LOGINDemi mengusir rasa bosan, Dara meraih ponselnya. Menghubungi satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara tentang kehidupan pribadinya. Fanny, sahabatnya.
“Halo, Fan,” sapa Dara. Suara Fanny terdengar di seberang telepon. “Halo, Ra. What's up, Babe?” Suara Fanny di telepon terdengar nyaring penuh antusias, berhasil memberi kehangatan di ruang keluarga yang sepi. Tempat Dara meringkuk di sofanya. “Kemarin jadi ‘kan terapinya?” tanya Fanny. “Iya,” jawab Dara. “Terus gimana sesi terapinya? Cocok nggak? Enak ‘kan konsulnya? Cepet cerita sama aku!” desak Fanny. Dara menarik napas. “Ternyata ... terapisnya itu Rendra, Fan.” Dara memejamkan mata, membiarkan kenangan itu menyapu pikirannya. Bayangan pria dengan senyum percaya diri dan sorotan mata yang tajam tapi hangat itu kembali jelas. Di seberang telepon, terdengar suara Fanny semakin antusias. “Maksudnya, dia Rendra yang pernah kamu ceritain ke aku dulu? Yang waktu kuliah jadi idola kampus, cowok psikologi yang bikin antrean cewek dari fakultas lain itu? Rendra yang itu?” “Heem,” Dara menyahut di telepon, dan tanpa sadar menganggukkan kepalanya. Fanny hampir menjerit. “Serius kamu, Ra? Kamu bisa kenal cowok seganteng dan sepopuler itu, Ra? Beruntung banget sih kamu, Ra …” Sebuah senyum getir merekah di bibir Dara. “Iya, Rendra yang itu. Aku dulu ... sempet suka sama dia juga, kan. Tapi ya cuma di diam-diam aja. Dan aku juga baru tahu, ternyata, dia sepupunya Mas Arkha.” Pengakuan itu keluar seperti desahan dari bibir Dara. Berhasil membuka lembaran lama yang sudah lama dia tutup rapat. Fanny mendadak diam, seolah memproses informasi yang bisa menjadi berita menghebohkan di dunia maya itu. “Wait, wait, wait,” potong Fanny, nadanya berubah penuh teka-teki. “Terus, kok kamu bisa jadi married sama Arkha sih? Kenapa dulu nggak sama Rendra aja?” tanyanya, suaranya sudah lebih pelan, penuh rasa penasaran dan sedikit ketidakpercayaan. Dara memandang keluar jendela, menatap langit malam yang kelam. “Ya gitu lah, Fan,” jawabnya, suara tiba-tiba serak. “Dia dulu dapet beasiswa S2 ke luar negeri. Waktu itu komunikasi masih susah, bukan zaman WA kayak sekarang. Kita coba bertahan lewat email dan makin lama makin jarang karena dia sibuk dan aku juga, ya ... gitu deh. Sampai akhirnya putus di tengah jalan, lost contact lama.” Ada jeda singkat, diisi tarikan napas dalam. “Terus, aku ketemu Arkha. Dia baik, perhatian, dan ... ya, aku pikir dia adalah takdir yang selama ini aku cari.” Di ujung telepon, Fanny mendesah. “Dara …” Suaranya penuh empati, memahami betapa pahitnya rasa ‘seandainya’ yang sedang menghantui sahabatnya itu. “Dan sekarang,” bisik Dara, suaranya nyaris tak terdengar, “Kami ketemu lagi. Dalam waktu dan situasi yang paling nggak terduga. Dia harus ketemu aku … dalam situasi seperti ini.” Fanny mendesah panjang di seberang telepon. “Duh, Ra ... ini plot twist banget. Jadi sekarang kamu harus terapi sama mantan gebetan kamu yang dulu? Yang ternyata sepupu suami kamu sendiri?” “Iya, Fan,” Dara menyahut lirih. Ada jeda sejenak sebelum Fanny melanjutkan dengan suara lebih serius. “Hati-hati ya, Ra. Kamu jangan kebawa perasaan yang dulu sama dia.” Dara menatap foto pernikahannya yang tergantung di dinding. Arkha tersenyum lebar, tetapi matanya terasa jauh bahkan di dalam foto. “Iya, Fan,” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku tahu, kok. Biar bagaimanapun, aku sayang sama Mas Arkha.” Suara klakson yang nyaring dan pendek memecah konsentrasi Dara, membuat jantungnya berdebar kencang. “Fan, besok lagi ya ngobrolnya! Mas Arkha udah balik nih,” bisiknya buru-buru ke pengeras suara di ponselnya sebelum menutup panggilan dan bergegas membuka pintu. Dia menyambut Arkha yang terlihat lesu, membawa tas kerjanya yang terasa berat. “Mas, mau mandi atau makan dulu? Udah aku siapin makan malemnya,” ujar Dara, berusaha menampilkan senyum ramah meski hatinya masih bergejolak. Arkha hanya mengangguk lemas, lalu menjatuhkan dirinya di sofa. Suara desahan lega terdengar saat dia melonggarkan dasinya. “Aku kayaknya mau mandi dulu, Yang. Capek banget,” ucapnya dengan suara parau. “Ya udah, aku siapin air sama handuk ya,” jawab Dara sambil berbalik menuju kamar. Namun sebelum dia melangkah jauh, suara Arkha kembali terdengar. “Yang …” Dara berhenti, menoleh. Arkha masih duduk di sofa, tetapi kini matanya menatapnya. “Kapan jadwal kamu terapi lagi, Yang?" tanya suaminya. “Besok lusa, Mas. Kenapa?” tanya Dara, mencoba menjaga suaranya tetap netral. “Jangan telat, ya,” pesan Arkha, nadanya datar namun terasa seperti perintah. “Harus dateng. Yang rajin biar kamu bisa ... terus muasin suami.” Kalimat terakhir itu menggantung di udara, tajam dan menusuk. Arkha lalu berbalik dan masuk ke kamar, meninggalkan Dara sendirian di ruang tengah. ‘Aaargh!’ teriak Dara dalam hati, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Kakinya menghentak lantai dengan geram yang tertahan. “Selama ini dia yang egois, dia yang nggak peduli, malah terus-terusan nyalahin aku seolah-olah aku ini cuma mesin pemuas nafsunya yang udah rusak!” Dara berdiri terpaku, napasnya memburu. Kata-kata Arkha tadi seperti bensin yang menyiram api kemarahan yang sudah lama dipendamnya. Dan di balik amarah itu, sebuah keinginan yang gelap mulai membuat hatinya mengeras. Mungkin, hanya dengan menjalani terapi itu seorang diri, berdua saja dengan Rendra di ruangan itu. Dara baru benar-benar akan menemukan dirinya sendiri. Dan mungkin, dia akan menemukan sebuah keberanian untuk mengubah takdirnya. ‘Aku yakin setelah ini kamu akan mengakui kelemahanmu, Mas!’ batinnya. ***Perdebatan dengan Arkha membuat Dara memutuskan pergi seorang diri ke klinik tempat terapi itu. Namun, sesi terapi itu terasa berbeda. Dara duduk di ruang tunggu seorang diri. “Kok sepi, ya? Kemarin pas dateng rame banget antriannya. Aneh. Apa cuma aku yang ada jadwal terapi hari ini?” Seorang perawat memanggil nama Dara. Dia lalu berdiri, melangkah pelan masuk ke ruangan. Jantung Dara berdebar-debar. Terlebih saat melihat Rendra berdiri dari kursinya untuk menyambutnya. Matanya yang terbingkai kacamata, kemejanya yang menampilkan sedikit otot di lengannya itu, membuat Dara menundukkan pandangan agar tak terlihat gugup. “Duduk dulu ya, Dara.” Rendra memanggilnya Dara tanpa sapaan ‘Bu’ seperti pertemuan sebelumnya. “Sa-saya …” “Rileks, tenang aja. Kita lama nggak ketemu. Anggap aja ngobrol biasa sekalian nostalgia.” Dara merasa ruangan itu mendadak panas. Rendra melepas kacamatanya. “Gimana kabar kamu, Ra?” tanyanya. Dara merasa napasnya tertahan. Panggilan “Ra” yang keluar dar
Demi mengusir rasa bosan, Dara meraih ponselnya. Menghubungi satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara tentang kehidupan pribadinya. Fanny, sahabatnya.“Halo, Fan,” sapa Dara.Suara Fanny terdengar di seberang telepon. “Halo, Ra. What's up, Babe?”Suara Fanny di telepon terdengar nyaring penuh antusias, berhasil memberi kehangatan di ruang keluarga yang sepi. Tempat Dara meringkuk di sofanya.“Kemarin jadi ‘kan terapinya?” tanya Fanny.“Iya,” jawab Dara.“Terus gimana sesi terapinya? Cocok nggak? Enak ‘kan konsulnya? Cepet cerita sama aku!” desak Fanny.Dara menarik napas. “Ternyata ... terapisnya itu Rendra, Fan.”Dara memejamkan mata, membiarkan kenangan itu menyapu pikirannya. Bayangan pria dengan senyum percaya diri dan sorotan mata yang tajam tapi hangat itu kembali jelas.Di seberang telepon, terdengar suara Fanny semakin antusias. “Maksudnya, dia Rendra yang pernah kamu ceritain ke aku dulu? Yang waktu kuliah jadi idola kampus, cowok psikologi yang bikin antrean cewek dari
Usai sesi terapi itu, Arkha segera membawa keduanya kembali ke rumah. Di perjalanan pulang, Mobil SUV mewah itu meluncur mulus meninggalkan gedung klinik. Namun suasana tegang karena perdebatan di ruang terapi masih terasa di dalam kabin mobil yang dingin karena AC.Senja mulai turun, membuat langit menjadi warna jingga dan keunguan. Namun, keindahan itu seolah tak mampu menembus kaca mobil yang gelap.Dara duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih terasa lelah seolah energinya terkuras habis karena sesi terapi tadi. Bekas sentuhan Rendra saat mereka berjabat tangan, seolah masih melekat di kulitnya. Pria yang dulu pernah membuat jantungnya berdegup kencang itu menjadi seks terapis.Dara menyandarkan kepala di sandaran kurai mobil, menatap ke luar jendela. Berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih tak tenang.Tiba-tiba, Arkha memecah kesunyian. Suaranya datar, namun sarat dengan nada menyalahkan. “Kamu dengar 'kan tadi apa kata Rendra?” ujarnya, tanpa menoleh dari jalanan di had
“Selamat siang, Bu Dara, dan ... Pak Arkha. Silakan duduk!” ucap Rendra, suaranya halus namun penuh wibawa, tangannya menunjuk ke dua kursi empuk di seberang meja kerjanya yang rapi.Arkha, yang sebelumnya bersikap acuh, tiba-tiba menyipitkan matanya. Wajah masamnya pecah oleh ekspresi kaget yang tidak bisa disembunyikan. “Oh ternyata kamu, Rendra?”Rendra hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang terukur sempurna antara keramahan profesional dan pengakuan terhadap seorang teman lama. “Iya, Arkha. Lama nggak ketemu.”Arkha pun menarik kursi untuk Dara sebelum duduk di sampingnya, sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih santai, bahkan sedikit akrab. “Iya. Lama banget kita nggak ketemu, ya? Waktu aku nikah juga kamu nggak dateng. Ternyata kamu jadi terapis seks sekarang?” ujarnya, nada suaranya terdengar ringan, hampir seperti mengejek.“Iya. Dan karena kita udah kenal,” jawab Rendra, matanya berpindah sebentar ke Dara yang masih kaku, sebelum kembali ke Arkha, “bakalan lebih gampang
Esoknya, Dara pergi bersama suaminya ke klinik yang direkomendasikan Fanny. Klinik itu jauh dari bayangan Dara. Ruang tunggunya terang, minimalist, dan berhiaskan lukisan abstrak berwarna earth tone yang menenangkan.Namun, ketenangan itu kontras dengan antrean panjang di depan mereka. Hampir semua kursi terisi oleh pasangan dengan ekspresi yang beragam. Ada yang cemas, penuh harap, atau justru kosong seperti Arkha.Dara tak bisa menahan decak kagum. “Banyak banget yang dateng,” gumannya lirih, matanya memandang setiap wajah di ruangan itu.Rasanya lega sekaligus terasing. Dia tidak sendirian menghadapi masalah ini, tetapi di sisi lain, apa yang dilihatnya membuktikan betapa rapuhnya pondasi keintiman hubungan banyak pasangan selain dirinya.“Katanya terapisnya ganteng banget lho,” ucap seorang wanita dengan suara berbisik yang terdengar jelas di keheningan ruang tunggu yang tenang itu. Teman wanitanya menyenggol bahunya sambil cekikikan. Dara tidak sengaja mendengar, dan secercah ras
Dara kembali ke rumah saat jam menunjuk pukul lima sore. Dua jam sebelum Arkha tiba di rumah. Dia memutuskan untuk merendam diri dengan air hangat, menaburkan bath salt aromaterapi lavender ke dalam airnya. Uap air hangat mengepul, membuat kaca kamar mandi mengembun. Dara berendam di bathtub, air hangat membuat otot-ototnya yang kaku melentur. Wangi lavender yang menenangkan membuat otaknya rileks, namun tidak mampu meredam debaran jantungnya yang tak karuan. Dara memejamkan mata, membiarkan tubuhnya masuk ke dalam bathtub. Ia membiarkan dirinya terbenam lebih dalam, hingga air hampir menyentuh dagunya. Bayangan percakapan dengan Fanny dan wajah Arkha yang acuh tak acuh bergantian menghantui pikirannya. “Gimana kalau aku lakukan saran Fanny ya? Dateng ke seks terapis?” bisiknya pada dinding.Dara tak pernah membayangkan seperti apa proses seks terapis itu. Menceritakan masalah hubungan intim ke orang asing? Bahkan membayangkannya saja dia sudah malu sendiri.Terlebih lagi, apa yan







