LOGINEsoknya, Dara pergi bersama suaminya ke klinik yang direkomendasikan Fanny. Klinik itu jauh dari bayangan Dara. Ruang tunggunya terang, minimalist, dan berhiaskan lukisan abstrak berwarna earth tone yang menenangkan.
Namun, ketenangan itu kontras dengan antrean panjang di depan mereka. Hampir semua kursi terisi oleh pasangan dengan ekspresi yang beragam. Ada yang cemas, penuh harap, atau justru kosong seperti Arkha. Dara tak bisa menahan decak kagum. “Banyak banget yang dateng,” gumannya lirih, matanya memandang setiap wajah di ruangan itu. Rasanya lega sekaligus terasing. Dia tidak sendirian menghadapi masalah ini, tetapi di sisi lain, apa yang dilihatnya membuktikan betapa rapuhnya pondasi keintiman hubungan banyak pasangan selain dirinya. “Katanya terapisnya ganteng banget lho,” ucap seorang wanita dengan suara berbisik yang terdengar jelas di keheningan ruang tunggu yang tenang itu. Teman wanitanya menyenggol bahunya sambil cekikikan. Dara tidak sengaja mendengar, dan secercah rasa penasaran yang tak pada tempatnya menyelinap di hatinya. Dara mencuri pandang ke arah Arkha. Suaminya itu duduk bersandar, kakinya disilangkan. Matanya tak pernah lepas dari jam tangan mewahnya, seolah setiap detik yang berlalu adalah kerugian bisnis yang besar. Jarinya mengetuk-ngetuk lengan kursi dengan gerakan tidak sabar. Arkha hadir secara fisik di sana, tetapi jarak antara kursinya dengan Dara terasa lebih jauh daripada ketika mereka berada di rumah. Setiap kali nama dan nomor antrean dipanggil perawat, dada Dara berdebar campur harap, lalu kemudian ciut ketika ternyata bukan giliran mereka. Dia ingin menyentuh lengan Arkha untuk berbagi kecemasan, tetapi melihat ekspresi suaminya yang dingin, niat itu pun menguap. Dara hanya bisa duduk, meremas-remas ujung jaketnya. Dia menunggu nasib sesi yang sudah diperjuangkannya dengan susah payah ini, sementara suaminya tampak lebih tertarik pada jarum jam daripada pada kecemasan yang hampir membuat istrinya mual. “Lama banget ya ini?” keluh Arkha dengan suara rendah, sambil menggeser posisi duduknya untuk kesekian kalinya. Decak sebal dari mulutnya terdengar jelas di antara musik instrumental lembut yang mengalun di ruang tunggu. “Antriannya panjang lho, Mas. Kita nomor enam puluh dua,” balas Dara. Suaranya berusaha tetap datar meski jemarinya sendiri semakin erat mencengkeram nomor antrean janji temu yang sudah lecek. Dia menepuk punggung tangan Arkha dengan lembut, sebuah isyarat untuk membujuk Arkha, seperti yang sering ia lakukan. Namun kali ini, tangan Arkha langsung menarik diri, berpura-pura mengusap debu dari celana panjangnya. Ketika seorang perawat dengan jas lab putih bersih memanggil, “Nomor lima puluh sembilan!” suaranya jernih memotong ruangan, Dara tak bisa menahan senyum kecil yang merekah. “Tiga orang lagi, Mas. Tunggu dulu ya,” bisiknya, mencoba menatap pandangan Arkha. Namun tatapan suaminya itu kosong, tertuju pada lukisan abstrak di dinding. Seolah-olah ia sedang memecahkan kode rahasia di dalam lukisan itu. Bahunya tegang dan jarinya tak henti mengetuk-ngetuk ponselnya. Tanda itu memberi pesan tersirat yang dimengerti Dara. Bahwa secara emosional, suaminya sudah pergi dari sana. Hanya fisiknya yang berada di sisinya. Dara menarik napas dalam. Tiga nomor lagi. Dia membayangkan ruang konsultasi di balik pintu itu. Tempat di mana kata-katanya mungkin akhirnya dimengerti dan divalidasi, bukan sekadar didengar. Namun melihat sosok Arkha di sampingnya yang mulai bosan dan terlihat marah, hati Dara mulai diselimuti keraguan. Apakah perjalanan ini akan menyembuhkan, atau justru menjadi luka baru yang lebih dalam? Setelah menunggu beberapa lama, seorang perawat menyeru nomor antrean mereka. “Nomor enam puluh dua, Bapak Arkha dan Ibu Dara.” Suara perawat itu menghentikan lamunan Dara. Dia langsung berdiri, jantungnya berdebar kencang, terdengar seperti drum di telinganya. Arkha baru bergerak setelah Dara menyentuh lengannya, dengan ekspresi ogah-ogahan yang tak terlihat jelas. Saat mereka berjalan menyusuri koridor yang terang dan senyap, setiap langkahnya terasa berat. Dara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. ‘Ini untuk kebaikan kami,’ bisiknya dalam hati, seperti sebuah mantra. Pintu kayu oak yang kokoh terbuka dengan senyap, menelan nomor antrean mereka yang akhirnya dipanggil. Perawat membukakan pintu kayu gelap yang elegan. Dara melangkah masuk pertama kali, dengan Arkha di belakangnya. Dan di sanalah dia berdiri. Dara merasa seolah-olah mereka memasuki sebuah kuil dimana rahasia-rahasia paling intim diumbar dengan sukarela. Ruangan itu tidak seperti yang dibayangkan Dara. Tidak ada sofa panjang atau poster anatomi tubuh manusia. Hanya sebuah ruang yang lapang dengan pencahayaan hangat, beberapa kursi empuk berhadapan, dan sebuah meja rendah dengan vas berisi bunga segar. Di sisi ruangan, di depan jendela besar yang membanjiri ruangan dengan cahaya sore, seorang pria dengan setelan jas abu-abu segera membalikkan badan. Senyum hangat dan profesional menghiasi bibirnya, dan sepasang mata yang jernih, mata yang terlalu familiar bagi Dara—langsung menatapnya. Dunia seakan berhenti berputar. Bukan sekadar ‘terapis yang ganteng’ seperti yang didengarnya. Namun, pria itu adalah dia. Kini, mata pria itu memandangnya dengan tenang dan profesional. Namun, saat mata mereka bertemu, Dara bisa merasakan kejutan yang sama terlihat di matanya. Dara segera mengalihkan pandangan, dengan cepat menyembunyikan rasa terkejut dengan ekspresi wajahnya yang kembali datar. Dara merasakan kakinya membeku di lantai. Darahnya berdesir kencang. Dia melihat tangan pria itu terulur, lalu menoleh ke Arkha yang berdiri di sampingnya dengan wajah masam, sama sekali tidak menyadari bahwa badai emosi sedang melanda istrinya. “Silakan duduk, Bu Dara dan … Pak Arkha,” katanya. ***Perdebatan dengan Arkha membuat Dara memutuskan pergi seorang diri ke klinik tempat terapi itu. Namun, sesi terapi itu terasa berbeda. Dara duduk di ruang tunggu seorang diri. “Kok sepi, ya? Kemarin pas dateng rame banget antriannya. Aneh. Apa cuma aku yang ada jadwal terapi hari ini?” Seorang perawat memanggil nama Dara. Dia lalu berdiri, melangkah pelan masuk ke ruangan. Jantung Dara berdebar-debar. Terlebih saat melihat Rendra berdiri dari kursinya untuk menyambutnya. Matanya yang terbingkai kacamata, kemejanya yang menampilkan sedikit otot di lengannya itu, membuat Dara menundukkan pandangan agar tak terlihat gugup. “Duduk dulu ya, Dara.” Rendra memanggilnya Dara tanpa sapaan ‘Bu’ seperti pertemuan sebelumnya. “Sa-saya …” “Rileks, tenang aja. Kita lama nggak ketemu. Anggap aja ngobrol biasa sekalian nostalgia.” Dara merasa ruangan itu mendadak panas. Rendra melepas kacamatanya. “Gimana kabar kamu, Ra?” tanyanya. Dara merasa napasnya tertahan. Panggilan “Ra” yang keluar dar
Demi mengusir rasa bosan, Dara meraih ponselnya. Menghubungi satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara tentang kehidupan pribadinya. Fanny, sahabatnya.“Halo, Fan,” sapa Dara.Suara Fanny terdengar di seberang telepon. “Halo, Ra. What's up, Babe?”Suara Fanny di telepon terdengar nyaring penuh antusias, berhasil memberi kehangatan di ruang keluarga yang sepi. Tempat Dara meringkuk di sofanya.“Kemarin jadi ‘kan terapinya?” tanya Fanny.“Iya,” jawab Dara.“Terus gimana sesi terapinya? Cocok nggak? Enak ‘kan konsulnya? Cepet cerita sama aku!” desak Fanny.Dara menarik napas. “Ternyata ... terapisnya itu Rendra, Fan.”Dara memejamkan mata, membiarkan kenangan itu menyapu pikirannya. Bayangan pria dengan senyum percaya diri dan sorotan mata yang tajam tapi hangat itu kembali jelas.Di seberang telepon, terdengar suara Fanny semakin antusias. “Maksudnya, dia Rendra yang pernah kamu ceritain ke aku dulu? Yang waktu kuliah jadi idola kampus, cowok psikologi yang bikin antrean cewek dari
Usai sesi terapi itu, Arkha segera membawa keduanya kembali ke rumah. Di perjalanan pulang, Mobil SUV mewah itu meluncur mulus meninggalkan gedung klinik. Namun suasana tegang karena perdebatan di ruang terapi masih terasa di dalam kabin mobil yang dingin karena AC.Senja mulai turun, membuat langit menjadi warna jingga dan keunguan. Namun, keindahan itu seolah tak mampu menembus kaca mobil yang gelap.Dara duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih terasa lelah seolah energinya terkuras habis karena sesi terapi tadi. Bekas sentuhan Rendra saat mereka berjabat tangan, seolah masih melekat di kulitnya. Pria yang dulu pernah membuat jantungnya berdegup kencang itu menjadi seks terapis.Dara menyandarkan kepala di sandaran kurai mobil, menatap ke luar jendela. Berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih tak tenang.Tiba-tiba, Arkha memecah kesunyian. Suaranya datar, namun sarat dengan nada menyalahkan. “Kamu dengar 'kan tadi apa kata Rendra?” ujarnya, tanpa menoleh dari jalanan di had
“Selamat siang, Bu Dara, dan ... Pak Arkha. Silakan duduk!” ucap Rendra, suaranya halus namun penuh wibawa, tangannya menunjuk ke dua kursi empuk di seberang meja kerjanya yang rapi.Arkha, yang sebelumnya bersikap acuh, tiba-tiba menyipitkan matanya. Wajah masamnya pecah oleh ekspresi kaget yang tidak bisa disembunyikan. “Oh ternyata kamu, Rendra?”Rendra hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang terukur sempurna antara keramahan profesional dan pengakuan terhadap seorang teman lama. “Iya, Arkha. Lama nggak ketemu.”Arkha pun menarik kursi untuk Dara sebelum duduk di sampingnya, sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih santai, bahkan sedikit akrab. “Iya. Lama banget kita nggak ketemu, ya? Waktu aku nikah juga kamu nggak dateng. Ternyata kamu jadi terapis seks sekarang?” ujarnya, nada suaranya terdengar ringan, hampir seperti mengejek.“Iya. Dan karena kita udah kenal,” jawab Rendra, matanya berpindah sebentar ke Dara yang masih kaku, sebelum kembali ke Arkha, “bakalan lebih gampang
Esoknya, Dara pergi bersama suaminya ke klinik yang direkomendasikan Fanny. Klinik itu jauh dari bayangan Dara. Ruang tunggunya terang, minimalist, dan berhiaskan lukisan abstrak berwarna earth tone yang menenangkan.Namun, ketenangan itu kontras dengan antrean panjang di depan mereka. Hampir semua kursi terisi oleh pasangan dengan ekspresi yang beragam. Ada yang cemas, penuh harap, atau justru kosong seperti Arkha.Dara tak bisa menahan decak kagum. “Banyak banget yang dateng,” gumannya lirih, matanya memandang setiap wajah di ruangan itu.Rasanya lega sekaligus terasing. Dia tidak sendirian menghadapi masalah ini, tetapi di sisi lain, apa yang dilihatnya membuktikan betapa rapuhnya pondasi keintiman hubungan banyak pasangan selain dirinya.“Katanya terapisnya ganteng banget lho,” ucap seorang wanita dengan suara berbisik yang terdengar jelas di keheningan ruang tunggu yang tenang itu. Teman wanitanya menyenggol bahunya sambil cekikikan. Dara tidak sengaja mendengar, dan secercah ras
Dara kembali ke rumah saat jam menunjuk pukul lima sore. Dua jam sebelum Arkha tiba di rumah. Dia memutuskan untuk merendam diri dengan air hangat, menaburkan bath salt aromaterapi lavender ke dalam airnya. Uap air hangat mengepul, membuat kaca kamar mandi mengembun. Dara berendam di bathtub, air hangat membuat otot-ototnya yang kaku melentur. Wangi lavender yang menenangkan membuat otaknya rileks, namun tidak mampu meredam debaran jantungnya yang tak karuan. Dara memejamkan mata, membiarkan tubuhnya masuk ke dalam bathtub. Ia membiarkan dirinya terbenam lebih dalam, hingga air hampir menyentuh dagunya. Bayangan percakapan dengan Fanny dan wajah Arkha yang acuh tak acuh bergantian menghantui pikirannya. “Gimana kalau aku lakukan saran Fanny ya? Dateng ke seks terapis?” bisiknya pada dinding.Dara tak pernah membayangkan seperti apa proses seks terapis itu. Menceritakan masalah hubungan intim ke orang asing? Bahkan membayangkannya saja dia sudah malu sendiri.Terlebih lagi, apa yan







