Reega mempersilakan Rose duduk di sofa panjang ketika sekretarisnya memberitahukan sebelumnya, jika perempuan itu sudah datang. Sekilas dia mengamati penampilan Rose yang dia akui hari ini terlihat cantik.
"Ga?" panggil Rose seraya melambaikan tangan di depan wajah Reega.Yang dipanggil, lamunannya langsung buyar, dan mulai salah tingkah. Reega mengusap tengkuknya yang tidak gatal, lantas irisnya beralih pada dokumen di tangan.Reega berdeham. "Kita langsung saja. Beberapa hari lalu kita belum sempat membahas perjanjian ini." Lelaki itu menyodorkan dokumen itu pada Rose.Ini pertemuan kedua mereka secara privasi untuk membahas perjanjian pernikahan. Sebab saat itu, Ezar tiba-tiba datang dan membawa Rose pergi tanpa permisi. Dan hari inilah waktu yang di rasa tepat untuk membahasnya.Lagi, Reega mengamati wajah Rose yang sedang membaca dokumen. Perempuan itu tampak serius, sesekali manggut-manggut. Beberapa detik setelahnya pun keseriusan itu berubah menjadi keterkejutan."Aku tidak setuju dengan poin terakhir." Rose menyodorkan kembali dokumen tersebut di meja.Reega yang sudah hafal isinya pun tersenyum miring. "Kenapa? Apa yang salah dengan poin itu? Bukankah tidak masalah jika suami dan istri berhubungan intim?"Kali ini Rose tertawa. "Berhubungan intim denganmu? Yang benar saja! Aku tidak mau.""Jangan berpikir yang aneh-aneh." Reega mengambil dokumen di meja lalu menunjukan bagian poin tersebut. "Yang kumaksud seperti cium kening, pegangan tangan, dan berpelukan kalau mendesak. Akan terasa aneh jika suami istri tidak melakukannya."Rose terdiam. Apa yang dikatakan Reega ada benarnya juga. Tidak mungkin di depan para orang tua, dia dan lelaki itu saling berjauhan. Justru mereka harus menunjukkan sisi keromantisan yang entah bisa dilakukan atau tidak."Berikan padaku!" Rose merebut kembali dokumen itu dan mengambil pulpen yang tergeletak di meja. Dia menambahkan beberapa kalimat di sana sebagai penjelas. "Kalau begini aku setuju, dengan catatan dalam keadaan mendesak.""Baiklah jika setuju, kau harus menandatanganinya sekarang," titah Reega sembari melirik Rose yang berhenti menulis. "Tunggu apa lagi?" Dia berucap lagi saat Rose melempar tatapan sinis."Apa perlu kau membuat perjanjian seperti ini? Tanpa adanya perjanjian pun, aku tahu batasan dan tak tertarik dengan kehidupanmu," jelas Rose mengurungkan niatnya membubuhkan tanda tangannya di kertas."Kau yakin? Mungkin kau tak menginginkannya. Tapi, bagaimana jika aku yang tak bisa menahannya?" Reega memajukan wajahnya. "Masih tidak ingin tanda tangan?"Mata Rose memicing dan memandang tak suka pada lelaki di hadapannya. "Baiklah, baik!" Dengan gerakan cepat, Rose menggerakkan pulpen yang dia pegang di atas kertas. "Puas?""Aku hanya ingin berjaga-jaga," kekeh Reega. Dia meraih dokumen tersebut dan menyimpannya di laci dekat sofa.Beberapa detik kemudian, Ilona, sekretaris Reega datang dengan membawa sebuket bunga mawar. Rasa kesal Rose tergantikan oleh keterkejutan. Pasalnya, buket yang dibawa Ilona ukurannya cukup besar."Maaf, aku mengganggu waktu kalian. Ini buket mawar pesanannya, Pak Reega," ucap Ilona gugup, karena sebelumnya main masuk dan tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.Reega mengambil alih buket mawar tersebut dari tangan Ilona. "Terima kasih, Ilona. Kau bisa kembali bekerja.""Baik, Pak Reega." Belum sempat melangkah undur diri, Reega menegurnya lagi."Ilona, lain kali kalau masuk ke ruanganku ketuk pintu dulu. Apa lagi ada calon istriku." Iris Reega beralih dari Ilona ke Rose. "Bagaimana kalau saat kau masuk tadi, kami sedang berciuman?"Rose mendelik. "Apa yang kau katakan?""Ah ... maaf sebelumnya, Pak Reega. Aku begitu antusias ingin melihat calon istrimu secara dekat," ucap Ilona tidak berbohong. "Kalau begitu aku permisi."Sepeninggal Ilona, Reega memusatkan perhatiannya kembali pada Rose. Dia menyodorkan buket mawar tepat di depan wajah perempuan itu."Ini untukmu," ucap Reega langsung melepas buket mawar tersebut.Buket itu hampir saja terjatuh karena tangan Rose belum siap menerima. "Apa ini? Kau berlagak romantis sekarang, hmm?""Aku hanya memperlakukanmu dengan baik. Apa salah?"Rose baru ingin membalas ucapan Reega, namun dia urungkan. Ponsel lelaki itu berbunyi menandakan ada panggilan telepon. Nampak sedikit jelas nama yang tertera di sana, hingga Rose langsung mengenalinya.Reega menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan kasar. Dia geram ketika Padma tiba-tiba menghubunginya. Padahal beberapa hari yang lalu, perempuan itu sulit ditemui dan ponselnya tidak aktif."Kekasihmu? Kenapa tidak kau angkat?" Rose menangkap sesuatu yang aneh pada lelaki itu.
"Bukan urusanmu!" Reega memasukkan ponselnya ke saku jas bagian dalam. Dia membiarkan ponselnya terus berdering."Kau sedang bertengkar dengan kekasihmu? Siapa namanya?" Rose berpura-pura lupa, padahal tadi dia sudah membaca namanya. "Ah ... ya, Padma. Biar kutebak, dia menolak menikah denganmu, tapi juga tidak mau melepasmu, kan?”"Sok tahu!" balas Reega dengan ketus.Lagi, dan lagi ponsel Reega belum juga berhenti berbunyi. Dengan terpaksa, lelaki itu langsung menonaktifkan ponselnya. Dia masih kecewa dengan kelakuan kekasihnya."Ayo!" perintah Reega sambil menarik sebelah tangan Rose.Keterkejutan Rose membuat buket bunga di tangannya terjatuh. "Hey, kau ingin mengajakku ke mana?"***"Sebaiknya kalian tidak keluar kantor sekarang," ucap Felix menghampiri Reega dan Rose yang baru saja turun dari lift."Ada apa?" tanya Reega heran. Belum lagi asistennya itu datang dengan tergesa-gesa."Di luar ada banyak wartawan dan fans Padma yang ingin menyerang Rose.""Sial!" umpat Reega. "Kita lewat pintu belakang saja. Aman, kan?""Aku belum mengeceknya. Seharusnya aman."Felix mengedarkan pandangannya ke tempat mobil Reega terparkir. Dia mengumpat. Keberadaan kendaraan itu lumayan dekat dengan kerumunan wartawan dan fans Padma."Aku rasa kalian tidak bisa keluar," ucap Felix saat Reega dan Rose menghampirinya. "Mobilmu terlalu dekat dengan keberadaan wartawan.""Ya sudah, percuma juga." Reega memasukkan sebelah tangannya ke saku dan sebelah tangannya lagi menarik tangan Rose.Dahi Rose mengerut sembari menatap Reega tajam. "Hobi sekali menarik-narik tanganku!" gerutunya dalam hati.Reega membawa Rose kembali ke ruangannya. "Ilona," panggilnya. "Tolong pesankan seluruh makanan yang ada di restauran tempat biasa langgananku," ucap Reega memerintahkan pada sekretarisnya itu."Semuanya, Pak?" Ilona bertanya, barang kali telinganya salah mendengar."Ya, semuanya. Aku tidak tahu makanan apa yang disukai perempuan ini." Reega menoleh ke arah Rose. "Pesankan, cepat!""Kalau begitu, pesankan aku mie ayam saja, Ilona," sambar Rose seraya menatap sinis lelaki di sampingnya.Ilona yang sudah memegang gagang telepon pun bingung harus menuruti perintah siapa. Yang pastinya dia tidak ingin membuat kesalahan sekecil apa pun di mata bosnya itu. Ya ... Ilona memang menaruh hati pada Reega sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di kantor. Namun, perasaan itu dia pendam rapat-rapat sendiri."Turuti perintahku atau kau kupecat!" titah Reega dengan tegas sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan."Baik, Pak." Ilona sedikit berteriak.Sementara Rose menggelengkan kepala dan menyusul masuk ke dalam ruangan Reega. Lelaki itu tampak asik dengan tablet di tangannya sambil duduk di sofa panjang. Rose menghela napas dan mengambil tempat di sisi Reega."Kau gila! Siapa yang akan menghabiskan semuanya?" kesal Rose. "Kau tidak boleh membuang-buang makanan, belum lagi kau juga menghambur-hamburkan uang.""Kau bisa diam, tidak? Berisik!"Rose langsung mengulum bibirnya. Dia terdiam. Lantas menggerutu di dalam hati atas kekesalannya pada lelaki itu. Tiba-tiba, kedua mata Rose menangkap sebuah bingkai yang menunjukan foto siluet seorang lelaki dengan posisi membelakangi kamera. Foto itu tampak tidak asing dan dia seperti pernah melihatnya sebelumnya. Tapi di mana?Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p