Malam telah kembali berkunjung, membawa cahaya rembulan dan ribuan gemintang. Menemani Jihan yang tengah melamun seorang diri di dalam kamarnya. Bukan meratapi nasib karena akan ditinggal menikah oleh sang suami, melainkan memikirkan untuk memulai usaha dan masa depan baru tanpa adanya sosok seorang suami."Bunda!" Suara bocah kecil yang melongokan kepala di pintu kamar membuat wanita itu terperanjat dari lamunan."Hai, Sayang. Ayo ke sini." Fadil melangkah masuk dan menghenyak di sisi ranjang milik sang bunda."Bunda, lagi ngelamun? Apa Bunda sedih ayah akan menikah?" tanya bocah kecil itu, sedari tadi Jihan memang asik melamun hingga tak menyadari jika sang anak sudah cukup lama berdiri di depan pintu dan memperhatikan dirinya.Wanita itu tersenyum kemudian mengacak puncak kepala putra kesayangannya itu. Merasa bersyukur, meski sang suami telah meninggalkannya. Namun, ia masih memiliki seorang anak yang begitu perhatian walau usianya baru delapan tahun."Kenapa harus sedih? Ayah sud
Rizal menarik tangan Jihan dengan keras hingga tubuh wanita itu sedikit oleng."Mas, apa-apaan sih kamu? Datang-datang main narik orang seenaknya," protes Jihan seraya memegangi lengannya yang terasa nyeri akibat ulang sang suami."Kamu yang apa-apaan! Kamu itu masih istriku, kenapa kamu sudah kegenitan menggoda lelaki lain," bentak Rizal dengan kedua mata yang melotot.Sebelah alis Jihan naik, tak mengerti dengan maksud ucapan sang suami."Enak saja, mengataiku kegenitan. Padahal dia yang matre dan ingin kawin lagi sama anak orang kaya." Jihan hanya bisa membatin dalam hati."Apa maksudmu kegenitan? Lalu, siapa memangnya lelaki yang aku goda?" Suara Jihan ikut meninggi, seolah sedang menantang sang suami.Rizal tak langsung menjawab, lelaki itu merogoh saku untuk mengambil sebuah benda pipih. Jemari Rizal menari-nari di atas layar seolah sedang mencari sesuatu."Lihat ini!" Lelaki itu menunjukan potret kebersamaan Anjas dan Jihan saat mengantar Fadil ke sekolah tadi.Jihan berdecak,
Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar ucapan dari Anjas, wanita itu menghenyak di samping Anjas dengan Fadil yang berada di tengah-tengah mereka."Mau bicara apa, Njas? Kelihatannya penting sekali?" tanya Jihan pada pemuda beralis tebal itu."Maaf, bukan aku ingin ikut campur masalah rumah tanggamu. Tapi, kenapa kamu tidak membahas pernikahan Rizal sama sekali?" Anjas berucap dengan sangat hati-hati, ia tak ingin jika sampai Jihan merasa tersinggung.Jihan mengulas senyum, "Dia saja tak tahu kalau aku sudah mengetahui rencana pernikahan itu. Aku sengaja tak membahas agar ia bisa merasa menang, aku akan berikan dia kejutan di hari pernikahannya nanti."Anjas cukup menegerti maksud dari ucapan Jihan, lelaki itu memutuskan tak lagi membahas masalah rumah tangga temannya dan lebih memilih untuk kembali pada tujuan awalnya."Baiklah, aku mengerti. Sekarang aku ingin mengatakan niatku yang sebenarnya, aku ingin mengajakmu untuk kerja sama." Anjas menaikan sebelah alis, menunggu bagaimana
Mendung menghiasi langit di pagi hari, seolah sengaja datang untuk mengiringi acara pernikahan Rizal dan Indri. Jihan bersama Fadil sudah bersiap dan tengah menunggu kedatangan taksi online yang akan mengantar mereka menuju kediaman Brama. Lima menit menunggu, akhirnya taksi online yang dipesan oleh Jihan telah tiba. Wanita itu segera masuk ke dalam mobil bersama sang putra, ia tahu jika dalam diamnya, Fadil menyimpan luka dan kekecewaan."Nak, kamu yakin mau datang ke pernikahan ayah?" Suara Jihan membuat Fadil mendongak, menatap sang bunda dengan pandangan sendu."Yakin, Bun. Fadil akan berikan ucapan selamat untuknya, setelah itu Fadil tak akan lagi menemuinya," ucap Fadil penuh penekanan.Sopir yang duduk di balik kemudi mengernyit mendengar obrolan sepasang ibu dan anak itu."Memangnya siapa yang akan menikah, Bu?" Sang sopir berbasa-basi untuk memecah keheningan, matanya sesekali melihat ke belekang melalui kaca spion yang berada di tengah."Suami saya, Pak," jawab Jihan dengan
Semua mata tertuju pada Brama yang tengah menatap sosok bocah kecil di hadapannya dengan pandangan nyalang, seolah anak lelaki itu adalah musuh besar baginya. Tak ada raut ketakutan di wajah Fadil, anak lelaki itu membalas tatapan pria seusia kakeknya dengan pandangan datar dan sebuah senyum miring. Sedangkan Rizal masih bergeming, rasa bimbang merajai hati. Sejujurnya, lelaki itu tak tega melihat sang anak yang tengah dibentak oleh ayah mertuanya. Namun, jika Rizal membela pasti Brama akan murka dan membuatnya menjadi gelandangan. Pada akhirnya, lelaki itu memilih untuk diam dan hanya menonton semua adegan yang terjadi di depan mata.Jihan menghela napas, berusaha menahan emosi karena ia sudah berniat jika harus membalas Rizal dengan cara elegan. Wanita cantik itu memajukan langkah, berdiri di samping sang anak dengan seuntai senyum tipis."Apa Bapak ingin tahu siapa anak ini? Jika iya, maka saya akan menjelaskan," ujar Jihan, sesekali ekor matanya melirik ke arah sang suami yang nam
Suara Brama menggelegar memenuhi lokasi acara, lelaki itu dengan lantang meminta Jihan untuk berhenti melangkah. Mau tak mau, Jihan harus menghentikan langkah kakinya. Wanita itu mendesah kasar kemudian menoleh ke arah lelaki yang kini telah resmi menjadi mertua dari Rizal."Ada apa, Pak Brama?" Suara Jihan begitu lembut, senyuman manis tak pernah terlepas dari bibirnya. Berusaha menunjukan pada semua orang jika ia sedang baik-baik saja.Brama mulai mengayun langkah kaki. Mendekati sepasang ibu dan anak yang berdiri di dekat pintu. Ada satu hal yang harus ia ucapkan pada Jihan. Atau mungkin ini termasuk salah satu penawaran."Siapa namamu?" tanya Brama pada wanita yang baru saja mendapat talak dari sang suami."Apakah menantu Bapak tak pernah menyebut nama saya?" Jihan tersenyum miring sembari menaikkan sebelah alis."Jika tidak, maka saya akan memperkenalkan diri. Nama saya Jihan, Pak," lanjutnya kemudian.Brama mengulas senyum kagum, ia tak menyangka jika orang kampung seperti Jihan
Mobil yang dikemudikan oleh Anjas mulai melaju. Hening, tak ada perkacapan di antara mereka. Padahal, Jihan tengah menunggu pemuda di sampingnya untuk menjawab rasa penasaranya tadi. Tanpa disadari oleh Jihan, Anjas telah membelokan mobilnya menuju sebuah restoran. Mobil telah terpakir, Jihan pun tersadar dari lamunan. Pandangan wanita itu menelisik ke sekitar, mencoba mencari tahu di mana ia berada sekarang. "Lho, Njas. Kok kita malah ke sini?" Kedua alis Jihan saling bertaut kala ia menyadari tengah berada di sebuah restoran.Anjas mengulas senyum, menatap sepasang ibu dan anak secara bergantian, "Sudah waktunya makan siang, aku lihat tadi kamu nggak makan sama sekali. Aku juga nggak sempat makan. Jadi lebih baik sekarang kita makan dulu, ayo turun. Aku traktir."Anjas keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Jihan kemudian Fadil. Lelaki itu berjalan di depan bersama Fadil yang berada di dalam gendongan, ia tahu jika perasaan anak didiknya sekarang sedang tidak baik-baij saja
Malam telah berkunjung, mengantar hawa dingin dan terang cahaya gemintang yang menghias pekatnya langit. Sepasang pengantin baru tengah menikmati makan malam bersama keluarga besar."Saya permisi, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan di kamar. Oh ya Indri, besok kamu dan Rizal sudah bisa langsung menempati rumah baru," ujar Brama, kemudian berlalu tanpa pamit pada sang besan, lelaki paruh baya itu pergi begitu saja setelah selesai mengisi perutnya.Mata Bu Inggar dan Indri berbinar mendengar kata "rumah baru". Sejuta angan terbayang di benak mereka. Hidup mewah dan bergelimang harta, cukup duduk manis semua akan disediakan oleh Indri. Rizal menoleh, memastikan jika ayah mertuanya telah menjauh, ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada sang ibu dan kakak perempuannya."Ibu, Mbak Rindi." Panggilan Rizal membuat kedua wanita beda generasi itu mendongak. "Ada apa, Zal. Pasti kamu mau menyuruh Ibu dan Mbak Rindi berkemas untuk ikut pindah ke rumah baru kalian kan?" Bu Inggar berucap ta