang telungkup di sisiku baru menanggapi tatapan bertanya dari pemuda sipit itu. "Yo, Bas." Telapak tangan kananku refleks naik ke udara, menyapa sebelum mengambil celana pendek yang ternyata menutupi lampu di nakas dan mengenakannya di samping Sara. "Lo bilang enggak jadian sama dia." Nabas masih melongo, menunjuk ke arahku seraya berjalan mendekat. Kudengarkan gumaman di sisi. Sara menggeliat, melotot ketika mendapati kakak kelasnya itu menempati kasur lain dalam ruangan yang sama. Jemariku menyisir helaian rambut Sara yang berantakan, lalu bertanya, "Kapan kita jadian?" Rengutannya semakin menggemaskan. Aku bahkan enggak perlu lagi meminta izin mendaratkan kecupa
Semalam, aku menginap di kamar Sara. Enggak jauh beda dengan suit yang kutempati dengan Nabas, tetapi teman sekamar Sara harus mengungsi sementara karena panasnya kegiatan kami. Sara masih tertawa dalam pelukanku kalau mengingat wanita sekamarnya hanya lewat dan berlagak seolah kami tidak ada. "Apa yang lucu?" tanyaku seraya melarikan jemari di permukaan lengannya. Selalu lembut, mungkin efek perawatan. Seperti wanita-wanita yang seringkali berusaha menyentuhku, kulit mereka begitu mulus, terawat, bahkan jarang memiliki rambut halus. "Lo liat kan gimana gayanya ngomelin gue kek enggak ada gue di sini?" Sara melihat langit-langit kamar seperti membayangkan. Keningnya berkerut sesaat sebelum duduk. Dia mulai berakting, "Sara, lo itu masih di bawah umur. Jaga diri, kek. Jagaimage,kek. Pintu ditutup gitu biar enggak keliatan orang yang bi