Share

Bab 5

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-11-14 15:55:59

Usai sesi terapi itu, Arkha segera membawa keduanya kembali ke rumah. Di perjalanan pulang, Mobil SUV mewah itu meluncur mulus meninggalkan gedung klinik. Namun suasana tegang karena perdebatan di ruang terapi masih terasa di dalam kabin mobil yang dingin karena AC.

Senja mulai turun, membuat langit menjadi warna jingga dan keunguan. Namun, keindahan itu seolah tak mampu menembus kaca mobil yang gelap.

Dara duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih terasa lelah seolah energinya terkuras habis karena sesi terapi tadi. Bekas sentuhan Rendra saat mereka berjabat tangan, seolah masih melekat di kulitnya. Pria yang dulu pernah membuat jantungnya berdegup kencang itu menjadi seks terapis.

Dara menyandarkan kepala di sandaran kurai mobil, menatap ke luar jendela. Berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih tak tenang.

Tiba-tiba, Arkha memecah kesunyian. Suaranya datar, namun sarat dengan nada menyalahkan. “Kamu dengar 'kan tadi apa kata Rendra?” ujarnya, tanpa menoleh dari jalanan di hadapannya.

“Dia bilang aku nggak perlu datang lagi. Jadi, ya, urusin aja urusan kamu sendiri mulai sekarang,” sambungnya.

Dara memejamkan mata, menahan desakan air mata yang tiba-tiba menggenang. “Tapi, Mas ... aku butuh support kamu. Aku nggak mau menghadapi ini sendirian.”

Arkha mendesah kesal, tangannya mencengkeram setir lebih kuat. “Dukungan? Aku udah nemenin kamu hari ini, Yang. Dan itu aja udah bikin jadwal meetingku berantakan! Kamu tahu nggak, bisnis aku lagi di ujung tanduk? Yang kamu pikirkan cuma perasaan kamu sendiri! Kamu egois, Yang!”

Mobil lalu melaju lebih kencang, menyalip kendaraan lain dengan agresif. Dara merasakan dadanya sesak. “Ini bukan cuma tentang perasaanku, Mas. Ini tentang kita berdua! Pernikahan kita!”

“Ya, dan cara memperbaiki pernikahan kita adalah dengan kamu yang harus berubah!” bentak Arkha, suaranya meninggi.

“Kamu yang harus belajar jadi istri yang lebih baik! Kamu yang harus bisa bikin suaminya betah di rumah, bukan malah ngeluh-ngeluh terus!” kali ini suara Arkha meninggi.

Kata-kata itu seperti tamparan. Dara terisak kecil, tak sanggup lagi menahan tangisnya. Air mata itu akhirnya tumpah, membasahi pipinya yang pucat.

Dia kembali memalingkan wajah ke jendela, tak ingin Arkha melihatnya menangis.

Namun Arkha tak peduli. Dia terus mengemudi dengan wajah masam, seolah isak tangis istrinya hanyalah gangguan kecil lain dalam harinya yang sudah sibuk. Ruang di dalam mobil itu tiba-tiba terasa sempit, pengap, dan sangat, sangat menyedihkan.

“Intinya, kamu denger ‘kan Yang, apa yang sepupu aku bilang tadi? Aku nggak perlu dateng juga nggak apa-apa. Masalahnya ‘kan di kamu, kamu urusin lah diri kamu sendiri.”

Dara terdiam. Menahan kesal.

“Kamu belajar gimana cara muasin suami, gimana biar aku selalu puas,” lanjut Arkha.

‘Padahal selama ini kamu selalu puas, Mas! Justru aku yang nggak puas sama sekali!’ batin Dara.

Dara masih memandang ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala satu persatu. Setiap kata dari Arkha seperti pukulan demi pukulan yang mengikis sisa-sisa harapannya.

Bayangan Rendra, pria yang dulu pernah memandangnya sepenuh jiwa—berkelebat di pikirannya. Kontras sekali dengan sosok suaminya yang kini hanya memandangnya sebagai kewajiban yang merepotkan.

“Pokoknya besok-besok kamu harus sering dateng ke sana. Sendiri aja ya, aku sibuk soalnya. Bisnis aku ‘kan masih baru, Yang. Kerjaan aku juga mulai padet.”

“Tapi temenin aku lah Mas, masak aku sendirian ke sana? Pasangan lain juga dateng sama suaminya lho!” Dara mencoba protes.

“Nggak bisa, Yang. Aku sibuk banget. Kamu juga tahu ‘kan kalau aku sibuk banget? Kamu ngerti dong kalau kerjaan aku lagi banyak banget. Ini semua demi masa depan kita juga, Yang? Demi anak-anak kita nanti. Kamu harus paham dong?”

“Aku cuma minta temenin, Mas. Cuma sehari dalam seminggu lho, Mas!”

“Nggak bisa, Yang. Kamu juga udah denger Rendra bilang nggak apa-apa dateng sendiri. Kamu harus rajin terapi biar cepet sembuh. Biar bisa puasin suami.”

Dara menatap wajah Arkha yang keras, diterangi lampu jalan yang lewat silih berganti. Dia menarik napas pelan, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya.

“Jadi ... yang kamu mau,” ujarnya, suaranya bergetar namun jelas, “adalah aku yang harus berubah. Aku yang harus ‘sembuh’. Aku yang harus belajar ... untuk selalu membuatmu puas.”

Dia memilih kata-katanya dengan hati-hati, seperti berjalan di atas kaca. “Tapi kamu sendiri nggak perlu berubah apa-apa? Nggak perlu belajar memahami apa yang aku rasakan? Nggak perlu meluangkan waktu sekali aja untuk kita?”

Arkha mendecitkan mobil tepat di depan lampu merah. Dia memutar kepalanya, wajahnya tampak kesal. “Yang, ini bukan soal aku nggak mau. Aku nggak bisa! Kerjaanku—”

“Aku tahu,” potong Dara dengan tenang yang mengejutkan dirinya sendiri. “Aku tahu kamu sibuk.”

Dara memandang lurus ke depan, menatap lampu merah yang seakan tak kunjung hijau. “Tapi mungkin ... mungkin yang perlu ‘diperbaiki’ bukan cuma aku, Mas. Mungkin masalahnya bukan cuma di ranjang. Mungkin masalahnya ada di sini,” ujarnya, menunjuk ke arah hati mereka berdua, “di ruang tamu kita yang sepi, di meja makan yang selalu diisi oleh kita berdua tapi rasanya kayak sendiri-sendiri.”

Dara akhirnya mengatakannya. Keluhan yang selama ini terpendam, rasa kesepian yang dia pendam di balik senyumannya selama pernikahan mereka.

Lampu berubah hijau. Arkha menginjak gas, wajahnya tetap berkerut. Dia tidak membalas. Diamnya lebih menyakitkan daripada amarah.

Kalimat terakhir itu seperti kunci yang membuka sangkar. Sebuah kebebasan yang pahit. Di satu sisi, dia dilepaskan dari tekanan untuk membawa Arkha. Di sisi lain, dia dihadapkan pada pintu konsultasi berdua dengan seorang pria dari masa lalunya, seorang pria yang tatapannya tadi masih membangkitkan getaran-getaran lama.

Dara akhirnya mengalah. Dengan sebuah anggukan pelan. Mungkin ini bukan lagi tentang memperbaiki hubungannya dengan Arkha. Mungkin ini tentang dirinya sendiri. Tentang belajar memuaskan dirinya sendiri, dan siapa tahu, mungkin menemukan kembali jati dirinya yang hilang di ruang praktik itu.

“Oke, Mas. Baik,” ucapnya akhirnya dengan suara datar. “Aku bakalan urus semuanya sendiri.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 7

    Perdebatan dengan Arkha membuat Dara memutuskan pergi seorang diri ke klinik tempat terapi itu. Namun, sesi terapi itu terasa berbeda. Dara duduk di ruang tunggu seorang diri. “Kok sepi, ya? Kemarin pas dateng rame banget antriannya. Aneh. Apa cuma aku yang ada jadwal terapi hari ini?” Seorang perawat memanggil nama Dara. Dia lalu berdiri, melangkah pelan masuk ke ruangan. Jantung Dara berdebar-debar. Terlebih saat melihat Rendra berdiri dari kursinya untuk menyambutnya. Matanya yang terbingkai kacamata, kemejanya yang menampilkan sedikit otot di lengannya itu, membuat Dara menundukkan pandangan agar tak terlihat gugup. “Duduk dulu ya, Dara.” Rendra memanggilnya Dara tanpa sapaan ‘Bu’ seperti pertemuan sebelumnya. “Sa-saya …” “Rileks, tenang aja. Kita lama nggak ketemu. Anggap aja ngobrol biasa sekalian nostalgia.” Dara merasa ruangan itu mendadak panas. Rendra melepas kacamatanya. “Gimana kabar kamu, Ra?” tanyanya. Dara merasa napasnya tertahan. Panggilan “Ra” yang keluar dar

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 6

    Demi mengusir rasa bosan, Dara meraih ponselnya. Menghubungi satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara tentang kehidupan pribadinya. Fanny, sahabatnya.“Halo, Fan,” sapa Dara.Suara Fanny terdengar di seberang telepon. “Halo, Ra. What's up, Babe?”Suara Fanny di telepon terdengar nyaring penuh antusias, berhasil memberi kehangatan di ruang keluarga yang sepi. Tempat Dara meringkuk di sofanya.“Kemarin jadi ‘kan terapinya?” tanya Fanny.“Iya,” jawab Dara.“Terus gimana sesi terapinya? Cocok nggak? Enak ‘kan konsulnya? Cepet cerita sama aku!” desak Fanny.Dara menarik napas. “Ternyata ... terapisnya itu Rendra, Fan.”Dara memejamkan mata, membiarkan kenangan itu menyapu pikirannya. Bayangan pria dengan senyum percaya diri dan sorotan mata yang tajam tapi hangat itu kembali jelas.Di seberang telepon, terdengar suara Fanny semakin antusias. “Maksudnya, dia Rendra yang pernah kamu ceritain ke aku dulu? Yang waktu kuliah jadi idola kampus, cowok psikologi yang bikin antrean cewek dari

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 5

    Usai sesi terapi itu, Arkha segera membawa keduanya kembali ke rumah. Di perjalanan pulang, Mobil SUV mewah itu meluncur mulus meninggalkan gedung klinik. Namun suasana tegang karena perdebatan di ruang terapi masih terasa di dalam kabin mobil yang dingin karena AC.Senja mulai turun, membuat langit menjadi warna jingga dan keunguan. Namun, keindahan itu seolah tak mampu menembus kaca mobil yang gelap.Dara duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih terasa lelah seolah energinya terkuras habis karena sesi terapi tadi. Bekas sentuhan Rendra saat mereka berjabat tangan, seolah masih melekat di kulitnya. Pria yang dulu pernah membuat jantungnya berdegup kencang itu menjadi seks terapis.Dara menyandarkan kepala di sandaran kurai mobil, menatap ke luar jendela. Berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih tak tenang.Tiba-tiba, Arkha memecah kesunyian. Suaranya datar, namun sarat dengan nada menyalahkan. “Kamu dengar 'kan tadi apa kata Rendra?” ujarnya, tanpa menoleh dari jalanan di had

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 4

    “Selamat siang, Bu Dara, dan ... Pak Arkha. Silakan duduk!” ucap Rendra, suaranya halus namun penuh wibawa, tangannya menunjuk ke dua kursi empuk di seberang meja kerjanya yang rapi.Arkha, yang sebelumnya bersikap acuh, tiba-tiba menyipitkan matanya. Wajah masamnya pecah oleh ekspresi kaget yang tidak bisa disembunyikan. “Oh ternyata kamu, Rendra?”Rendra hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang terukur sempurna antara keramahan profesional dan pengakuan terhadap seorang teman lama. “Iya, Arkha. Lama nggak ketemu.”Arkha pun menarik kursi untuk Dara sebelum duduk di sampingnya, sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih santai, bahkan sedikit akrab. “Iya. Lama banget kita nggak ketemu, ya? Waktu aku nikah juga kamu nggak dateng. Ternyata kamu jadi terapis seks sekarang?” ujarnya, nada suaranya terdengar ringan, hampir seperti mengejek.“Iya. Dan karena kita udah kenal,” jawab Rendra, matanya berpindah sebentar ke Dara yang masih kaku, sebelum kembali ke Arkha, “bakalan lebih gampang

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 3

    Esoknya, Dara pergi bersama suaminya ke klinik yang direkomendasikan Fanny. Klinik itu jauh dari bayangan Dara. Ruang tunggunya terang, minimalist, dan berhiaskan lukisan abstrak berwarna earth tone yang menenangkan.Namun, ketenangan itu kontras dengan antrean panjang di depan mereka. Hampir semua kursi terisi oleh pasangan dengan ekspresi yang beragam. Ada yang cemas, penuh harap, atau justru kosong seperti Arkha.Dara tak bisa menahan decak kagum. “Banyak banget yang dateng,” gumannya lirih, matanya memandang setiap wajah di ruangan itu.Rasanya lega sekaligus terasing. Dia tidak sendirian menghadapi masalah ini, tetapi di sisi lain, apa yang dilihatnya membuktikan betapa rapuhnya pondasi keintiman hubungan banyak pasangan selain dirinya.“Katanya terapisnya ganteng banget lho,” ucap seorang wanita dengan suara berbisik yang terdengar jelas di keheningan ruang tunggu yang tenang itu. Teman wanitanya menyenggol bahunya sambil cekikikan. Dara tidak sengaja mendengar, dan secercah ras

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 2

    Dara kembali ke rumah saat jam menunjuk pukul lima sore. Dua jam sebelum Arkha tiba di rumah. Dia memutuskan untuk merendam diri dengan air hangat, menaburkan bath salt aromaterapi lavender ke dalam airnya. Uap air hangat mengepul, membuat kaca kamar mandi mengembun. Dara berendam di bathtub, air hangat membuat otot-ototnya yang kaku melentur. Wangi lavender yang menenangkan membuat otaknya rileks, namun tidak mampu meredam debaran jantungnya yang tak karuan. Dara memejamkan mata, membiarkan tubuhnya masuk ke dalam bathtub. Ia membiarkan dirinya terbenam lebih dalam, hingga air hampir menyentuh dagunya. Bayangan percakapan dengan Fanny dan wajah Arkha yang acuh tak acuh bergantian menghantui pikirannya. “Gimana kalau aku lakukan saran Fanny ya? Dateng ke seks terapis?” bisiknya pada dinding.Dara tak pernah membayangkan seperti apa proses seks terapis itu. Menceritakan masalah hubungan intim ke orang asing? Bahkan membayangkannya saja dia sudah malu sendiri.Terlebih lagi, apa yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status