Setelah si mantan pergi, barulah Khansa menghampiri sang suami. “Mas Bima!” panggil Khansa.
Bima menoleh, tetapi wajahnya datar-datar saja. Pria itu bahkan tidak memberikan sapaan kepada Khansa. Sikap Bima benar-benar berubah. Pria yang biasanya selalu hangat itu sekarang dingin dan cuek. Khansa merasakan perubahan itu seiring waktu gara-gara mereka yang belum juga dikaruniai anak. Dulu, di tahun pertama pernikahan mereka, Bima masih sering memberi semangat. Hubungan mereka juga tidak merenggang sedikit pun. Masuk ke tahun kedua, Bima seperti mulai lelah. Sebenarnya bukan Bima saja yang lelah, Khansa pun sama. Belum lagi, kalau masalah belum memiliki momongan, apapun keadaannya selalu wanita yang disalahkan. Dan sekarang, mereka sudah masuk ke tahun ketiga dan belum juga berhasil mendapatkan momongan. Sekarang, Bima benar-benar tampak sudah putus asa. Apalagi, ditambah dengan tekanan dari ibunya yang terus saja mendesak Bima supaya segera punya anak. Puncaknya ketika Khansa tidak sengaja mendengar obrolan ibu mertuanya dengan Bima tempo hari. Sekarang, Khansa malah melihat mantan kekasih suaminya datang beramah-tamah di rumah ibu mertuanya. Hati istri mana yang tidak sakit melihat itu semua? “Kenapa kamu ke sini?” tanya Bima. Khansa mengernyit. “Kok nanya? Ya karena kamu main pergi aja nggak ada ngomong sama aku lah, Mas.” Bima memutar bola matanya. “Kan aku udah jawab dari panggilan kamu tadi.” Khansa menghela napas panjang. “Terus, itu tadi ngapain Sindi ke sini?” Bima mengendikkan bahunya. “Ya nggak papa. Cuma main aja, lagian Sindi udah kenal baik sama Ibu dari dulu.” Khansa kesal mendengarnya. Sebelum bersama Khansa, Sindi memang sudah sangat dekat dengan keluarga Bima. Masalahnya, apakah etis berkunjung ke rumah ibu dari mantan kekasih yang bahkan orang itu sudah memiliki istri? Belum lagi, Bima juga ada di situ ketika Sindi datang. “Jangan bilang Ibu mau jodohin kamu sama dia?” Bima mengembuskan napas kasar. “Gak usah mikir macem-macem!” “Ya gimana aku nggak mikir macem-macem wong kemarin aku aja denger ibu ngomong gitu pas ke rumah kita.” “Makanya, cepetan kasih aku anak!” ucap Bima jengkel. Khansa sakit hati mendengar nada keras Bima. Mengapa pula ia harus dibentak atas sesuatu yang bukan kesalahannya? “Kok kamu malah nyalahin aku sih, Mas? Udah berapa kali kita konsultasi ke dokter? Hasilnya kita berdua sama-sama sehat kan? Kalau kamu boleh nyalahin aku, terus aku juga boleh dong nyalahin kamu?” Bima malah semakin kesal. “Jaga ucapan kamu! Nggak usahlah ngajak ribut di rumah Ibu.” Lagi dan lagi, selalu saja Khansa yang salah. Padahal kalau saja Bima tidak membentaknya dengan kata-kata menyakitkan seperti itu, Khansa juga tidak akan tersulut amarah. Khansa yang kecewa dengan sikap suaminya akhirnya memilih pulang. Sesampainya di rumah, Khansa langsung masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Ia menangis sesenggukan sendiri. Khansa sakit hati, ia juga marah. Semua seakan menyalahkannya atas takdir ini. Sampai malam, Bima malah tidak pulang. Ia pasti menginap di rumah ibunya. Bima bahkan tidak mau repot-repot mengirim pesan kepada Khansa untuk mengabari. Entahlah, pernikahan mereka semakin merenggang saja. Khansa galau berat. Ia takut suaminya balikan dengan Sindi. Bagaimana kalau Khansa diceraikan agar Bima bisa menikah dengan Sindi? Di kala pikirannya sedang kalut, Khansa tiba-tiba kepikiran mengenai gigolo atau pria bayaran yang dijelaskan oleh Bu Danton sebelumnya. Khansa yang merasa terdesak akhirnya melakukan pencarian di g****e, membaca banyak artikel yang membahas tentang gigolo. Ia juga mencari tahu apakah gigolo bisa digunakan untuk menghamili pelanggannya. Jawabannya bisa, tetapi hal itu harus dengan perjanjian agar tidak ada tuntutan apa-apa nantinya. Khansa pun lanjut lagi mencari informasi mengenai bagaimana caranya memesan gigolo. Ada beberapa opsi yang dijelaskan di sana. Cara paling umum adalah dengan datang ke kelab-kelab malam besar yang memang menyediakan pria dan wanita panggilan. Namun, Khansa tidak mungkin mendatangi tempat seperti itu. Di opsi berikutnya, ada cara untuk memesan gigolo melalui sebuah aplikasi. Khansa mengunduh aplikasi tersebut kemudian mencari gigolo di sana. Ada banyak sekali pilihan, Khansa jadi bingung sendiri. Khansa pun memilih random kemudian mengirimkan pesan. Khansa bertanya berapa harganya memesan mereka untuk sekali pertemuan. Khansa juga menjelaskan bahwa ia ingin hamil, dan dirinya bersedia untuk bertanda tangan mengenai surat perjanjian bahwa setelah malam itu tidak boleh ada tuntutan apapun mengenai kehamilannya nanti. Si gigolo tidak masalah, ia menjelaskan akan memberi harga murah. 1 Juta sudah bisa asalkan kamar hotel sudah dipersiapkan. Si gigolo bahkan menunjukkan surat keterangan kesehatannya untuk memberi Khansa keyakinan bahwa pria itu tidak menderita penyakit apapun. Khansa ragu-ragu. Ia ingat dengan pesan Bu Danton agar jangan sampai terjerumus ke dalam hal-hal seperti itu. Namun, rasa takut akan diceraikan oleh Bima membuat keraguan Khansa lenyap. Ini adalah satu-satunya cara. Jadi, Khansa pun akhirnya nekat memesan gigolo tersebut. Dia hanya ingin membuktikan bahwa ia tidak mandul seperti yang dituduhkan oleh ibu mertuanya. * Keesokan harinya, Bima pulang ke rumah. Sama seperti sebelumnya, hubungan mereka berdua benar-benar tidak harmonis. Mereka bahkan tidak bertegur sapa atau mengobrol hangat sebagaimana suami istri pada umumnya. Bima bicara seperlunya, dan Khansa pun akhirnya terbawa arus. Ikut berbicara seperlunya saja. Namun, jauh di dalam lubuk hati yang terdalam, Khansa benar-benar merasa sakit luar biasa. Khansa sungguh tertekan. Apa sehina itukah seorang perempuan yang tidak memiliki anak? Apalagi, Khansa belum hamil juga bukan karena tidak bisa. Ia sehat. Mungkin Tuhan belum mau saja menitipkan rezeki anak pada mereka. Namun, Bima malah sepihak menyalahkannya. Apapun masalah dalam rumah tangga, selalu saja pihak perempuan yang disalahkan. Di saat sarapan, Khansa akhirnya sudah memantapkan hatinya untuk menjalankan rencana nekat ini. Ia dan Bima sarapan bersama, tetapi suasananya benar-benar hening. Mereka seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal. “Mas, aku mau keluar kota, mau nginep di rumah Bibi Heni. Paman Budi katanya sakit.” Sebelum menikah dengan Bima dan tinggal bersama pria itu, Khansa memang diasuh oleh paman dan bibinya. Mereka berdua sangat baik dan sudah menganggap Khansa seperti anak sendiri. Terkadang, Khansa sampai sungkan karena merasa terlalu merepotkan mereka. Bima melirik Khansa setelah mendengar ucapan sang istri. “Berapa hari?” “Sehari aja,” jawab Khansa singkat. Bima mengangguk. “Iya.” Setelah Bima berangkat kerja, Khansa pun juga pergi. Namun, ia tidak pergi ke luar kota untuk bertemu paman dan bibinya, melainkan langsung ke ATM untuk menarik uang. Khansa memang memiliki tabungan rahasia yang diam-diam terus ia kumpulkan karena punya keinginan melakukan program bayi tabung. Sayang sekali, uang sisa belanja tidaklah banyak. Program bayi tabung itu membutuhkan uang puluhan juta. Jadi tabungan Khansa pun sebenarnya masih sangat jauh untuk bisa mencoba program tersebut. Khansa pun janjian bertemu di hotel dengan si gigolo. Berhubung Khansa tidak tahu-menahu cara kerjanya, dan ia juga takut salah memesan hotel, Khansa pun mengatakan akan membayar lebih untuk biaya hotelnya asalkan si gigolo itu yang mencarikan hotel untuk mereka berdua. Si gigolo setuju, tetapi meminta ditransfer uang duluan untuk membayar hotelnya. Khansa setuju. Tak lama setelah ia mengirimkan uang, si gigolo langsung mengirimkan alamat hotel yang sudah dipesan itu, meminta agar Khansa ke sana terlebih dahulu. “Cepet banget,” gumam Khansa lumayan takjub. Tapi, mungkin karena pekerjaannya gigolo, jadi sudah sangat akrab dengan perhotelan. Mungkin juga pria gigolo itu sudah punya koneksi dengan beberapa hotel yang menjadi langganannya. Sebelum menuju ke hotel tersebut, Khansa memakai hoodie oversize dan juga masker. Khansa juga menggunakan kaca mata hitam untuk membuat wajahnya benar-benar tidak dikenali. Ia datang ke hotel itu di waktu sore hari. Ketika ke meja resepsionis, Khansa menjelaskan bahwa kamarnya sudah dipesan, dan ia pun langsung diberi keycard untuk masuk. Di dalam kamar hotel itu, Khansa benar-benar gelisah. Ia mengirim pesan kepada si gigolo, mengabari bahwa ia sudah di hotel. Gigolo itu mengatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan. Pria itu mengatakan agar Khansa jangan mengunci pintu supaya nanti ia bisa langsung masuk. Khansa menarik napas dalam-dalam. “Fyuh… Kamu sudah di sini, Khansa… Kamu harus lakukan ini,” gumamnya berusaha menyemangati dirinya sendiri. Sudah tidak ada waktu untuk mundur. Ia sendiri yang memilih cara ini, maka ia juga harus menyelesaikannya. Semua ini demi keutuhan rumah tangganya. Meski sebenarnya cara yang digunakan Khansa sangatlah salah dan malah bisa dibilang to tude lol. Tapi memang begitulah orang yang bucin, suka bertindak di luar nalar. Menjelang petang, si gigolo tak kunjung datang. Khansa semakin deg-degan. Ia sengaja tidak menyalakan lampu kamar hotel karena tidak mau juga nanti wajahnya terlihat. Khansa mengirim beberapa pesan tetapi tidak ada jawaban. “Dia kenapa lama sekali sih?” Khansa menghela napas panjang. Ketika petang benar-benar sudah berganti malam, tiba-tiba pintu kamar hotel itu terbuka. Seseorang masuk. Khansa semakin berdebar. “Itu pasti dia,” batin Khansa. Ia tidak butuh komunikasi apa-apa. Ia hanya butuh untuk tidur dengan pria itu agar bisa hamil. Namun, ketika pria itu semakin mendekat, Khansa mengendus aroma alkohol yang begitu kuat. Si pria itu berjalan agak sempoyongan dan langsung menghampiri Khansa. Dalam kondisi gelap seperti ini, Khansa tidak terlalu memperhatikan wajahnya, pun pria itu sendiri, juga tidak melihat wajah Khansa. “K-Kamu mabuk?” tanya Khansa memberanikan diri. Bukannya menjawab, pria itu malah langsung mencengkeram kedua bahu Khansa dan mendorongnya hingga ambruk ke kasur. “Akh!” Khansa kaget. Cengkeraman pria itu kuat sekali. “H-Hei! Kamu sudah janji kalau nggak akan kasar. Kamu—” Ucapan Khansa seketika dibungkam oleh mulut pria itu. Khansa membelalak kaget, tetapi ia tidak bisa melawan. Dominasi pria itu terlalu kuat dan Khansa hanya bisa pasrah. * Keesokan harinya, Khansa terbangun duluan di pagi buta. Ia melirik ke samping, dan pria yang bersamanya juga tertidur tetapi posisinya membelakangi Khansa. Khansa duduk dan mengernyit ketika merasakan beberapa bagian tubuhnya nyeri. Ia mengambil ponselnya, hendak mengecek sekarang sudah pukul berapa. Namun, kedua mata Khansa mendadak melotot kaget ketika mendapati ada pesan masuk dari si gigolo yang ia pesan. [Babe, aku nggak jadi ke sana, sorry… Nanti aku bakal ganti uang hotelnya. Kawan aku kecelakaan, jadi ini darurat.] Jantung Khansa seolah berhenti sejenak membaca pesan itu. “Dia… Dia nggak jadi ke sini?” gumam Khansa pelan. Khansa pun langsung menoleh dan melihat pria yang semalam meni-dvrinya. Pria itu masih terlelap sekarang. “T-terus dia siapa?” *Setelah cukup lama pingsan, Sindi akhirnya sadar. Ia merasa kepalanya agak pening. Ketika ia menoleh, Sindi melihat Bima duduk di sampingnya dengan tatapan datar.“Bim?”“Oh, udah sadar kamu,” kata Bima.“Bim! Tadi Ibu dorong aku. Dia mau nyolong perhiasan aku katanya buat bayar pinjol dan ketipu arisan. Aku nggak mau soalnya Ibu sering pinjam uang aku tapi nggak pernah dibalikin.”Bima yang mendengar Sindi mengadu hanya diam. Bahkan tidak ada tanda-tanda perubahan ekspresi sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Sindi heran. “Bima, kok kamu diem aja sih?” tanya Sindi. “Oh, kamu nggak percaya sama aku? Kamu mau belain Ibu kamu?”Bima menghela napas panjang, ia tidak merespon sama sekali pertanyaan Sindi. Justru Bima malah mengatakan hal lain. “Kamu udah sehat ‘kan? sekarang ikut aku,” kata Bima. Sindi kelihatan bingung. “Ke mana? Aku masih agak pusing. Kayaknya aku butuh waktu istirahat lebih lama Bim.”Bima tidak mau mendengarkan alasan tersebut. Ia justru langsung mencengkeram pe
“Khansa, kamu…”Khansa tersenyum tipis. “Pasti kamu penasaran kenapa aku bisa tahu ‘kan? aku udah tahu semuanya Mas, jadi tolong berhenti membodohiku.”Khansa berbalik dan hendak masuk ke dalam bangunan panti, tetapi Rama menahannya. “Khansa, tolong dengarkan saya dulu.”“Dengerin apa lagi Mas? dengerin kebohongan kamu?”Rama menarik napas panjang. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Khansa sudah tahu semuanya. Siapa yang berani membeberkan fakta itu kepada Khansa?“Khansa, sebenarnya saya nggak bermaksud untuk menutupi semuanya. Saya hanya…”“Aku nggak mau denger apapun alasan kamu Mas. Percuma! Intinya semua pernikahan ini hanya kebohongan. Aku mau kita cerai!”Rama membelalak. “Khansa… tolong jangan semudah itu mengakhiri pernikahan kita. Ini semua bisa diperbaiki. Saya bisa menjelaskan semuanya kok. Saya nggak bermaksud—”“Stop, Mas! kamu mau jelasin apa lagi sih? udahlah… Kamu pikir aku akan langsung percaya kalau kamu jelasin ke aku? Enggak, Mas! kamu sudah membohongiku selama
Keesokan harinya, Khansa sedang membantu ibu panti mengurus bayi yang ada di sana. Sebenarnya panti asuhan itu hanya mengasuh beberapa bayi saja. Yang lebih banyak adalah anak-anak usia SD awal. Ada dua bayi yang harus Khansa jaga. Kedua bayi itu sama-sama sensitif dan mudah menangis. Ia lumayan repot menanangkan kedua bayi itu, tetapi rasanya justru menyenangkan. Khansa memilih membuat dirinya lelah agar ia bisa lupa dengan sakit hatinya. Melihat Khansa sangat sibuk mengurus dua bayi rewel itu, Ibu panti datang menghampiri. “Khansa, kamu istirahat dulu aja biar Ibu yang gantikan.”Khansa tersenyum. “Nggak papa Bu Rohmah. Saya malah seneng kok ngurus bayi.”Meskipun repot dan melelahkan, Khansa justru senang. Sudah lama ia mendambakan untuk menimang bayinya sendiri, tetapi nyatanya Tuhan belum mempercayakan rezeki tersebut kepadanya. Mengasuh bayi-bayi di panti asuhan ini bisa menjadi pelipur lara Khansa.Bu Rohmah mengusap-usap punggung Khansa. “Tapi kamu pasti capek, ‘kan? Dengerin
Rupanya yang datang adalah Hesti. Melihat wanita itu sampai berani datang setelah permasalahan kemarin, Rama jelas kesal bukan main. Bahkan hanya melihat wajah Hesti saja, amarah Rama rasanya ingin meledak sekarang. Saat ini, ia sedang mencemaskan Khansa yang entah di mana keberadaannya, dan kedatangan Hesti justru membuat pikiran Rama semakin ruwet.“Mau apa kamu ke sini?!” tanya Rama ketus. Hesti mengulas senyum sok memelas. “Maaf Mas, aku pengen ketemu sama Khansa. Aku ngerasa nggak enak karena waktu itu belum minta maaf dengan sebenar-benarnya. Aku pengen jelasin secara detail juga biar dia nggak marah lagi.”“Khansa nggak ada di rumah. Dia lagi pergi. Kamu pulang saja sana,” usir Rama. “Hah? Sore-sore begini ke mana Mas?”“Ya sibuklah, namanya juga ibu persit.”“Emangnya Mas Rama nggak ngelarang kalau istrinya sampai sore begini belum pulang Mas? Jadinya kayak mengabaikan kewajiban sebagai istri gitu.”Kedua alis Rama menukik tajam mendengar ucapan Hesti. “Ngapain kamu ngomong
Pricil terkekeh. “Padahal kamu yang tiba-tiba ngajakin ketemuan setelah sebelumnya nggak mau datang.”Khansa diam. Kali ini, memang ia yang menghubungi Pricil. Namun, itu semua karena Khansa penasaran dengan apa yang ingin Pricil bicarakan waktu itu. Setelah melihat Rama bersama Hesti saat itu, rasanya Khansa tidak bisa tenang. Ada perasaan gelisah di dalam hatinya yang membuat Khansa tiba-tiba ingat dengan ucapan Pricil. Bahwa ada hal penting tentang Rama yang Khansa tidak pernah tahu. Maka dari itulah, Khansa akhirnya menghubungi Pricil dan menanyakan soal ini. Lalu, Pricil mengajak Khansa bertemu. “Jadi kamu mau bicara apa enggak? Saya nggak punya banyak waktu,” kata Khansa.Pricil menaikkan sebelah alisnya. “Oh? Kamu maunya buru-buru ya? Oke, nggak masalah. Aku langsung aja kalau gitu.”Bahu Khansa agak menegang. Meskipun ia bersikap tegas di depan Pricil, sejujurnya ada sebersit rasa takut di dalam hatinya. Ia takut, apa yang dikatakan Pricil tentang Rama akan membuatnya kecewa.
Bima benar-benar marah. Jadi Sindi membohonginya?Bima pun langsung keluar dari klinik itu dan menghubungi Sindi. Panggilan tersebut langsung diangkat oleh Sindi.“Kenapa, Sayang?” tanya Sindi dari seberang panggilan.“Di mana kamu?”“Lagi di klinik lah, Sayang. Aku baru selesai ini. Mau istirahat makan siang,” jawab Sindi.Bima meremat ponselnya kuat-kuat mendengar kebohongan Sindi yang masih berlanjut. “Pembohong!” bentak Bima tiba-tiba. Sindi kaget. “Apa sih, Sayang? Kok tiba-tiba bentak-bentak aku?”Bima langsung memotret bagian depan klinik tersebut lalu mengirimkannya kepada Sindi. “Mau istirahat makan siang, hm? Istirahat makan siang di mana kamu, hah?”Sindi pucat pasti tatkala melihat foto tersebut. “K-kamu di klinik, Bim? Kok nggak ngabarin aku sih?” tanya Sindi. Suaranya bergetar dan agak terbata-bata.Bima tertawa sinis. “Kenapa? Biar kebohongan kamu nggak ketahuan hah?!”“Bukan gitu, bukan kok! Aku… um, aku tuh sebenarnya—pokoknya aku bisa jelasin kok, Bim.”“Nggak usah