“Winny, tolong buatkan bubur dan antarkan ke kamar ya sekalian sama minumnya.. Suamiku demam” Pinta Leah pada Winny
“Baik Nyonya”
Leah kembali ke kamar setelah mengatakan itu pada Winny. Di kamar, Valesco sedang diperiksa oleh Gorge, dokter pribadi keluarga Arden.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Leah pelan, menutup pintu perlahan di belakangnya.
Gorge menoleh sekilas sebelum kembali menatap layar termometer digital yang baru saja ia tarik dari sela nadi Valesco. Pria itu terbaring diam di ranjang, napasnya berat dan kulitnya sedikit pucat, meski dahi dan lehernya tampak basah oleh keringat dingin.
“Demam tinggi. 39,4°C” jawab Gorge dengan nada datar profesional. “Kemungkinan besar kelelahan mental memicu kondisi fisiknya. Sistem imun melemah. Ia juga kekurangan istirahat yang berkualitas.”
Valesco tidak menatapnya. Tatapan pria itu justru tertuju ke arah Leah, menelusuri langkahny
Tubuh Leah gemetar. Tangan yang tadi menahan bathrobe perlahan terkulai, jatuh ke lantai. Dan sebelum ia benar-benar bisa berpikir jernih, satu tangan Valesco sudah melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bersentuhan penuh.“Valesco…” bisik Leah di sela napas yang nyaris terputus. “Kau… sedang kalut.”Mata Valesco semakin sayu. Ketika matanya turun menatap bibir Leah, Leah langsung menutup mulut pria itu dengan tangannya“Sudah cukup, Ale. Ayo kembali ke tempat tidur” Leah mundur, menarik tangan Valesco dalam genggamannyaValesco membiarkan Leah menuntunnya, seperti anak kecil yang kehilangan arah. Dan ketika mereka berdua kembali ke kamar, Leah membaringkan Valesco perlahan, lalu menyelimuti tubuhnya lagi. Ia ikut naik ke ranjang, duduk bersandar sambil mengusap rambut lembab Valesco dan memandangi wajah pria yang kini memejamkan mata dalam diam.Leah tak berkata apa-apa.
Valesco menatap Leah yang sedang menyeka tubuhnya dengan handuk hangat. Gerakan Leah pelan dan teratur, namun ada sesuatu yang tidak biasa dalam caranya menyentuh.Tidak selembut biasanya.Tidak setenang sebelumnya.Bukan sentuhan yang kasar… tapi ada tembok tipis yang menghalangi keintiman yang sebelumnya terasa alami.Sejak tadi, Leah nampak berbeda.Dia hanya menjawab jika Valesco bertanya, itu pun dengan nada datar, singkat, tanpa usaha menambah percakapan. Setelahnya, ia memilih diam. Tidak ada lirikan penuh perhatian. Tidak ada senyum kecil yang biasa muncul saat mereka bertukar pandang.Hanya keheningan yang ganjil. Terlalu tenang, hingga terasa dingin.Valesco merasa seperti sedang dirawat oleh perawat profesional, bukan istrinya sendiri. Ada jarak di antara mereka. Tidak kasat mata, tapi tajam. Dan makin terasa dengan setiap detik yang lewat.“Leah” panggilnya pelan.“Hm?” Jawab Le
“Bisa kau keluar sebentar Leah?”Leah tak langsung bergerak. Kata-kata Valesco menggantung di udara seperti debu yang lambat-lambat jatuh, membekas di dada. Ia menatap wajah suaminya yang masih pucat, masih berat menahan kesadarannya. Tapi justru karena itu… Leah tak bisa memahami.Leah mendengar dengan jelasBukan permohonan yang lembut. Bukan pula suara kepercayaan yang utuh.Itu adalah batas yang ia sendiri tak tahu datang dari ketidaknyamanan… atau dari pilihan.Sementara Alisa, berdiri diam. Tak berkata apa-apa, tapi tatapannya jelas menyiratkan satu hal yaitu kemenangan. Kecil, sunyi, tapi sangat menusuk.Bukankah ini kamar mereka? Tempat tidur mereka? Rumah yang kini menjadi milik Leah juga? Dan kini, di ruangan yang harusnya menjadi privasi mereka, Leah diminta pergi, sementara seorang wanita yang hanya ‘teman’ suaminya tinggal?Itu bukan hanya menyakitkan. Itu… tidak etis.
Leah masuk ke dalam rumah sambil membawa buku catatannya yang masih hangat oleh pikiran-pikiran yang belum sempat ia uraikan seluruhnya.Langkahnya tenang, teratur, tapi pikirannya masih terpaku pada tiap kalimat yang ia tulis barusan tentang sisi Valesco yang hangat, manja, namun tetap… tidak dapat diprediksi. Begitu ia melewati lorong menuju tangga, matanya bertemu dengan seseorang di ujung lorong: Nola.Gadis itu berdiri kaku di dekat ruang tengah, mengenakan seragam bersih, tangan terlipat di depan perutnya. Tapi yang paling mencolok bukan sikap formalnya—melainkan tatapan yang ia lemparkan pada Leah.Tajam.Penuh dendam yang ditahan.Terlihat belum jera meskipun telah ditodongkan pistol oleh ValescoTatapan Nola bukan milik pelayan yang merasa bersalah. Itu adalah sorot mata seseorang yang merasa kalah tapi belum menyerah. Sorot mata seseorang yang percaya dirinya lebih layak, lebih tahu, dan… lebih mencintai. Namun sa
“Ale...” Gumam Leah“Hm” Jawab Valesco dengan gumaman dingin bercampur kesal“Ini...” Leah menjeda, matanya menatap Valesco dengan bergetar sedangkan tangannya menujuk pada pangkal pada Valesco “Kenapa jadi bengkak begini?” Tanya Leah kakuValesco mengangkat sebelah alis, ekspresinya berubah seketika. Dari wajah murung dan defensif menjadi licik dan penuh godaan. Napasnya masih berat karena demam yang bercampur gairah, tapi senyum tipis mulai menghiasi bibirnya, seperti seekor serigala yang baru saja mencium aroma peluang.“Oh?” gumamnya pelan, lalu menunduk menatap bagian yang dimaksud Leah, bagian yang kini nyaris membuat selimut tipis pun tampak tidak cukup menutupinya. “Kau baru sadar sekarang?” tanyanya malas, hampir seperti mendengus.Leah memalingkan wajah cepat, rona merah menyapu pipinya meski ia berusaha tetap tenang.Valesco tertawa pendek. “Kau yang buk
”Keluarlah” ucap Leah dengan suara tenangnyaNola bangkit dengan langkah tergesa, nyaris tersandung kakinya sendiri saat mencoba berdiri. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap Leah atau Valesco.Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya, hanya deru napas tak teratur dan wajah yang pucat pasi. Ketika ia melewati Leah di ambang pintu, tubuhnya sedikit bergetar, entah karena takut atau malu, air matanya mulai mengalir tanpa suara.Leah tak menoleh. Matanya masih tertuju pada Valesco, yang kini bersandar manja padanya, seperti anak kecil yang menuntut perhatian penuh.Sudah lima menit sejak kepergian Nola dari kamar mereka. Hening menggantung di antara Leah dan Valesco. Pelukan pria itu belum juga mengendur; lengannya masih melingkari tubuh Leah dari belakang, hangat dan berat, seolah tak berniat melepasnya.Leah tidak membalas pelukan itu. Pandangannya tetap terpaku pada satu titik—laci nakas di sisi ranjang. Laci tempat Valesco t