Masuk“Aah jangan. Aku harus fokus mengerjakan skripsi. Supaya cepat lulu, dan buktikan ke keluarga kalau aku bisa!” lirihnya.
Doni kembali menatap layar laptop hingga malam. Dia melakukan revisi sesuai arahan dari dosen pembimbing satu. Merubah judul, cakupan penelitian sampai jumlah sampel yang akan digunakan. Entah jam berapa dia berhenti, yang jelas matanya mulai perih karena terlalu lama menatap sinar pantulan laptop sehingga dia menutup laptop dan mata sampai tiba esok berikutnya.
Sang Surya tersenyum dari balik jendela. Doni segera bangun dan bersiap untuk berangkat ke kampus. Dia memutuskan untuk sarapan di kantin kampus, guna mengejar jadwal bimbingan dosen pembimbing dua. Saat dia akan berangkat, ponselnya bergetar. Ada pesan disana.
[ Aswrb. Bimbingan dengan ibu ditunda tulat ya, ibu ada jadwal seminar di luar kota mendadak. Thx]
Pesan itu dari dosen pembimbing kedua, yang langsung membuat Doni meletakan tas ke meja kembali. Dia tidak jadi ke kampus.
“Apa ganti dosen pembimbing 2 juga ya? Kalau seperti ini terus gak ke kejar lulus 3,5 aku. “ Gumamnya.
Tok…tok..tok
Dari luar, pintu kamarnya diketuk. Doni berjalan lemah kesana. Gagal bimbingan hari seperti membuat mood hidup hari ini juga memburuk. Dia membuka pintu dengan malas.
“Ooh Mbak Nadia, apa apa mbak?” Sapa Doni. Kepalanya saja yang keluar dari pintu.
Nadia tersenyum renyah, dia membawa nampan berisi kue.
“Mmm… ini mas, Nadia bawa kue brownies, buatan Nadia sendiri loh.” Kata Nadia seraya mengulurkan nampan berisi kue ke dalam.
Doni segera membuka pintu lebih lebar dan menerima nampan tersebut. Menerima makanan di saat belum sempat memasukan makanan ke lambung seperti menerima berlian. Apalagi bagi mahasiswa yang sedang tugas akhir, dimana sedang berhemat dalam berbagai pengeluaran.
“Wah…makasih Mbak Nadia. Kebetulan Doni belum sarapan nih, ada acara apa nih mbak?” Ucap Doni antusias. Dia segera mencomot sepotong kue tersebut dan langsung melahapnya, “Uhm…uenak dan legit mbak. Manisnya pas. Kayak yang buat.”
Nadia tersenyum lalu melipat bibir sambil mengelus pahanya, mendengar pujian Doni memuji rasa kue yang dia berikan.
“Aduh ah, meleleh hati ini mamas Doni. Aah yang bener mas? Ini ibu mertua lagi ada acara arisan nanti siang, aku diminta buatin kue untuk tamu nanti.” Jawab Nadia. Pipinya memerah.
“Bentar ya mbak saya taruh di meja, sekalian saya ganti nampannya. “ Ucap Doni, dia langsung masuk dan menaruh kue tersebut ke piring. Lalu, nampan tersebut dia bawa keluar kembali ke Nadia.
“Maaf mbak lama ya? “ sapa Doni seraya mengulurkan nampan kembali. Dia tahu itu nampan khusus kue dan pasti akan diperlukan kembali.
“Santai ah mas, sudah selesai semua kok. Ini nunggu ibu mertua kesini buat ngambil kuenya. Aku malas kesana. Paling ya gitu aja.” Jawab Nadia.
“Loh kenapa mbak?”
“Iyahh gitu lah mas. Orang tuanya suami pengen segera nimang cucu. “
“Ooh..” Doni menjawab singkat. Takut meneruskan yang malah menyakiti hati Nadia.
“Mbak sudah berapa lama tinggal di apartemen ini?” Doni mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nadia ah, sudah enam tahun disini mas. Termasuk penghuni awal. Kenapa mas?”
“Ooh lama juga ya. Enak sih disini ya mbak.”
“Iyah, dienakin mas. Nanti mas juga paham, mas Doni mau berangkat kuliah?”
“iya mbak, tadinya mau brangkat kuliah gak jadi, dosennya ada urusan, tapi ini mau nganter pakaian kotor ke laundry. Males nyuci mbak.” Jawab Doni, dia memang sudah empat hari tidak mencuci pakaian.
“Aah, di depan itu loh mas. Tempat mbak Sandra kerja, jalan depan belok kiri. Dekat kok, murah lagi.” Jawab Nadia dengan tatapan menggoda ke arah dada Doni.
Doni melihat itu dan langsung kikuk, lalu berusaha mengalihkan kegiatan. “Info bagus mbak. Doni antar laundry ya mbak.”
Dia segera ke dalam dan mengambil pakain kotor untuk di laundry. Sesaat setelah pulang dari laundry, seorang perempuan paruh baya dengan jilbab tipis ada di depan unit Nadia. Mereka seperti terlibat pembicaraan yang serius.
“Ooh, itu pasti mertua mbak Nadia yang ambil kue.” Gumam Doni lalu masuk ke apartemennya. Dari balik apartemen Doni bisa mendengar percakapan mereka.
“Kapan kamu punya anak Nad! Ibu sudah semakin keriput, mau gendong cucu. Semua teman sebayamu anaknya sudah masuk SD!, ibu malu Nad setiap di tanyain tetangga soal cucu!.”
Doni mendengar itu, lalu terdiam dan mendekatkan telinganya lagi ke dinding.
“Iya bu. Nadia juga pengin punya anak, tapi bagaimana kalau belum dikasih? Nadia juga sudah periksa ke dokter kandungan katanya semua baik-baik saja dan Nadia subur.” Suara Nadia terdengar dari sana, membela diri.
“Iya coba ke dokter kandungan lain, atau program hamil lain atau apalah nduk. Mau sampai kapan kalian menunda punya anak. “ Jawab seorang laki-laki dengan suara berat. Itu mertua laki-laki Nadia.
“Iya pak. Nadia juga sudah promil, beli berbagai obat dari on-line, juga konsumsi kurma muda. Tetapi belum di kasih pak.” Nadia terdengar menjelaskan pada mertuanya lagi.
“Jangan-jangan kamu yang mandul. Ayo pak kita pulang.” Suara perempuan tua itu lagi. Lalu terdengar suara pintu ditutup, dan Nadia menangis. Doni keluar kamar dan mulai memahami situasi.
Belum selesai mencercah Nadia kedua orang tua itu masih terus menyudutkan Nadia “Bener kan buk, aku dulu ga setuju si Ikhsan sama Nadia, ya ini jadinya, ga punya anak! Coba aja dulu kita terima rencana perjodohan anak kita sama pak Lurah, udah punya cucu kita buk. Ga tau itu Ikhsan yang dipilih cantik tapi kosong!”
Doni mendengar jelas dumel kedua orang tua itu, Doni hanya bisa menggeleng kepala dan napas berat.
Beberapa menit kemudian, Ikhsan suami Nadia pulang. Menyapa Doni yang masih di luar, kemudian segera masuk ke apartemennya sendiri. Doni mendengar Ikhsan mengajak Nadia ke rumah ibunya.
“Sayang, ayo ke rumah ibu. Kan ada acara disana.”
Nadia menghapus air matanya, “Sudahlah mas Ikhsan saja, aku gak ada gunanya disana. Mereka itu gak butuh aku. Mereka itu butuh cucu!”
Ikhsan menghela napas panjang, “Aku gak mungkin kesana sendirian tanpa kamu? “
“TAPI AKU GAK MAU! Capek aku dikatain mandul dan ga subur. Kamu gak ngerti perasaanku mas? Sakit mas.” Ucap Nadia, sambil menepuk dadanya.
“Kamu tenang dulu. Bagaimanapun itu juga orang tuamu, ayolah redam egomu. Kita kesana, bentar aja kok. “ bujuk Ikshan.
“Benar ya, sebentar. Awas saja kalau lama.” Jawab nadia sambil membentak.
Doni melihat dan mendengar pertengkaran suami istri tetangganya itu di balik jendela apartemen.
Dengan balutan jaket dan helm, di atas motornya meluncur kencang menembus jalanan kota, rintik rintik air hujan membuat pandangannya buram. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan—tapi karena pikiran yang seperti dikejar ribuan setan.Nadia pingsan. Pendarahan. Mencari dia sebelum jatuh.Sebuah rasa bersalah meremas dadanya. “Kenapa harus sekarang… kenapa semua harus malam ini?” gumamnya lirih, suara pecah oleh ketakutan yang tak mau ia akui.Ia menambah gas.Motor bergetar. Jalanan terlihat memanjang tanpa ujung. Pikiran Doni kacau balau, tidak bisa fokus. Nadia… ancaman… Bagas… Mira… Semuanya menumpuk seperti badai yang menggulung otaknya.“Fokus, Don. Fokus!” ia berteriak di balik helm.Namun otaknya tidak mau patuh.Tiba-tiba—Dari sisi kanan, seorang anak kecil berlari menyeberang jalan sambil memeluk boneka.Doni terlalu cepat.Terlalu dekat.Terlalu terlambat.“ANJ—!!”Ia rem sekuat tenaga—CITTTTTTTTTTTTT!Ban motornya berteriak melawan aspal. Motor oleng. Seluruh tubuh Don
Di luar kini, udara malam terasa menusuk. Doni bersandar di tembok, memegang pipinya yang juga nyeri. Rokok masih membara di asbak. Suara notifikasi ponselnya berbunyi terus-menerus. Dengan malas ia membuka. Dan dadanya langsung jatuh. Ada video pertengkaran mereka — baru saja, beberapa menit lalu — sudah masuk ke grup kampus. Grup yang sama tempat foto Mira tersebar. Komentar-komentar muncul satu per satu, sebagian menertawakan, sebagian mengejek, sebagian membuat lelucon dari perkelahian itu. Doni memejamkan mata, frustrasi. “Apa-apaan ini…” gumamnya lirih. Ia menatap video itu lagi. Para mahasiswa seperti mendapatkan “bahan hiburan” baru. Bahkan ada yang membuat meme dari pukulan pertama. Doni mengusap wajahnya. “Kalau ini jadi lelucon lagi… berarti memang ada yang mengamati aku dan Mira dari awal….” Doni mengambil rokok yang ada di asbak, menghisap panjang lalu menonton video itu lagi. “Anton… bukan kamu,” gumamnya, “pelakunya bukan kamu, Ton. “ Doni menatap kegelapan
Doni sudah di atas sepeda motor, bersiap melanjutkan pulang. Pertemuan dengan Mira seakan menambah masalah baru. Padahal, untuk bisa ke target seminar hasil hanya tinggal selangkah lagi. Ponselnya tetiba bergetar, Doni mengeluarkan benda pipih dengan layar sentuh sensitif tersebut. Ia menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Mira. Singkat, namun berat: “Aku ditegur dekanat… kita jauhi dulu sementara. Aku butuh waktu dan jarak. .” Kata-kata itu seperti batu besar yang menghantam dadanya. Ada rasa sesak yang sulit diusir, terlebih saat ia membayangkan wajah Mira yang biasanya ceria kini mungkin tertunduk penuh tekanan. Sejak kabar kedekatan mereka tersebar ke seluruh grup kampus beserta foto-foto yang diambil diam-diam, Mira terpaksa menahan malu sekaligus ketakutan akan dampak karier akademiknya. Sesuatu yang sudah jadi cita-cita Mira sejak lama. Doni menggenggam ponsel itu erat-erat, rahangnya mengeras. Seseorang sudah melampaui batas. Doni m
Doni melihat semua berbeda. Bukan Mira yang ia kenal kemarin, bukan Mira yang cerewet kuat dan suka menggoda sambil pura-pura marah setiap kali Doni lupa minum air atau sekadar bercandaan kecil. Bukan pula Mira yang selalu ceria dan yakin semua baik-baik saja. Ini Mira yang berbeda. Perlahan Doni mendekat. “Mir… boleh duduk?” Mira tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Doni duduk di sampingnya, menjaga jarak beberapa sentimeter. “Tadi kamu bilang jangan sering ketemu dulu. Kenapa?” Mira menghela napas. “Doni… kamu tahu sendiri. Sekarang semua orang ngomongin kita. Bahkan bagian fakultas aja sudah manggil aku.” “Tapi itu bukan salah kamu,” Doni menahan suara, berusaha tetap tenang. “Memangnya kenapa sih kalau aku dekat sama kamu? Lagian…” ia berhenti sebentar, memberanikan diri melanjutkan, “…kita juga udah mau lamaran juga kan?” Mira langsung menegang. Ia menatap Doni, tapi bukan dengan pancaran hangat yang biasa. Tatapannya kini seperti orang yang menahan sesu
Doni masih berusaha menyelesaikan urusan kampus. Sebuah target besar apabila bisa beres sampai sidang ujian akhir dan wisuda, target kecil minimal selesai seminar hasil karena itu tahapan awal mendaftar ujian akhir. Hanya sejak malam di café itu, suasana kampus berubah seperti udara dingin yang tiba-tiba menempel di tengkuk. Bagaimanapun menyelesaikan urusan kampus adalah prioritas. Maka, mau tidak mau harus melawan ketidaknyamanannya. Doni masuk ke koridor fakultas keesokan menjelang siangnya dengan kepala masih berat—bukan karena begadang menyelesaikan data, tetapi karena pikirannya penuh kekacauan. Ada rasa yang mengganjal di hati. Tentu pada Mira. “Hemh.. Ada yang kurang. “ Gumam Doni lalu mengambil ponsel dari saku. Ia mengirim satu pesan singkat pada Mira sebelum masuk ke ruang Dosen: Doni: [ Mir, maaf soal semalam. Kalau kamu capek sama masalahku,
Sylvi mengetukkan pena hitam ke meja, kepalanya mengangguk. “Don, jadi kamu memilih menyelesaikan kuliahmu daripada menemaniku, ke Bali?” Tanya Sylvi dengan tatapan tajam ke arah Doni. Doni menatap tajam ke Sylvi, lalu tersenyum sebentar. “Karena disana kehadiranku tidak terlalu berdampak. Lagi pula, kalau aku bisa segera lulus juga akan lebih fokus ke pekerjaan dan aku bisa berkontribusi nyata. Aku bisa membuktikan kalau aku memang pantas di perusahaan ini, pantas di posisi ini.” Sylvi mengerlingkan mata, “Apa ada masalah dengan staff lain? ada anak-anak yang mengganggu kenyamananmu?” Doni terdiam sesaat. Menjawab apa adanya akan menimbulkan kesusahan untuk orang lain. Dia kenal Sylvi, selalu berprinsip mudah mencari orang baru. “Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri juga padamu.” “Kamu bilang saja kalau ada yang membuatmu tidak nyaman!” Pungkas Sylvi di ruangan tersebut yang membuat Doni merasa jawaban tadi sudah tepat. Doni melirik ke arah jari manis Sylvi, jari itu pol







