بيت / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 29. Menutupinya dariku

مشاركة

29. Menutupinya dariku

مؤلف: Rossy Dildara
last update آخر تحديث: 2025-12-05 17:50:19

"Pagi, Qiara... Cantik banget sih, keponakan Om yang satu ini," ucapnya dengan suara ramah.

Aku berusaha keras untuk tidak membalas senyumnya, menahan diri agar tidak terpancing emosi. Tapi aku juga tak ingin membuat suasana menjadi canggung di depan Ayah dan Bunda.

Namun, rasanya baru kali ini dia memanggilku dengan sebutan "Qiara". Biasanya dia selalu menggunakan panggilan sayang. Pasti karena ada Ayah. Om Bagas sepertinya takut kena omelan Ayah lagi, berusaha menjaga citra di depan orang tuaku.

"Om Bagas datang pagi-pagi, katanya mau mengantarkan vitaminmu yang sudah habis. Jadi, sekalian saja Ayah ajak sarapan bersama, kebetulan dia juga belum sarapan," ucap Ayah, seolah merasa perlu menjelaskan alasan kehadiran pria itu di tengah-tengah kami.

Sudah jelas Om Bagas berbohong.

Aku tahu betul vitamin yang dia berikan masih banyak. Dia hanya mencari-cari alasan agar bisa menemuiku, lalu mengajakku bercinta. Aku yakin itu.

"Ayo sini, Nak! Kita sarapan bersama. Bunda pagi ini bikin bubu
استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق
الفصل مغلق

أحدث فصل

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   67. Luar biasa

    Bunda langsung melepaskan pelukan, kedua tangannya menggenggam bahuku dengan erat hingga membuatku merasa sedikit sakit, tapi aku tahu dia tidak sengaja. Matanya yang masih merah karena menangis kini menatapku dengan tatapan yang penuh kekhawatiran dan kesedihan mendalam. "Nggak! Nggak boleh, Nak!" serunya dengan tegas. Mencoba menggoyahkan aku agar keluar dari lorong pemikiran yang kelam dan mengerikan itu. "Janin di dalam kandunganmu adalah anak yang nggak berdosa. Dia punya hak untuk hidup." "Tapi dia sudah nggak dibutuhkan, Bun." Aku menjawab dengan suara yang tersedu-sedu, napasku terengah-engah karena masih sulit menahan air mata yang terus mengalir lewat pipiku. "Mas Bilal sudah nggak menginginkannya lagi ...." "Meskipun Bilal sudah nggak menginginkannya, tapi Bunda menginginkannya, Nak!" Bunda menjawab dengan cepat. Dia menarik tubuhnya sedikit ke depan, matanya semakin mendekat ke wajahku. "Pokoknya, apapun yang terjadi... kamu harus mempertahankan janin yang ada di perutm

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   66. Meratapi nasib

    Mataku perlahan terbuka, kelopak mataku yang berat terasa seperti ditutup oleh lapisan tebal kapas. Aku menyesuaikan diri dengan cahaya lampu gantung yang menerangi ruangan dengan warna kuning hangat. Sorot mataku berkeliling. Ini seperti kamarku di rumah Ayah. Dan saat ini aku sedang berbaring di atas ranjang. Kutatap jam dinding bundar di atas pintu—jarum jamnya menunjukkan pukul 7 tepat. Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang. Sepertinya adzan Isya. Tampaknya sudah memasuki waktu malam. Aku terdiam sejenak, menutup mata sebentar sambil mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dan seketika saja, dadaku terasa sesak, bahkan begitu sakit seolah ada batu besar yang ditekan kuat-kuat ke dalamnya. Napasku menjadi pendek dan tidak teratur, setiap tarikan napas rasanya seperti menusuk dada dengan jarum tajam. Tapi, apakah semua yang terjadi adalah mimpi?? Aku berharap begitu. Apalagi posisiku saat ini seperti baru saja bangun tidur. Ceklek~ Suara pintu yang m

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   65. Seorang pengkhianat

    "Mana, Ayah? Coba tunjukkan padaku," pintaku dengan nada cepat dan tegas, tangan kananku secara refleks mengulurkan diri ke arahnya, jari-jari sedikit menggenggam udara karena kegelisahan yang meluap. "Ikutlah dengan Ayah, Ayah akan menunjukkan buktinya." Tanpa basa-basi lagi, Ayah menarik tanganku dengan cukup kuat—cukup untuk membuatku terpaksa mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat menuju arah parkiran mobil. Tubuhku sedikit terpeleset karena alas kakiku yang tidak terlalu nyaman untuk berlari, tapi Ayah tidak berhenti sedikit pun. Kupikir, Ayah akan langsung menunjukkan bukti itu di dalam mobil, ketika kami berdua sudah sama-sama masuk dan pintunya terkunci rapat. Tapi ternyata tidak. Setelah menyalakan mesin dan mengendarai mobil keluar dari area parkir rumah sakit, dia justru melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, menjauh dari gedung tinggi itu. Aku bertanya-tanya, ke mana Ayah akan membawaku? Dan bukti apa yang dia maksudkan hingga harus keluar jauh dari rumah saki

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   64. Menantu kurang ajar

    Pandanganku langsung ke dalam kamar, tepatnya di ranjang Mas Bilal. Ayah berdiri kokoh di sisi kanan Mas Bilal, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkram leher Mas Bilal dengan erat. Wajah Ayah tampak memerah dengan emosi yang membara. Sementara Mas Bilal, dia sudah sadar. Namun, matanya terbuka lebar, hampir melotot. Napasnya terengah-engah. Tangannya yang lemah terlihat menggenggam lengan Ayah dengan sekuat tenaga, seperti berniat mencoba untuk melepaskan diri. "Astaghfirullah Ayah!" teriakku penuh kepanikan. Aku langsung melesat ke arah mereka berdua, kedua tanganku segera meraih lengan Ayah, mencoba menariknya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku. "Lepaskan Mas Bilal, Ayah! Jangan sakiti dia!!" Bunda juga ikut membantu, tangannya meraih lengan Ayah dari sisi lain, namun tenaga kami seolah tak ada apa-apanya. Kami tak berhasil menghentikan aksi Ayah. "Ayah istighfar! Ayah ini kesurupan atau gimana?!" Bunda teriak dengan su

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   63. Tespeck

    Aku memasuki kamar mandi kecil itu, lalu mengunci pintunya dengan tangan yang masih gemetar.Mataku menatap kedua tespeck yang ada di atas wastafel, jantungku berdebar semakin kencang.Aku melakukan langkahnya dengan hati-hati, kemudian menampung urine ke dalam wadah steril yang dokter berikan.Saat aku mencelupkan kedua alat tes itu secara bergantian, aku menutup mata sebentar, sambil mengulang do'a yang sama."Aku pengen punya anak, ya Allah."Setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, aku membuka mata perlahan dan sontak membulat sempurna.Dua garis merah jelas terlihat di tespeck berwarna biru, satu tebal, satu lagi sedikit lebih tipis tapi tidak bisa disangkal keberadaannya. Aku menoleh ke tespeck yang berwarna putih, dan hasilnya sama. Garis dua yang terbentuk jelas dan tidak diragukan lagi."Ya Allah ini seriusan, kan? Aku ... Aku hamil??"Aku refleks bersujud syukur, air mata yang sudah menumpuk di kelopak mataku akhirnya menetes deras ke pipiku. Aku menangis bukan kare

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   62. Berbaik hatilah padaku

    Setelah selesai sarapan, aku dan Bunda keluar dari kamar Mas Bilal dengan langkah pelan.Di luar, tepat di bangku tunggu yang menghadap pintu kamar, Ayah sedang duduk dengan badan membungkuk sedikit, fokus pada layar ponselnya yang menyala terang. Jari jarinya sedang menggesek layar dengan cepat seolah sedang mencari sesuatu."Ayah sudah teleponan sama Om Bagasnya?" tanyaku penasaran, mendekat ke arah Ayah sambil menyentuh bahunya perlahan. Pikiran tentang pria itu sudah mulai membuatku merasa tidak tenang.Ayah langsung menoleh ke arahku, kemudian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran. "Ayah nggak jadi teleponan sama dia, nomornya masih nggak aktif.""Memangnya nomor dia sudah sejak kapan nggak aktif, Yah?" tanyaku dengan nada yang tiba-tiba menjadi cemas.Kata "tidak aktif" itu seperti menusuk hatiku. Selama aku mengenalnya, nomor Om Bagas tidak pernah sekalipun tidak bisa dijangkau.Meskipun dia seringkali sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, at

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status