Share

Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua
Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua
Penulis: Cassablanca

Pernikahan Investasi

"Terima kasih telah menerimaku menjadi pendampingmu, ketika aku dalam keadaan terpuruk."

Perkataan itu kubalas dengan senyuman kepada pria yang sedang duduk di pelaminan di sampingku. Ia meletakkan tapak tangan kirinya ke atas punggung tangan kananku sembari sedikit mengusap lembut.

"Aku juga berterima kasih kepada kamu, Mas. Karena sudah menerimaku dengan berbagai kekurangan yang kumiliki."

Jawabanku itu mungkin terdengar klise. Tapi tidak aku pungkiri. Pernikahan kami tidak tulus seratus persen berdasarkan cinta.

Aku tahu, Mas Priyo meminangku karena alasan duit. Apalah aku ini tanpa harta. Cuma seorang janda mandul yang sudah memasuki usia kepala empat dan memiliki paras tak terlalu menarik. Tapi cukup punya percaya diri. Aneh sekali ada laki-laki yang lebih muda, duda beranak dua, yang mau menerimaku dalam kondisi begini sementara dia bisa mencari wanita yang jauh lebih baik.

Aku sendiri tahu persis kondisi Mas Priyo. Seorang pengusaha yang usahanya sedang kolaps. Terjerat utang yang tak sedikit. Kepercayaan dirinya sedang runtuh untuk berwirausaha. Sementara ingin kerja kantoran pun sudah canggung, tak bisa mengikuti ritmenya.

Sebelumnya aku memanggil dia "Adik", dan dia memanggilku "Mbak". Karena usia kami terpaut 5 tahun di mana ia lebih muda. Kami dekat karena urusan bisnis. Setelah lamaran, kami berjanji bahwa aku akan memanggilnya "Mas" dan dia memanggilku "Adik".

Kalau sudah tahu ia mengicar hartaku, kenapa aku mau menerimanya? Mungkin ada pertanyaan begitu.

Alasannya, karena aku mengincar harta orang tuanya. Jangan salah, gitu-gitu juga Mas Priyo ini berasal dari keluarga terpandang. Empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan, semuanya pengusaha sukses kecuali anak kedua. Ya siapa lagi kalo bukan Mas Priyo. Jadi, sudahlah orang tuanya kaya raya, saudara-saudaranya pun milyuner.

Kedua orang tuanya masih hidup. Tapi sudah cukup renta. Dan berisiko dengan adanya wabah Covid yang mengerikan sekarang. Tugasku adalah bersabar untuk menunggu kematian mereka. Bila itu yang terjadi, cukup besar porsi warisan yang akan Mas Priyo dapat (dan tentu aku akan kebagian).

Bukankah hukum Islam mengatur bahwa lelaki mendapat dua pertiga bagian? Ya lumayanlah meski harus dibagi dua dengan saudara lelakinya anak pertama. 

Aku baru tahu sedikit soal harta orang tuanya Mas Priyo. Setidaknya, dia punya dua buah villa di Puncak, satu rumah di Pondok Indah yang mereka tinggali dan ada rumah di Menteng dan lokasi lain yang belum aku tahu. Di antara mobil-mobilnya ada dua yang harganya di atas satu milyar. Ada tanah berhektar-hektar di beberapa daerah strategis yang siap berkembang beberapa tahun lagi. Jonggol, Cigombong, Gunung Sindur, Cikarang Timur, dan beberapa di luar Pulau Jawa.

Depositonya? Aku belum tahu. Tapi aku sudah siap terkejut bila akhirnya tahu suatu saat. Juga berapa harta perhiasannya, sahamnya, dll.

Ada sepuluh perusahaan yang dijalankan oleh papanya Mas Priyo. Uniknya, tidak ada satu pun yang dilanjutkan oleh anak-anaknya. Termasuk Mas Priyo yang sedang terancam bangkrut. Ini menjadi keherananku. Bisa jadi karakter Papanya keras kepada anak-anak. Tapi sekeras-keras orang tua, tentu punya rasa kasih sayang juga. Bila ada anaknya yang terancam jadi gembel, bukan tidak mungkin satu bisnis akan diserahkan.

Itulah "investasiku" yang akan panen suatu saat nanti. Ketika malaikat maut menghampiri dua orang renta itu. Cukup sedikit bulir air mata keluar, setelah itu masa-masa bahagia akan tiba. Dua pertiga dibagi dua dari harta-harta itu. Indahnya.

Ya, untuk sementara memang Mas Priyo yang akan menikmati warisan itu. Sementara. Karena bila aku sudah menghampiri KUA, aku kenal pengacara cerdik yang bisa menyulap harta-harta itu sebagai kepemilikan gono-gini yang harus dibagi dua.

Tapi menjalakan investasi ini harus satu yang aku miliki: kesabaran. Jangan sampai terjadi perceraian sebelum kedua orang tua Mas Priyo meninggal. Juga ada modal yang mungkin tak akan sedikit. Aku harus mengeluarkan biaya untuk membantu bisnisnya, serta menopang nafkahnya dan ke dua anak yang kini diasuh oleh mantan istrinya.

Semoga bisa sabar dan tak ada hal-hal di luar dugaan yang bisa merusak pernikahan kami. Sampai saat panen itu tiba.

*

Pesta usai, kami kembali ke rumah. Saatnya berdua tanpa diganggu.

Di mobil pada perjalanan pulang dari gedung, Mas Priyo tak berhenti tersenyum. Ada cahaya yang memancar dari kulit wajahnya. Kami duduk berdampingan dengan bahu saling bersandar.

Mas Priyo tak memikirkan soal uang 150 juta rupiah yang habis untuk pesta sederhana dengan protokol kesehatan yang ketat barusan. Tujuh puluh lima persen uangku terpakai. Mas Priyo hanya menyumbang dua puluh lima persen, itu pun berasal dari bantuan papanya. Setelah ia mengemis dan membawa-bawa gengsi. Sebagian biaya menikah aku dapat dari utang karena tak mau menarik modal yang sedang aku putar.

Sembari membaca pesan-pesan w******p yang berisi ucapan selamat, kami berbincang ringan. Tentang masa depan, dan juga soal rencana-rencana bisnis. Lelaki itu memang kuat daya khayalnya. Banyak mau. Terdengar hebat bila bicara konsep. Tapi lemah dalam eksekusi.

Sampai sebuah kalimat yang sangat mengganggu terlontar dari lisannya.

"Dek, amplop dari tamu undangan buat Mas ya semuanya."

"Hah? Gimana, Mas?"

"Iya. Uang pemberian tamu undangan, Mas perlu buat tambahan modal." Suamiku nyengir sembari menggerak-gerakkan kedua alisnya.

Tatapanku kosong. Secepat kilat mencoba membentuk ekspresi yang tepat menyikapi permintaan itu. Mimik yang riang, yang tulus, ikhlas, ridho kepada suami. Bagaimana ya?

"Oh. Ya udah kalo Mas perlu, pake aja." Aku menarik paksa dua sisi bibir ke samping lebar-lebar.

"Kado-kado selain amplop, bolehlah buat, Adek."

Aku membatin, "Helloooo.... kan uang pesta juga banyakan dari gua, centong nasi." Namun tetap kata-kata yang baik keluar dari mulut. "Boleeeh. Deal deh kalo gitu. Siapa tau ada yang ngasih kado mobil fortuner."

"Hahaha bisa aja kamu, Dek."

"Hehehe..." Suamiku lucu ya. Kalau dia kutu, sudah kupites sampai penyek.

Tuuut....

Gawaiku berbunyi. Sebuah pesan dari seorang sahabat. Aku membacanya seksama.

"Hahaha... Gila. Mas, aku diajak Dwi ketemuan malam ini juga. Cuma kami berdua. Kalau aku gak mau, dia bakal batalin pesanan ratusan jilbab eksklusif yang rencananya aku launching pekan depan. Gila memang nih Dwi. Boleh, Mas?" tanyaku.

"Yah, Dek. Aku pengen kita nikmatin waktu-waktu berdua tanpa diganggu orang selagi baru nikah." Wajah Mas Priyo berubah cemberut.

"Jadi gak boleh?"

"Ya terpaksa Mas bolehin. Daripada kamu kehilangan prospek bisnis."

"Baguuuus..." Aku membatin. Matrenya makin keliatan. Sudah berani mengorbankan waktu berkualitas bersama istrinya demi uang. 

"Alhamdulillah. Makasih, Mas. Gak lama kok. Dia setuju waktunya dimajukan sore ini. Paling lama jam 7 aku sudah di rumah."

"Ya, jaga diri ya. Gimana nih, kamu mau dianterin ke rumah dulu apa langsung dianter ke tempat ketemuan?"

"Langsung ke tempat pertemuan aja. Sabar ya, Mas. Maaf."

"Gak apa-apa."

Mobil yang kami tumpangi pun berputar arah.

*

Tapi malam itu aku mengingkari janji. Jam setengah sepuluh baru sampai rumah. Sejak sore sampai malam Mas Priyo berkali-kali menghubungi aku. Hingga panggilannya aku acuhkan.

Sampai di dalam rumah, aku mendapatinya bermuka masam. Sedari tadi hanya seorang diri di bangunan dua lantai seluas 150 x 100 itu. 

Rencananya selama tiga hari tidak boleh ada orang lain di rumah kami. Beres-beres biar kami yang mengerjakan. Bulan madu hemat di masa pandemi.

Untungnya dia sudah makan dengan memesan lewat daring. Setelah membukakan pintu, ia hanya memunggungiku lalu berjalan ke arah kamar. Berbaring di atas kasur dengan badan membelakangi. Setiap pertanyaan hanya dijawab, "hmmm...". Tak mau mengarahkan wajahnya kepadaku.

Ya sudah, aku pun berinisiatif memeluk badannya yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek dari belakang. Namun tangannya menepis.

"Udah ah, sana."

"Maaf ya, Mas. Jangan ngambek doong..." Aku mencoba mengelitiki badannya.

"Awaaas...."

Plaak... Ayunan tangannya mengenai wajahku. Sakit. Dan aku terperangah.

Baru menikah saja sudah berani main tangan. Bagaimana kalau sudah satu bulan, satu tahun? Dan sampai kapan aku harus menunggu orang tuanya meninggal untuk menyelesaikan missiku? Bisakah aku bertahan?

"Mas... Kok aku ditampar?" Tanyaku.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status