Jihan dengan sengaja mengeraskan suaranya hingga mengundang perhatian beberapa pengunjung toko emas tersebut. Beberapa ibu-ibu berbisik sembari memandang negatif ke arah Bu Inggar dan putri sulungnya.
"Kurang ajar ya kamu, Jihan. Sengaja kamu mau mempermalukan kami?" bisik Bu Inggar dengan mata melotot.Jihan tersenyum kecut, bukan maksudnya untuk bersikap kurang ajar pada ipar dan ibu mertuanya. Namun, rasa hatinya sudah benar-benar lelah. Untuk apa menghormati mertua dan ipar yang selalu menindas, bahkan tega mengambil hak nafkahnya."Ibu malu? Kenapa? Apa Ibu memang merasa sudah merebut hakku dan anakku," balas Jihan kian sengit, membuat kedua wanita itu memilih untuk segera pergi sebelum bertambah malu.Jihan menatap punggung dua wanita yang kian menjauh dari pandangan mata, kemudian memutar badan untuk kembali pada tujuan utamanya. Namun, satu pemikiran terlintas di benaknya."Ibu dan Mbak Rindi pasti akan bilang ke Mas Rizal kalau aku jual cincin nikah, jadi sebaiknya memang aku jual saja sekalian cincin ini biar dia nggak curiga," batin Jihan dalam hati, wanita itu memutuskan untuk menjual gelang dan juga cincin nikahnya.Langkah kaki Jihan terayun menuju salah satu karyawan yang tampak sedang tak melayani pembeli."Permisi, Mbak. Saya mau jual perhiasan," ucap Jihan pada karyawan toko itu."Ada surat-suratnya?" Jihan mengangguk, mengeluarkan perhiasan beserta surat-suratnya dari dalam tas.Karyawan toko tersebut segera memeriksa dengan seksama gelang dan cincin yang hendak dijual oleh Jihan."Semua totalnya lima juta rupiah, Mbak," cetus karyawan toko tersebut setelah selesai memeriksa dan menghitung harga emas milik Jihan."Baiklah, Mbak."Jihan segera menghitung uang yang diberikan oleh karyawan toko tadi dan bergegas pergi setelah memastikan jika jumlah uang ditangannya sudah sesuai.Wanita itu kembali memacu sepeda motornya menuju ke rumah. Jihan memutuskan untuk menyimpan terlebih dahulu uang hasil penjualan gelang tersebut ke dalam laci rahasianya dan hanya menyisakan uang satu juta hasil dari penjualan cincin nikahnya di dalam dompet. Hal tersebut sengaja ia lakukan agar Rizal tak mengambil semua uang miliknya dengan dalih Bu Inggar dan Rindi sedang membutuhkan uang.Jam di dinding kamar Jihan telah menunjukan pukul setengah dua belas siang, pertanda ia harus segera menjemput Fadil di sekolah. Wanita itu sengaja membawa dua helm karena akan mengajak putranya untuk makan di luar. Jihan mulai melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang, dari kejauhan nampak sang putra yang sudah menunggu kedatangannya di depan gerbang."Halo, Sayang. Maaf ya kalau Bunda sedikit terlambat," sapa Jihan pada putra tunggalnya dan dibalas dengan sebuah senyuman oleh bocah berusia delapan tahun itu."Tidak apa-apa, Bun. Fadil juga baru saja keluar kelas."Jihan segera memakaikan helm di kepala Fadil dan kembali melajukan sepeda motor maticnya menuju sebuah pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota itu. Awalnya Fadil hanya menurut. Namun, wajahnya langsung berbinar kala sepeda motor sang Bunda telah berhenti di parkiran mall tersebut. Apalagi di lantai satu jelas terlihat sebuah restoran cepat saji yang sangat diimpikan oleh Fadil."Lho, kok kita pergi ke sini, Bun?" tanya bocah kecil itu dengan wajah polos.Jihan tersenyum tipis kemudian menekuk lututnya untuk mensejajarkan tinggi mereka berdua. Tangan wanita itu terulur. Menangkup kedua pipi Fadil dan menatap wajah polos yang sangat ia sayangi. Karena bagi Jihan, sang putra adalah harta paling berharga yang paling ia miliki."Kan kemarin Bunda sudah janji mau ajak Fadil makan di KFC. Jadi sekarang Bunda mau menepati janji dong, ayo kita makan," ajak Jihan pada putranya, bocah kecil itu tak bergeming. Seolah tak percaya jika keinginannya bisa diwujudkan oleh sang Bunda.Sepasang ibu dan anak itu saling bergandeng tangan, masuk ke sebuah restoran cepat saji dan memesan dua nasi ayam crispy lengkap dengan minuman dan kentang goreng. Jihan menatap sendu wajah sang putra yang tengah menikmati makan siangnya dengan begitu lahap. Sebersit kesedihan kembali terasa menyayat hati. Mengingat sang suami yang seolah tak peduli pada putranya sendiri dan lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan keponakannya."Terima kasih ya, Bunda. Fadil sayang banget sama Bunda," ucap bocah kecil itu setelah menghabiskan seluruh isi piringnya.Jihan teringat kembali dengan perkataan Rindi tentang rekreasi. Berniat menanyakan hal itu pada sang anak yang sama sekali tak membicarakan masalah rekreasi sekolah pada dirinya."Nak, Bunda mau tanya sesuatu boleh? Tapi jawab yang jujur ya." Jihan mulai memamcing pembicaraan serius antara ibu dan anak. Tentu saja Fadil langsung mengangguk karena selama ini anak itu memang tak pernah berbohong."Apa di sekolah Fadil ada acara rekreasi minggu depan?" tanya Jihan dengan sangat hati-hati karena tak ingin melukai perasaan putranya.Hening.Bocah kelas dua SD itu tak menjawab, hanya menunduk sembari menggigit bibir bawahnya. Tentu saja Jihan langsung tahu jika putranya itu sedang berusaha untuk menyembunyikan sesuatu. Namun, wanita itu tak putus asa, tanganya menggenggam lembut jemari sang anak. Matanya menatap teduh ke arah dua bola mata sendu bocah kecil itu."Kok Fadil diam saja, ayo katakan, Nak. Bunda hanya sekedar ingin tahu saja." Jihan kembali membujuk agar putranya mau bercerita."I- iya, Bun. Sebenarnya minggu depan ada acara rekreasi sekolah naik kereta kelinci.""Lalu, kenapa Fadil nggak bilang sama Bunda?""Kata Putri, Bunda nggak mungkin punya uang untuk bayar uang rekreasi itu. Jadi, Fadil nggak bilang karena nggak mau Bunda bingung cari uang," ucap bocah polos itu kemudian kembali menunduk.Deg.Hati Jihan benar-benar sakit mendengar penjelasan sang anak. Serendah itukah ia di mata keluarga sang suami. Bahkan, Putri yang notabene masih anak kecil pun bisa ikut menghina Jihan dan putranya.Jihan segera merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Mengecupi puncak kepala putranya berkali-kali dengan penuh kasih sayang."Nak, Bunda punya uang kok. Ini buktinya Bunda bisa belikan kamu ayam KFC, besok Bunda kasih uang untuk bayar rekreasinya ya. Kita ikut," ucap Jihan seraya menghapus air mata yang tanpa sadar telah membasahi pipinya."Ya Bunda, Fadil mau. Biar si Putri itu nggak ngejekin Fadil terus."Lagi-lagi Jihan harus menelan kepahitan. Dari cara bicara putranya barusan, terlihat jelas jika anak itu selalu mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari kakak sepupunya."Ya sudah, kita pesan lagi KFCnya untuk dibawa pulang ya. Buat malan malam nanti," ucap Jihan kemudian beranjak dari kursinya.Hari sudah beranjak sore saat Jihan sampai ke rumahnya. Namun, sang suami juga belum pulang. Wanita itu hanya bisa tersenyum kecut mengingat sang suami akan pulang terlambat karena lebih dulu mampir ke rumah ibu mertuanya untuk makan enak.Sepasang Ibu dan anak itu segera masuk ke dalam rumah kemudian bergantian untuk membersihkan diri.Selepas maghribh, keduanya kembali duduk di meja makan untuk menyantap makan malam dengan menu ayam KFC yang mereka beli tadi siang. Sengaja Jihan membeli cukup banyak agar bisa dipanaskan untuk sarapan putranya besok pagi.Saat tengah asyik mengunyah, sayup-sayup terdengar suara sepeda motor Rizal yang memasuki pekarangan. Sejurus kemudian, lelaki itu telah masuk ke dalam rumah. Mata Rizal melotot melihat menu makan malam yang sedang disantap oleh istri dan anaknya."Apa-apaan ini Jihan?"Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu