Share

5. Di dealer?

Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya meski masih sedikit malu-malu karena tertutup tebalnya awan mendung. Burung-burung mulai bernyanyi membawa harum aroma embun pagi yang membasahi dedaunan. Jihan mulai menggeliat dari nyenyak tidurnya, tangannya terulur untuk meraba sisi ranjang yang terasa dingin. Pertanda jika semalam sang suami benar-benar tak pulang ke rumah.

Wanita itu menyandarkan dirinya di kepala ranjang dan segera mengambil benda pipih yang berada di atas nakas, melihat siapa tahu ada panggilan tak terjawab dari sang suami karena semalam Jihan telah mengunci pintu rumahnya. Namun nihil, tak ada satupun telepon atau pesan yang masuk dari Rizal. Jihan terdiam, pandangannya nanar ke arah jendela yang masih tertutup oleh kain gorden bermotif bunga. Sedang tangannya meremas benda pipih yang masih berada dalam genggamannya karena merasa dongkol.

"Sepertinya kamu memang sudah tak menganggap aku dan Fadil sebagai bagian dari hidupmu, Mas," gumam Jihan kemudian melangkahkan kakinya untuk membersihkan diri.

Wanita itu segera menuju ke dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan sang anak. Kemudian berniat untuk membangunkan putranya. Namun, ternyata Fadil baru saja selesai merapikan ranjang kecilnya. Handuk tersampir di pundak, pertanda bocah kecil itu hendak membersihkan diri.

"Fadil, kamu sudah bangun?" sapa Jihan seraya mendekati putranya, bocah itu menoleh dan tersenyum menatap sang Bunda.

"Sudah dong, Bunda. Aku kan sudah besar, dan aku mau gantikan ayah untuk membahagiakan Bunda."

Ucapan yang terlontar dari bibir mungil itu membuat hati sang Bunda merasa tertampar. Bocah sekecil itu ternyata telah mengerti apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Jihan menekuk lututnya untuk mensejajarkan tinggi mereka. Menangkup kedua pipi sang putra dan menatap wajah tak berdosa itu begitu lekat.

"Nak, Bunda akan selalu bahagia ketika melihat kamu juga bahagia. Sekarang kamu mandi terus kita sarapan ya, Bunda sudah hangatkan ayam crispy kamu," titah Jihan yang langsung diangguki oleh putranya, bocah kecil itu langsung keluar dari kamar. Menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Sementara Jihan hanya tersenyum kecut, hatinya semakin terasa nyeri. Apalagi Rizal yang sengaja tak pulang semalam. Wanita itu menuju ke meja makan, menanti sang anak untuk menikmati sarapan mereka.

Beberapa menit kemudian, Fadil yang telah siap dengan seragam sekolahnya dan ikut menyusul ke meja makan dengan sebuah senyum mengembang. Pandanganya menelisik ke seluruh sudut rumah seolah mencari sesuatu.

"Ayah ke mana, Bun? Kok nggak ikut sarapan bareng kita?" tanya Fadil pada sang Bunda.

"Mungkin ayah tidur di rumah nenek, sekarang kamu makan terus Bunda antar ke sekolah ya." Jihan segera mengalihkan topik pembicaraan agar tak semakin banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh putranya.

Bocah kecil itu menganggukkan kepala, fokusnya teralih untuk menghabiskan semua isi piring di hadapannya. Tepat pukul setengah tujuh, Jihan membonceng sang putra untuk menuju ke sekolah. Sepanjang perjalanan, Fadil tak berhenti mengoceh. Mengungkapkan keinginan untuk melindungi dan membahagiakan sang Bunda, juga menceritakan cita-citanya di masa depan yang ingin menjadi seorang dokter anak.

Rasa haru menelusup begitu saja dalam hati wanita berkulit putih itu. Bocah sekecil itu sudah sangat memikirkan kebahagiaan bundanya. Sedangkan Rizal, jangankan memikirkan kebahagiaan. Ingat pada mereka berdua saja sudah alhamdulillah, karena selama ini yang ada dalam pikiran Rizal hanyalah keluarganya sendiri. Jihan mengusap sudut matanya yang basah kala menyadari sepeda motor yang ia tumpangi telah mendekati gerbang sekolah putranya.

"Sekolah yang pinter ya, Nak. Nanti jangan pulang kalau Bunda belum jemput ya," pesan Jihan seraya mengelus puncak kepala putranya.

"Siap, Bunda." Fadil mencium punggung tangan sand Bunda kemudian berlari masuk ke dalam gerbang sekolahnya.

Wanita itu kembali memacu sepeda motor matic miliknya, kali ini tujuanya adalah ke pasar. Berniat untuk membeli beberapa bahan jualan yang sudah habis. Seperti biasa, Jihan memilih memarkirkan motornya di depan gang masuk pasar yang berhadapan dengan sebuah dealer sepeda motor.

Kaki yang hampir terayun menuju gerbang pasar itu urung melangkah kala melihat pemandangan di seberang sana. Nampak Rizal, sang suami tengah melihat-lihat sebuah sepeda motor bersama Rindi dan Bu Inggar.

"Mas Rizal, apa dia nggak pergi kerja hari ini. Lalu, untuk apa mereka berada di dealer sepeda motor?" Tanda tanya besar langsung bersarang di benak wanita itu.

Hampir saja Jihan membawa langkah kakinya mendekati mereka agar tahu apa tujuan suaminya berada di sana. Namun urung, mengingat jika Rindi pasti akan memposting aktivitasnya di sosial media. Wanita itu memutar badannya dan kembali pada tujuan utama untuk berbelanja bahan jualan.

Bugh.

"Aduh," kaget Jihan saat seseorang menabrak bahunya hingga hampir jatuh terhuyung ke belakang.

"Ya ampun, maaf, Mbak. Saya lagi buru-buru," ucap seorang ibu-ibu yang baru saja menabrak dirinya.

"Iya, nggak apa-ap ...." Kalimat Jihan terhenti kala melihat sosok yang baru saja menabrak dirinya.

"Mbak Jihan!"

"Bu RT!" sorak kedua wanita itu secara bersamaan.

"Iya, Bu. Maaf saya juga tadi jalan nggak lihat-lihat," ujar Jihan dengan sopan.

"Nggak apa-apa, Mbak. Oh iya, Mbak Jihan hari ini jualan?" tanya Bu RT pada wanita cantik itu.

"InsyaAllah jualan, Bu. Ini saya baru mau belanja bahan buat jualan," jawab Jihan dengan diiringi sebuah senyuman manis.

"Ya sudah, nanti saya ke sana. Hawanya lagi mendung begini, mulut pengen makan yang pedas-pedas. Ya sudah, saya duluan ya, Mbak," pamit Bu RT yang segera berlalu setelah mendapat sebuah anggukan dari Jihan.

Jihan segera membeli kebutuhan daganganya, dan langsung pulang setelah merasa semuanya cukup. Wanita itu kembali mengalihkan pandangan matanya pada dealer di mana sang suami ternyata sudah tak berada di sana. Wanita itu buru-buru memutar gasnya untuk pulang, berpikir jika sang suami juga sudah berada di rumah.

Mata Jihan memincing kala mendapati pintu rumahnya yang masih tertutup rapat, sepeda motor Rizal juga tak ada. Pertanda jika lelaki itu belum pulang ke rumah.

"Kok dia belum pulang juga? Ah sudahlah, suka-suka dia saja," gumam Jihan kemudian membawa belanjaanya ke dapur dan mulai menata dagangan untuk membuka kedai seblak serts telur gulung miliknya.

Baru saja kedai milik Jihan buka, Bu Rt sudah datang menghampiri dengan wajah sumringah. Wanita itu memang sangat menyukai seblak buatan Jihan.

"Wah, pas banget baru buka. Mbak, seblak seafood level tiga ya, dua," pinta Bu Rt yang sudah membanting bobot tubuhnya di salah satu kursi yang sengaja disediakan oleh Jihan untuk para pelanggan.

"Siap Bu Rt, sebentar ya saya buatkan dulu." Jihan bergegas meracik seblak untuk pelanggannya tersebut.

"Mbak Jihan." Terdengar suara Bu Rt yang hendak mengajak mengobrol, tentu saja Jihan menanggapi dengan ramah.

"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Jihan tanpa mengalihkan fokus dari wajan seblak yang sudah berada di atas kompor.

"Mbak Jihan pasti seneng banget ya, dibelikan sepeda motor baru sama Mas Rizal. Mana Honda Scoppy keluaran terbaru lagi."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
bener2 rizal suami gk tau diri, lebih mentingin orang lain timbang keluarga sendiri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status