Sinopsis yang ini : "Kalau sampai akhir tahun ini istrimu belum hamil juga, udahlah ceraikan aja dia Bim. Gak berguna dia jadi istri kalau nggak bisa kasih kamu keturunan. Nikah udah tiga tahun kok belum punya momongan. Kucing aja setahun beranak tiga kali." Di tahun ketiga pernikahan, ibu mertua terus mendesakku untuk segera memberinya cucu. Dia bahkan menuduhku mandul, padahal dokter menyatakan kami sama-sama sehat. Tapi, dia tak mau mendengar dan berusaha menjodohkan suamiku dengan mantannya yang seorang bidan. Katanya, kalau suamiku menikah dengan anak kesehatan, akan mudah punya anak. Suamiku yang lemah iman itu malah menuruti permintaan ibunya. Dia selingkuh lalu membuang dan menceraikanku begitu saja. Tapi siapa sangka, nasib baik datang kepadaku. Aku dilamar seorang perwira berpangkat tinggi yang ternyata adalah... Selengkapnya di aplikasi GoodNovel Judul: Semalam dengan Komandan Karya Brata Yudha
View More"Kalau sampai akhir tahun ini istrimu belum hamil juga, udahlah ceraikan aja dia Bim. Gak berguna dia jadi istri kalau nggak bisa kasih kamu keturunan. Nikah udah tiga tahun kok belum punya momongan. Kucing aja setahun beranak tiga kali."
"Bu, tolong sabar dulu, ya. Aku sama Khansa juga lagi ngusahin." "Usaha apa? Kalau usaha tuh ada hasilnya. Ini mana coba hasilnya? Ibu yakin istri kamu itu mandul, Bim. Mending kamu nikah lagi aja sama perempuan lain yang bisa kasih kamu anak." Khansa yang baru saja pulang dari giat persit tidak sengaja mendengar obrolan mertua dan suaminya di ruang tamu. Ia yang baru saja akan mengucap salam sontak terhenti di depan pintu. Suasana hati Khansa baik-baik saja sebelumnya. Giat persit juga menyenangkan, tetapi seketika semua energi positif di dalam tubuhnya hilang dalam sekejap. Khansa tidak menyangka kalau ibu mertuanya akan bicara nyelekit seperti itu. Selama ini, beliau selalu ramah kepada Khansa. Bahkan, Khansa sudah menganggap beliau seperti ibu kandungnya sendiri, bukan sebatas mertua belaka. Sebuah tarikan napas panjang Khansa lakukan, dan ia pun langsung masuk seraya mengucap salam. “Assallammuallaikum.” Suami dan ibu mertua Khansa serentak menoleh. Mereka berdua kelihatan terkejut karena Khansa tiba-tiba datang. Namun, Khansa hanya senyum, berpura-pura seolah tidak mendengar apa-apa. Si ibu mertua yang biasanya ramah dan baik kepada Khansa kali ini justru berubah dingin. Wanita itu melirik Khansa dari sudut matanya, kemudian kembali menatap anaknya sendiri. “Ibu mau pulang dulu,” kata si ibu mertua. Ia cepat-cepat mengambil tasnya dan langsung berdiri hendak keluar. “Kok buru-buru, Bu?” tanya Khansa. “Lagi ada arisan!” jawab ibu mertuanya ketus. Khansa diam saja mendengar jawaban ketus tersebut. Sebelum pergi, si ibu mertua kembali menatap anaknya dengan pelototan tajam. “Bima, Bim… ingat pesan Ibu tadi.” Bima hanya mengangguk lemah, lalu ibunya pun pergi bersama dengan supir taksi online yang sudah menunggunya di luar. Sepeninggal ibu mertuanya, Khansa memperhatikan sang suami dalam diam. Tidak ada sambutan hangat dari sang suami ketika Khansa datang, padahal biasanya mereka baik-baik saja. Ia melihat wajah suaminya semrawut. Keningnya mengerut tebal, tatapan matanya mengawang-awang, dan rahangnya mengeras. Jelas, sang suami tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. “Mas Bima.” Bima tidak menjawab panggilan Khansa, ia malah mengembuskan napas kasar dan menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangan. Ia kelihatan benar-benar pening dengan masalah ini. Khansa berusaha bersabar. Ia sendiri juga sama pusingnya dengan Bima, jadi Khansa pun mendekati Bima dan duduk di sampingnya. “Mas, aku denger obrolan kamu sama Ibu tadi.” Bima masih diam. “Mas, kamu nggak akan ikutin apa maunya Ibu, ‘kan?” Bima membuka wajahnya, tetapi ia masih tidak menatap Khansa. “Sudah tiga tahun, Sa. Harus sampai kapan kita nunggu lagi? Aku malu Sa sama temen-temenku. Aku sering diejek karena belum juga punya anak. Kata mereka aku kurang perkasa lah, aku lemah lah, loyo. Ibu juga nuntut cucu terus karena aku anak tunggal. Aku tertekan, Sa.” Khansa sedih mendengarnya. Ia tahu, ejekan teman-teman Bima bisa jadi hanya candaan belaka. Namun, candaan seperti itu bisa berakibat fatal jika diucapkan kepada orang yang sedang tertekan karena belum juga diberi rezeki anak seperti mereka. “Mas, maaf… Tapi ‘kan kita juga udah usaha. Kita berdua juga udah cek kesehatan masing-masing, dan hasilnya kita sama-sama sehat. Mas Bima juga tau sendiri kalau kita cek kesehatan reproduksi juga enggak sekali, enggak di satu dokter aja, tapi hasilnya aman semua. Mungkin memang belum dikasih rezeki aja, Mas sama yang di Atas.” Bima diam saja. Wajahnya suram luar biasa. Khansa menyentuh lengan Bima dan mengusapnya pelan, tetapi masih tak ada respon juga dari pria itu. “Mas…” Sungguh, Khansa juga ikut sedih melihat suaminya seperti sudah sangat putus asa dengan usaha mereka untuk mendapatkan momongan. * Malamnya, Khansa dan Bima makan malam dengan suasana yang amat dingin dan hening. Khansa berusaha mengajak sang suami mengobrol sedikit sebagaimana sesi makan bersama mereka biasanya, tetapi pria itu hanya menanggapi seperlunya saja, malah lebih kelihatan malas menanggapinya. Suasana seperti itu jelas saja membuat Khansa tidak nyaman. Ini malah terkesan seperti Bima sedang menyalahkan Khansa atas takdir yang menimpa mereka. “Mas, tolong jangan diemin aku kayak gini, dong. Kalau kamu bersikap kayak gini, kesannya kayak aku yang salah. Kamu sendiri juga tau kalau hasil pemeriksaan kita berdua sama-sama baik, kita berdua sehat kok.” Bima menghela napas panjang. Ia mempercepat makannya kemudian langsung menenggak air putih dengan cepat. “Entahlah, aku pening. Malam ini aku mau nginep di barak aja,” putus Bima tiba-tiba. Khansa melebarkan kelopak matanya. “Loh, kenapa, Mas?” Sayangnya, Bima tidak menanggapi pertanyaan Khansa lebih lanjut. Ia malah langsung pergi begitu saja meninggalkan Khansa sendirian di rumahnya. Sikap Bima yang seperti itu membuat Khansa takut dan gelisah. Ia pun merasa sedih. Demi Tuhan, ia juga sangat ingin memberikan anak dan keturunan untuk suaminya, tetapi bagaimana caranya? Mereka berdua sudah melakukan segala cara, dari yang sesuai dengan keilmuwan modern sampai dengan cara-cara mitos orang-orang dulu, tetapi semuanya belum berhasil. Sebenarnya, masih ada satu cara lagi yaitu program bayi tabung, tetapi masalahnya program itu sangat mahal, dan belum tentu juga sekali memakai program tersebut lalu bisa benar-benar berhasil. Bahkan di berita-berita, selebriti terkenal atau orang-orang berada yang uangnya banyak pun tidak hanya sekali atau dua kali saja baru bisa berhasil ketika memakai program tersebut. Bagaimana mungkin Bima dan Khansa bisa memakai program bayi tabung kalau gaji Bima saja sangat pas-pasan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, Khansa harus berhemat karena suaminya masih harus menanggung biaya hidup sang ibu. Khansa jelas tidak keberatan dengan hal itu, lagipula Bima memang anak tunggal. Hanya saja, itu artinya Khansa harus mencoret opsi bayi tabung untuk usaha mereka memiliki anak. “Aku takut kamu ninggalin aku, Mas. Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini,” batin Khansa pilu. Khansa memang sudah yatim piatu. Saat ini, keluarganya ya hanya Bima dan juga orang tua Bima saja. Jika pria itu juga meninggalkannya karena masalah ini, maka Khansa akan benar-benar menjadi sebatang kara. “Tapi… aku harus gimana supaya bisa punya anak?” Khansa mengusap wajahnya. Bukan Bima saja yang ruwet. Khansa pun sama bingungnya. Malam itu setelah Bima pergi, Khansa yang ditinggal sendirian di rumah menjadi gelisah dan tidak bisa tidur. Ia terus kepikiran dengan masalah ini. Khansa melakukan pencarian di g****e, tips untuk mendapatkan keturunan, dan semacamnya, tetapi semua cara yang tertulis di artikel g****e itu sudah pernah ia dan Bima lakukan. Sisanya hanya program bayi tabung saja yang memang tidak mungkin mereka ambil sebab kendala dengan biayanya yang mahal dan mencapai puluhan juta untuk sekali siklusnya. * Hari ini, Khansa menemani Bu Danton ke salon. Beliau adalah istri perwira berpangkat Lettu. Bu Danton sangat baik dan ramah, beliau juga dermawan. Ketika mengajak Khansa, itu artinya semua biaya makan, jajan, dan lain-lain sudah ditanggung olehnya. Bu Danton memiliki anak yang masih berusia setahun, biasanya butuh bantuan untuk menjaga anaknya juga. Khansa senang-senang saja, lagipula dirinya juga sangat suka pada anak kecil. “Bu Bima, tolong jagain anak saya dulu sebentar ya, nggak bisa diem nih Lala.” Khansa mengangguk. “Siap, Bu.” Anak Bu Danton sudah mulai bisa berjalan, tetapi masih sering oleng. Anak itu biasanya berjalan dengan berpegangan pada apapun yang ada di sekitarnya. Itu jugalah yang membuat Bu Danton tidak bisa keluar hanya bersama sang anak saja. Lengah sedikit, sang anak pasti sudah jatuh. Khansa dengan telaten menjaga anak itu sembari menunggu Bu Danton perawatan rambut. Karena anak itu kelihatannya bosan di dalam salon, Khansa pun membawanya keluar. Ketika sedang menjaga anak Bu Danton di luar itu, Khansa tidak sengaja mendengar obrolan dua orang wanita yang menyebut-nyebut tentang gigolo. Mereka cekikikan dan sepertinya seru sekali saat membahas topik itu. "Iya, Jeng, si Rio bisa gaya helikopter ternyata! Ah aku bakal repeat order deh kayaknya," ucap salah satunya heboh. Khansa bukan tipikal orang yang suka menguping, kebetulan saja memang dua orang itu bicara dengan suara yang lumayan keras sampai Khansa pun dengar. Khansa masuk lagi ketika perawatan rambut Bu Danton selesai. Mereka mampir makan dan ditraktir oleh Bu Danton lagi. Khansa sudah mengatakan tidak usah, sebab tadi sudah ditraktir camilan saat ngobrol-ngobrol di kafe, tetapi beliau memang selalu seperti itu. “Oh iya Bu, tadi saya denger ada orang ngobrol gitu sambil cekikikan, mereka nyebut-nyebut soal gigolo.” Bu Danton kaget. “Di tempat umum begitu?” Khansa mengangguk, ekspresi wajahnya tampak bingung. “Amit-amit ya mereka itu, bisa-bisanya ngumbar aib di tempat umum. Nggak malu apa ya kedengeran orang, dunia emang mau kiamat!” ucap Bu Danton sambil geleng-geleng kepala. Khansa yang polos tidak mengerti. “Gigolo itu apa, Bu?” “Kamu nggak tahu?” Bu Danton balik bertanya. Khansa hanya menjawab dengan gelengan. “Laki-laki pesanan. Kalau perempuan ya kayak pel4cur gitulah,” jelas Bu Danton. Khansa membelalak kaget. “Laki-laki ada yang ju4l diri juga, Bu?” Bu Danton tertawa mendengar pertanyaan Khansa. “Bener-bener polos deh Bu Bima ini. Beruntungnya Pak Bima punya istri kayak kamu.” Khansa hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ia jadi mengingat omongan nyelekit ibu mertuanya kemarin. Andai saja beliau juga berpikiran sama dengan Bu Danton, pasti Khansa tidak akan merasa sedih. “Gigolo itu udah umum, Bu Bima. Cuma memang nggak serame kayak pel4cvr perempuan aja, padahal sih sejak zaman Kerajaan dulu laki-laki yang jv4l diri sudah ada. Kalau sekarang, mereka biasanya jadi pesanan oknum ibu-ibu pejabat yang enggak terpuaskan sama suaminya, atau untuk oknum para istri yang suaminya kerja jarak jauh gitu macam orang-orang pelayaran. Bahkan enggak sedikit juga oknum persit yang pakai gituan pas suaminya satgas. Nggak buat wanita aja yang pesan, bahkan lelaki pun ada juga yang pesan mereka. Yah… dunia memang sudah tua sih Bu Bima. Yang penting, kita yang masih waras ini jauh-jauh ajalah. Amit-amit, jangan sampai terjerumus.” Khansa mengangguk. Namun, entah mengapa ia malah memiliki sedikit ketertarikan berkat penjelasan Bu Danton itu. Khansa buru-buru menggeleng, berusaha mengusir pikiran aneh-aneh yang mulai menyusup ke dalam benaknya. “Astagfirullah… mikir apa sih aku?” batin Khansa merutuki dirinya sendiri. Selesai menemani Bu Danton, Khansa pun pulang. Sayangnya, ketika ia sampai di rumah, Bima tidak ada. Rumah mereka sepi. “Mas Bima ke mana ya? Kok enggak ada ngabarin sih?” Khansa masuk ke rumah dan langsung menghubungi nomor suaminya. Untunglah, Bima langsung menerima panggilan itu. “Halo, Mas. Kamu ke mana? Kok pergi enggak ngabarin?” “Lagi ke rumah Ibu,” jawab Bima cuek. “Kok enggak ngomong? Setidaknya kasih kabar dong Mas biar aku nggak khawatir.” Bima tidak menanggapi protes yang dilayangkan sang istri. “Malam ini aku nginep di rumah Ibu.” “Hah? Kok main nginep aja? Semalam kamu udah nginep di barak masa sekarang mau nginep lagi?” “Aku lagi ngobrol sama Ibu, aku tutup dulu teleponnya.” “Loh? Mas Bima, Mas Bim—” Panggilan langsung dimatikan. Khansa kecewa. Akhirnya, ia pun bergegas menyusul Bima ke rumah mertuanya. Begitu sampai di rumah sang ibu mertua, Khansa tidak sengaja melihat seorang wanita muda yang baru saja keluar dari rumahnya. Ibu mertua Khansa kelihatan sangat ramah pada wanita itu, bahkan berpamitannya pun sampai cipika cipiki segala seperti sudah sangat akrab. Sebenarnya, tidak ada masalah andai perempuan itu saudara keluarga Bima. Sayangnya, Khansa mengenal wanita itu. Dia itu adalah mantan kekasihnya Bima yang berprofesi sebagai bidan. Hati Khansa nyeri menyaksikan semuanya. “Mau apa dia di rumah Ibu?” gumam Khansa pelan. “Apa jangan-jangan...?” *“Kok malah bengong? Dari mana aja kamu, Sa? Malam-malam kayak gini kok keluyuran.”Khansa mengepalkan telapak tangannya. Ia terpicu dengan ucapan Bima. Masalahnya, Bima sendiri sudah mengatakan bahwa pernikahan mereka sudah tidak ada masa depan, alias ujung-ujungnya akan cerai juga. Sudah lelah Khansa menangis dan merasa bersalah karena keadaan ini, padahal kalau dipikir-pikir, bukan salahnya juga mereka belum punya anak. Tidak pernah ada vonis bahwa dirinya mandul dari dokter. Mereka hanya belum diberi rezeki saja dari Tuhan.“Bukan urusan kamu!” balas Khansa ketus. Bima jelas tidak terima dilawan seperti itu. Ia terbiasa dengan Khansa yang penurut serta memperlakukan Bima di atas dirinya sendiri. Ketika Khansa menunjukkan perlawanan, bahkan meski hanya sedikit, harga diri Bima seketika tercederai.“Bukan urusanku gimana sih? Aku itu suami kamu. Lagian kok kamu bicaranya kurang ajar gitu sih ke suami?”Khansa terkekeh mendengar ucapan Bima. “Suami ya… Bukannya kita bakal cerai? Jadi
“K-Kapten Rama?!”Khansa seketika gelagapan begitu tahu siapa yang memergokinya berjongkok di kegelapan sambil menangis sendirian. Refleks, Khansa langsung menghapus sisa air mata yang masih membasahi kedua pipi dan sudut matanya. Rama menatap Khansa tajam. Sorot matanya begitu lurus sampai rasanya Khansa tidak sanggup untuk bertatapan dengan pria itu. Khansa sudah merasakan ini sejak awal pertama kali bertemu pandang dengan pria itu di rumah Bu Danton. “Kamu… menangis?” tanya Rama.Khansa buru-buru menunduk. Sebenarnya, Khansa tahu sendiri bahwa hal itu juga tidak ada gunanya. Mau ia menunduk atau bahkan menutupi mukanya sekalian, Rama sudah melihat wajah Khansa yang penuh air mata tadi gara-gara ia menoleh. “M-Maaf, Kapten Rama. Saya permisi dulu.” Khansa melewati Rama, tetapi baru saja selangkah ia bergerak, Rama langsung menahan lengan wanita itu. Seluruh tubuh Khansa terasa menegang akibat sentuhan tersebut. Bahkan detak jantungnya pun naik drastis. “Tunggu dulu,” kata Rama.
“Maksud Ibu apa?” tanya Khansa. Ia jelas syok. Bagaimana mungkin ibu mertuanya sendiri secara terang-terangan mengatakan bahwa Sindi akan menjadi menantunya setelah Bima menceraikan Khansa? Bukankah itu artinya, sudah ada rencana bahwa Khansa akan diceraikan dalam waktu dekat?“Bu, jawab pertanyaan Khansa. Apa maksudnya?!” Khansa meledak. Ia mencengkeram lengan ibu mertuanya dan menuntut jawaban dari wanita itu. Sindi yang semula berdiri berdampingan dengan ibunya Bima didorong oleh Khansa hingga tubuhnya oleng dan hampir jatuh.“Khansa!” seru Bima kesal. “Apa-apaan sih kamu?!”Khansa semakin meradang. Di saat seperti ini, Bima malah membentak Khansa dan membela mantan kekasihnya. Harga diri Khansa sebagai istri sah rasanya seperti terinjak-injak. Namun, Khansa mengabaikan bentakan Bima dan memilih tetap menuntut jawaban kepada ibu mertuanya mengenai perceraian yang disebutkan tadi.“Bu, jawab Khansa, Bu. Apa maksudnya kalau Sindi bakal jadi menantu Ibu?” tuntut Khansa.Ibunya Bima m
Khansa menenangkan diri sejenak di taman itu. Ia merasa lega sebab ternyata antingnya dibawa oleh petugas hotel. “Tapi… kok petugas hotel baik banget ya sampai repot-repot ngajak ketemu buat antar antingnya?” pikir Khansa. Khansa teringat ketika ia memesan kamar hotel waktu itu. Memang kamar itu dibayar menggunakan uangnya—yang sekarang sudah diganti oleh gigolo pesanannya waktu itu. Namun, yang memesan kamarnya adalah si gigolo itu. Seharusnya nama yang tertera dalam data tamu bukankah nama pria itu? Khansa menggeleng kencang. “Aduh, mending jangan mikir aneh-aneh, siapa tau memang nama dan kontakku juga ada di hotel itu. Lagian aku juga nggak pernah nginep di hotel sebelumnya, nggak ngerti juga sama sistemnya.”Khansa menarik napas panjang kemudian segera bergegas pulang. Untuk saat ini, setidaknya kekhawatiran Khansa mengenai antingnya yang lepas dan tertinggal di kamar hotel itu sudah beres.*Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum Khansa selesai memasak di dapur, Bi
Semalam setelah pulang dari rumah dinas Rama, Khansa langsung masuk ke kamar dan meringkuk ke dalam selimut. Ia menangis karena sakit hati. Sialnya, Bima sama sekali tidak merasa bersalah. Jangankan meminta maaf, Bima malah terus-terusan menyalahkan Khansa dan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan di rumah Rama itu tidak sopan dan mempermalukan Bima sebagai suami. Khansa sungguh tidak habis pikir. Ia tidak menjawab semua ucapan Bima dan diam saja di dalam kamar sampai ketiduran. Malam itu, Bima tidak tidur sekamar dengan Khansa melainkan tidur di sofa ruang tamu.Keesokan harinya ketika Khansa bangun, ia baru bisa lebih tenang dan berpikir jernih. Khansa berusaha mengulas apa saja yang terjadi semalam, dan jujur ia sendiri sadar bahwa apa yang ia lakukan dengan pergi begitu saja dari rumah dinas Rama memang tidak sopan. Semalam, ia hanya terlalu sedih karena seolah tidak dianggap sebagai istri oleh Bima, makanya ia tidak bisa berpikir rasional.Khansa menghela napas panjang. “Mungkin m
Upacara serah terima jabatan di gedung GOR battalion pun telah selesai dilaksanakan. Bima juga segera kembali ke rumah. Ketika sampai di rumah, Khansa sedang mencuci piring di dapur. Bima menghampiri sang istri. Khansa sadar kalau Bima sudah datang, tetapi ia tidak menyambutnya dan tetap melanjutkan kegiatannya mencuci piring.“Abis nyuci piring buruan siap-siap ya, ikut Mas keluar sebentar.”Khansa menoleh dengan kernyitan di dahinya. “Mau ke mana?”“Ke supermarket sebentar, cari buah tangan.”“Buah tangan buat apa?” tanya Khansa.“Buat diantar ke Danki baru dong. Masa ada Danki baru diem-diem aja enggak bertamu ke rumahnya.”Danki baru. Artinya pria itu. Khansa mendadak kesal. Ia sendiri sudah sangat gelisah karena komandan kompi baru itu ternyata pria yang sama dengan yang tidur dengannya, sekarang Bima malah mau mengajaknya datang untuk mengirim buah tangan segala.“Buat apa sih? Kan tadi pas serah terima jabatan pasti udah nerima hidangan juga. Ngapain Mas Bima mau nyari muka seg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments