Beranda / Romansa / Semalam Dengan Komandan / Mengambil Jalan Pintas

Share

Mengambil Jalan Pintas

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-18 09:22:31

Setelah si mantan pergi, barulah Khansa menghampiri sang suami. “Mas Bima!” panggil Khansa.

Bima menoleh, tetapi wajahnya datar-datar saja. Pria itu bahkan tidak memberikan sapaan kepada Khansa. Sikap Bima benar-benar berubah. Pria yang biasanya selalu hangat itu sekarang dingin dan cuek. Khansa merasakan perubahan itu seiring waktu gara-gara mereka yang belum juga dikaruniai anak.

Dulu, di tahun pertama pernikahan mereka, Bima masih sering memberi semangat. Hubungan mereka juga tidak merenggang sedikit pun. Masuk ke tahun kedua, Bima seperti mulai lelah. Sebenarnya bukan Bima saja yang lelah, Khansa pun sama. Belum lagi, kalau masalah belum memiliki momongan, apapun keadaannya selalu wanita yang disalahkan.

Dan sekarang, mereka sudah masuk ke tahun ketiga dan belum juga berhasil mendapatkan momongan. Sekarang, Bima benar-benar tampak sudah putus asa. Apalagi, ditambah dengan tekanan dari ibunya yang terus saja mendesak Bima supaya segera punya anak. Puncaknya ketika Khansa tidak sengaja mendengar obrolan ibu mertuanya dengan Bima tempo hari. Sekarang, Khansa malah melihat mantan kekasih suaminya datang beramah-tamah di rumah ibu mertuanya. Hati istri mana yang tidak sakit melihat itu semua?

“Kenapa kamu ke sini?” tanya Bima.

Khansa mengernyit. “Kok nanya? Ya karena kamu main pergi aja nggak ada ngomong sama aku lah, Mas.”

Bima memutar bola matanya. “Kan aku udah jawab dari panggilan kamu tadi.”

Khansa menghela napas panjang. “Terus, itu tadi ngapain Sindi ke sini?”

Bima mengendikkan bahunya. “Ya nggak papa. Cuma main aja, lagian Sindi udah kenal baik sama Ibu dari dulu.”

Khansa kesal mendengarnya. Sebelum bersama Khansa, Sindi memang sudah sangat dekat dengan keluarga Bima. Masalahnya, apakah etis berkunjung ke rumah ibu dari mantan kekasih yang bahkan orang itu sudah memiliki istri? Belum lagi, Bima juga ada di situ ketika Sindi datang.

“Jangan bilang Ibu mau jodohin kamu sama dia?”

Bima mengembuskan napas kasar. “Gak usah mikir macem-macem!”

“Ya gimana aku nggak mikir macem-macem wong kemarin aku aja denger ibu ngomong gitu pas ke rumah kita.”

“Makanya, cepetan kasih aku anak!” ucap Bima jengkel.

Khansa sakit hati mendengar nada keras Bima. Mengapa pula ia harus dibentak atas sesuatu yang bukan kesalahannya?

“Kok kamu malah nyalahin aku sih, Mas? Udah berapa kali kita konsultasi ke dokter? Hasilnya kita berdua sama-sama sehat kan? Kalau kamu boleh nyalahin aku, terus aku juga boleh dong nyalahin kamu?”

Bima malah semakin kesal. “Jaga ucapan kamu! Nggak usahlah ngajak ribut di rumah Ibu.”

Lagi dan lagi, selalu saja Khansa yang salah. Padahal kalau saja Bima tidak membentaknya dengan kata-kata menyakitkan seperti itu, Khansa juga tidak akan tersulut amarah.

Khansa yang kecewa dengan sikap suaminya akhirnya memilih pulang. Sesampainya di rumah, Khansa langsung masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Ia menangis sesenggukan sendiri. Khansa sakit hati, ia juga marah. Semua seakan menyalahkannya atas takdir ini.

Sampai malam, Bima malah tidak pulang. Ia pasti menginap di rumah ibunya. Bima bahkan tidak mau repot-repot mengirim pesan kepada Khansa untuk mengabari. Entahlah, pernikahan mereka semakin merenggang saja.

Khansa galau berat. Ia takut suaminya balikan dengan Sindi. Bagaimana kalau Khansa diceraikan agar Bima bisa menikah dengan Sindi?

Di kala pikirannya sedang kalut, Khansa tiba-tiba kepikiran mengenai gigolo atau pria bayaran yang dijelaskan oleh Bu Danton sebelumnya. Khansa yang merasa terdesak akhirnya melakukan pencarian di g****e, membaca banyak artikel yang membahas tentang gigolo. Ia juga mencari tahu apakah gigolo bisa digunakan untuk menghamili pelanggannya. Jawabannya bisa, tetapi hal itu harus dengan perjanjian agar tidak ada tuntutan apa-apa nantinya.

Khansa pun lanjut lagi mencari informasi mengenai bagaimana caranya memesan gigolo. Ada beberapa opsi yang dijelaskan di sana. Cara paling umum adalah dengan datang ke kelab-kelab malam besar yang memang menyediakan pria dan wanita panggilan. Namun, Khansa tidak mungkin mendatangi tempat seperti itu. Di opsi berikutnya, ada cara untuk memesan gigolo melalui sebuah aplikasi.

Khansa mengunduh aplikasi tersebut kemudian mencari gigolo di sana. Ada banyak sekali pilihan, Khansa jadi bingung sendiri. Khansa pun memilih random kemudian mengirimkan pesan.

Khansa bertanya berapa harganya memesan mereka untuk sekali pertemuan. Khansa juga menjelaskan bahwa ia ingin hamil, dan dirinya bersedia untuk bertanda tangan mengenai surat perjanjian bahwa setelah malam itu tidak boleh ada tuntutan apapun mengenai kehamilannya nanti. Si gigolo tidak masalah, ia menjelaskan akan memberi harga murah. 1 Juta sudah bisa asalkan kamar hotel sudah dipersiapkan. Si gigolo bahkan menunjukkan surat keterangan kesehatannya untuk memberi Khansa keyakinan bahwa pria itu tidak menderita penyakit apapun.

Khansa ragu-ragu. Ia ingat dengan pesan Bu Danton agar jangan sampai terjerumus ke dalam hal-hal seperti itu. Namun, rasa takut akan diceraikan oleh Bima membuat keraguan Khansa lenyap. Ini adalah satu-satunya cara. Jadi, Khansa pun akhirnya nekat memesan gigolo tersebut. Dia hanya ingin membuktikan bahwa ia tidak mandul seperti yang dituduhkan oleh ibu mertuanya.

*

Keesokan harinya, Bima pulang ke rumah. Sama seperti sebelumnya, hubungan mereka berdua benar-benar tidak harmonis. Mereka bahkan tidak bertegur sapa atau mengobrol hangat sebagaimana suami istri pada umumnya. Bima bicara seperlunya, dan Khansa pun akhirnya terbawa arus. Ikut berbicara seperlunya saja. Namun, jauh di dalam lubuk hati yang terdalam, Khansa benar-benar merasa sakit luar biasa.

Khansa sungguh tertekan. Apa sehina itukah seorang perempuan yang tidak memiliki anak? Apalagi, Khansa belum hamil juga bukan karena tidak bisa. Ia sehat. Mungkin Tuhan belum mau saja menitipkan rezeki anak pada mereka. Namun, Bima malah sepihak menyalahkannya. Apapun masalah dalam rumah tangga, selalu saja pihak perempuan yang disalahkan.

Di saat sarapan, Khansa akhirnya sudah memantapkan hatinya untuk menjalankan rencana nekat ini. Ia dan Bima sarapan bersama, tetapi suasananya benar-benar hening. Mereka seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal.

“Mas, aku mau keluar kota, mau nginep di rumah Bibi Heni. Paman Budi katanya sakit.”

Sebelum menikah dengan Bima dan tinggal bersama pria itu, Khansa memang diasuh oleh paman dan bibinya. Mereka berdua sangat baik dan sudah menganggap Khansa seperti anak sendiri. Terkadang, Khansa sampai sungkan karena merasa terlalu merepotkan mereka.

Bima melirik Khansa setelah mendengar ucapan sang istri. “Berapa hari?”

“Sehari aja,” jawab Khansa singkat.

Bima mengangguk. “Iya.”

Setelah Bima berangkat kerja, Khansa pun juga pergi. Namun, ia tidak pergi ke luar kota untuk bertemu paman dan bibinya, melainkan langsung ke ATM untuk menarik uang. Khansa memang memiliki tabungan rahasia yang diam-diam terus ia kumpulkan karena punya keinginan melakukan program bayi tabung. Sayang sekali, uang sisa belanja tidaklah banyak. Program bayi tabung itu membutuhkan uang puluhan juta. Jadi tabungan Khansa pun sebenarnya masih sangat jauh untuk bisa mencoba program tersebut.

Khansa pun janjian bertemu di hotel dengan si gigolo. Berhubung Khansa tidak tahu-menahu cara kerjanya, dan ia juga takut salah memesan hotel, Khansa pun mengatakan akan membayar lebih untuk biaya hotelnya asalkan si gigolo itu yang mencarikan hotel untuk mereka berdua. Si gigolo setuju, tetapi meminta ditransfer uang duluan untuk membayar hotelnya. Khansa setuju. Tak lama setelah ia mengirimkan uang, si gigolo langsung mengirimkan alamat hotel yang sudah dipesan itu, meminta agar Khansa ke sana terlebih dahulu.

“Cepet banget,” gumam Khansa lumayan takjub. Tapi, mungkin karena pekerjaannya gigolo, jadi sudah sangat akrab dengan perhotelan. Mungkin juga pria gigolo itu sudah punya koneksi dengan beberapa hotel yang menjadi langganannya.

Sebelum menuju ke hotel tersebut, Khansa memakai hoodie oversize dan juga masker. Khansa juga menggunakan kaca mata hitam untuk membuat wajahnya benar-benar tidak dikenali. Ia datang ke hotel itu di waktu sore hari. Ketika ke meja resepsionis, Khansa menjelaskan bahwa kamarnya sudah dipesan, dan ia pun langsung diberi keycard untuk masuk.

Di dalam kamar hotel itu, Khansa benar-benar gelisah. Ia mengirim pesan kepada si gigolo, mengabari bahwa ia sudah di hotel. Gigolo itu mengatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan. Pria itu mengatakan agar Khansa jangan mengunci pintu supaya nanti ia bisa langsung masuk.

Khansa menarik napas dalam-dalam. “Fyuh… Kamu sudah di sini, Khansa… Kamu harus lakukan ini,” gumamnya berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Sudah tidak ada waktu untuk mundur. Ia sendiri yang memilih cara ini, maka ia juga harus menyelesaikannya. Semua ini demi keutuhan rumah tangganya. Meski sebenarnya cara yang digunakan Khansa sangatlah salah dan malah bisa dibilang to tude lol. Tapi memang begitulah orang yang bucin, suka bertindak di luar nalar.

Menjelang petang, si gigolo tak kunjung datang. Khansa semakin deg-degan. Ia sengaja tidak menyalakan lampu kamar hotel karena tidak mau juga nanti wajahnya terlihat. Khansa mengirim beberapa pesan tetapi tidak ada jawaban.

“Dia kenapa lama sekali sih?”

Khansa menghela napas panjang. Ketika petang benar-benar sudah berganti malam, tiba-tiba pintu kamar hotel itu terbuka. Seseorang masuk. Khansa semakin berdebar.

“Itu pasti dia,” batin Khansa. Ia tidak butuh komunikasi apa-apa. Ia hanya butuh untuk tidur dengan pria itu agar bisa hamil.

Namun, ketika pria itu semakin mendekat, Khansa mengendus aroma alkohol yang begitu kuat. Si pria itu berjalan agak sempoyongan dan langsung menghampiri Khansa. Dalam kondisi gelap seperti ini, Khansa tidak terlalu memperhatikan wajahnya, pun pria itu sendiri, juga tidak melihat wajah Khansa.

“K-Kamu mabuk?” tanya Khansa memberanikan diri.

Bukannya menjawab, pria itu malah langsung mencengkeram kedua bahu Khansa dan mendorongnya hingga ambruk ke kasur.

“Akh!” Khansa kaget. Cengkeraman pria itu kuat sekali.

“H-Hei! Kamu sudah janji kalau nggak akan kasar. Kamu—”

Ucapan Khansa seketika dibungkam oleh mulut pria itu. Khansa membelalak kaget, tetapi ia tidak bisa melawan. Dominasi pria itu terlalu kuat dan Khansa hanya bisa pasrah.

*

Keesokan harinya, Khansa terbangun duluan di pagi buta. Ia melirik ke samping, dan pria yang bersamanya juga tertidur tetapi posisinya membelakangi Khansa.

Khansa duduk dan mengernyit ketika merasakan beberapa bagian tubuhnya nyeri. Ia mengambil ponselnya, hendak mengecek sekarang sudah pukul berapa. Namun, kedua mata Khansa mendadak melotot kaget ketika mendapati ada pesan masuk dari si gigolo yang ia pesan.

[Babe, aku nggak jadi ke sana, sorry… Nanti aku bakal ganti uang hotelnya. Kawan aku kecelakaan, jadi ini darurat.]

Jantung Khansa seolah berhenti sejenak membaca pesan itu. “Dia… Dia nggak jadi ke sini?” gumam Khansa pelan.

Khansa pun langsung menoleh dan melihat pria yang semalam meni-dvrinya. Pria itu masih terlelap sekarang.

“T-terus dia siapa?”

*

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
ya ampun Khansa koq kamu jadi tersesat sih hanya karena takut ditinggalkan Bima.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Semalam Dengan Komandan   Kebencian Hesti

    Khansa menangis di sepanjang jalan sambil menenteng tas besarnya. Ia mungkin tampak kuat dan menggebu-gebu ketika berhadapan dengan Bima tadi, tetapi tidak bisa dipungkiri, hatinya sakit luar biasa. Ketika sampai di depan pintu jaga, Khansa ditatap oleh tentara yang sedang berjaga di sana. Tentara itu melihat Khansa menenteng tas besar, apalagi wajahnya memerah dan kelihatan sedang menangis. “Bu… Bima? Bener, ‘kan? ada masalah, Bu? Ibu mau ke mana?” tanya tentara itu.Khansa langsung buru-buru menghapus sisa air mata di wajahnya. Ia tidak menjawab pertanyaan tentara itu dan langsung keluar dari battalion. Khansa berhenti di pinggir jalan. Ada warung yang sedang tutup tak jauh dari sana. Khansa duduk di emperan warung itu dan memesan taksi online melalui ponselnya. Selama menunggu taksi, Khansa benar-benar kesulitan menahan tangisnya. Hatinya sudah terlalu terluka sampai ketika ia hanya diam sambil melamun, tiba-tiba pikirannya memproyeksikan kejadian-kejadian buruk yang ia alami den

  • Semalam Dengan Komandan   Kita Buktikan Siapa Yang Mandul

    “Kok malah bengong? Dari mana aja kamu, Sa? Malam-malam kayak gini kok keluyuran.”Khansa mengepalkan telapak tangannya. Ia terpicu dengan ucapan Bima. Masalahnya, Bima sendiri sudah mengatakan bahwa pernikahan mereka sudah tidak ada masa depan, alias ujung-ujungnya akan cerai juga. Sudah lelah Khansa menangis dan merasa bersalah karena keadaan ini, padahal kalau dipikir-pikir, bukan salahnya juga mereka belum punya anak. Tidak pernah ada vonis bahwa dirinya mandul dari dokter. Mereka hanya belum diberi rezeki saja dari Tuhan.“Bukan urusan kamu!” balas Khansa ketus. Bima jelas tidak terima dilawan seperti itu. Ia terbiasa dengan Khansa yang penurut serta memperlakukan Bima di atas dirinya sendiri. Ketika Khansa menunjukkan perlawanan, bahkan meski hanya sedikit, harga diri Bima seketika tercederai.“Bukan urusanku gimana sih? Aku itu suami kamu. Lagian kok kamu bicaranya kurang ajar gitu sih ke suami?”Khansa terkekeh mendengar ucapan Bima. “Suami ya… Bukannya kita bakal cerai? Jadi

  • Semalam Dengan Komandan   Kamu Harus Tanggung Jawab

    “K-Kapten Rama?!”Khansa seketika gelagapan begitu tahu siapa yang memergokinya berjongkok di kegelapan sambil menangis sendirian. Refleks, Khansa langsung menghapus sisa air mata yang masih membasahi kedua pipi dan sudut matanya. Rama menatap Khansa tajam. Sorot matanya begitu lurus sampai rasanya Khansa tidak sanggup untuk bertatapan dengan pria itu. Khansa sudah merasakan ini sejak awal pertama kali bertemu pandang dengan pria itu di rumah Bu Danton. “Kamu… menangis?” tanya Rama.Khansa buru-buru menunduk. Sebenarnya, Khansa tahu sendiri bahwa hal itu juga tidak ada gunanya. Mau ia menunduk atau bahkan menutupi mukanya sekalian, Rama sudah melihat wajah Khansa yang penuh air mata tadi gara-gara ia menoleh. “M-Maaf, Kapten Rama. Saya permisi dulu.” Khansa melewati Rama, tetapi baru saja selangkah ia bergerak, Rama langsung menahan lengan wanita itu. Seluruh tubuh Khansa terasa menegang akibat sentuhan tersebut. Bahkan detak jantungnya pun naik drastis. “Tunggu dulu,” kata Rama.

  • Semalam Dengan Komandan   Keputusan Bima

    “Maksud Ibu apa?” tanya Khansa. Ia jelas syok. Bagaimana mungkin ibu mertuanya sendiri secara terang-terangan mengatakan bahwa Sindi akan menjadi menantunya setelah Bima menceraikan Khansa? Bukankah itu artinya, sudah ada rencana bahwa Khansa akan diceraikan dalam waktu dekat?“Bu, jawab pertanyaan Khansa. Apa maksudnya?!” Khansa meledak. Ia mencengkeram lengan ibu mertuanya dan menuntut jawaban dari wanita itu. Sindi yang semula berdiri berdampingan dengan ibunya Bima didorong oleh Khansa hingga tubuhnya oleng dan hampir jatuh.“Khansa!” seru Bima kesal. “Apa-apaan sih kamu?!”Khansa semakin meradang. Di saat seperti ini, Bima malah membentak Khansa dan membela mantan kekasihnya. Harga diri Khansa sebagai istri sah rasanya seperti terinjak-injak. Namun, Khansa mengabaikan bentakan Bima dan memilih tetap menuntut jawaban kepada ibu mertuanya mengenai perceraian yang disebutkan tadi.“Bu, jawab Khansa, Bu. Apa maksudnya kalau Sindi bakal jadi menantu Ibu?” tuntut Khansa.Ibunya Bima m

  • Semalam Dengan Komandan   Dia Bukan Orang Asing

    Khansa menenangkan diri sejenak di taman itu. Ia merasa lega sebab ternyata antingnya dibawa oleh petugas hotel. “Tapi… kok petugas hotel baik banget ya sampai repot-repot ngajak ketemu buat antar antingnya?” pikir Khansa. Khansa teringat ketika ia memesan kamar hotel waktu itu. Memang kamar itu dibayar menggunakan uangnya—yang sekarang sudah diganti oleh gigolo pesanannya waktu itu. Namun, yang memesan kamarnya adalah si gigolo itu. Seharusnya nama yang tertera dalam data tamu bukankah nama pria itu? Khansa menggeleng kencang. “Aduh, mending jangan mikir aneh-aneh, siapa tau memang nama dan kontakku juga ada di hotel itu. Lagian aku juga nggak pernah nginep di hotel sebelumnya, nggak ngerti juga sama sistemnya.”Khansa menarik napas panjang kemudian segera bergegas pulang. Untuk saat ini, setidaknya kekhawatiran Khansa mengenai antingnya yang lepas dan tertinggal di kamar hotel itu sudah beres.*Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum Khansa selesai memasak di dapur, Bi

  • Semalam Dengan Komandan   Masuk Dalam Perangkat

    Semalam setelah pulang dari rumah dinas Rama, Khansa langsung masuk ke kamar dan meringkuk ke dalam selimut. Ia menangis karena sakit hati. Sialnya, Bima sama sekali tidak merasa bersalah. Jangankan meminta maaf, Bima malah terus-terusan menyalahkan Khansa dan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan di rumah Rama itu tidak sopan dan mempermalukan Bima sebagai suami. Khansa sungguh tidak habis pikir. Ia tidak menjawab semua ucapan Bima dan diam saja di dalam kamar sampai ketiduran. Malam itu, Bima tidak tidur sekamar dengan Khansa melainkan tidur di sofa ruang tamu.Keesokan harinya ketika Khansa bangun, ia baru bisa lebih tenang dan berpikir jernih. Khansa berusaha mengulas apa saja yang terjadi semalam, dan jujur ia sendiri sadar bahwa apa yang ia lakukan dengan pergi begitu saja dari rumah dinas Rama memang tidak sopan. Semalam, ia hanya terlalu sedih karena seolah tidak dianggap sebagai istri oleh Bima, makanya ia tidak bisa berpikir rasional.Khansa menghela napas panjang. “Mungkin m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status