Udara di pelabuhan Cleveland malam itu terasa berat. Dingin yang menusuk datang dari perairan luas di belakang kompleks terminal kargo, bercampur bau logam, solar, dan debu garam yang menempel di udara. Lampu-lampu sodium di sepanjang dermaga memantulkan warna oranye redup di permukaan air, membuat bayangan peti-peti besi tampak seperti siluet monster raksasa yang berbaris di bawah langit kelabu.
Sebuah SUV hitam berhenti di sisi dermaga 17—area yang secara resmi digunakan untuk pengiriman alat berat. Tapi malam ini, di bawah bendera legalitas perusahaan logistik “LES International Shipping”, aktivitas yang berlangsung jauh dari kata bersih.
Dari dalam SUV, pintu terbuka perlahan. Sepasang sepatu kulit menginjak tanah lembab.
Alesco keluar tanpa suara.Kemeja hitamnya terbalut mantel panjang hingga lutut, kerahnya tegak menahan angin malam. Sorot matanya menatap lurus ke arah tumpukan kontainer yang tertata rapi, tapi hanya ia dan beberapa
Rumah mereka di pinggiran kota Columbus masih terang saat mobil Alesco berhenti di depan gerbang.Jam menunjukkan pukul 01.16 dini hari ketika penjaga membukakan gerbang secara otomatis dan menunduk hormat padanya.Alesco masuk pelan, menutup pintu tanpa suara. Di ruang tamu, lampu gantung masih menyala lembut. Leah tertidur di sofa, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Buku terbuka di dadanya, rambutnya berantakan.Pemandangan yang bagi kebanyakan orang sederhana tapi bagi Alesco, itu seperti pisau tajam yang menusuk pelan.Ia berjalan mendekat, menatap wajah istrinya dari jarak dekat. Ada noda kecil di kemejanya, bukan darah, tapi debu logam halus yang berkilat samar. Ia berusaha menyibakkannya sebelum Leah terbangun, tapi terlambat.“...Ale?” suara lembut itu terdengar.Leah membuka mata perlahan, matanya setengah sayu.“Kau baru pulang?”“Ya,” jawabnya cepat. “Ada urusan di pelabuhan.
Udara di pelabuhan Cleveland malam itu terasa berat. Dingin yang menusuk datang dari perairan luas di belakang kompleks terminal kargo, bercampur bau logam, solar, dan debu garam yang menempel di udara. Lampu-lampu sodium di sepanjang dermaga memantulkan warna oranye redup di permukaan air, membuat bayangan peti-peti besi tampak seperti siluet monster raksasa yang berbaris di bawah langit kelabu.Sebuah SUV hitam berhenti di sisi dermaga 17—area yang secara resmi digunakan untuk pengiriman alat berat. Tapi malam ini, di bawah bendera legalitas perusahaan logistik “LES International Shipping”, aktivitas yang berlangsung jauh dari kata bersih.Dari dalam SUV, pintu terbuka perlahan. Sepasang sepatu kulit menginjak tanah lembab.Alesco keluar tanpa suara.Kemeja hitamnya terbalut mantel panjang hingga lutut, kerahnya tegak menahan angin malam. Sorot matanya menatap lurus ke arah tumpukan kontainer yang tertata rapi, tapi hanya ia dan beberapa
Leah baru saja meninggalkan kamar dengan langkah pelan, membawa piring kue dan gelas jus yang sempat ia tawarkan sebelumnya. Pintu tertutup lembut di belakangnya, meninggalkan Althea dan Valeriah berdua di ruangan yang kini terasa terlalu sunyi.Althea menarik napas kecil, menatap sekeliling kamar yang begitu berbeda dari bayangannya tentang kamar anak lima tahun. Meja panjang di sisi jendela penuh dengan kuas, cat air, dan kertas tebal. Lampu sorot kecil diarahkan tepat ke kanvas, membuat ruangan itu lebih menyerupai studio seniman ketimbang kamar anak-anak.“Valeriah” panggil Althea pelan, mencoba memulai percakapan. “Lukisanmu … cantik sekali. Tante jarang lihat anak seusiamu bisa menggambar dengan detail seperti itu.”Valeriah tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar kuasnya di tangan, lalu menatap cat air yang mulai mengering di paletnya. “Tante bilang cantik, tapi tadi tatapan tante seperti tidak suka” ucapnya tenang, tanpa menatap Althea.Althea terdiam sesaat, tidak menyangka
Suara bel terdengar dua kali sebelum Leah sempat menurunkan piring dari meja makan. Ia buru-buru menyeka tangannya dengan serbet, lalu melangkah ke pintu utama. Udara sore di Ohio terasa sejuk ketika daun pintu terbuka dan di sana berdiri sosok yang membuat Leah sempat terdiam beberapa detik.“Althea?” gumamnya pelan.Wanita itu tersenyum lembut, tapi ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya hari ini. Althea tidak lagi mengenakan jas putih dan kacamata tipis seperti saat di klinik.Rambut hitam pendeknya kali ini ditata rapi ke samping, sedikit bergelombang di ujung, dan bibirnya berwarna merah pekat, kontras mencolok di kulit pucatnya. Blazer krem yang pas di tubuhnya dipadukan dengan blus satin berpotongan rendah, membuat tampilannya jauh lebih feminin, hampir… menggoda.“Semoga aku tidak datang terlalu cepat,” ucap Althea sambil tersenyum ramah, seolah tak menyadari tatapan Leah yang masih sempat menilai dari ujung ram
Beberapa hari kemudian, Leah duduk di ruangan dengan aroma lavender yang lembut.Dindingnya berwarna krem muda, dan di hadapannya duduk seorang wanita berambut hitam pendek, mengenakan kacamata tipis. Dr. Althea, psikiater anak yang juga rekan sejawatnya“Lama tidak bertemu” Sapa Althea“Ya, lama tidak bertemu. Ini putriku, Valeriah” ucap Leah lembut, menatap anaknya yang kini duduk di kursi kecil di sampingnya.Nada suaranya berubah lembut saat menatap anak kecil di sampingnya.Dr. Althea mencondongkan tubuh sedikit, tersenyum hangat. “Hai, Valeriah. Namamu cantik sekali.” Suaranya lembut, tapi penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang tahu setiap kata bisa ditangkap dengan cara yang berbeda oleh anak seusia itu.Namun Valeriah hanya menatapnya tanpa menjawab.Tatapan bening itu tajam dan dalam, bukan seperti anak lima tahun yang pemalu, melainkan seperti seseorang yang sedang menilai apakah orang
“Kembalikan pada Tuhan”Leah membeku sesaat. Kata-kata polos itu keluar begitu saja dari bibir kecil putrinya, tapi bunyinya menampar lebih keras daripada apa pun. Matanya membesar, napasnya tercekat.“Ria…” ucapnya pelan, hampir berbisik. “Sayang, kenapa kamu bilang begitu?”Valeriah menunduk, jemarinya yang kecil masih menempel di perut Leah, seolah tak ingin kehilangan sesuatu yang ia sendiri belum mengerti. “Soalnya kalau adik bikin Mama sakit, Ria enggak mau Mama kenapa-kenapa…” suaranya bergetar, hampir pecah. “Ria lebih pilih Mama aja daripada adik.”Leah merasakan tenggorokannya mengencang. Air mata naik begitu cepat hingga matanya memanas. Ia segera berlutut, menyamakan tinggi dengan putrinya, lalu menggenggam kedua bahu kecil itu dengan lembut.“Dengar, Sayang,” ucap Leah dengan suara yang pelan tapi tegas. “Adik enggak akan ambil Mama dari kamu. E