Compartir

5. Tetangga Sebelah

Autor: Arthamara
last update Última actualización: 2025-07-24 01:24:06

“Aah jangan. Aku harus fokus mengerjakan skripsi. Supaya cepat lulu, dan buktikan ke keluarga kalau aku bisa!” lirihnya.

 Doni kembali menatap layar laptop hingga malam. Dia melakukan revisi sesuai arahan dari dosen pembimbing satu. Merubah judul, cakupan penelitian sampai jumlah sampel yang akan digunakan. Entah jam berapa dia berhenti, yang jelas matanya mulai perih karena terlalu lama menatap sinar pantulan laptop sehingga dia menutup laptop dan mata sampai tiba esok berikutnya.

Sang Surya tersenyum dari balik jendela. Doni segera bangun dan bersiap untuk berangkat ke kampus. Dia memutuskan untuk sarapan di kantin kampus, guna mengejar jadwal bimbingan dosen pembimbing dua. Saat dia akan berangkat, ponselnya bergetar. Ada pesan disana.

[ Aswrb. Bimbingan dengan ibu ditunda tulat ya, ibu ada jadwal seminar di luar kota mendadak. Thx]

Pesan itu dari dosen pembimbing kedua, yang langsung membuat Doni meletakan tas ke meja kembali. Dia tidak jadi ke kampus.

“Apa ganti dosen pembimbing 2 juga ya? Kalau seperti ini terus gak ke kejar lulus 3,5 aku. “ Gumamnya.

Tok…tok..tok

Dari luar, pintu kamarnya diketuk. Doni berjalan lemah kesana. Gagal bimbingan hari seperti membuat mood hidup hari ini juga memburuk. Dia membuka pintu dengan malas.

“Ooh Mbak Nadia, apa apa mbak?” Sapa Doni. Kepalanya saja yang keluar dari pintu.

Nadia tersenyum renyah, dia membawa nampan berisi kue.

“Mmm… ini mas, Nadia bawa kue brownies, buatan Nadia sendiri loh.” Kata Nadia seraya mengulurkan nampan berisi kue ke dalam.

Doni segera membuka pintu lebih lebar dan menerima nampan tersebut. Menerima makanan di saat belum sempat memasukan makanan ke lambung seperti menerima berlian. Apalagi bagi mahasiswa yang sedang tugas akhir, dimana sedang berhemat dalam berbagai pengeluaran.

“Wah…makasih Mbak Nadia. Kebetulan Doni belum sarapan nih, ada acara apa nih mbak?” Ucap Doni antusias. Dia segera mencomot sepotong kue tersebut dan langsung melahapnya, “Uhm…uenak dan legit mbak. Manisnya pas. Kayak yang buat.”

Nadia tersenyum lalu melipat bibir sambil mengelus pahanya, mendengar pujian Doni memuji rasa kue yang dia berikan.

“Aduh ah, meleleh hati ini mamas Doni. Aah yang bener mas? Ini ibu mertua lagi ada acara arisan nanti siang, aku diminta buatin kue untuk tamu nanti.” Jawab Nadia. Pipinya memerah.

“Bentar ya mbak saya taruh di meja, sekalian saya ganti nampannya. “ Ucap Doni, dia langsung masuk dan menaruh kue tersebut ke piring. Lalu, nampan tersebut dia bawa keluar kembali ke Nadia.

“Maaf mbak lama ya? “ sapa Doni seraya mengulurkan nampan kembali. Dia tahu itu nampan khusus kue dan pasti akan diperlukan kembali.

“Santai ah mas, sudah selesai semua kok. Ini nunggu ibu mertua kesini buat ngambil kuenya. Aku malas kesana. Paling ya gitu aja.” Jawab Nadia.

“Loh kenapa mbak?”

“Iyahh gitu lah mas. Orang tuanya suami pengen segera nimang cucu. “

“Ooh..” Doni menjawab singkat. Takut meneruskan yang malah menyakiti hati Nadia.

“Mbak sudah berapa lama tinggal di apartemen ini?” Doni mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Nadia ah, sudah enam tahun disini mas. Termasuk penghuni awal. Kenapa mas?”

“Ooh lama juga ya. Enak sih disini ya mbak.”

“Iyah, dienakin mas. Nanti mas juga paham, mas Doni mau berangkat kuliah?”

“iya mbak, tadinya mau brangkat kuliah gak jadi, dosennya ada urusan, tapi ini mau nganter pakaian kotor ke laundry. Males nyuci mbak.” Jawab Doni, dia memang sudah empat hari tidak mencuci pakaian.

“Aah, di depan itu loh mas. Tempat mbak Sandra kerja, jalan depan belok kiri. Dekat kok, murah lagi.” Jawab Nadia dengan tatapan menggoda ke arah dada Doni.

Doni melihat itu dan langsung kikuk, lalu berusaha mengalihkan kegiatan. “Info bagus mbak. Doni antar laundry ya mbak.” 

Dia segera ke dalam dan mengambil pakain kotor untuk di laundry. Sesaat setelah pulang dari laundry, seorang perempuan paruh baya dengan jilbab tipis ada di depan unit Nadia. Mereka seperti terlibat pembicaraan yang serius.

“Ooh, itu pasti mertua mbak Nadia yang ambil kue.” Gumam Doni lalu masuk ke apartemennya. Dari balik apartemen Doni bisa mendengar percakapan mereka.

“Kapan kamu punya anak Nad! Ibu sudah semakin keriput, mau gendong cucu. Semua teman sebayamu anaknya sudah masuk SD!, ibu malu Nad setiap di tanyain tetangga soal cucu!.”

Doni mendengar itu, lalu terdiam dan mendekatkan telinganya lagi ke dinding.

“Iya bu. Nadia juga pengin punya anak, tapi bagaimana kalau belum dikasih? Nadia juga sudah periksa ke dokter kandungan katanya semua baik-baik saja dan Nadia subur.” Suara Nadia terdengar dari sana, membela diri.

“Iya coba ke dokter kandungan lain, atau program hamil lain atau apalah nduk. Mau sampai kapan kalian menunda punya anak. “ Jawab seorang laki-laki dengan suara berat. Itu mertua laki-laki Nadia.

“Iya pak. Nadia juga sudah promil, beli berbagai obat dari on-line, juga konsumsi kurma muda. Tetapi belum di kasih pak.” Nadia terdengar menjelaskan pada mertuanya lagi.

“Jangan-jangan kamu yang mandul. Ayo pak kita pulang.” Suara perempuan tua itu lagi. Lalu terdengar suara pintu ditutup, dan Nadia menangis. Doni keluar kamar dan mulai memahami situasi.

Belum selesai mencercah Nadia kedua orang tua itu masih terus menyudutkan Nadia “Bener kan buk, aku dulu ga setuju si Ikhsan sama Nadia, ya ini jadinya, ga punya anak! Coba aja dulu kita terima rencana perjodohan anak kita sama pak Lurah, udah punya cucu kita buk. Ga tau itu Ikhsan yang dipilih cantik tapi kosong!”

Doni mendengar jelas dumel kedua orang tua itu, Doni hanya bisa menggeleng kepala dan napas berat.

Beberapa menit kemudian, Ikhsan suami Nadia pulang. Menyapa Doni yang masih di luar, kemudian segera masuk ke apartemennya sendiri. Doni mendengar Ikhsan mengajak Nadia ke rumah ibunya.

“Sayang, ayo ke rumah ibu. Kan ada acara disana.”

Nadia menghapus air matanya, “Sudahlah mas Ikhsan saja, aku gak ada gunanya disana. Mereka itu gak butuh aku. Mereka itu butuh cucu!”

Ikhsan menghela napas panjang, “Aku gak mungkin kesana sendirian tanpa kamu? “

“TAPI AKU GAK MAU! Capek aku dikatain mandul dan ga subur. Kamu gak ngerti perasaanku mas? Sakit mas.” Ucap Nadia, sambil menepuk dadanya.

“Kamu tenang dulu. Bagaimanapun itu juga orang tuamu, ayolah redam egomu. Kita kesana, bentar aja kok. “ bujuk Ikshan.

“Benar ya, sebentar. Awas saja kalau lama.” Jawab nadia sambil membentak.

Doni melihat dan mendengar pertengkaran suami istri tetangganya itu di balik jendela apartemen.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 83. Mata Panda

    Hujan berhenti menjelang fajar, tapi langit tetap kelabu. Aroma tanah basah bercampur bau obat-obatan di koridor rumah sakit. Di dalam ruang ICU, mesin monitor berhenti berdetak beberapa detik, lalu berbunyi datar. Mata sembab Nadia sangat kentara karena dia memang terjaga hampir semalaman. Namun, doa dan harapan untuk kesembuhan suaminya lebih terasa menggelora untuk dia dapatkan dengan mengalahkan rasa kantuk dan lelah tersebut. Doni yang kebetulan ikut bersama Nadia menyaksikan betapa besarnya harapan Nadia. “Nad…istirahat dulu.” Ucap Doni pelan. Meski dia tahu jawaban apa yang akan keluar dari Nadia. Benar, Nadia hanya menggeleng. Netranya fokus ke tubuh Ikhsan yang lemas di atas ranjang. Beeeep... “Dokter! Tolong!” jerit Nadia, suaranya parau. Dua perawat dan dokter berlari masuk. Doni berdiri kaku di luar kaca, napasnya tercekat. Lampu merah menyala di atas pintu. Ia menatap tanpa berputar seperti dunia berhenti berputar. Di dalam, dokter berusaha melakukan resusitasi. Sa

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 82.Janji Malam Minggu

    Doni merasa hari-hari ini lebih berat. Permohonan pengambilan datanya ditolak oleh perusahaan kedua. Padahal, dia harus mendapatkan data dari minimal 3 sumber perusahaan berbeda. Sejak pagi dia sudah ke kampus. Konsultasi dengan dosen pembimbing, lalu mencoba menghubungi perusahaan rekanan kampus. Dan mengurus surat permohonan perizinan lagi di tata usaha. “Mas Doni, emang kemarin ditolak? “ Tanya Mira. Perempuan itu mengenakan jilbab berwarna hitam tipis dengan pakaian yang longgar. Sangat sopan untuk petugas formal di kampus. Berbeda dengan pakaian yang dikenakan saat keluar dengan Doni beberapa hari lalu. “Iya nih Mir, ditolak lagi. Aku harus memulai dari awal ini. Bantuin ya? “ Jawab Doni sambil mengangkat alis. “Oke saja. Tapi tidak ada yang gratis ya. Harus bayar. “ Ucap Mira, tidak kalah menggoda Doni. Seakan mereka berdua saling memanfaatkan situasi. “Apa memang bayarnya coba? “ Mira memberi kode ke Doni untuk mendekat. “Jalan-jalan ke bukit paralayang nanti

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 81. Ujung Lorong

    Rumah sakit malam itu terasa seperti dunia yang berhenti berputar. Hanya bunyi tetesan infus dan langkah kaki perawat yang bergema di koridor panjang. Doni duduk di kursi tunggu ruang ICU, bahunya bersandar ke dinding. Di sebelahnya, Nadia menatap kosong ke lantai, wajahnya pucat dan lelah.Doni melirik jam tangan. Sudah lewat pukul sepuluh malam. Mereka belum makan sejak siang.“Nad,” katanya pelan, “kamu lapar, nggak? Aku beliin bubur, ya?”Nadia menggeleng. “Aku nggak bisa makan. Rasanya kayak ada batu di dada.”Doni menghela napas. “Kamu butuh tenaga, Nad. Kalau kamu tumbang, siapa yang jagain bayi kalian nanti?”Nadia menunduk, menatap perutnya yang datar. “Aku bahkan belum sempat kasih tahu Ikhsan kalau aku hamil… Don. Aku telat sadar. Aku sibuk marah, sibuk merasa paling benar.” Suaranya pecah. “Sekarang dia di dalam sana, berjuang sendiri.”Doni menatapnya lama. “Nad, kamu nggak salah. Siapa pun bisa marah. Nggak ada yang tahu kejadian kayak gini bakal datang.”“Tapi aku sempa

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 80. Tangisan Kedua

    Doni yang mendengar dari luar langsung memegang bahunya, menuntunnya keluar ruangan.“Nad, tenang dulu. Tenang…”Nadia menatap Doni dengan mata yang penuh air.“Doni... aku nggak siap kehilangan dia...”Doni memeluk Nadia dengan pelan, menahan suaranya agar tidak pecah.“Kamu nggak akan kehilangan dia, Nad. Ikhsan masih berjuang. Kadang... orang yang hampir kehilangan nyawa itu justru yang paling keras bertahan.”Nadia menatap Doni, air matanya masih mengalir.“Kenapa Tuhan uji kami seperti ini?”Doni menghela napas, menatap langit-langit rumah sakit.“Mungkin... karena Tuhan tahu kalian cukup kuat untuk saling menggenggam di tengah api.”Hening. Hanya suara hujan di luar jendela yang perlahan turun lagi — seolah langit ikut meneteskan air mata untuk cinta yang tengah berjuang antara hidup dan mati.Beberapa jam setelah keluar dari rumah sakit, Doni masih belum tenang. Suara alat medis, tangisan Nadia, dan wajah pucat Ikhsan terus berputar di pikirannya. Ia menatap Nadia yang tertidur

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 79. Menjadi Orang Lain

    Seperti layaknya pekerja pada umumnya, Doni pagi buta segera mengirim pesan untuk memperoleh izin tidak masuk kerja pada Sylvi. Dia mengirim pesan yang formal pada atasan sekaligus orang yang menaruh perasaan lebih padanya. [Oke, aku gak kemana-mana minggu ini. Semua aku handle dari apartemen. Lagi malas keluar. Mau kemana kamu kok izin? “] Begitu bunyi jawaban dari pesan Sylvi. Doni segera membalas. [Ambil data penelitian di perusahaan kedua. Kemarin aku sudah memasukan berkas. Terima kasih atas izinnya. ] [Kamu gak mau ambil data di perusahaan kita saja? Data apa sih yang mau kamu ambil? ] Tawaran dari pesan Sylvi sepertinya mengasyikkan. Namun, Doni tidak memiliki rencana untuk itu. Dia memilih untuk mengambil data di perusahaan lain saja. Agar, datanya lebih netral dan valid. [Aku ambil data di perusahaan lain. Semoga berhasil dan bisa segera lulus. Biar bisa melamar kamu. ] Beberapa detik kemudian… Sylvi membalas. [AKU GAK MAU NIKAH! ] Doni hanya tertawa membaca ba

  • Semua Perempuan Itu Mengejarku   Bab 78. Ketukan Sebelah

    Tok..tok..toksuara pintu diketuk menggerakan kepala Doni untuk menggeser tulang punggungnya menjauhi kursi. Dia melirik mesin berpenggerak sederhana, yang menempel di dinding diatas lemari bajunya.[Pukul 19.35]“Iya…silakan masuk?” Sapa Doni, seraya membuka pintu.Di depannya tampak perempuan dengan daster dan tubuh yang lebih berisi. Baik bagian belakang maupun depan.“Maa….mas Doni..” sapa perempuan itu. Rambutnya memanjang sampai pinggang.“Mbak Nadia? Ada apa mbak? “ Tanya Doni.Tampak Nadia seperti dilanda kebingungan. Terlihat dari cara perempuan itu menatap juga gerakan tangannya yang menggulung ujung dasternya. “Mas… mas Ikhsan… “ Suara Nadia tercekat, nyaris tak terdengar. “Iya mbak? Kenapa Mas Ikhsan? ““Dia tidak ada kabar mas. ““Mbak tenang dulu. Mungkin mas Ikhsan lagi ngurusin tugas mbak. Damkar kan lagi bagus memang di mata masyarakat akhir-akhir ini. “Nadia mendongakan kepala sejenak, menatap Doni yang masih berusaha menenangkannya. Tiba-tiba Nadia malah menangi

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status