Dentum musik menggema memenuhi ruangan. Gerak manusia saling merapat di pertengahan, tepat di hadapan dj yang sesekali menyapa.
“Ambil aja! Enggak ada alkohol di acara gue!” teriak Sara pada beberapa orang yang menyalaminya dan turut bergoyang mengikuti hentakan musik. Dia menunjuk pada susunan gelas meninggi yang tersusun membentuk piramida kaca dikelilingi gelas-gelas bertangkai tinggi yang diisi buah dan soda.
Aku sendiri berada di sisinya. Lebih mirip patung pajangan yang berdiri menjadi pegangan atau bahkan sandaran Sara semenjak pesta dimulai. Tema pakaian yang digunakan lebih pada rebelnya masa peralihan dari remaja ke dewasa.
Ini mah aku banget. Atau mungkin Sara emang sengaja?
“Kak Aksa keliatan garang, ya?” komentar salah seorang adik kelas yang hadir dan menyerahkan kadonya ke Sara.
“Seneng?” Sara justru merengut ke arahku. Dia menguatkan cengk
Seraya berlari menuju parkiran motor, aku menghubungi kedua temanku di dalam ruang pesta. Nihil. Kalaupun tersambung, di dalam sana terlalu bising. Kuketikkan pesan singkat yang meminta bantuan mereka mencari keberadaan nomor plat mobil yang membawa Sara.“Ra ... apa gue bilang? Lo enggak dengerin gue, sih.” Percuma mengeluh. Kusambungkan pelantang tanpa kabel di telinga yang disambungkan pada ponsel dalam saku celana setelah menyalakan motor andalanku.Deru mesin mengadu ketebalan ban pada jalan yang dilalui. Aku enggak peduli dengan kemacetan yang menyambut di luar gedung parkir. Gimana pesta berjalan tanpa bintang utama? Ini namanya penculikan.“Gimana? Ada kabar?” tanyaku begitu panggilan di telinga tersambung. Berbagai panggilan kuterima sepanjang satu jam perjalanan di malam hari yang membekukan pergerakan tangan pada kedua setang masih seputar pergerakan kendaraan yang belum juga tampak di
“Aksa? Kamu di mana, Nak?” Suara dari pelantang yang tersemat di telingaku terdengar cepat. “Abah sudah di belakang mobil yang kamu bilang.” Sayangnya, semua terlambat. Aku terlambat. Seketika aku hancur melihatnya. Apa mungkin ini juga yang Sara rasakan ketika melihatku dulu menyentuh orang lain di depan matanya? “Abah ... Aksa gagal lindungin Sara, Bah ....” Aku berucap lirih tanpa bisa bergerak ketika sadari kedua tanganku telah terikat di belakang punggung. “Anak kecil pake nangis.” Kalimat itu kudengar setelah sekali tendangan menyapa pelipis. Sengat yang menyerang berikutnya enggak seberapa dibanding kekecewaan yang terlihat. “Sara, Bah ....” Menggeleng kuat pun, enggak ada yang bisa kulakukan. Hanya berguling, menutupi wajah dengan menghadap lantai. Ingin sekalian kubenturkan, tetapi cengkeraman di rambutku justru menahan. Temannya G ini sengaja
"Lihat!" Tamparan dari perempuan yang melahirkan Sara mendarat di pipiku. "Apa yang terjadi sama anak saya semenjak sama kamu?"Belum lagi reda nyeri di wajah akibat pukulan dan tendangan beberapa hari lalu, masih juga ditambah dengan pedasnya laku dan kata dari ibu mertua. Aku ... hanya bisa berdesis, menahan lidah bicara sementara bahu terus di dorong mundur menjauhi brankar tempat Sara berbaring.Lekatnya kami saat saling menghibur dengan canda kembali terpuruk karena sadari luka itu akan terus kembali selama masih ada yang terus membahas. Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh seraya menundukkan kepala. Sekali terpejam, kilasan para wanita yang mencari kepuasan padaku saat lampau dan pemuda-pemuda yang menertawakan hasrat Sara dalam mobil semakin mengobrak-abrik panasnya dadaku.Apa Tuhan mulai melancarkan hukuman untukku?"Udah, Ma. Ini bukan salah Aksa." Sara tampak berusaha turun dari brankar,
"Kamu perlu uang berapa? Bilang! Saya tahu, kamu cuma ngincar anak saya demi uang. Iya, kan? Saya bisa kasih kamu jauh lebih banyak asalkan jauhi kami."Aku enggak ngejawab. Cuma diam ketika dilempari lembaran merah muda yang masih berselimut pita percetakan baru. Dulu, ya. Mungkin aku bakal ngais semua yang jatuh seperti perlakuan para pelanggan dulu.Sekarang? Enggak.Hubungan yang kujalani sama Sara sekarang itu enggak cuma sebatas bayaran, ya ... meski tetep aja aku masih bergantung dengannya. Melihat lagi ke arah wanita yang kuingat bernama Indar ini, pelototannya padaku masih seawet hujan di luar. Dingin. Apa enggak kering matanya?"Saya enggak nyangka putri saya menikah dengan gig*lo kayak kamu! Cuih! Najis!"Aku mengulum bibir sesaat, sesekali embuskan napas yang terasa berat. Hinaan lagi ketika Sara enggak di rumah kayak gini. Belum lagi diludahi terang-terangan.
Setelah memastikan Sara beristirahat, aku mendatangi pria tua yang menghadapi layar laptop dan duduk di sofa ruang tamu paviliun. "Udah nemu, Bah?" Aku memulai pembicaraan lebih dulu."Barang buktinya ada, tapi siaran langsung yang mereka lakukan sulit dihilangkan dari publik yang sudah terlanjur melihat bahkan mungkin menyimpan secara ilegal." Abah memperlihatkan beberapa situs yang dikirimkan anak buahnya. Dalam hitungan menit, video yang tampak dari jendela layar terbuka berganti lingkaran tercoreng.Masih terlalu lambat dibanding jumlah penonton yang terlanjur melihat. Seenggaknya banyak bantuan yang kudapatkan dari Abah semenjak menyandang predikat sebagai keponakannya. Aku kira ... dari gaya berpakaian dan bicara Kea, mereka berasal dari keluarga sederhana, keluarga biasa yang memilihlow profile.Belakangan, aku takjub dengan informasi Papa mengenai perusahaan korporasi yang dimiliki Abah. Korporasi.
"Kea?" Aku terkejut mendapati anak perempuan Abah berada di depan pintu keluar dan menunduk. Gayanya serupa denganku ketika berpikir dan mendengarkan. Mengetuk sepatu ke lantai dan berpikir. Mungkin sadar dengan keberadaanku, Kea mendongak lalu senyuman segarisnya mengiringi kerutan di pangkal alis saat menyapa, "Lo mau keluar, Sa?" "Lo mau masuk?" Telunjukku mengarah ke belakang punggung. Rautku mengimitasi gerakan wajahnya yang memaksakan tawa ringan. "Cuma ... Sara-nya lagi tidur." Kea berjinjit seolah melirik sosok di belakangku, bisa jadi dia sudah melihat Abah yang sibuk dengan laptop, kemudian tersenyum lagi ketika mengeratkan pegangan pada tas selempang yang menggantung di bahunya. "Gue ikut lo keluar aja, gimana?" "Ngasap dulu gue. Ada Bapak di dalam, Ke." Maksudku, kalau perlu dia enggak usah ikutan. Ini yang ada malah pake ngegandeng lengan segala. "Enggak ma
"Aksa bercanda mulu!" Kea memukul bahuku. Tepukan dari telapak tangannya ternyata pedes banget. Gimana kalau belajar bela diri? Dia menyejajari langkahku melalui jalan setapak luar bangunan rumah sakit. Enggak kayak sebelumnya yang lewat koridor dalam. "Enggak mungkin lah gue gantiin Sara," lanjut Kea sambil terkekeh. Kalau dibandingkan sama penampilan Sara biasanya yang cenderung mengenakan jin atau rok pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya dengan atasan yang harus in, Kea betah menjadikan kaus dan jin panjang--menutupi keseluruhan tubuhnya yang lebih pendek dariku. Abah berhasil membuat adikku ini tetap terlihat sederhana dan enggak diperhitungkan buat sasaran pengincar harta. Coba aja dia kayak anaknya para tante yang sering memanggilku, pasti sudah banyak yang ngantri mengajaknya kencan. Ubah penampilan yang bisa menonjolkan kecantikannya gitu. Ah, jangan, deh. Biar Kea tetap Kea yang biasa sampai
Bosenin juga enggak ada si rese. Udah kebiasaan kali ya ngeliat Sara yang biasanya mimpin tim penyorak latihan di lapangan. Entah kapan dia bakal balik ke sekolah atau mungkin mau tetap bersembunyi ampe benar-benar ngerasa aman dari urusan video mesum yang terlanjur kesebar meski belum ada berita atau isu tentang itu di sini. "Udah liat pengumuman, belum?" Kea muncul di luar jendela sebelah meja belajarku. Semenjak disematkan predikat sebagai sepupu, Kea rajin banget mampir. Entah karena anggep aku keluarga atau nyari peluang deketin Nabas lagi. "Pengumuman apa?" Kalan lebih dulu nanya tanpa melepaskan atensi dari gim di layar ponsel. Dia masih betah berteriak pada rekan timnya dari sambungan daring. "Siswa yang bisa ajuin daftar non-tes ke universitas negeri." Nabas turut muncul. Dia merebut kotak susu yang disedot Kea, menekan ujung sedotan yang gepeng sebelum menghabiskan isinya. Kebiasaan