LOGIN
"Kalau sampai akhir tahun ini istrimu belum hamil juga, udahlah ceraikan aja dia Bim. Gak berguna dia jadi istri kalau nggak bisa kasih kamu keturunan. Nikah udah tiga tahun kok belum punya momongan. Kucing aja setahun beranak tiga kali."
"Bu, tolong sabar dulu, ya. Aku sama Khansa juga lagi ngusahin." "Usaha apa? Kalau usaha tuh ada hasilnya. Ini mana coba hasilnya? Ibu yakin istri kamu itu mandul, Bim. Mending kamu nikah lagi aja sama perempuan lain yang bisa kasih kamu anak." Khansa yang baru saja pulang dari giat persit tidak sengaja mendengar obrolan mertua dan suaminya di ruang tamu. Ia yang baru saja akan mengucap salam sontak terhenti di depan pintu. Suasana hati Khansa baik-baik saja sebelumnya. Giat persit juga menyenangkan, tetapi seketika semua energi positif di dalam tubuhnya hilang dalam sekejap. Khansa tidak menyangka kalau ibu mertuanya akan bicara nyelekit seperti itu. Selama ini, beliau selalu ramah kepada Khansa. Bahkan, Khansa sudah menganggap beliau seperti ibu kandungnya sendiri, bukan sebatas mertua belaka. Sebuah tarikan napas panjang Khansa lakukan, dan ia pun langsung masuk seraya mengucap salam. “Assallammuallaikum.” Suami dan ibu mertua Khansa serentak menoleh. Mereka berdua kelihatan terkejut karena Khansa tiba-tiba datang. Namun, Khansa hanya senyum, berpura-pura seolah tidak mendengar apa-apa. Si ibu mertua yang biasanya ramah dan baik kepada Khansa kali ini justru berubah dingin. Wanita itu melirik Khansa dari sudut matanya, kemudian kembali menatap anaknya sendiri. “Ibu mau pulang dulu,” kata si ibu mertua. Ia cepat-cepat mengambil tasnya dan langsung berdiri hendak keluar. “Kok buru-buru, Bu?” tanya Khansa. “Lagi ada arisan!” jawab ibu mertuanya ketus. Khansa diam saja mendengar jawaban ketus tersebut. Sebelum pergi, si ibu mertua kembali menatap anaknya dengan pelototan tajam. “Bima, Bim… ingat pesan Ibu tadi.” Bima hanya mengangguk lemah, lalu ibunya pun pergi bersama dengan supir taksi online yang sudah menunggunya di luar. Sepeninggal ibu mertuanya, Khansa memperhatikan sang suami dalam diam. Tidak ada sambutan hangat dari sang suami ketika Khansa datang, padahal biasanya mereka baik-baik saja. Ia melihat wajah suaminya semrawut. Keningnya mengerut tebal, tatapan matanya mengawang-awang, dan rahangnya mengeras. Jelas, sang suami tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. “Mas Bima.” Bima tidak menjawab panggilan Khansa, ia malah mengembuskan napas kasar dan menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangan. Ia kelihatan benar-benar pening dengan masalah ini. Khansa berusaha bersabar. Ia sendiri juga sama pusingnya dengan Bima, jadi Khansa pun mendekati Bima dan duduk di sampingnya. “Mas, aku denger obrolan kamu sama Ibu tadi.” Bima masih diam. “Mas, kamu nggak akan ikutin apa maunya Ibu, ‘kan?” Bima membuka wajahnya, tetapi ia masih tidak menatap Khansa. “Sudah tiga tahun, Sa. Harus sampai kapan kita nunggu lagi? Aku malu Sa sama temen-temenku. Aku sering diejek karena belum juga punya anak. Kata mereka aku kurang perkasa lah, aku lemah lah, loyo. Ibu juga nuntut cucu terus karena aku anak tunggal. Aku tertekan, Sa.” Khansa sedih mendengarnya. Ia tahu, ejekan teman-teman Bima bisa jadi hanya candaan belaka. Namun, candaan seperti itu bisa berakibat fatal jika diucapkan kepada orang yang sedang tertekan karena belum juga diberi rezeki anak seperti mereka. “Mas, maaf… Tapi ‘kan kita juga udah usaha. Kita berdua juga udah cek kesehatan masing-masing, dan hasilnya kita sama-sama sehat. Mas Bima juga tau sendiri kalau kita cek kesehatan reproduksi juga enggak sekali, enggak di satu dokter aja, tapi hasilnya aman semua. Mungkin memang belum dikasih rezeki aja, Mas sama yang di Atas.” Bima diam saja. Wajahnya suram luar biasa. Khansa menyentuh lengan Bima dan mengusapnya pelan, tetapi masih tak ada respon juga dari pria itu. “Mas…” Sungguh, Khansa juga ikut sedih melihat suaminya seperti sudah sangat putus asa dengan usaha mereka untuk mendapatkan momongan. * Malamnya, Khansa dan Bima makan malam dengan suasana yang amat dingin dan hening. Khansa berusaha mengajak sang suami mengobrol sedikit sebagaimana sesi makan bersama mereka biasanya, tetapi pria itu hanya menanggapi seperlunya saja, malah lebih kelihatan malas menanggapinya. Suasana seperti itu jelas saja membuat Khansa tidak nyaman. Ini malah terkesan seperti Bima sedang menyalahkan Khansa atas takdir yang menimpa mereka. “Mas, tolong jangan diemin aku kayak gini, dong. Kalau kamu bersikap kayak gini, kesannya kayak aku yang salah. Kamu sendiri juga tau kalau hasil pemeriksaan kita berdua sama-sama baik, kita berdua sehat kok.” Bima menghela napas panjang. Ia mempercepat makannya kemudian langsung menenggak air putih dengan cepat. “Entahlah, aku pening. Malam ini aku mau nginep di barak aja,” putus Bima tiba-tiba. Khansa melebarkan kelopak matanya. “Loh, kenapa, Mas?” Sayangnya, Bima tidak menanggapi pertanyaan Khansa lebih lanjut. Ia malah langsung pergi begitu saja meninggalkan Khansa sendirian di rumahnya. Sikap Bima yang seperti itu membuat Khansa takut dan gelisah. Ia pun merasa sedih. Demi Tuhan, ia juga sangat ingin memberikan anak dan keturunan untuk suaminya, tetapi bagaimana caranya? Mereka berdua sudah melakukan segala cara, dari yang sesuai dengan keilmuwan modern sampai dengan cara-cara mitos orang-orang dulu, tetapi semuanya belum berhasil. Sebenarnya, masih ada satu cara lagi yaitu program bayi tabung, tetapi masalahnya program itu sangat mahal, dan belum tentu juga sekali memakai program tersebut lalu bisa benar-benar berhasil. Bahkan di berita-berita, selebriti terkenal atau orang-orang berada yang uangnya banyak pun tidak hanya sekali atau dua kali saja baru bisa berhasil ketika memakai program tersebut. Bagaimana mungkin Bima dan Khansa bisa memakai program bayi tabung kalau gaji Bima saja sangat pas-pasan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, Khansa harus berhemat karena suaminya masih harus menanggung biaya hidup sang ibu. Khansa jelas tidak keberatan dengan hal itu, lagipula Bima memang anak tunggal. Hanya saja, itu artinya Khansa harus mencoret opsi bayi tabung untuk usaha mereka memiliki anak. “Aku takut kamu ninggalin aku, Mas. Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini,” batin Khansa pilu. Khansa memang sudah yatim piatu. Saat ini, keluarganya ya hanya Bima dan juga orang tua Bima saja. Jika pria itu juga meninggalkannya karena masalah ini, maka Khansa akan benar-benar menjadi sebatang kara. “Tapi… aku harus gimana supaya bisa punya anak?” Khansa mengusap wajahnya. Bukan Bima saja yang ruwet. Khansa pun sama bingungnya. Malam itu setelah Bima pergi, Khansa yang ditinggal sendirian di rumah menjadi gelisah dan tidak bisa tidur. Ia terus kepikiran dengan masalah ini. Khansa melakukan pencarian di g****e, tips untuk mendapatkan keturunan, dan semacamnya, tetapi semua cara yang tertulis di artikel g****e itu sudah pernah ia dan Bima lakukan. Sisanya hanya program bayi tabung saja yang memang tidak mungkin mereka ambil sebab kendala dengan biayanya yang mahal dan mencapai puluhan juta untuk sekali siklusnya. * Hari ini, Khansa menemani Bu Danton ke salon. Beliau adalah istri perwira berpangkat Lettu. Bu Danton sangat baik dan ramah, beliau juga dermawan. Ketika mengajak Khansa, itu artinya semua biaya makan, jajan, dan lain-lain sudah ditanggung olehnya. Bu Danton memiliki anak yang masih berusia setahun, biasanya butuh bantuan untuk menjaga anaknya juga. Khansa senang-senang saja, lagipula dirinya juga sangat suka pada anak kecil. “Bu Bima, tolong jagain anak saya dulu sebentar ya, nggak bisa diem nih Lala.” Khansa mengangguk. “Siap, Bu.” Anak Bu Danton sudah mulai bisa berjalan, tetapi masih sering oleng. Anak itu biasanya berjalan dengan berpegangan pada apapun yang ada di sekitarnya. Itu jugalah yang membuat Bu Danton tidak bisa keluar hanya bersama sang anak saja. Lengah sedikit, sang anak pasti sudah jatuh. Khansa dengan telaten menjaga anak itu sembari menunggu Bu Danton perawatan rambut. Karena anak itu kelihatannya bosan di dalam salon, Khansa pun membawanya keluar. Ketika sedang menjaga anak Bu Danton di luar itu, Khansa tidak sengaja mendengar obrolan dua orang wanita yang menyebut-nyebut tentang gigolo. Mereka cekikikan dan sepertinya seru sekali saat membahas topik itu. "Iya, Jeng, si Rio bisa gaya helikopter ternyata! Ah aku bakal repeat order deh kayaknya," ucap salah satunya heboh. Khansa bukan tipikal orang yang suka menguping, kebetulan saja memang dua orang itu bicara dengan suara yang lumayan keras sampai Khansa pun dengar. Khansa masuk lagi ketika perawatan rambut Bu Danton selesai. Mereka mampir makan dan ditraktir oleh Bu Danton lagi. Khansa sudah mengatakan tidak usah, sebab tadi sudah ditraktir camilan saat ngobrol-ngobrol di kafe, tetapi beliau memang selalu seperti itu. “Oh iya Bu, tadi saya denger ada orang ngobrol gitu sambil cekikikan, mereka nyebut-nyebut soal gigolo.” Bu Danton kaget. “Di tempat umum begitu?” Khansa mengangguk, ekspresi wajahnya tampak bingung. “Amit-amit ya mereka itu, bisa-bisanya ngumbar aib di tempat umum. Nggak malu apa ya kedengeran orang, dunia emang mau kiamat!” ucap Bu Danton sambil geleng-geleng kepala. Khansa yang polos tidak mengerti. “Gigolo itu apa, Bu?” “Kamu nggak tahu?” Bu Danton balik bertanya. Khansa hanya menjawab dengan gelengan. “Laki-laki pesanan. Kalau perempuan ya kayak pel4cur gitulah,” jelas Bu Danton. Khansa membelalak kaget. “Laki-laki ada yang ju4l diri juga, Bu?” Bu Danton tertawa mendengar pertanyaan Khansa. “Bener-bener polos deh Bu Bima ini. Beruntungnya Pak Bima punya istri kayak kamu.” Khansa hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ia jadi mengingat omongan nyelekit ibu mertuanya kemarin. Andai saja beliau juga berpikiran sama dengan Bu Danton, pasti Khansa tidak akan merasa sedih. “Gigolo itu udah umum, Bu Bima. Cuma memang nggak serame kayak pel4cvr perempuan aja, padahal sih sejak zaman Kerajaan dulu laki-laki yang jv4l diri sudah ada. Kalau sekarang, mereka biasanya jadi pesanan oknum ibu-ibu pejabat yang enggak terpuaskan sama suaminya, atau untuk oknum para istri yang suaminya kerja jarak jauh gitu macam orang-orang pelayaran. Bahkan enggak sedikit juga oknum persit yang pakai gituan pas suaminya satgas. Nggak buat wanita aja yang pesan, bahkan lelaki pun ada juga yang pesan mereka. Yah… dunia memang sudah tua sih Bu Bima. Yang penting, kita yang masih waras ini jauh-jauh ajalah. Amit-amit, jangan sampai terjerumus.” Khansa mengangguk. Namun, entah mengapa ia malah memiliki sedikit ketertarikan berkat penjelasan Bu Danton itu. Khansa buru-buru menggeleng, berusaha mengusir pikiran aneh-aneh yang mulai menyusup ke dalam benaknya. “Astagfirullah… mikir apa sih aku?” batin Khansa merutuki dirinya sendiri. Selesai menemani Bu Danton, Khansa pun pulang. Sayangnya, ketika ia sampai di rumah, Bima tidak ada. Rumah mereka sepi. “Mas Bima ke mana ya? Kok enggak ada ngabarin sih?” Khansa masuk ke rumah dan langsung menghubungi nomor suaminya. Untunglah, Bima langsung menerima panggilan itu. “Halo, Mas. Kamu ke mana? Kok pergi enggak ngabarin?” “Lagi ke rumah Ibu,” jawab Bima cuek. “Kok enggak ngomong? Setidaknya kasih kabar dong Mas biar aku nggak khawatir.” Bima tidak menanggapi protes yang dilayangkan sang istri. “Malam ini aku nginep di rumah Ibu.” “Hah? Kok main nginep aja? Semalam kamu udah nginep di barak masa sekarang mau nginep lagi?” “Aku lagi ngobrol sama Ibu, aku tutup dulu teleponnya.” “Loh? Mas Bima, Mas Bim—” Panggilan langsung dimatikan. Khansa kecewa. Akhirnya, ia pun bergegas menyusul Bima ke rumah mertuanya. Begitu sampai di rumah sang ibu mertua, Khansa tidak sengaja melihat seorang wanita muda yang baru saja keluar dari rumahnya. Ibu mertua Khansa kelihatan sangat ramah pada wanita itu, bahkan berpamitannya pun sampai cipika cipiki segala seperti sudah sangat akrab. Sebenarnya, tidak ada masalah andai perempuan itu saudara keluarga Bima. Sayangnya, Khansa mengenal wanita itu. Dia itu adalah mantan kekasihnya Bima yang berprofesi sebagai bidan. Hati Khansa nyeri menyaksikan semuanya. “Mau apa dia di rumah Ibu?” gumam Khansa pelan. “Apa jangan-jangan...?” *Rama pulang ketika tengah malam. Ia pikir, Khansa sudah tidur karena memang sudah terlalu larut untuk tetap bangun. Namun, perkiraan Rama salah. Ketika ia baru masuk, Khansa justru sedang duduk di kursi ruang tamu sambil menyilangkan kedua lengannya. Tatapan mata wanita itu begitu tajam mengarah kepada Rama. “Khansa, kamu belum tidur?” Khansa menatap sinis kepada Rama. “Bagus ya, pulang malam-malam. Nggak inget di rumah ada istri yang lagi hamil muda!”Rama mengerjap, kaget karena Khansa tiba-tiba marah. “Khansa, saya—”“Sibuk ya sama perempuan lain?”“Hah?”“Kamu pasti sibuk seneng-seneng sama Hesti di rumah ibu kamu makanya nggak inget waktu buat pulang. Oh? Kamu minta jatah ke dia karena aku nggak ngelayanin kamu? Udah puas?”Amarah Khansa semakin menggebu-gebu. Meskipun mulutnya berkata sinis, tetapi ekspresi wajahnya menandakan kalau ia sudah hampir menangis. Kedua matanya sudah penuh dengan air mata dan sangat memerah. Rama yang bingung karena tiba-tiba dituduh seperti itu ak
Kebetulan sekali, Rama dan Khansa melewati Bima. Mereka berdua sedikit kaget melihat Bima ada di rumah sakit. Apalagi penampilannya juga kelihatan kusut seolah ia kurang tidur. Rama langsung berpura-pura basa-basi di depan bawahannya itu. “Ketemu di sini kita, Praka Bima,” kata Rama. Bima menganggukkan kepalanya. “Kapten Rama.”“Lagi ngapain di rumah sakit?” tanya Rama. “Ibu saya baru saja kecelakaan, Kapten. Baru selesai operasi,” kata Bima. Khansa yang sejak tadi diam saja kaget mendengar ibunya Bima kecelakaan. Meskipun selama menjadi istri Bima ia sering mendapatkan perlakukan kurang mengenakkan dari ibunya Bima, tetap saja mendengar wanita tua itu kecelakaan dan baru saja selesai operasi membuat Khansa khawatir. “Terus gimana keadaan Ibu, Mas?” tanya Khansa tiba-tiba. Rama langsung menoleh. Bima sendiri juga kaget karena sejak tadi Khansa diam saja dan seperti tidak berniat untuk bicara dengannya. “Ibu sudah siuman kok. Hanya saja sejak tadi nggak berhenti menangis karena
Bima baru saja pulang ke rumah untuk makan siang. Sekarang kondisi rumahnya sepi karena Sindi sudah pulang usai mereka ribut waktu itu. Suasana hati Bima terus memburuk seiring waktu. Sudah ditipu, Bima juga kepikiran pula dengan perkataan Sindi yang mengatakan bisa saja bukan Sindi yang mandul, tetapi justru Bima sendiri. Ia yakin dirinya baik-baik saja, tetapi entah mengapa kali ini ia kepikiran. Di tengah suasana hati yang buruk itu, tiba-tiba ia mendapatkan panggilan dari nomor asing. Bima mengernyit bingung, tetapi segera mengangkatnya.“Halo, siapa ini?” tanya Bima. “Kami dari rumah sakit Citra Medika ingin mengonfirmasi apakah ini benar dengan Pak Bima?”“Iya benar. Saya sendiri.”“Pak Bima, saat ini Ibu anda dirawat di rumah sakit Citra Media karena kecelakaan. Mohon segera datang untuk mengurus administrasi.”Bima membelalak kaget. “Apa?! ibu saya kecelakaan?”“Benar, Pak. Saat ini ibu anda harus melakukan operasi jadi membutuhkan persetujuan wali.”Bima syok berat. Bagaima
“Kurang ajar!” Rama marah besar dan langsung menarik kerah pakaian Kahfi. Hal itu tentu saja membuat Kahfi kaget. Ia sama sekali tidak kenal dengan Rama, tetapi pria itu tiba-tiba saja memperlakukannya dengan tidak sopan.“Apa-apaan ini? Kenapa Anda—”Buagh!Sebelum Kahfi selesai bicara, Rama sudah lebih dulu meninju wajahnya dengan keras. Kahfi terdorong mundur dengan ujung bibir berdarah.“Mas Rama!” jerit Khansa panik. Sayangnya, Rama yang sudah diliputi oleh amarah dan rasa cemburu tidak mendengarkan keributan di sekitarnya. Ia fokus berusaha untuk menghajar Kahfi. “Hentikan! Hentikan Mas!” Khansa berusaha menarik lengan Rama, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil. Bu Rohmah yang mendengar keributan di luar langsung berlari tergesa-gesa ke depan. Ia kaget bukan main melihat Rama dan Kahfi sudah berkelahi satu sama lain.“Hentikan! Tolong jangan membuat keributan di panti asuhan! Ada banyak anak-anak di sini!” teriak Bu Rohmah. Kahfi sendiri tidak terima tiba-tiba dipukul. Ia
Khansa keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perutnya masih terasa melilit. Ia tidak tahu mengapa perutnya mual. Sekarang setelah muntah, tubuhnya juga terasa lemas.“Apa aku masuk angin ya?” gumam Khansa.Rupanya, Bu Rohmah melihat Khansa yang tadi mual dan muntah di kamar mandi. Ia khawatir terjadi sesuatu dengannya.“Khansa, kamu sakit?” tanya Bu Rohmah.Khansa menggeleng. “Khansa sehat kok Bu.”“Tapi tadi Ibu lihat kamu mual dan muntah di kamar mandi.”Khansa mengusap tengkuknya sendiri. Ia jadi merasa tidak enak. “Mungkin masuk angin saja Bu. Khansa sehat kok.”“Khansa, Nak… Masaknya biar Ibu aja yang handle ya. Kamu istirahat aja. Kayaknya kamu capek?”Khansa mengerjap. “Tapi Bu…”“Udah, nggak papa. Kamu istirahat aja dulu, yang di dapur biar Ibu urus.”Khansa menghela napas panjang dan akhirnya mengangguk. “Maaf, Bu.”“Nggak masalah, nggak usah minta maaf.”Khansa tahu meskipun tetap di dapur pun ujung-ujungnya malah tidak terlalu membantu. Namun, Khansa merasa tidak enak
Setelah cukup lama pingsan, Sindi akhirnya sadar. Ia merasa kepalanya agak pening. Ketika ia menoleh, Sindi melihat Bima duduk di sampingnya dengan tatapan datar.“Bim?”“Oh, udah sadar kamu,” kata Bima.“Bim! Tadi Ibu dorong aku. Dia mau nyolong perhiasan aku katanya buat bayar pinjol dan ketipu arisan. Aku nggak mau soalnya Ibu sering pinjam uang aku tapi nggak pernah dibalikin.”Bima yang mendengar Sindi mengadu hanya diam. Bahkan tidak ada tanda-tanda perubahan ekspresi sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Sindi heran. “Bima, kok kamu diem aja sih?” tanya Sindi. “Oh, kamu nggak percaya sama aku? Kamu mau belain Ibu kamu?”Bima menghela napas panjang, ia tidak merespon sama sekali pertanyaan Sindi. Justru Bima malah mengatakan hal lain. “Kamu udah sehat ‘kan? sekarang ikut aku,” kata Bima. Sindi kelihatan bingung. “Ke mana? Aku masih agak pusing. Kayaknya aku butuh waktu istirahat lebih lama Bim.”Bima tidak mau mendengarkan alasan tersebut. Ia justru langsung mencengkeram pe







