MasukDoni segera mengusap mata. Menekan ujung senjata torpedo di balik celana. “Mengecilah, memalukan.” Gumamnya pelan. Nadia yang menindihnya malah memeluk Doni lebih erat.
“Aku takut hewan reptil mas. Phobia.” Ucap Nadia, tubuhnya sedikit bergetar.
“Sudah gak ada mbak, aman.” Doni, semakin tidak kuat menahan. Baik berat badan Nadia yang menindihnya, maupun nafsu yang terfokus ke rudal di bawah. Doni membuang napas berat. Nadia menyadarinya dan langsung melepas pelukannya, lalu bangkit.
“Maaf ya mas. Aku beneran takut sama cicak maupun reptil. “ ucap Nadia dengan nada lembut.
Doni segera bangun. Lalu meski dengan nyawa yang masih seperempat, dia melipat kembali tangga dan meletakan di tempat semula.
“Mbak, saya balik dulu ya. Mau ngerjain skripsi nih. Kalau ada apa-apa, telpon saja.” Ucap Doni dan dia langsung berjalan ke arah pintu.
“Telpon? Dapat nomormu dari mana? Kan belum kamu kasih.” sahut Nadia. “oh ya mba, 08…” lalu Doni langsung kembali ke apartemennya. Doni masuk, langsung menarik selimut “itu tadi apa? musibah apa anugrah?.....”Pagi datang Doni sudah siap berangkat ke kampus. Sebagai tata krama mahasiswa ke dosen, satu jam sebelum ke kampus ia mengirim pesan ke dosennya untuk bimbingan. Beberapa menit kemudian sebuah pesan muncul [maaf ya, ibu kecapekan, di tunda lusa. Trims.]
Baca pesan itu, Doni menggertakan gigi lalu melempar ponselnya ke kasur “Siaaaall! Mana mungkin bisa lulus 3,5! Apa harus ganti dosen pembimbing semuanya.” Dia mengambil rokok dan membuka pintu. Tampak Nadia sedang menjemur pakaian, seperti biasanya di depan. Dia teringat kejadian kemarin dan rudal di balik celananya kembali naik. Melihat Nadia sejenak lupa akan masalah tugas akhir. “Melihat itu menyiksa burung saja, mending tidur.” Doni masuk ke kamar kembali, tetapi lupa tidak mengunci pintu.
Dari arah kanan luar apartemen, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dan masuk ke unitnya. Doni terkaget, senjatanya otomatis mengecil. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah anak itu. “Oom ganteng, punya malsha and the beal?” Anak itu menyapa Doni lebih dahulu. Doni segera berjongkok dan memegang lengan anak perempuan berbadan gempal tersebut. Pipinya gembul.“ Ada dong. Mau lihat. Oom bukain laptop dulu ya.” Anak perempuan beurusia sekitar 4 tahun langsung masuk ke kamar Doni, meski tanpa meminta persetujuan. “Asyik, mau lihat oom.” Doni segera membuka laptop dan membuka you tube. Dia memang suka dengan anak kecil, beberapa kali dia mengadakan charity care di panti asuhan saat menjabat ketua BEM dulu. “Eeh, gak sopan masuk rumah orang nak. Ayo sini,” kata seorang perempuan dari luar. Itu adalah Sandra, mamanya anak tadi. Penghuni lantai 3 unit 11, yang beberapa hari lalu dia temui bersama Erna saat mengantar makanan. “Gak mau. Syakila disini saja.” Kata anak itu sambil memeluk Doni. Melihat anak yang bernama Syakila itu membutukan perlindungan darinya, Doni berusaha menjadi penengah. “Tidak apa-apa mbak. Biarkan, lagian laptopnya juga belum kepakai.” “Beneran mas Doni?” Sandra memastikan. “Iya, mbak bisa lanjut kegiatan lain. Biar disini si Syakila, saya senang ada teman main.” Ujar Doni dengan ramah. “Oke lah mas, saya mau nyuci dan mandi di kamar mandi sebelah ya mas. Di unit atas, airnya ga ngalir.” Kata Sandra. Dia memang memegang peralatan mandi dan seember baju kotor. “Loh, di kamar mandi saya tadi lancar mbak.”“Iyalah air di unit bawah airnya besar. Kalau unit saya, lantai 3, air gak nyampai, paling ngalir nanti malam.” Jelas Sandra yang langsung menuju ke kamar mandi d luar. Itu adalah kamar mandi cadangan yang bisa digunakan bersama.
Doni mengangguk, dia kembali bersyukur mendapat unit tempat tinggal di lantai bawah. Doni bermain bersama Syakila beberapa saat, tapi anak itu kembali fokus pada youtube.Doni akhirnya kembali membuka coretan revisi dari dosen pembimbing utama. Dia tidak bisa menyalahkan keadaan terus. Apalagi opsi mengganti dosen pembimbing, tidak bisa serta merta dikabulkan oleh Kaprodi, kecuali ada alasan yang sangat mendesak. Seperti, dosen pembimbing meninggal dunia atau kecelakaan. Selain itu, biasanya alasan lain sering ditolak. Oleh karenanya, mengerjakan revisi sebaik mungkin adalah solusi yang tepat.
Karena ada Syakila, rokok yang barusan dia pegang, tiada berguna. Dia memang perokok tapi berusaha menghargai sekitar yang tidak merokok.
Satu jam berlalu, Syakila mulai menguap. Doni tahu kalau Syakila mulai bosan. “mau tidur disini? Biar nanti dibangunin mama. “ Syakila mengangguk dan langsung tertidur di ranjang Doni begitu youtube dimatikan. Dari luar, Sandra mengetuk pintu yang terbuka tersebut. Mama muda itu hanya mengenakan handuk yang dililitkan di badan.Dengan balutan jaket dan helm, di atas motornya meluncur kencang menembus jalanan kota, rintik rintik air hujan membuat pandangannya buram. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan—tapi karena pikiran yang seperti dikejar ribuan setan.Nadia pingsan. Pendarahan. Mencari dia sebelum jatuh.Sebuah rasa bersalah meremas dadanya. “Kenapa harus sekarang… kenapa semua harus malam ini?” gumamnya lirih, suara pecah oleh ketakutan yang tak mau ia akui.Ia menambah gas.Motor bergetar. Jalanan terlihat memanjang tanpa ujung. Pikiran Doni kacau balau, tidak bisa fokus. Nadia… ancaman… Bagas… Mira… Semuanya menumpuk seperti badai yang menggulung otaknya.“Fokus, Don. Fokus!” ia berteriak di balik helm.Namun otaknya tidak mau patuh.Tiba-tiba—Dari sisi kanan, seorang anak kecil berlari menyeberang jalan sambil memeluk boneka.Doni terlalu cepat.Terlalu dekat.Terlalu terlambat.“ANJ—!!”Ia rem sekuat tenaga—CITTTTTTTTTTTTT!Ban motornya berteriak melawan aspal. Motor oleng. Seluruh tubuh Don
Di luar kini, udara malam terasa menusuk. Doni bersandar di tembok, memegang pipinya yang juga nyeri. Rokok masih membara di asbak. Suara notifikasi ponselnya berbunyi terus-menerus. Dengan malas ia membuka. Dan dadanya langsung jatuh. Ada video pertengkaran mereka — baru saja, beberapa menit lalu — sudah masuk ke grup kampus. Grup yang sama tempat foto Mira tersebar. Komentar-komentar muncul satu per satu, sebagian menertawakan, sebagian mengejek, sebagian membuat lelucon dari perkelahian itu. Doni memejamkan mata, frustrasi. “Apa-apaan ini…” gumamnya lirih. Ia menatap video itu lagi. Para mahasiswa seperti mendapatkan “bahan hiburan” baru. Bahkan ada yang membuat meme dari pukulan pertama. Doni mengusap wajahnya. “Kalau ini jadi lelucon lagi… berarti memang ada yang mengamati aku dan Mira dari awal….” Doni mengambil rokok yang ada di asbak, menghisap panjang lalu menonton video itu lagi. “Anton… bukan kamu,” gumamnya, “pelakunya bukan kamu, Ton. “ Doni menatap kegelapan
Doni sudah di atas sepeda motor, bersiap melanjutkan pulang. Pertemuan dengan Mira seakan menambah masalah baru. Padahal, untuk bisa ke target seminar hasil hanya tinggal selangkah lagi. Ponselnya tetiba bergetar, Doni mengeluarkan benda pipih dengan layar sentuh sensitif tersebut. Ia menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Mira. Singkat, namun berat: “Aku ditegur dekanat… kita jauhi dulu sementara. Aku butuh waktu dan jarak. .” Kata-kata itu seperti batu besar yang menghantam dadanya. Ada rasa sesak yang sulit diusir, terlebih saat ia membayangkan wajah Mira yang biasanya ceria kini mungkin tertunduk penuh tekanan. Sejak kabar kedekatan mereka tersebar ke seluruh grup kampus beserta foto-foto yang diambil diam-diam, Mira terpaksa menahan malu sekaligus ketakutan akan dampak karier akademiknya. Sesuatu yang sudah jadi cita-cita Mira sejak lama. Doni menggenggam ponsel itu erat-erat, rahangnya mengeras. Seseorang sudah melampaui batas. Doni m
Doni melihat semua berbeda. Bukan Mira yang ia kenal kemarin, bukan Mira yang cerewet kuat dan suka menggoda sambil pura-pura marah setiap kali Doni lupa minum air atau sekadar bercandaan kecil. Bukan pula Mira yang selalu ceria dan yakin semua baik-baik saja. Ini Mira yang berbeda. Perlahan Doni mendekat. “Mir… boleh duduk?” Mira tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Doni duduk di sampingnya, menjaga jarak beberapa sentimeter. “Tadi kamu bilang jangan sering ketemu dulu. Kenapa?” Mira menghela napas. “Doni… kamu tahu sendiri. Sekarang semua orang ngomongin kita. Bahkan bagian fakultas aja sudah manggil aku.” “Tapi itu bukan salah kamu,” Doni menahan suara, berusaha tetap tenang. “Memangnya kenapa sih kalau aku dekat sama kamu? Lagian…” ia berhenti sebentar, memberanikan diri melanjutkan, “…kita juga udah mau lamaran juga kan?” Mira langsung menegang. Ia menatap Doni, tapi bukan dengan pancaran hangat yang biasa. Tatapannya kini seperti orang yang menahan sesu
Doni masih berusaha menyelesaikan urusan kampus. Sebuah target besar apabila bisa beres sampai sidang ujian akhir dan wisuda, target kecil minimal selesai seminar hasil karena itu tahapan awal mendaftar ujian akhir. Hanya sejak malam di café itu, suasana kampus berubah seperti udara dingin yang tiba-tiba menempel di tengkuk. Bagaimanapun menyelesaikan urusan kampus adalah prioritas. Maka, mau tidak mau harus melawan ketidaknyamanannya. Doni masuk ke koridor fakultas keesokan menjelang siangnya dengan kepala masih berat—bukan karena begadang menyelesaikan data, tetapi karena pikirannya penuh kekacauan. Ada rasa yang mengganjal di hati. Tentu pada Mira. “Hemh.. Ada yang kurang. “ Gumam Doni lalu mengambil ponsel dari saku. Ia mengirim satu pesan singkat pada Mira sebelum masuk ke ruang Dosen: Doni: [ Mir, maaf soal semalam. Kalau kamu capek sama masalahku,
Sylvi mengetukkan pena hitam ke meja, kepalanya mengangguk. “Don, jadi kamu memilih menyelesaikan kuliahmu daripada menemaniku, ke Bali?” Tanya Sylvi dengan tatapan tajam ke arah Doni. Doni menatap tajam ke Sylvi, lalu tersenyum sebentar. “Karena disana kehadiranku tidak terlalu berdampak. Lagi pula, kalau aku bisa segera lulus juga akan lebih fokus ke pekerjaan dan aku bisa berkontribusi nyata. Aku bisa membuktikan kalau aku memang pantas di perusahaan ini, pantas di posisi ini.” Sylvi mengerlingkan mata, “Apa ada masalah dengan staff lain? ada anak-anak yang mengganggu kenyamananmu?” Doni terdiam sesaat. Menjawab apa adanya akan menimbulkan kesusahan untuk orang lain. Dia kenal Sylvi, selalu berprinsip mudah mencari orang baru. “Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri juga padamu.” “Kamu bilang saja kalau ada yang membuatmu tidak nyaman!” Pungkas Sylvi di ruangan tersebut yang membuat Doni merasa jawaban tadi sudah tepat. Doni melirik ke arah jari manis Sylvi, jari itu pol