Share

Belajar Bersabar Menghadapi Suami

"Apa-apaan ini, Mas? Baru malam pertama kamu sudah berani menampar aku?" tanyaku.

Mas Priyo tergagap. "Oh. M... Maaf, Dek. A... Aku gak sengaja."

"Gak sengaja gimana? Tangamu mengayun ke mukaku, lho." Alisku berkerut. Tanganku mengelus-elus pipi yang panas.

"Aku ga bermaksud menampar, cuma mau menepis pelukan kamu, Dek."

"Kalau menepis ya harusnya gerakan Mas seadanya. Kenapa tangan Mas bergerak terlalu berlebihan hingga mengenai wajahku?"

"Aku minta maaf. Aku salah, tidak sengaja. Maaf ya. Sudah, kamu jangan marah."

"Jangan marah bagaimana? Ini malam pertama lho, dan kamu sudah berani berlaku kasar. Gimana kalau usia pernikahan kita sudah sekian tahun?"

Aku membalikkan punggung membelakanginya sembari memeluk guling. Malam pertama yang suram. Tak dapat kutahan sebulir dua bulir air yang mendesak mengalir di ujung mata.

Kini giliran ia yang merangkul dan membelaiku sembari mengucapkan kata maaf. Tak kugubris. 

Semalaman aku hanya menangis sampai terlelap. "Gini banget ngincer warisan orang," pikirku. Tampaknya bukan cuma harta yang harus terkorban, tapi juga fisik. Hanya saja, kalau korban uang aku masih bisa sabar. Tapi kalau sudah ada kekerasan dalam rumah tangga, aku tak mau meneruskan.

Kalau harus bercerai cepat dengan lelaki itu, biarlah. Asal badan dan mentalku tidak sakit menghadapi kelakuannya. Uang yang sudah terlanjur keluar anggap saja kerugian dalam investasi. Aku sudah terbiasa menghadapi risiko.

Lihat besok. Kalau dia sekali lagi bersikap kasar sampai mencederai fisik, aku tak ragu lagi menggugat cerai.

*****

Setelah malam yang buruk, aku mempertahankan sikap dingin pada keesokan harinya. Pagi itu aku berangkat ke kantor tanpa adegan romantis layaknya penganten baru. Tak ada pamitan, apalagi cium tangan.

Rencana berdua-duaan selama tiga hari aku rusak. Tanpa bicara sepatah pun, kupacu mobil menuju tempat kerja.

Notifikasi muncul di gawai atas sebuah pesan w******p dari Mas Priyo. Terbaca tulisannya, "Kamu masih marah, Dek? Maaf ya." Tapi tak aku buka pesan itu. Biar saja centang dua abu-abu entah sampai kapan.

Tiba di kantor, para pegawai kaget melihat aku tiba. Mereka tahunya aku mengambil cuti selama tiga hari. Menyembunyikan masalah yang ada, aku pasang wajah ceria di hadapan mereka. Dengan senyuman aku menyapa satpam, office boy, dan juga sekretaris.

"Eh ibu... Kok masuk?" tanya sekretaris dari cubiclenya yang berada di depan ruanganku.

"Iya. Mendadak ada kontrak yang harus diurus," aku menjawab ngasal.

"Gimana bu rasanya jadi penganten baru lagi?"

"Hahaha... Gak bisa diceritain, Yun. Aku doain kamu segera ngerasain deh," kataku sambil membuka pintu ruangan, menyalakan AC, lalu menghempaskan tubuh ke kursi. Sekretarisku ini masih gadis. Padahal usianya sudah kepala tiga.

Belum bisa segera bekerja. Harus mengembalikan mood.

Caranya?

Curhat saja kali ya. Mudah-mudahan bisa melegakan rasa kesal di dada.

Dari phone book aku pilih nomor Dewi. Tersambung.

"Assalamu'alaikum, penganten baruuu.... Seger banget nih kayaknya. Ada apa pagi-pagi udah nelpon?" Suara di seberang.

"Wa'alaikumussalam, Dewi. Kamu sibuk?"

"Ah, ga ada kesibukan lain kalau sudah ngobrol dengan kamu. Ada apa Din?"

Aku menarik napas panjang. "Tadi malem aku ditampar sama Mas Priyo."

"Astaghfirullah. Gimana ceritanya?"

"Tadi malem kan aku pulang telat. Memang salah aku sih, janji pulang jam 7 tapi sampai rumah jam setengah sepuluh. Dia marah. Terus aku ditampar."

"Ya Allah. Kok gitu ya?"

"Baiknya gimana ya, Dewi?"

"Gimana apa?"

"Aku takut ga sanggup meneruskan pernikahan ini kalau memang itu karakter dia."

"Wah, cepet banget kamu punya pikiran begitu. Dia gak minta maaf?"

"Minta maaf. Katanya gak sengaja. Memang aku peluk dia dari belakang, terus tangan dia menepis. Eh, kena wajahku deh."

"Ooooh... Dinaaaa... Ya beneran gak sengaja itu mah. Insya Allah Mas Priyo gak kasar orangnya. Soalnya aku lihat Pak Broto itu orangnya lembut sama istrinya."

Aku mengernyitkan dahi. "Emang kamu kenal dekat sama mertuaku, Dewi?"

"Hehehe... Maaf selama ini aku gak cerita sama kamu. Ya cukup sering interaksi, Din. Sekarang-sekarang ini aku yang makelarin tanah yang mau beliau beli di daerah Leuwiliang, Bogor."

"Oh gitu. Beli tanah lagi?" Mulutku menganga. Mulai ada rasa ragu untuk menyelesaikan pernikahan ini terlalu cepat. Terbayang harta warisan yang menanti di salah satu titik di lorong waktu kehidupanku.

Tanah... Mobil... Deposito... Perhiasan... Mereka sedang menunggu. Harus aku hampiri dengan sepenuh rasa sabar.

"Iyaaa. Biasalah pebisnis tulen. Entah tanah ke berapa itu yang dia punya. Kamu beruntung deh punya mertua kaya raya."

"Yeee... Kata siapa. Kan itu harta mertua. Aku belum tentu nikmatin, Dewi."

"Setidaknya itu kan bakal jadi warisan untuk suami kamu. Hehehe..."

Astaga Dewi. Kok bisa berpikiran begitu? Tapi ya wajar. Kami begitu dekat sebagai sahabat. Tentu dia sudah paham karakter aku yang matre. Hehehe....

"Ah kamu, Dewi. Bisa aja. Pernikahan aku bakal bertahan lama aja belum tentu."

"Bertahan apa enggaknya tergantung kamu. Kalau kalian berdua punya kesabaran yang luas dan mudah memaafkan satu sama lain, insya Allah pernikahan itu bakal langgeng. Makanya luruskan niat menikah karena Allah. Insya Allah sabar dan maaf bakal dapat pahala.

Kata siapa gitu... pernikahan itu fakultas kesabaran di universitas kehidupan."

"Ah, kamu selalu keren kalo udah menasehati, Dewi. Ya udah, makasih ya. Aku curhat ke kamu mau mengembalikan mood. Sekarang denger suara kamu udah balik lagi nih mood aku. Mau kerja lagi."

"Alhamdulillah kalo gitu. Lah, kamu kerja?"

"Iya. Ga jadi rencana di rumah doang selama 3 hari gara-gara kejadian tadi malem. Makasih ya, Dewi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Aku menggeser tombol berwarna merah dengan icon gagang telepon yang ada di layar handphone untuk menyelesaikan pembicaraan.

Mudah-mudahan benar, Mas Priyo tidak sengaja bersikap begitu tadi malam. Mudah-mudahan benar, Mas Priyo santun seperti bapaknya. Untuk apa aku biarkan masalah ini berlarut-larut? Membuat hati capek saja. Lebih baik aku buat suasana menjadi hangat kembali. Dengan begitu, aku bisa menunggu wafatnya mertuaku dengan mental yang terjaga.

"Iya, Mas. Aku maafkan. Tapi mohon jangan kasar lagi sama aku," sebuah pesan terkirim.

Sekitar dua menit baru ada balasan darinya. "Aku janji gak akan kasar sama kamu. Aku sayang kamu. Sekarang kamu dimana? Pulang dong, Dek. Mas kangen."

"Di kantor. Iya, aku pulang Mas."

Baiklah. Demi awetnya rumah tangga sampai waktu yang dinanti tiba, aku harus terus menjaga suasana di antara kami kondusif. Bersegera aku pulang ditingkahi pertanyaan nakal dari sekretaris, "Wah cepet amat bu? Penganten baru pengennya buru-buru pulang ya. Hehe..." Hanya senyuman sebagai jawaban.

*****

Mendengar suara gerungan mobil, Mas Priyo gegas keluar dengan menggenggam sekuntum bunga di tangan. Aiiih.. romantisnya. 

Di teras ia sambut aku dengan tangan yang merentang terbuka. Saat itulah pertama kalinya kurasakan dekapan hangat dari suami baruku. Kata maaf terucap sekali lagi. Dan keindahan suasana pengantin baru yang sedianya kami nikmati malam tadi, bergeser di siang hari ini.

Memasuki sore, kami duduk berdampingan bersentuhan bahu di sofa empuk berwarna merah di ruang tamu dengan kesibukan bersama gawai masing-masing. Sama sekali tak tahu bahwa waktu sibuk berlari.

Tiba-tiba ia membuka tema baru. "Dek, ini kayaknya prospek bagus nih buat bisnis," ujarnya sambil melihat gawai. Dari layar, tampil video presentasi sebuah usaha.

"Bisnis apa, Mas?" Kepalaku condong ke arahnya untuk mengintip apa yang tersaji di gawai.

"Jual minuman yang lagi ngetrend. Punya teman aku lagi naik daun. Nama brandnya mulai terkenal di mana-mana. Udah buka 15 franchise di Jabodetabek."

"Wah, bagus dong."

"Iya. Aku mau ikutan ah. Mau beli franchise dia."

"Kalo Mas yakin, jalanin aja. Aku dukung."

"Bener kamu dukung?"

"Ya iya dong, Mas. Aku kan istri kamu. Masak iya sih gak dukung bisnis suami sendiri."

"Alhamdulillah kalo gitu. Soalnya aku perlu modal nih buat beli franchisenya. Juga sewa ruko dan gaji pegawai yang nungguin outlet. Bisa bantu kan, Dek?"

Aseeeem. Jadi ini aku lagi ditodong nih buat modalin bisnis dia? Ampun dah, baru aja sayang-sayangan. Ujungnya malah begini.

"Emang berapa dia masang harganya, Mas."

"Tiga puluh lima juta."

"Wow. Mahal ya, Mas. Terus Mas mau jualan di mana?"

"Maklum, dek. Cabangnya lagi menjamur di mana-mana. Makanya dia berani patok harga segitu. Mas sih berencana jualan di deket kampus yang di perempatan jalan itu lho," tangannya menunjuk ke satu arah.

"Oh. Ruko di situ kan mahal-mahal sewanya."

"Ada yang 65 juta setahun."

Aku diam. Bingung. Masak iya sih harus keluar uang segitu banyak?

"Gimana dek."

Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Jadi gak mau dukung bisnis, Mas?" tanyanya.

Duh, gimana ini?

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status