Share

4. Mahar Pernikahanku, Mas!

Fadil sedikit tersentak kaget kala mendengar suara keras sang ayah yang langsung menggema di seluruh sudut ruangan. Beruntung, bocah itu telah menghabiskan semua isi piringnya. Sepercik kekecewaan muncul di hati bocah kecil itu kala mengingat sikap sang ayah yang seolah tak mempedulikan dirinya dan sang bunda. Tanpa diminta, bocah itu pamit pada Jihan untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Bunda, Fadil sudah kenyang. Sekarang Fadil mau ke kamar dulu ya, capek," pamit Fadil pada sang bunda, Jihan mengangguk. Mengerti jika sang anak tak ingin melihat pertengkaran kedua orang tuanya.

Jihan mengangguk, kemudian tersenyum menatap ke arah punggung sang anak yang sudah menghilang di balik pintu kamar. Kini, sorot mata wanita itu berubah tajam, menatap sang suami yang masih berdiri di hadapannya dengan wajah bengis.

"Maksud kamu apa-apaan gimana tadi, Mas?" tanya Jihan pada sang suami.

Rizal mendengus kesal, wajahnya merah padam menahan emosi. Lelaki itu menghenyakkan bobot tubuhnya di kursi seberang sang istri. Matanya melotot membalas tatapan tajam dari Jihan.

"Apa benar kalau tadi siang kamu jual cincin nikah?" tuduh Rizal secara langsung.

Benar tebakan Jihan, pasti ibu mertua dan kakak iparnya yang benalu itu sudah mengadu pada sang suami. Jihan hanya bisa tersenyum miring mendengar pertanyaan dari Rizal, kemudian memutar bola matanya malas.

"Iya, bukannya kamu sendiri yang menyuruhku aku untuk menutupi semua kekurangan uang dapur. Bayaran sekolah Fadil, dan juga bayar uang rekreasi Fadil minggu depan," balas Jihan yang berusaha bersikap santai, tak ingin sang anak ketakutan jika mendengar suara pertengkaran dari kedua orang tuanya.

"Tapi ini apa, kamu malah beli ayam goreng cap mahal begini! Mana banyak, dan kamu sama sekali nggak kepikiran buat kasih sedikit ke ibu. Apa kamu lupa kalau ibuku masih hidup!" bentak Rizal sembari menggebrak meja yang berhasil membuat Jihan berjingkat kaget.

"Anakku juga perlu makan enak dan bergizi, Mas! Lalu, untuk apa aku kasih ayam ini ke ibumu? Bukankah ibumu sudah masak rendang daging yang dibeli dengan uang hasil pemberianmu yang selalu mengesampingkan nafkah untuk aku dan Fadil. Bahkan, kamu pulang telat karena kamu baru saja makan enak di sana bukan?" Jihan menjeda kalimatnya untuk mengambil napas. Dadanya naik turun menahan emosi yang kian memuncak.

Apa yang ada di pikiran Rizal sebenarnya, dia hanya menomorsatukan keluarganya. Sedangkan anak dan istri seolah tak pernah ia pikirkan. Lalu untuk apa pernikahan ini kalau Jihan dan Fadil sama sekali tak berarti untuknya?

"Kamu sendiri, kepikiran anak dan istrimu tidak saat makan enak dan bersenang-senang dengan keluargamu. Bahkan, kamu juga kasih jatah untuk Putri setiap bulannya. Padahal, anakmu sendiri kau abaikan, Mas." Sakmat! Rizal hanya diam, tak tahu bagaimana menjawab setiap perkataan sang istri. Wanita penurut dan pendiam seperti Jihan akan berubah menjadi singa betina jika sudah benar-benar marah. Apalagi ini menyangkut soal nasib anaknya.

"Tapi, Jihan. Harusnya kamu bilang dulu kalau mau jual cincin itu, bagaimanapun juga itu kan cincin pemberianku. Harusnya kamu juga kasih sebagian hasil penjualan cincin itu ke aku dong." Nada suara Rizal mulai merendah. Namun, malah membuat sang istri semakin murka.

Kini, giliran Jihan yang menggebrak meja karena sudah tak tahan dengan sikap konyol sang suami.

"Kamu mau minta hasil penjualan cincin ini, Mas? Apa kamu lupa kalau cincin ini kamu berikan padaku sebagai mahar pernikahan untukku, dan mahar itu sepenuhnya menjadi hak istri. Kalau kamu mau minta uang hasil penjualan cincin ini, sekalian saja kamu pergi dari rumah ini dan urus surat perceraian kita," maki Jihan pada sang suami.

Rizal mengepalkan kedua tanganya mendengar makian dari sang istri. Sungguh, hari ini Rizal seperti tak lagi mengenali sang istri. Jihan yang biasanya penurut dan selalu mengalah telah berubah menjadi beringas.

"Ya sudah, kamu ambil aja itu hasil penjualan cincin!" bentak Rizal kemudian masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan kembali menyambar kunci motor serta helm di atas meja.

"Mau ke mana kamu, Mas?" tanya Jihan yang emosinya sudah mulai mereda kembali.

"Bukan urusanmu, muak aku sama kamu," jawab Rizal kemudian berlalu keluar rumah. Sejurus kemudian, terdengar deru suara kendaraan bermotor yang menjauh dari rumah.

Jihan hanya bisa mendesah kesal, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jatuh juga. Jihan hanya wanita biasa, yang bisa sakit hati meski ia berusaha untuk terus terlihat kuat. Wanita itu menelungkupkan kepalanya di atas meja. Menangis tanpa suara, melepaskan rasa sesak yang menghimpit di hatinya.

Mungkin ini alasan kenapa sang ayah dahulu tak sepenuhnya merestui pernikahan Jihan dan Rizal sampai beliau meninggal. Sejuta sesal muncul di hati wanita itu. Andai ia tahu sikap asli Rizal ternyata begini, mungkin ia tak akan pernah mau menerima pinangan dari lelaki itu.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesal. Apalagi Tuhan sudah menghadirkan Fadil yang selalu bisa menguatkan hatinya. Jihan merasakan sebuah telapak tangan yang membelai lembut puncak kepalanya, secara refleks wanita itu menoleh. Jihan buru-buru menghapus jejak air mata di pipinya saat tahu ternyata sang anaklah yang melakukan hal itu.

"Fadil, kamu belum tidur, Nak?" Jihan berusaha tersenyum di depan sang anak.

Namun, bukannya menjawab. Bocah kecil itu malah ikut menghenyak di samping sang bunda dengan wajah kesal.

"Kenapa ayah jahat ya, Bun. Ayah lebih sayang Putri daripada aku. Padahal kan aku ini anaknya," ucap Fadil seraya menundukkan kepalanya, setetes bulir bening membasahi pipi bocah laki-laki itu.

Jihan tak menyangka, ternyata putranya juga menyimpan sebuah luka sendiri dibalik sikap ceria yang ia tunjukkan selama ini. Wanita itu segera merengkuh tubuh mungil sang anak ke dalam pelukannya.

"Ayah nggak jahat kok, Nak. Mungkin ayah hanya ingin membantu putri, dia kan sudah nggak ada ayahnya. Sedangkan Fadil kan masih punya Bunda, Bunda akan selalu berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Jihan berusaha membesarkan hati sang anak, meski Rizal bukanlah ayah dan suami yang baik. Namun, Jihan juga tak mau jika Fadil sampai membenci ayahnya sendiri.

Bocah itu tak bersuara, hanya membalas penjelasan sang Bunda dengan sebuah anggukan kepala. Sebenarnya Fadil bukan membenci Rizal, bocah itu hanya ingin kasih sayang yang sama seperti Rizal menyayangi Putri, keponakannya.

"Sudah malam, sekarang kamu tidur ya. Biar Bunda temani," ajak Jihan pada putranya, Fadil menurut dan langsung beranjak menuju ke kamar. Jihan memeluk sang putra sampai bocah itu terlelap, baru kembali keluar.

Jam di dinding sudah menunjukan pukul sebelas malam, ia yakin jika sang suami tak akan pulang malam ini. Mungkin lelaki itu menginap di rumah ibunya. Wanita itu memutuskan untuk mengunci pintu rumahnya, persetan jika nanti Rizal akan pulang. Biar saja lelaki itu tidur di luar sekalian.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
tinggalkan laki-laki seperti rizal jihan,dy tidak memberimu kebahagiaan hanya luka yg kau dpt setiap hari
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g pernah kasihan sama wanita tolol kayak si jihan ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status