Rose berdiri menghadap cermin besar di kamarnya, memandangi pantulan dirinya dengan gaun pengantin berwarna putih tulang, rancangan kelas atas dengan harga fantastis.
"Kau terlihat lebih cantik dari yang kubayangkan." Reega bersuara. Laki-laki yang sudah berstatus sebagai suaminya sejak pagi tadi itu duduk di tepian tempat tidur, memandangi Rose yang sedari tadi berputar-putar di depan cermin.
"Aku memang cantik. Kau ini ke mana saja?"
Rose resmi menjadi Nyonya Auriga Kafi Meidiawan usai para saksi mengatakan sah. Dirinya cukup terkejut sebab tak menyangka bahwa Reega dapat menyelesaikan ijab kabul dalam satu tarikan napas.
Mungkin, Rose pernah memimpikan pernikahan impiannya dulu bersama Ezar. Dengan wedding organizer terpercaya, make up artist profesional, bahkan mungkin mengundang penyanyi papan atas. Tapi sekarang, dia justru menikah dengan orang yang sama sekali tidak dicintainya.
"Ezar datang?" Reega bertanya.
"Iya," angguk Rose. "Aku melihatnya di luar tadi."
"Kau tidak ingin menemuinya?"
Rose berbalik, menatap malas pada Reega dengan kedua tangan bersedekap. "Untuk menimbulkan rumor bahwa aku menemui laki-laki lain di hari pernikahanku sendiri? Tidak, terima kasih."
Reega terkekeh lantas berdiri setelahnya. "Aku akan menunggu di bawah."
***
Kedua mempelai tampak sangat serasi saat duduk berdampingan di pelaminan. Rose yang didandani sedemikian rupa oleh tangan profesional, begitu pula dengan Reega yang terlihat gagah mengenakan setelan jas, tampak sangat mencolok di ruangan itu.
Hanya saja, tidak ada yang menyadari bahwa senyum kedua mempelai adalah senyum yang dipaksakan, sebab jauh di dalam hati masih ada perasaan tak rela. Rose beberapa kali mendengar orang-orang saling mengatakan betapa beruntungnya Reega mendapatkan istri seperti Rose, begitu juga sebaliknya.
Para tamu saling berdatangan menyalami keduanya, memberikan selamat atas pernikahan yang sejujurnya mengejutkan semua orang.
"Anak Mama, cantik sekali." Tyna berdecak kagum ketika menghampiri Rose di singgasananya. "Mama hampir tidak mengenalimu."
Rose hanya tersenyum kecut mendengar pujian yang dilontarkan ibunya. Dia tidak butuh cantik jika harus berakhir seperti ini.
Sesaat setelah Tyna meninggalkan mereka, Rose merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Reega melakukan hal itu dengan inisiatifnya sendiri agar orang-orang tidak curiga.
"Aku tahu kita menikah tanpa cinta, tapi setidaknya kau harus menggandengku kalau tidak ingin orang-orang mencurigai hubungan kita yang sebenarnya," bisik Reega.
Rose hanya mengangguk kemudian sedikit menjauhkan tubuh dari Reega karena beberapa sahabatnya mulai berjalan ke arahnya.
"Aku akan bergabung sebentar dengan teman-temanku." Rose melepaskan tangan Reega yang masih melingkar di pinggangnya sejak tadi, kemudian turun untuk menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu di bawah.
Elena dan Moura memang tidak datang saat ijab kabul, tapi malamnya mereka datang dengan memasang wajah masam.
"Elena, Moura," panggil Rose. Ia tersenyum dan merentangkan tangan untuk memeluk kedua sahabatnya.
"Aku terkejut kau menikah dengan orang lain, Rose." Moura berbisik tanpa melepaskan pelukannya pada Rose.
"Aku juga tidak tahu, semuanya terjadi begitu saja," balas Rose. "Tapi terima kasih karena sudah datang."
"Ini pernikahan sahabatku, mana mungkin aku melewatkannya." Elena yang lebih dulu mengurai pelukan. "Selamat atas pernikahanmu, tapi kau tetap berutang penjelasan pada kami berdua."
Rose mengangguk mengiyakan, lantas membawa Elena dan Moura untuk mengambil makanan. Ia sempat melirik Reega yang kini tengah berbincang dengan beberapa orang yang Rose perkirakan adalah teman atau kolega bisnisnya.
"Aku sempat tidak percaya saat berita itu pertama kali diturunkan." Elena mengambil minuman yang disediakan di meja. "Seingatku, kau belum berakhir dengan Ezar. Terlebih, kudengar Reega juga punya kekasih seorang model yang baru naik daun."
"Iya, kakakku adalah fans beratnya. Dia bahkan rela membuang uang hanya demi membeli foto dan poster yang mahalnya tidak manusiawi." Moura menimpali.
Rose mengabaikan obrolan dua sahabatnya. Dia beberapa kali mengedarkan pandangannya ke penjuru gedung, berharap menemukan sosok yang sedari tadi dicarinya. Ia sempat menemukan Ezar di halaman depan, tapi sampai sekarang laki-laki itu tidak menunjukkan kehadirannya, bahkan menyalami Rose di pelaminan saja tidak. Di pun akhirnya memutuskan meninggalkan teman-temannya dan berjalan menuju pintu halaman belakang.
Sementara itu, orang-orang yang sedang disibukkan dengan rangkaian acara yang tengah berlangsung, sama sekali tidak menyadari konsleting di halaman belakang.
Mereka tidak melihat percikan api kecil muncul pada kabel yang terletak di atas rerumputan. Bahkan ketika api mulai membakar rumput di sekelilingnya dan asap mulai memasuki bagian dalam gedung, orang-orang masih sibuk menikmati acara.
Rose adalah orang pertama yang menyadari keganjilan itu. Baru saja ia hendak membuka mulut untuk bicara, alarm tanda kebakaran berbunyi nyaring, menuai kepanikan dari semua orang yang ada di dalam gedung.
"Astaga, asap apa ini?"
"Marry, kau di mana, Nak?"
"Cepat keluar! Bahaya!"
“Api! Api! Kebakaran!”
Seketika mata Rose bergerak ke seluruh penjuru ruangan, mencari keberadaan Reega dan juga kedua orang tuanya. Sayangnya asap di dalam ruangan benar-benar membatasi jarak pandangnya.
"REEGA!" Rose berteriak di tengah kebisingan yang terjadi, berharap Reega mendengar dan menghampirinya. Tubuhnya beberapa kali terdorong ke depan dan Rose masih terus berusaha mencari keberadaan Reega.
"MAMA! PAPA!"
Rose bisa mendengar suara anak-anak berteriak. Sementara semua orang kalang kabut mencari pintu keluar. Di kondisi seperti ini, ia sadar bahwa mustahil orang tuanya maupun Reega mendengar teriakannya.
Dengan susah payah Rose berusaha mencapai pintu keluar, menyeret ekor gaunnya yang kotor dan merepotkan, sebab berkali-kali terinjak dan terkena tumpahan air.
"Oh, astaga, gaun ini menyusahkan sekali," gumamnya.
Rose masih berusaha menggapai ujung gaun ketika tubuhnya ditabrak dari belakang hingga ia terjatuh. Di antara teriakan dan tangisan anak-anak, Rose bisa mendengar suara ledakan yang berasal dari halaman belakang.
Asap di mana-mana. Ia terbatuk, paru-parunya sudah mulai memberontak sementara tidak ada satu pun yang peduli. Semua sibuk menyelamatkan diri sendiri.
"Jangan hirup, tahan. Dengarkan aku."
Rose dapat merasakan seseorang merangkul pinggangnya dan menutup hidungnya dengan kain basah. Seseorang itu memberikan aba-aba, menuntunnya agar bisa keluar dari gedung.
Api menyala semakin besar dan serpihan kaca berserakan di mana-mana. Rose ingin bertanya, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.
"Buka mata sebentar! Tahan, jangan hirup asapnya!"
Rose mendengar orang itu terus meneriakinya, tetapi dia tidak tahu apa yang dibicarakan. Begitu tiba di luar gedung, Rose tidak sanggup lagi menjaga kesadarannya.
Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p