Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya meski masih sedikit malu-malu karena tertutup tebalnya awan mendung. Burung-burung mulai bernyanyi membawa harum aroma embun pagi yang membasahi dedaunan. Jihan mulai menggeliat dari nyenyak tidurnya, tangannya terulur untuk meraba sisi ranjang yang terasa dingin. Pertanda jika semalam sang suami benar-benar tak pulang ke rumah.
Wanita itu menyandarkan dirinya di kepala ranjang dan segera mengambil benda pipih yang berada di atas nakas, melihat siapa tahu ada panggilan tak terjawab dari sang suami karena semalam Jihan telah mengunci pintu rumahnya. Namun nihil, tak ada satupun telepon atau pesan yang masuk dari Rizal. Jihan terdiam, pandangannya nanar ke arah jendela yang masih tertutup oleh kain gorden bermotif bunga. Sedang tangannya meremas benda pipih yang masih berada dalam genggamannya karena merasa dongkol."Sepertinya kamu memang sudah tak menganggap aku dan Fadil sebagai bagian dari hidupmu, Mas," gumam Jihan kemudian melangkahkan kakinya untuk membersihkan diri.Wanita itu segera menuju ke dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan sang anak. Kemudian berniat untuk membangunkan putranya. Namun, ternyata Fadil baru saja selesai merapikan ranjang kecilnya. Handuk tersampir di pundak, pertanda bocah kecil itu hendak membersihkan diri."Fadil, kamu sudah bangun?" sapa Jihan seraya mendekati putranya, bocah itu menoleh dan tersenyum menatap sang Bunda."Sudah dong, Bunda. Aku kan sudah besar, dan aku mau gantikan ayah untuk membahagiakan Bunda."Ucapan yang terlontar dari bibir mungil itu membuat hati sang Bunda merasa tertampar. Bocah sekecil itu ternyata telah mengerti apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Jihan menekuk lututnya untuk mensejajarkan tinggi mereka. Menangkup kedua pipi sang putra dan menatap wajah tak berdosa itu begitu lekat."Nak, Bunda akan selalu bahagia ketika melihat kamu juga bahagia. Sekarang kamu mandi terus kita sarapan ya, Bunda sudah hangatkan ayam crispy kamu," titah Jihan yang langsung diangguki oleh putranya, bocah kecil itu langsung keluar dari kamar. Menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.Sementara Jihan hanya tersenyum kecut, hatinya semakin terasa nyeri. Apalagi Rizal yang sengaja tak pulang semalam. Wanita itu menuju ke meja makan, menanti sang anak untuk menikmati sarapan mereka.Beberapa menit kemudian, Fadil yang telah siap dengan seragam sekolahnya dan ikut menyusul ke meja makan dengan sebuah senyum mengembang. Pandanganya menelisik ke seluruh sudut rumah seolah mencari sesuatu."Ayah ke mana, Bun? Kok nggak ikut sarapan bareng kita?" tanya Fadil pada sang Bunda."Mungkin ayah tidur di rumah nenek, sekarang kamu makan terus Bunda antar ke sekolah ya." Jihan segera mengalihkan topik pembicaraan agar tak semakin banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh putranya.Bocah kecil itu menganggukkan kepala, fokusnya teralih untuk menghabiskan semua isi piring di hadapannya. Tepat pukul setengah tujuh, Jihan membonceng sang putra untuk menuju ke sekolah. Sepanjang perjalanan, Fadil tak berhenti mengoceh. Mengungkapkan keinginan untuk melindungi dan membahagiakan sang Bunda, juga menceritakan cita-citanya di masa depan yang ingin menjadi seorang dokter anak.Rasa haru menelusup begitu saja dalam hati wanita berkulit putih itu. Bocah sekecil itu sudah sangat memikirkan kebahagiaan bundanya. Sedangkan Rizal, jangankan memikirkan kebahagiaan. Ingat pada mereka berdua saja sudah alhamdulillah, karena selama ini yang ada dalam pikiran Rizal hanyalah keluarganya sendiri. Jihan mengusap sudut matanya yang basah kala menyadari sepeda motor yang ia tumpangi telah mendekati gerbang sekolah putranya."Sekolah yang pinter ya, Nak. Nanti jangan pulang kalau Bunda belum jemput ya," pesan Jihan seraya mengelus puncak kepala putranya."Siap, Bunda." Fadil mencium punggung tangan sand Bunda kemudian berlari masuk ke dalam gerbang sekolahnya.Wanita itu kembali memacu sepeda motor matic miliknya, kali ini tujuanya adalah ke pasar. Berniat untuk membeli beberapa bahan jualan yang sudah habis. Seperti biasa, Jihan memilih memarkirkan motornya di depan gang masuk pasar yang berhadapan dengan sebuah dealer sepeda motor.Kaki yang hampir terayun menuju gerbang pasar itu urung melangkah kala melihat pemandangan di seberang sana. Nampak Rizal, sang suami tengah melihat-lihat sebuah sepeda motor bersama Rindi dan Bu Inggar."Mas Rizal, apa dia nggak pergi kerja hari ini. Lalu, untuk apa mereka berada di dealer sepeda motor?" Tanda tanya besar langsung bersarang di benak wanita itu.Hampir saja Jihan membawa langkah kakinya mendekati mereka agar tahu apa tujuan suaminya berada di sana. Namun urung, mengingat jika Rindi pasti akan memposting aktivitasnya di sosial media. Wanita itu memutar badannya dan kembali pada tujuan utama untuk berbelanja bahan jualan.Bugh."Aduh," kaget Jihan saat seseorang menabrak bahunya hingga hampir jatuh terhuyung ke belakang."Ya ampun, maaf, Mbak. Saya lagi buru-buru," ucap seorang ibu-ibu yang baru saja menabrak dirinya."Iya, nggak apa-ap ...." Kalimat Jihan terhenti kala melihat sosok yang baru saja menabrak dirinya."Mbak Jihan!""Bu RT!" sorak kedua wanita itu secara bersamaan."Iya, Bu. Maaf saya juga tadi jalan nggak lihat-lihat," ujar Jihan dengan sopan."Nggak apa-apa, Mbak. Oh iya, Mbak Jihan hari ini jualan?" tanya Bu RT pada wanita cantik itu."InsyaAllah jualan, Bu. Ini saya baru mau belanja bahan buat jualan," jawab Jihan dengan diiringi sebuah senyuman manis."Ya sudah, nanti saya ke sana. Hawanya lagi mendung begini, mulut pengen makan yang pedas-pedas. Ya sudah, saya duluan ya, Mbak," pamit Bu RT yang segera berlalu setelah mendapat sebuah anggukan dari Jihan.Jihan segera membeli kebutuhan daganganya, dan langsung pulang setelah merasa semuanya cukup. Wanita itu kembali mengalihkan pandangan matanya pada dealer di mana sang suami ternyata sudah tak berada di sana. Wanita itu buru-buru memutar gasnya untuk pulang, berpikir jika sang suami juga sudah berada di rumah.Mata Jihan memincing kala mendapati pintu rumahnya yang masih tertutup rapat, sepeda motor Rizal juga tak ada. Pertanda jika lelaki itu belum pulang ke rumah."Kok dia belum pulang juga? Ah sudahlah, suka-suka dia saja," gumam Jihan kemudian membawa belanjaanya ke dapur dan mulai menata dagangan untuk membuka kedai seblak serts telur gulung miliknya.Baru saja kedai milik Jihan buka, Bu Rt sudah datang menghampiri dengan wajah sumringah. Wanita itu memang sangat menyukai seblak buatan Jihan."Wah, pas banget baru buka. Mbak, seblak seafood level tiga ya, dua," pinta Bu Rt yang sudah membanting bobot tubuhnya di salah satu kursi yang sengaja disediakan oleh Jihan untuk para pelanggan."Siap Bu Rt, sebentar ya saya buatkan dulu." Jihan bergegas meracik seblak untuk pelanggannya tersebut."Mbak Jihan." Terdengar suara Bu Rt yang hendak mengajak mengobrol, tentu saja Jihan menanggapi dengan ramah."Iya, Bu. Ada apa?" tanya Jihan tanpa mengalihkan fokus dari wajan seblak yang sudah berada di atas kompor."Mbak Jihan pasti seneng banget ya, dibelikan sepeda motor baru sama Mas Rizal. Mana Honda Scoppy keluaran terbaru lagi."Kening Jihan mengernyit, wanita itu tengah berusaha untuk mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Bu RT. Suaminya membeli sepeda motor baru, tapi uang dari mana? Sedangkan yang dipakai Rizal saat ini saja adalah sepeda motor Jihan yang dibeli jauh sebelum menikah dengan Rizal dahulu, wanita itu hanya bisa menerima kala sang suami memintanya memakai motor matic buntut milik Rizal dengan alasan Jihan hanya memakainya untuk pergi ke pasar sedangkan Rizal harus bekerja setiap hari."Mbak, Mbak Jihan kok melamun. Terlalu senang ya mau dapat kado motor baru dari suami?" goda Bu RT sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Dua wanita beda generasi itu memang cukup akrab lantaran sikap Jihan yang sopan dan ramah.Jihan tersenyum canggung karena ketauhan Bu RT ketika sedang melamun, "Ah Ibu bisa saja, mana mungkin Mas Rizal beli motor baru. Lha wong dia saja pakai motor saya.""Ya siapa tahu aja diam-diam Mas Rizal nabung, Mbak. Buktinya dia beli motor itu secara cash lho, bukan kredit,
Jihan mengangkat kembali kakinya untuk mengambil sesuatu yang baru saja terinjak. Dipungutnya sebuah kertas kecil mirip dengan struk belanja dari atas lantai, mata Jihan memincing. Bola matanya bergerak ke kanan ke kiri, menelisik tulisan-tulisan kecil yang berada di atas kertas. Dan akhirnya, rasa penasaran Jihan terjawab juga."Rizal Aditama, assisten manager merk, empat belas juta rupiah." Komat-kamit mulut Jihan membaca tulisan pada kertas yang kini berada dalam genggamanya.Mata wanita itu membola, tangannya terangkat untuk mengucek mata yang sebenarnya tak merasa mengantuk. Hanya untuk memastikan jika pengelihatannya tidak salah. Hati Jihan kian kecewa, benarkah Rizal naik jabatan setinggi itu, yang awalnya hanya buruh kontrak di bagian produksi sekarang berubah menjadi assisten manager merk. Bagaimana bisa, padahal pendidikan terakhir Rizal hanya lulusan sekolah menengah atas.Jihan meremas kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam saku daster yang ia kenakan. Melangkahkan kak
Suara keras Jihan membuat sang suami menghentikan langkahnya di depan pintu. Lelaki itu tersenyum miring, sudah menebak jika Jihan akan menahan kepergiannya. Karena ia tahu jika sang istri sangat mencintainya. Bahkan, dulu Jihan rela menentang restu sang ayah demi bisa menikah dengan Rizal. Lelaki itu segera menghapus senyum dan memutar badan untuk menghadap sang istri yang sudah berdiri sembari melipat tangan di depan dada."Ada apa, Jihan? Mau mencegah kepergianku?" ucap Rizal dengan pandangan remeh, lelaki itu terlalu percaya diri.Tak seperti yang diharapkan oleh Rizal, wanita cantik itu malah menadahkan telapak tangan, "Kembalikan kunci sepeda motorku, bawa sepeda motormu sendiri yang buntut itu!"Rizal terperangah dibuatnya, tak menyangka Jihan akan meminta kembali sepeda motor yang selama ini pakai untuk pergi bekerja."Ayo mana kuncinya, ini kunci sepeda motor buntutmu." Jihan mengulurkan kunci sepeda motor buntut yang selama ini ia pakai kepada Rizal."Nih, makan tuh sepeda m
Mentari pagi telah kembali berkunjung, bersama kehangatan yang menyesap butiran embun di dedaunan. Rizal baru saja selesai menikmati sarapan pagi bersama keluarganya dan tengah bersiap untuk berangkat bekerja setelah pertengkaran yang membuatnya diusir oleh Jihan semalam."Mbak Rindi mau ngantar putri ke sekolah?" tanya Rizal pada sang kakak yang baru saja menyambar kunci sepeda motor barunya."Iya Zal, siapa tahu nanti ketemu si Jihan itu. Lumayan, bisa sekalian pamer biar kebakaran jenggot," ucap Rindi dengan senyum sumringah."Gimana kalau putri berangkat kerja bareng aku aja, Mbak? Sekalian aku pakai sepeda motor Mbak. Malu aku, masa seorang asisten manager di perusahaan rokok paling terkenal berangkat kerja pakai sepeda motor buntut," keluh Rizal dengan wajah memelas.Rindi memutar bola matanya seperti sedang memikirkan sesuatu kemudian menepuk lembut pundak adiknya, "Ngapain malu, justru ini kesempatan. Siapa tahu Indri kasihan lihat kamu terus dikasih motor baru kan lumayan.""
Jihan menarik napasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Berusaha untuk memasang wajah setenang mungkin, menata emosinya baru kemudian membuka pintu yang masih terus digedor oleh ibu mertua dan kakak iparnya itu.Pintu terbuka, Jihan tersenyum dengan manis menatap dua tamunya dengan wajah tegas. Sementara Bu Inggar dan Rindi terpanah untuk beberapa saat melihat perhiasan yang melekat di tubuh Jihan. Otak Bu Inggar dan Rindi seketika bekerja keras, menerka-nerka dari mana Jihan mendapatkan uang untuk membeli satu set perhiasan semewah itu."Ibu, Mbak Rindi, ada apa?" Suara Jihan membuat dua wanita beda generasi itu tersadar dari lamunannya.Bu Inggar menatap tajam sang menantu, bersiap untuk memaki-maki wanita yang sudah hampir sepuluh tahun mendampingi Rizal, dan selama itu pula Jihan menjadi istri yang baik serta penurut untuk Rizal."Heh Jihan, berani sekali kamu mengusir anak saya dari rumah ini! Memangnya kamu bisa apa tanpa Rizal, hah?" Bu Inggar berucap sembari bertola
Jihan mendekat ke arah sang anak sembari menunggu seorang laki-laki dengan seragam batik khas seorang guru yang baru saja mengantar putranya untuk membuka helm."Fadil, maaf ya. Bunda telat jenput kamu hari ini," ucap Jihan dengan wajah bersalah, ini pertama kali Jihan bisa lupa menjemput bocah kecil itu dari sekolahnya.Fadil tersenyum mendengar permintaan maaf dari sang bunda, "Tidak apa-apa Bunda, untung ada Pak Anjas yang sudah baik hati mengantar Fadil pulang."Dahi Jihan mengernyit kala putranya menyebut sebuah nama yang terasa begitu familiar di telinga. Wanita itu mengalihkan fokus pandangan pada laki-laki yang kini sudah berdiri di samping putranya. Tanpa sengaja keduanya saling beradu pandang dengan ekspresi wajah yang sama-sama terkejut."JIHAN, ANJAS!" sorak mereka bersamaan."Lho, Bunda kenal sama Pak Anjas?" heran Fadil melihat tingkah dua orang dewasa yang tengah berdiri di hadapannya. Lelaki bernama Anjas itu tersenyum kemudian kembali menatap ke arah Jihan."Kamu bena
Jihan memandang wajah lelaki di hadapannya lekat-lekat. Lelaki yang dulu cintanya sangat ia perjuangkan, lelaki yang begitu ia cintai hingga mata hatinya mulai dibuka oleh kenyataan."Maaf, Mas. Kata maafmu tak akan bisa merubah apapun." Kalimat itu meluncur dengan mudah dari bibir Jihan. Rasanya tak ada guna mempertahankan pernikahan ini. Kalaupun Rizal benar-benar berubah, pasti mertua dan iparnya yang benalu itu tak akan rela.Rizal masih belum percaya dengan jawaban sang istri barusan, ia yakin Jihan masih mencintai dirinya. Tak mungkin wanita itu benar-benar ingin berpisah dan menyandang status janda. Mengingat apa yang sudah ia korbankan demi menikah dengan Rizal."Jihan, kamu sedang bercanda kan? Apa kamu lupa bagaimana perjuangan kita saat mengejar restu dari orang tuamu agar bisa menikah?" ujar Rizal, lelaki itu berusaha menggenggam jemari sang istri namun segera ditepis oleh si empunya."Aku tidak pernah lupa, Mas. Bahkan aku ingat jika aku harus mangambil uang tabunganku un
Matahari masih malu-malu untuk menampakan sinarnya, hawa dingin juga masih begitu terasa menusuk di kulit. Namun, Jihan sudah sibuk berkutat di dapur. Menyiapkan bekal makanan yang akan ia bawa untuk menemani Fadil rekreasi sekolah dengan naik kereta kelinci. Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah kala memandangi beberapa kotak makanan yang sudah tertata rapi di atas meja makan. Langkah kaki Jihan terayun menuju ke kamar Fadil yang sedang membereskan ranjang kecilnya. Bocah laki-laki itu sengaja bangun lebih pagi karena tak sabar untuk segera menikmati acara sekolahnya hari ini."Wah, anak Bunda sudah bangun nih. Semangat sekali yang mau jalan-jalan naik kereta kelinci," goda Jihan yang bersandar di pintu sembari melipat kedua tangan di depan dada."Iya dong, Fadil mandi dulu ya, Bun." Bocah lelaki itu langsung berlari ke arah kamar mandi, maninggalkan Jihan yang hanya bisa menatap punggung putranya dengan sebuah senyuman. Wanita itu juga memutuskan