Share

Bab 4 Bukan hakmu

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-07-01 15:05:57

Malam turun sepenuhnya di luar jendela besar rumah Arden. Hujan rintik mulai mengguyur kaca, menorehkan suara halus yang mengisi kesunyian rumah megah itu. Jam sudah menunjukkan pukul 00.37. Rumah sepi. Pelayan sudah kembali ke paviliun kecil di sisi timur bangunan. Hanya lampu-lampu lantai dua yang masih menyala—termasuk di kamar kerja Valesco Arden.

Pria itu duduk di kursinya, tubuh membungkuk dengan tangan menggenggam erat sisi meja. Matanya sembab, tapi tak ada air mata yang mengalir. Di depannya, sebotol kecil obat antipsikotik dan segelas air putih. Tangannya sedikit gemetar ketika membuka tutup botol, lalu menjatuhkan dua tablet ke telapak tangannya yang pucat yang terbalut oleh perban.

“Dokter bilang cukup satu” gumamnya. “Tapi kadang... satu saja tidak cukup untuk menghentikan suara-suara ini.”

Tanpa pikir panjang, ia menelan keduanya.

Obat itu memang dirancang untuk menekan impuls, menurunkan aktivitas berlebih di saraf-saraf tertentu. Tapi dosis yang salah... bisa memicu efek sebaliknya.

Beberapa menit berlalu setelah tablet-tablet itu melewati tenggorokannya. Valesco bersandar, menutup mata, mencoba mengatur napas yang terasa berat dan kacau. Tapi pikirannya justru semakin ramai. Suara-suara yang biasanya datang sebagai bisikan mulai membentuk kalimat. Kalimat yang tak ia kendalikan.

"Kau gagal lagi."

"Dia akan pergi. Seperti yang lain."

"Luka-luka itu bukan karena orang lain. Tapi karena kau sendiri."

Valesco menggenggam sisi kursi dengan lebih keras, rahangnya mengatup, napasnya menjadi tak teratur. Tubuhnya mulai berkeringat dingin, meski ruangan tidak panas. Cahaya lampu di ruang kerja terasa menyilaukan. Lantai seolah bergeser. Dinding seolah bernapas.

Salah satu efek samping dari antipsikotik yang tidak sesuai dosis adalah disforia akut—keadaan ketika kecemasan, delusi ringan, dan derealisasi bertabrakan menjadi satu.

Dan malam ini, tubuh Valesco tak cukup kuat untuk menahannya sendiri.

Sementara itu, di kamar pengantin yang sepertinya takkan pernah digunakan sebagai ruang cinta, Leah terlelap dalam posisi duduk bersandar di kepala ranjang. Piyamanya masih rapi. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tinta pulpen sempat membekas miring sebelum akhirnya terhenti—menandakan ia tertidur di tengah-tengah kalimat.

Kalimat yang bertuliskan kondisi mental suaminya sendiri.

***    ***

Keesokan paginya, suasana rumah mewah itu seolah tak pernah terjadi apa-apa. Valesco duduk di ruang makan, jasnya rapi, dasi sempurna, seperti biasa. Di hadapannya terhidang sarapan lengkap: roti panggang, telur rebus, dan secangkir kopi hitam pekat tanpa gula.

Leah masuk perlahan. Mata mereka bertemu sesaat. Tapi tidak ada sapaan.

Tak ada pengakuan atas insiden semalam. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan.

Hanya... dingin.

Dingin yang lebih menusuk dari malam kemarin.

“Selamat pagi” ucap Leah pelan, mencoba memecah kebekuan.

Valesco tidak menoleh. “Kau datang terlambat.”

Leah menelan ludah. “Aku terlalu nyaman tidur dikasur empuk dan aku tidak tahu kita punya jadwal bersama”

“Kau tinggal di rumah ini sekarang. Maka semua bergerak sesuai waktuku.” Nada itu. Nada otoriter yang membuat udara terasa berat. Tapi Leah tidak melawan. Ia menarik kursi di seberangnya dan duduk diam.

“Baiklah, akan kulakukan sesuai keinginanmu”

Beberapa detik berlalu. Hanya suara sendok yang menyentuh piring, dan detak jam di dinding.

Leah memandang punggung tangan Valesco yang dibalut perban

“Apa kau sering... mimpi buruk?” tanyanya pelan.

Valesco berhenti mengaduk kopinya. Tatapannya tetap tertuju ke cangkir. “Itu bukan urusanmu.”

“Aku bertanya untuk memastikan kualitas tidurmu” Jawab Leah

“Berisik”

“Tapi aku tinggal di sini dan istrimu juga...”

“Itu hanya karena aku membelimu. Jangan salah artikan posisimu. Aku tak butuh istri selain untuk terlihat normal didepan para orang tua itu”

Kata-kata itu menusuk. Tapi Leah tersenyum tipis, seperti biasa. Ia belajar membaca Valesco bukan dari kata-katanya—tapi dari apa yang tidak ia ucapkan.

“Lalu kenapa semalam kau marah?” tanyanya tenang. “Apa aku juga tak boleh menanyakan itu?”

Valesco mendongak pelan. Mata hitamnya menatap Leah lekat, tajam, namun ada sedikit getaran yang tak bisa ia sembunyikan. “Privasiku bukan hakmu” jawabnya

Leah masih menatapnya. “Privasi… baiklah” gumamnya lemah

Keheningan kembali turun seperti kabut pagi yang dingin. Leah menunduk, memandangi jemarinya sendiri di atas meja. Ia tidak sedang mencoba menantangnya. Ia hanya ingin memahami—atau setidaknya, diizinkan untuk mencoba.

“Aku tak bermaksud membuatmu marah” ucapnya akhirnya. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku hanya… takut. Ketika kau diam, ketika kau menutup diri seperti itu, aku merasa seperti—”

“Seperti apa?” potong Valesco cepat. Suaranya pelan tapi tajam, seperti pisau baru diasah.

“Seperti aku tak berguna” jawab Leah lirih. “Aku tahu jika hakku untuk bicara tak lagi berguna dan aku juga tak punya pilihan. Kau membeliku dan secara kasar aku menjadi pelayanmu meskipun memiliki status sebagai istri”

Valesco menatapnya lama, diam. Matanya yang kelabu itu seolah menimbang setiap kata yang baru saja diucapkan Leah, menimbang beratnya kebenaran yang tersirat di balik suara lembut itu. Ada sesuatu yang berputar di dalam matanya—bukan kemarahan, bukan juga kebencian, tapi sesuatu yang lebih rumit, seperti bekas luka lama yang tak kunjung sembuh, tersembunyi di bawah lapisan dingin yang selalu ia pakai.

Leah wanita cerdas. Persis seperti data yang ia dapatkan sebelumnya, persis seperti yang selama ini ia pelajari dari melihatnya. “Kau tak seharusnya membandingkan masa lalumu denganku” katanya pelan. “Aku… rusak dengan cara yang berbeda.”

“Tapi rusak tidak berarti tak bisa diperbaiki” bisik Leah.

Valesco berdiri mendadak, kursi bergeser sedikit kasar di lantai marmer. Ia menatap Leah sejenak—sangat lama, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata. “A-aku berangkat kerja” Pamitnya canggung lalu ia berjalan meninggalkan meja makan.

Leah tidak mengikutinya.

Ia hanya duduk di sana, menggenggam cangkir hangat yang tak sempat disentuh. Dingin di ruangan itu masih bertahan, tapi kini, ada sesuatu yang lain pula: retakan kecil. Pada pagi yang beku itu, ia menyadari bahwa meski tak disambut, kehadirannya sudah mulai memberi bekas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 67 Love to hate me

    “Aku minta maaf” Ucap LeahValesco tertarik, matanya menyipit, menatap Leah seolah kata-kata itu terlalu murah untuk diucapkan sekarang.“Maaf?” gumamnya pelan, nyaris seperti ejekan. Ia mendongak sedikit, mengamati wajah Leah yang berdiri tenang “Untuk apa kau minta maaf Leah?”“Karena tidak peka dengan keinginanmu” Jawab LeahValesco menyeringai jahat. Daripada melakukan apa yang ia pikirkan, lebih baik Valesco mengalihkannya dengan meminum alkohol.Mungkin, hanya mungkin...Setelah semua ini, Valesco takkan terluka dengan penolakan Leah atau bahkan sikap tenang Leah“Tidurlah duluan, aku akan menyusul” ucap ValescoLeah tak langsung bergerak. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Valesco yang kini tampak sangat jauh. Kata-kata pria itu terdengar tenang, terlalu tenang. Tapi Leah tahu, itu bukan ketenangan yang sebenarnya. Itu adalah diam yang berisi badai.

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 66 His Hope

    Mobil itu membawa mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap, melewati hiruk-pikuk jalanan pagi yang mulai padat. Di dalam kendaraan yang hangat dan senyap itu, Valesco tertidur sambil memeluk Leah, tubuhnya sedikit meringkuk seperti seseorang yang baru saja selamat dari serangan badai.Wajahnya tampak damai dalam tidur, tapi masih ada sisa-sisa kelelahan di sekitar matanya. Nafasnya berat, tapi stabil. Tangannya tetap melingkari tubuh Leah, seolah alam bawah sadarnya pun menolak untuk melepaskannya.Leah memandangi wajah pria itu lama, menelusuri garis rahangnya, kelopak matanya yang tertutup, dan dahi yang terkadang berkerut sedikit seolah masih menyimpan mimpi buruk yang belum selesai.Sopir mereka sempat melirik lewat kaca spion dalam, ragu-ragu.“Signora, kita sudah sampai” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, seolah enggan mengganggu keheningan di antara mereka.Leah menoleh pelan, mengangguk kecil sambil menaruh telunjuk di

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 65 Keraguannya

    Valesco dan Leah berjalan menyusuri lorong panjang dengan langkah tanpa suara. Tak satu pun dari mereka berbicara. Hening yang menggantung di antara keduanya bukan karena permusuhan, tapi karena beban yang terlalu berat untuk dijelaskan dengan kata.Lift terbuka tanpa suara. Valesco menekan tombol L untuk Lobby dan mereka berdiri berdampingan di dalam kotak logam yang dingin dan hampa, dengan pantulan wajah mereka saling berseberangan di kaca.Leah menatap ke depan. Tidak menoleh. Tidak bicara. Sementara Valesco mencuri pandang padanya, beberapa kali, seperti seorang pria yang sedang menyusun kalimat pengakuan, tapi tercekik oleh rasa takut dan malu yang terlalu dalam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak setelah apa yang Leah lihat. Dan lebih-lebih lagi, setelah apa yang Leah katakan.Lift meluncur turun, melewati lantai demi lantai.Lalu...Ding.Pintu terbuka di Lobby.Cahaya terang menyambut mereka, disertai kesibukan di antara

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 64 The Fragile Cure

    Sebelum kejadian...Leah duduk di ujung sofa panjang di ruang pribadi Valesco. Kedua kakinya disilangkan, tangannya menopang dagu. Awalnya ia mencoba membaca buku yang tadi sempat ia temukan di rak kecil dekat jendela, tapi bahkan halaman keempat tak sanggup mengalihkan pikirannya dari detak waktu yang terasa begitu lambat.Ia menengok ke jam dinding. Hampir dua jam sejak Valesco meninggalkannya untuk rapat."Astaga..." desahnya pelan, lalu berdiri dan mulai mondar-mandir di ruangan.Awalnya ia berpikir menunggu adalah hal paling sederhana untuk dilakukan. Ia terbiasa menunggu. Tapi tidak di gedung asing setinggi ini, sendirian, dengan perasaan tak menentu yang perlahan mulai menggrogoti tenangnya.Leah membuka pintu. Memandangi lorong kosong di depan kamar itu. Lalu memutuskan melangkah keluar. Hanya untuk berjalan-jalan sebentar, katanya dalam hati. Mungkin mencari mesin kopi atau... udara.Lift berhenti di lantai 42 dengan suara denting p

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 63 Breaking

    Tak butuh waktu lama untuk lift terbuka di lantai empat puluh dua. Seorang pria dengan rambut gelap yang disisir ke belakang sudah berdiri menunggu. Setelan abu-abu gelapnya rapi, dan ekspresinya penuh kehati-hatian namun bersahabat.“Julian” Valesco mengangguk singkat.“Valesco” sapanya dengan nada pelan tapi akrab. “Kukira ayahmu yang datang”Valesco tersenyum miring, singkat, hampir seperti tidak sungguhan. “Kau tahu dia tidak pernah muncul kalau situasinya sudah bisa dibakar dari belakang layar.”Julian mendesah, lalu melirik tangan kiri Valesco yang diperban “Apa kali ini dia berulah lagi?”“Bukan. Bukan dia. Tapi sudah berapa lama kau ditugaskan disini?” Tanya Valesco“Dua minggu” Julian menjawab sambil berjalan beriringan dengannya. “Aku pindah dari Ohio sesuai perintah dewan. Kantor cabang sini... tidak semulus yang kita kira. Jadi mereka ingin

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 62 With her

    Langit Roma pagi itu abu-abu, tapi hangat. Mobil hitam mengilap dengan plat diplomatik berhenti tepat di depan gedung pencakar langit kaca yang menjulang tajam ke langit seperti pisau. Di bagian atasnya, tersemat satu nama dalam huruf kapital:ARDEN CONSORTIUM.Leah menatapnya dari balik kaca jendela, tanpa sadar menggenggam tangan Valesco yang dingin. Pria itu duduk di sebelahnya, mengenakan setelan jas hitam yang terlalu pas di tubuh tegapnya. Dasi merah marun terikat rapi di lehernya. Rambutnya disisir ke belakang. Kacamata hitam menutupi matanya yang pagi tadi penuh rasa kalut dan tangis.Siang ini... pria itu bukan Valesco yang ia kenal.“Kenapa aku harus ikut?” tanya Leah pelanValesco tidak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil, lalu menoleh sedikit ke arahnya. “Masih bertanya? Kau ingin mengulang kejadian pagi tadi?” Nada suaranya datar, tapi bukan dingin. Lebih seperti... lelah menyembunyikan diri.Leah m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status