Share

49. Obsesi

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-15 08:00:47

{Semua kegelapan yang aku rasakan selama ini seketika hilang, saat aku bertemu dan mengenal Qiara. Seolah gadis cilik yang memiliki senyuman yang sangat manis, bahkan mengalahkan gula dan madu.}

{Jantungku berdebar setiap menatap matanya yang begitu cantik. Bukan, bukan cuma mata, tapi semua yang ada pada diri Qiara, semaunya terlihat cantik. Dia sempurna.}

{Hari ini aku senang sekali. Untuk pertama kalinya aku bisa menciumnya.

Walau hanya kening, tapi rasanya menakjubkan sekali. Aku juga tidak menyangka, burungku yang selama menduda ini layu, kini tiba-tiba bisa bangkit kembali hanya karena aku mencium keningnya.

Itu baru kening, bagaimana jika yang lain? Mungkin aku sudah .... Aah, nikmat pokoknya.}

Mataku membulat sampai rasanya mau lepas, memandang beberapa lembar buku yang bertuliskan kata-kata, bukan cuma cerita, tapi jendela ke dalam kegilaan yang tersembunyi. Ini seperti curahan isi hatinya yang paling dalam, setiap huruf ditulis dengan gai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   63. Tespeck

    Aku memasuki kamar mandi kecil itu, lalu mengunci pintunya dengan tangan yang masih gemetar.Mataku menatap kedua tespeck yang ada di atas wastafel, jantungku berdebar semakin kencang.Aku melakukan langkahnya dengan hati-hati, kemudian menampung urine ke dalam wadah steril yang dokter berikan.Saat aku mencelupkan kedua alat tes itu secara bergantian, aku menutup mata sebentar, sambil mengulang do'a yang sama."Aku pengen punya anak, ya Allah."Setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, aku membuka mata perlahan dan sontak membulat sempurna.Dua garis merah jelas terlihat di tespeck berwarna biru, satu tebal, satu lagi sedikit lebih tipis tapi tidak bisa disangkal keberadaannya. Aku menoleh ke tespeck yang berwarna putih, dan hasilnya sama. Garis dua yang terbentuk jelas dan tidak diragukan lagi."Ya Allah ini seriusan, kan? Aku ... Aku hamil??"Aku refleks bersujud syukur, air mata yang sudah menumpuk di kelopak mataku akhirnya menetes deras ke pipiku. Aku menangis bukan kare

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   62. Berbaik hatilah padaku

    Setelah selesai sarapan, aku dan Bunda keluar dari kamar Mas Bilal dengan langkah pelan.Di luar, tepat di bangku tunggu yang menghadap pintu kamar, Ayah sedang duduk dengan badan membungkuk sedikit, fokus pada layar ponselnya yang menyala terang. Jari jarinya sedang menggesek layar dengan cepat seolah sedang mencari sesuatu."Ayah sudah teleponan sama Om Bagasnya?" tanyaku penasaran, mendekat ke arah Ayah sambil menyentuh bahunya perlahan. Pikiran tentang pria itu sudah mulai membuatku merasa tidak tenang.Ayah langsung menoleh ke arahku, kemudian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran. "Ayah nggak jadi teleponan sama dia, nomornya masih nggak aktif.""Memangnya nomor dia sudah sejak kapan nggak aktif, Yah?" tanyaku dengan nada yang tiba-tiba menjadi cemas.Kata "tidak aktif" itu seperti menusuk hatiku. Selama aku mengenalnya, nomor Om Bagas tidak pernah sekalipun tidak bisa dijangkau.Meskipun dia seringkali sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter, at

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   61. Tidak ada kabar

    Setelah menutup telepon, aku berniat langsung ke rumah sakit dan membatalkan makan siang bersama Ayah. Namun, Ayah melarang keras meskipun aku sudah menjelaskan bahwa Mas Bilal mengalami kecelakaan dan kini tengah dioperasi.Dia memperingatkan bahwa makan siang juga penting untukku saat ini, terlepas dengan hasil operasi Mas Bilal nanti.Ketika kami tiba di rumah sakit dan menemukan Nenek Mirna di luar ruang operasi, wajahnya penuh kemarahan yang sudah hampir meluap."Kamu dari mana sih, Qia? Kenapa lama ...." Katanya dengan nada tinggi, matanya membelalak dan alisnya terkunci rapat. Tapi saat pandangannya jatuh pada Ayah yang berdiri di sebelahku, ekspresi kemarahannya perlahan mereda."Maaf, Bu, tadi Qia sedang bersamaku. Kami kebetulan lagi makan jadi kami habiskan dulu makan siang kami dan barulah ke sini," ucap Ayah dengan nada lembut dan sopan, sambil sedikit membungkuk sebagai tanda permintaan maaf. Nenek Mirna menghela napas dalam-dalam, dadanya terlihat mengembang dan menyusu

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   60. Jangan lama-lama!

    "Ayok." Ayah mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan pemahaman terhadap hasratku. Dia kemudian mengajakku keluar bersama dari ruangannya, tangannya secara lembut menyandar di pundakku seolah ingin memberikan kekuatan.Ketika kami sampai di lobby, kami melihat ruangan yang sepi tanpa ada jejak Om Bagas. Ayah mengerutkan kening sebentar, lalu berasumsi bahwa Om Bagas berada di restoran depan kantor, karena sebelumnya dia juga meminta pria itu untuk menunggu di sana.Namun, sesampainya kami di restoran itu, kami tetap tak menemukan sosok Om Bagas dalam pandangan, meski sudah menjelajahi seluruh meja."Kamu duduklah dulu, Sayang." Ayah menarik kursi kayu untukku dengan lembut di salah satu meja yang kosong. "Biar Ayah telepon Om Bagas dulu, tanya dia ada di mana."Aku mengangguk dan langsung duduk, sambil menyilangkan tangan di atas meja. Ketika melihat pelayan mendekat, aku pun memesan dua gelas jus jeruk segar untuk kami berdua—rasanya tubuhku membutuhkan sesuatu yang segar setelah se

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   59. Rencana selanjutnya

    "Itu juga sebenarnya Ayah nggak mau kasih tau kamu dulu, Sayang. Karena Ayah yakin kamu pasti nggak akan percaya meskipun Ayah jelaskan secara detail, apalagi Ayah belum punya bukti." Ayah menjelaskan dengan suara pelan, menatapku dengan penuh perhatian. "Tadinya Ayah dan Om Bagas sudah sepakat, akan memberitahu kamu semua ini setelah kami berdua berhasil dapatkan bukti yang kuat tentang apa yang dilakukan Bilal.""Jadi selama ini, setiap kali Ayah dan Om Bagas bertemu atau keluar bersama, itu bukan karena kalian ingin membahas masalah ekonomi atau masalah laki-laki, tapi karena kalian sedang mencari bukti kalau Mas Bilal selingkuh?""Iya, betul sekali." Ayah mengangguk dengan tegas. "Sayangnya bukti yang kami cari itu belum berhasil kami dapatkan. Dan yang lebih menyebalkan, kami kehilangan jejak wanita itu.""Kehilangan jejak gimana, Ayah?""Inara tiba-tiba hilang entah ke mana, dan saat kami cari tau ... ternyata dia sudah berhenti kerja di kantornya Bilal. Dan itu sehari setelah A

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   58. Mantan pacar

    "Soal foto itu 'kan Ayah sudah katakan, Ayah sendiri nggak tau.""Mana mungkin Ayah nggak tau, Ayah bohong kan?" Aku memicingkan mata dengan tatapan penuh kecurigaa. Aku merasa tidak bisa begitu saja mempercayainya."Ayah serius, Qia. Kapan sih Ayah pernah berbohong padamu?" Suaranya terdengar tegas, matanya menatapku dengan pandangan yang penuh kesungguhan. "Soal foto itu Ayah dapatkan dari seseorang secara misterius yang Ayah sendiri nggak tau dia siapa.""Dia mengirimkannya lewat apa? Kurir, ojek online, atau lewat surat?" Aku menekan pertanyaanku, ingin mengetahui setiap detailnya."Foto itu dikirim lewat WA, Qia. Terus Ayah langsung mencetaknya lalu memberikan padamu untuk memastikannya." Ayah menjelaskan dengan sabar, lalu merogoh kantong celananya dengan tangan kanannya."Sebentar... Ayah akan tunjukkan riwayat chat yang dia kirim. Ayah nggak pernah menghapus satu pun pesan dari dia, karena merasa mungkin suatu saat akan berguna." Setelah mengambil ponselnya, Ayah menekan layar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status