Pagi itu Doni tidak berangkat ke kampus. Dia melakukan peregangan, setelah berlari pagi sekitar 1 jam keliling jalan sekitar kompleks. Karena dia orang baru disana, perlu sekiranya mengenal kawasan sekitar. Iya, minimal tahu dimana harus membeli sarapan atau galon isi ulang.
“Loh Mas Doni, gak masuk kuliah? Kok masih santai berjemur.” Sapa Ikhsan, suami Nadia.
Doni bangkit, melepas sepatu olah raga dan menjemurnya, “Iya nih mas. Dosen pembimbing keluar kota semua. Jadi banyak di apartemen saja. Musim gini di rumah memang gabut sih, tapi keluar bentar ya buat bangkrut.”
Ikhsan tertawa, dia mulai mengenakan sepatu dinas. “Benar. Semua mahal ya, gampang boncos.”
“Sudah mau berangkat dinas mas? Damkar sekarang lagi favorit dan bintang lima di masyarakat ya.”
“Iya begitulah Don. Ngrokok gak? “ Ujar Ikhsan sambil menyerahkan sekotak rokok.
“Ngerokok sih, tapi abis olah raga. Yah, gak papa sih ya..hahaha.” Jawab Doni, lalu mengambil sebatang rokok dan menyelipkan di bibir lalu menyulutnya.
“Mas, sorry nih. Aku kemarin gak sengaja dengar, pertengkaran Mbak Nadia dengan orang tua mas Ikhsan. Memang kenapa sih mas?” Doni sedikit sungkan tapi penasaran mengucapkan.
Ikhsan menyesap rokok, lalu menoleh ke Doni.
“Iya begitulah Don, rumah tangga. Kukira setelah nikah itu, langsung bahagia kayak di FTV gitu. Ternyata, gak gitu.” Iksan menghela napas panjang, “Problem itu selalu ada di setiap fase kehidupan. Semacam….sudah sepaket lah. Kayak gembok dengan kunci, saling klik. Sebelum nikah, ditanya kapan nikah. Sudah menikah, kapan punya anak? Iya itulah masalahnya.”
Doni mengangguk, “Emang sudah berapa lama sih mas, sama mbak Nadia?”
Ikhsan menyesap rokoknya lebih dalam, menghembuskan panjang, “sudah 6 tahun sih Don.”
“Lama juga ya mas, semoga segera punya ya mas.”
Ikhsan menoleh ke Doni, seperti kakak adik yang sedang bercengkrama di pagi hari.
“Makasih ya Don, aku juga minta tolong. Karena pekerjaanku sering meninggalkan rumah, kamu bantu Nadia ya kalau dia butuh bantuan. Rokok lagi gak? Aku mau berangkat piket nih, Don?” Ujar Ikhsan sambil menatap arjoli di tangan lalu berjalan meninggalkan apartemen pelan.
“Gak ah mas. Ini aja, bisa gelap gulita paru-paruku.” Jawab Doni, lalu masuk ke apartemennya.
Siang hari Ikhsan pulang, Doni sedang mengambil sepatu yang dia jemur sebelumnya. lalu terdengar pertengkaran lagi dari unit tetangganya.
“Mas Iksan, baru pulang sebentar. Mau balik lagi?” Suara Nadia terdengar.
“Iya. Aku ditugaskan keluar kota, seminggu.” Jawab Ikhsan parau.
“Mas ini tugas dan tugas terus! Kapan kita punya anak mas kalau mas hanya pentingin tugas dan tugas!” protes Nadia.
“Mau bagaimana lagi? sebelum menikah kamu sudah tahu, kan tugas Damkar itu juga rescue dan harus sedia 24 jam. Sudahlah, aku berangkat dulu. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong ke Doni itu samping, aku sudah bilang padanya. Aku berangkat.” Ujar Ikhsan lalu keluar meninggalkan Nadia. Dia menyempatkan menyapa Doni.
“Don, titip apartemen dan Nadia ya. Aku ada tugas ke luar semingguan.” Sapa Ikhsan.
“Siap, pantang pulang sebelum padam.” Jawab Doni seraya mengangkat tangan, hormat.
“Bukan. Ini pencarian korban kapan tenggelam di Selat Bali. Yok Don.” Pungkas Ikhsan lalu segera pergi meninggalkannya.
Sore hari menjelang petang, pintu apartemen Doni kembali diketuk. Dia yang sedang fokus membaca jurnal, segera keluar. Ternyata Nadia yang disana.
“Mas, sibuk gak? Mau minta tolong.” Ucap Nadia. Dia terlihat baru saja mandi, handuk basah masih terikat di rambutnya. Dia mengenakan hot pants seperti biasa.
Doni menelan ludah melihat tetangganya itu, “Minta tolong apa mbak? Kalau yang susah ya Damkar. Bercandyaa mbak.”
“Aah, mas ini loh. Ini tolong pasangin gas LPG, biasanya mas Ikhsan. Nadia gak bisa.” Ucap Nadia, manja.
“Ooh, bisa itu mbak. Mana,” kata Doni, sok pahlawan. Dia mengikuti Nadia masuk ke dalam apartemen Nadia. Hatinya sebenarnya dag dig dug, karena untuk pertama kali dia masuk ke ruangan yang beberapa kali dia dengar desahan saat malam hari.
Setelah sampai di dapur, Doni langsung melepas selang regulator dan mengganti gas LPG yang baru. Dia mencoba menyalakan kompor, dan tasss gas menyala. Berati tugasnya sudah selesai.
“Sudah mbak, saya kembali ya.” Ucap Doni. Dia tidak mau lebih lama disana, menyiksa adik di dalam celana.
“Sama lampu di atas kamar ya mas. Entah itu mas Ikhsan gak pernah ngecek miliknya sendiri masih hidup apa gak, tapi selalu perhatian pada orang lain. “ Ujar Nadia lagi, bibirnya menyingsut.
Doni hanya bisa mengiyakan. Dia menambil tangga lipat lalu memasangnya, “mbak tolong pegangin tangganya ya, takut geser.” Pinta Doni dari atas. Dia mulai melepas bohlam lampu yang lama. Nadia mengikuti perintah Doni, memegangi kaki tangga.
Dari posisi tersebut, Doni bisa melihat dengan jelas dua buah gunung kembar yang ada di dada Nadia. Maka, fitting lampu yang seharusnya diputar ke kiri untuk melepas, malah diputar Doni sebaliknya. Jadi, dia lama melepas itu. Meskipun pada akhirnya bisa juga, karena dia segera sadar.
“Aku kesal, sama mas Ikhsan dan keluarganya. Semua nyalahin aku. Katanya aku perempuan tidak subur.” Gerutu Nadia.
Doni meliriknya kembali, dari atas. “Sabar mbak.”
“Rasanya kesabaranku sudah muncak mas. Aku sudah berulang kali tes kesuburan dan hasilnya tidak ada masalah. Masih saja aku dibilangin perempuan tidak bisa punya anak. Mau bagaimana lagi, aku sudah berusaha.” Lanjut Nadia. Doni tidak menjawab, dia sudah mulai memutar bohlam lampu baru ke kanan.
Hlaaap lampu seketika menyala.
Namun, karena lampu yang bersinar sangat terang tersebut. Seekor cicak jatuh tepat di rambut Nadia yang baru dilepas dari ikatan handuk sebelumnya.
“Eeeh, apaan ini? “ Nadia setengah kaget.
“Itu cicak mbak,” jawab Doni dari atas.
“Huaaaa…aku herpetophobia mas. Singkirkan mas, tolong.” Teriak Nadia. Dia melepaskan pegangan tangga. Doni terhuyung-huyung langsung turun dan melompat. Menghindari jatuh lebih parah.
Nadia langsung memeluk Doni, mengarahkan rambutnya. Wangi aroma shampo terasa menyeruak menggoyang bulu hidung Doni. Tubuh Nadia juga menempel erat ke Doni. Untuk pertama kalinya, dia bersentuhan kulit dengan tetangga yang desahannya selalu dia ingat itu.
Bruuk
Karena Doni tidak berada di posisi sempurna berdiri, mereka terjatuh ke tumpukan pakaian. Akibatnya, Nadia malah jadi berada di atas Doni. Lebih parah, gunung kembar yang dilihat dari atas menggoda tadi. Kini tepat berada di dekat sekali dengan bibir Doni.
Senjata di balik celana Doni mulai mengeras. Bulu kuduknya berdiri, darahnya mendesir, palpitasi. Apa yang harus Doni lakukan sekarang? Hanya ada mereka berdua di kamar.
Doni mengepalkan tangan. Dia harus berani berbohong. Dia selama ini memang selalu jujur, hampir tidak pernah berbohong. Itu yang membuat dia tidak disukai keluarga juga kerabat.“Tidak tahu bang. Aku baru saja keluar.”Doni terpaksa berbohong, baru berbohong. Dia harus melakukan itu untuk menyelamatkan Chika yang bersembunyi di kamarnya. Bukankah berbohong untuk kebaikan itu diperbolehkan? Begitulah pesan guru agama saat dia duduk di bangku SMP dulu.“Mari bang kubantu. Abang harus istirahat, abang mabuk berat ini. Dimana apartemen abang?” tanya Doni lagi.Laki-laki berjaket hitam itu berusaha melempar tangan Doni yang membantunya. “Aku tidak mabuk. Lepaskan aku,” katanya lalu bangkit kembali.Doni hanya melihatnya sejenak. Membiarkan laki-laki itu berjalan menjauhinya.“Chika….kemana kamu. Beri aku uang! Aku harus membalas kekalahanku.” Teriak laki-laki itu lagi.Dia berjalan ke arah parkiran sepeda motor utama. Doni hanya melihatnya dari arah samping tangga. Lalu, beberapa detik ber
Doni memundurkan kepala. Sebuah lingkaran besar segera muncul membalut sebuah tanya utama. Apa Mbak Nadia melihatku? Bisa panjang nih urusan. Lagian kenapa harus ngintip lagi aku! Don….Don..! " Doa yang terucap kini sebaliknya. Tidak berharap, apa yang dia lakukan tadi dilihat oleh Nadia. Suatu rumus dasar, jika dia bisa melihat Nadia, tentu Nadia juga bisa melihatnya dari celah tersebut. Jantungnya berdetak seperti genderang. Darahnya berdesir. Doni agak sedikit gugup. “Gak asyik kan kalau ketahuan ngintip tetangga pas suaminya gak ada.” Dia mencoba menengadah, berharap pada Sang Kuasa. “Semoga tidak.” Doni memegang dadanya yang masih terasa getaran jantung, tidak melambat. Masih kencang.Baru beberapa saat kemudian dia mendengar pintu depan Nadia dibuka.Ngeek Doni segera berlari ke arah pintu. Membuka pintu membentuk sudut 20 derajat. Dari posisinya diketahui, Nadia hanya mengambil jaket tadi, -bukan melihat ke arah dia mengintip-yang kini dia kenakan keluar unit. Karena, saat
Nadia segera menyingkarkan tangan Doni dari mulutnya. Dia mendekatkan bibir ke telinga Doni, “Abis kuda-kudaan yah?”Doni menggerakan tangan ke kanan dan kiri. Berusaha menyanggah pertanyaan Nadia dengan jawaban terbaik. Dia segera menarik tangan Nadia untuk menjauh dari pintu tersebut.“Bukan mbak..susah dijelaskan. Pokoknya saya suwer, demi apapun tidak ngapa-ngapain sama Mbak Sandra.” Jelas Doni serius.Nadia terkekeh, lumayan keras. Doni langsung berusaha menutup mulut Nadia lagi.“Mbak, jangan tertawa keras. “ Pinta Doni setengah berbisik.“Kenapah memang? Kalau gak ngapa-ngapain kenapah mesti takut. “ Ucap Nadia tiada merasa bersalah.Dia ingin nyeplos saja kalau sempat melihat Nadia Single Fighter memakai jari beberapa waktu lalu, namun diurungkan. Doni menggaruk kepala yang tiada gatal. Berusaha memilih kalimat yang bisa menjelaskan kejadian yang barusan terjadi. Agar tetangga unitnya tersebut tidak berpikiran negatif atau malah menyebarkan berita yang tidak benar.“Begini mba
“Mas Doni, sembunyi dulu disini ya,” kata Sandra yang langsung dituruti Doni. Tidak ada jalan keluar memang, kecuali hanya sembunyi sementara. Dia juga tidak akan bisa dengan mudah menjelaskan keberadaannya ke suami Sandra tersebut.Sandra segera mengenakan handuk kembali, lalu merapikan rambut dan mengibaskan tangan. Makanan yang dipegangnya memang masih panas. Wajar, dia teriak panik seperti tadi. Dia segera membuka pintu.“Loh, ayah? Sudah pulang. Ini masih jam 10?” Sapa Sandra pada Bayu, suaminya.“Mama kenapa? Kenapa teriak? Ada apa?” Bayu kembali menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaaan balik.Sandra mengatur napas sejenak. Mencoba menguasai keadaan,”Gak apa-apa, yah.”“Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?” tanya Bayu lagi.“Eeh anu yah. Mau mindahin sayur, malah tidak sengaja tumpah kena tangan.” Kata Sandra lalu menunjukan jarinya yang memerah pada Bayu.Suaminya langsung melangkah masuk dan menutup pintu. Memegangi jari jemari istrinya yang memang sedikit memerah.“
Tok..tok..tok“Permisi mas, saya sudah selesai. Mana Syakilanya?” Tanya Sandra. Buliran air masih menetes dari rambutnya.Doni segera menunduk. Dia tidak bisa membayangkan kalau handuk itu sampai jatuh. Lagian, untuk sampai ke atas juga harus melewati anak tangga yang lumayan banyak. Mengapa Sandra hanya memakai handuk seperti itu?“Itu mbak, lagi bobok.” Tunjuk Doni, kepanya menoleh ke arah Syakila di ranjang.“Malah ketiduran nih anak. Persis seperti ayahnya, mudah tidur. Ketemu bantal yang cocok, langsung sampai Meksiko.” Kata Sandra dari luar pintu.“Gak apa-apa mbak. Mau dibantu angkat Syakilanya? Atau biarkan dulu disini sampai bangun?” tanya Doni memastikan.“Jangan mas Doni, saya bawa saja. Biar tidur di rumah sendiri saja,” jawab Sandra lalu masuk ke dalam, ”Permisi ya mas, saya bawa Syakila dulu.”Doni mengangguk. Sandra mulai berjalan ke arah anaknya yang tertidur pulas. Aroma wangi sabun mandi yang menempel di tubuh Sandra terasa sangat menggoda hidung dan pikiran Doni. Ap
Doni segera mengusap mata. Menekan ujung senjata torpedo di balik celana. “Mengecilah, memalukan.” Gumamnya pelan. Nadia yang menindihnya malah memeluk Doni lebih erat.“Aku takut hewan reptil mas. Phobia.” Ucap Nadia, tubuhnya sedikit bergetar.“Sudah gak ada mbak, aman.” Doni, semakin tidak kuat menahan. Baik berat badan Nadia yang menindihnya, maupun nafsu yang terfokus ke rudal di bawah. Doni membuang napas berat. Nadia menyadarinya dan langsung melepas pelukannya, lalu bangkit.“Maaf ya mas. Aku beneran takut sama cicak maupun reptil. “ ucap Nadia dengan nada lembut.Doni segera bangun. Lalu meski dengan nyawa yang masih seperempat, dia melipat kembali tangga dan meletakan di tempat semula.“Mbak, saya balik dulu ya. Mau ngerjain skripsi nih. Kalau ada apa-apa, telpon saja.” Ucap Doni dan dia langsung berjalan ke arah pintu.“Telpon? Dapat nomormu dari mana? Kan belum kamu kasih.” sahut Nadia.“oh ya mba, 08…” lalu Doni langsung kembali ke apartemennya.Doni masuk, langsung menar