Pintu utama berderit pelan. Leah mendongak dari arah ruang tamu. Langkah sepatu berdecit lembut di lantai kayu yang mengilap.
Joy muncul pertama, tersenyum kaku namun berusaha ramah seperti biasanya.
"Hallo sweetheart" sapanya ringan.
Di belakangnya, berdiri sosok yang tidak pernah Leah harapkan akan datang tiba-tiba—Kenneth Arden. Tegap, tenang, mengenakan jas abu-abu tua yang menjatuhkan bayangan panjang di lantai rumah. Matanya tajam menatap sekeliling ruangan sebelum akhirnya menatap Leah, seolah sedang menilai.
"Selamat siang, Leah" ucap Kenneth, nada suaranya terdengar terlalu halus untuk niat yang terlalu dalam.
Leah tersenyum lembut “Silahkan”
Joy masuk lebih dulu, lalu Kenneth, dengan langkah penuh kendali dan aura kepemimpinan yang tak bisa diabaikan. Ia melihat ke sekeliling ruangan seperti seseorang yang sedang mengaudit.
“Tak ada yang berubah selain foto pernikahan yang terpajang” komentarnya
Valesco membuka matanya dengan berat. Pandangan pertamanya buram. Atap kamar yang ia kenal samar-samar melayang di atasnya, tapi dunia tampak miring—seolah otaknya belum kembali sepenuhnya dari gelap.Ia menarik napas dalam, dada terasa berat, lalu matanya perlahan menoleh ke kiri… dan ia melihat sosok berdiri membelakanginya, siluet yang begitu ia kenalAyahnya, Kenneth ArdenBerdiri tenang di dekat jendela, tangan diselipkan ke saku celana, setelan abu-abu gelap membingkai tubuhnya dengan kesempurnaan yang tidak pernah retak, bahkan saat anaknya nyaris sekarat.“Di mana Leah?” suara Valesco parau, penuh retakan.Kenneth tak langsung menjawab. Ia menoleh sedikit, sekadar memastikan putranya sadar, lalu kembali memandangi langit yang mulai cerah“Dia ada di luar” jawabnya datar.Mata Valesco menyipit. “Kenapa… bukan dia yang di sini?”“Kau lemah” Kenneth membal
Cahaya lampu temaram menyinari atap rumah kaca yang dilapisi embun. Di dalamnya, bunga mawar putih tertanam rapi, seolah tak terganggu oleh hiruk pikuk emosi yang meledak di rumah utama.Leah duduk di salah satu kursi kayu panjang, mengenakan cardigan tipis, matanya sembab tapi tajam.Di seberangnya, Gorge baru saja meletakkan cangkir teh jahe yang disediakan Winny, lalu menatap sekeliling rumah kaca dengan waspada, memastikan tidak ada satu pun pelayan atau pengintip dari balik jendela.Saat keheningan cukup panjang, barulah Gorge bicara.“Kau yakin tak ada seorangpun yang akan mendengar ini?” Tanya GorgeLeah mengangguk. Dia memang mengajak Gorge ke rumah kaca ini karena dari pantauan Leah, tempat ini jauh dari kamera pengawas, tidak seperti ruang lain bahkan kamarnya sendiri“Bahkan pelayan?” Gorge bertanya lagiLeah menoleh perlahan, lalu menggeleng. “Winny bisa dipercaya. Dan sisanya terlalu sibuk un
Tubuh Leah gemetar. Tangan yang tadi menahan bathrobe perlahan terkulai, jatuh ke lantai. Dan sebelum ia benar-benar bisa berpikir jernih, satu tangan Valesco sudah melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bersentuhan penuh.“Valesco…” bisik Leah di sela napas yang nyaris terputus. “Kau… sedang kalut.”Mata Valesco semakin sayu. Ketika matanya turun menatap bibir Leah, Leah langsung menutup mulut pria itu dengan tangannya“Sudah cukup, Ale. Ayo kembali ke tempat tidur” Leah mundur, menarik tangan Valesco dalam genggamannyaValesco membiarkan Leah menuntunnya, seperti anak kecil yang kehilangan arah. Dan ketika mereka berdua kembali ke kamar, Leah membaringkan Valesco perlahan, lalu menyelimuti tubuhnya lagi. Ia ikut naik ke ranjang, duduk bersandar sambil mengusap rambut lembab Valesco dan memandangi wajah pria yang kini memejamkan mata dalam diam.Leah tak berkata apa-apa.
Valesco menatap Leah yang sedang menyeka tubuhnya dengan handuk hangat. Gerakan Leah pelan dan teratur, namun ada sesuatu yang tidak biasa dalam caranya menyentuh.Tidak selembut biasanya.Tidak setenang sebelumnya.Bukan sentuhan yang kasar… tapi ada tembok tipis yang menghalangi keintiman yang sebelumnya terasa alami.Sejak tadi, Leah nampak berbeda.Dia hanya menjawab jika Valesco bertanya, itu pun dengan nada datar, singkat, tanpa usaha menambah percakapan. Setelahnya, ia memilih diam. Tidak ada lirikan penuh perhatian. Tidak ada senyum kecil yang biasa muncul saat mereka bertukar pandang.Hanya keheningan yang ganjil. Terlalu tenang, hingga terasa dingin.Valesco merasa seperti sedang dirawat oleh perawat profesional, bukan istrinya sendiri. Ada jarak di antara mereka. Tidak kasat mata, tapi tajam. Dan makin terasa dengan setiap detik yang lewat.“Leah” panggilnya pelan.“Hm?” Jawab Le
“Bisa kau keluar sebentar Leah?”Leah tak langsung bergerak. Kata-kata Valesco menggantung di udara seperti debu yang lambat-lambat jatuh, membekas di dada. Ia menatap wajah suaminya yang masih pucat, masih berat menahan kesadarannya. Tapi justru karena itu… Leah tak bisa memahami.Leah mendengar dengan jelasBukan permohonan yang lembut. Bukan pula suara kepercayaan yang utuh.Itu adalah batas yang ia sendiri tak tahu datang dari ketidaknyamanan… atau dari pilihan.Sementara Alisa, berdiri diam. Tak berkata apa-apa, tapi tatapannya jelas menyiratkan satu hal yaitu kemenangan. Kecil, sunyi, tapi sangat menusuk.Bukankah ini kamar mereka? Tempat tidur mereka? Rumah yang kini menjadi milik Leah juga? Dan kini, di ruangan yang harusnya menjadi privasi mereka, Leah diminta pergi, sementara seorang wanita yang hanya ‘teman’ suaminya tinggal?Itu bukan hanya menyakitkan. Itu… tidak etis.
Leah masuk ke dalam rumah sambil membawa buku catatannya yang masih hangat oleh pikiran-pikiran yang belum sempat ia uraikan seluruhnya.Langkahnya tenang, teratur, tapi pikirannya masih terpaku pada tiap kalimat yang ia tulis barusan tentang sisi Valesco yang hangat, manja, namun tetap… tidak dapat diprediksi. Begitu ia melewati lorong menuju tangga, matanya bertemu dengan seseorang di ujung lorong: Nola.Gadis itu berdiri kaku di dekat ruang tengah, mengenakan seragam bersih, tangan terlipat di depan perutnya. Tapi yang paling mencolok bukan sikap formalnya—melainkan tatapan yang ia lemparkan pada Leah.Tajam.Penuh dendam yang ditahan.Terlihat belum jera meskipun telah ditodongkan pistol oleh ValescoTatapan Nola bukan milik pelayan yang merasa bersalah. Itu adalah sorot mata seseorang yang merasa kalah tapi belum menyerah. Sorot mata seseorang yang percaya dirinya lebih layak, lebih tahu, dan… lebih mencintai. Namun sa