“Lancang!” Mata kelabu Valesco itu menatap Leah nyalang
Dia terengah. Tangannya masih menggantung di udara, seolah dia sendiri kaget dengan apa yang baru saja ia lakukan. Matanya membelalak. Napasnya memburu, dan tubuhnya sedikit gemetar.
Valesco pikir Leah akan marah padanya karena menamparnya
Valesco pikir Leah akan membencinya atau bahkan menangis
Namun Leah justru mengulas senyum tipis sambil mengusap pipinya sendiri
“Maafkan aku, aku memang lancang” gumam Leah pelan, matanya menatapnya tak mengerti.
Valesco mengangkat kedua tangannya, lalu memukul keras-keras kepalanya sendiri. Sekali. Dua kali. Napasnya makin tak beraturan.
“Aku bilang jangan dekati aku sialan!” desisnya lirih, seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. “Kenapa kau diam saja? Kenapa kau... membuatku merasa seperti ini, hah?! Kenapa kau membuatku merasa bersalah?!!”
Leah menahan nafasnya. Matanya terpejam berusaha mentralkan emosinya. Dia tak boleh membawa emosi dalam melakukan tugasnya, emosi dalam bentuk apapun itu. Baik kemarahan, kasihan atau bahkan perasaan cinta.
Valesco tertawa pendek. Tertawa getir. “Kau pikir aku bisa mengendalikan ini? Tidak Leah. Aku tidak bisa! Kau pikir ini romantis? Aku hampir—” ia menunduk, menekan pelipisnya sendiri. “Aku hampir mencium seseorang hanya karena dia bilang dia tidak melihat luka sialan itu…”
Matanya kini berkaca-kaca. Tapi ia cepat membalikkan badan, seolah tak ingin siapapun melihat sisi rapuh itu.
Brak!
Pintu ditutup dengan keras, suara dentumannya menggema hingga ke rongga dada Leah, membuat jantungnya berdegup tak beraturan.
Hening.
Leah berdiri mematung, lampu gantung di atasnya terus berkilau dingin seperti tidak peduli. Bekas tamparan di pipinya masih terasa panas, tapi bukan itu yang menyakitkan.
Yang menyakitkan adalah cara Valesco menutup dirinya. Seperti pintu besi berkarat yang tak ingin disentuh siapa pun.
“Kondisimu lebih parah dari yang kupikirkan Valesco Arden” Gumam Leah
Leah duduk lama dalam diam, hanya denting jam dinding yang menemani, detik demi detik yang terasa menekan dadanya perlahan. Ia menggigit bibir bawahnya—sebuah kebiasaan lama ketika emosi terlalu rapat untuk diluapkan. Tapi air mata tidak turun. Tidak malam ini. Dia sudah terlalu terbiasa menampung luka dalam diam.
Setelah helaan napas panjang, Leah melepas gaun pengantinnya. Gaun itu ia gantung rapi di sisi lemari, lalu membuka pintu walk-in closet. Cahaya lampu menyala otomatis, menyinari deretan pakaian yang kini terasa seperti milik orang lain. Bukan miliknya. Bukan juga milik mereka.
Tangannya mengambil piyama berwarna biru pucat—lembut, polos, tanpa renda atau motif. Ia menyukai yang sederhana, sesuatu yang tidak membuatnya merasa sedang bersandiwara. Sesuatu yang bisa mengingatkan bahwa ia tetap manusia meski hidup di dalam drama orang lain.
Setelah mengganti baju, Leah berdiri sejenak di depan cermin besar. Menatap bayangan dirinya—wajah yang tampak tenang, tapi tatapannya menyimpan badai. Lalu ia berbalik, meninggalkan ruangan, keluar kamar, dan menyusuri koridor sepi menuju ruang kerja Valesco.
“Permisi” bisiknya pada salah satu pelayan yang sedang merapikan taplak meja kecil. “Valesco dimana?”
“Ada diruang kerja beliau, Nyonya”
Leah mengangguk “Dimana ruang kerjanya?” Tanya Leah
“Ruang paling ujung dilorong ini. . Tapi… beliau tidak ingin diganggu”
“Tak apa, aku juga tak ingin mengganggunya” Leah menunduk sopan, namun tetap melangkah menuju pintu berukir kayu gelap itu. Pintu tidak tertutup rapat. Sedikit terbuka. Dan dari celah itu, Leah sempat melihatnya.
Seorang wanita—tidak dikenal, berdiri terlalu dekat dengan Valesco. Lengan wanita itu melingkari tubuh pria itu. Valesco tidak balas memeluk, tapi juga tidak menolak. Ia hanya berdiri mematung dengan napas yang terengah.
Valesco menoleh tiba-tiba—ia tahu Leah melihatnya.
Untuk sesaat, hanya keheningan yang mengikat ketiganya dalam udara yang menggumpal tegang. Mata kelabu Valesco menatap Leah tanpa emosi. Tidak ada rasa bersalah, tidak juga penjelasan. Hanya tatapan datar, dingin seperti baja yang baru diasah.
Langkahnya perlahan saat ia keluar dari ruang kerja. Menutup pintu perlahan di belakangnya, membatasi wanita itu dari pandangan Leah. Tapi tidak cukup cepat untuk menghapus senyum menyindir wanita itu.
Leah berdiri tegak. Tidak bergerak. Tidak berkata sepatah kata pun sampai Valesco berdiri hanya beberapa langkah darinya. Barulah ia membuka suara
“Siapa dia?”
Valesco menarik napas pelan, matanya tetap tenang, bahkan kosong. “Temanku” jawabnya. “Namanya Alisa.”
Seolah itu cukup.
Namun sebelum Leah bisa bertanya lebih jauh, pintu di belakang Valesco kembali terbuka.
Alisa keluar. Wanita itu berdiri dengan angkuh, tubuhnya bersandar ringan di kusen pintu, mengenakan blus satin mahal yang terbuka sedikit di dada, rambut hitam panjangnya tertata rapi seperti tak tersentuh waktu.
Tatapannya menyapu Leah dari atas ke bawah. Lalu tersenyum—bukan senyum ramah, tapi senyum milik seseorang yang tahu dirinya merasa unggul.
“Karena kau sudah lebih tenang, bisa aku pergi sekarang?” Tanya Alisa
Valesco tidak menjawab. Matanya menutup sesaat, rahangnya mengencang.
Leah menatap balik, matanya jernih, tajam. Tidak tersulut. Tapi dalamnya seperti air yang bisa menenggelamkan.
“Aku tidak tahu, ternyata seorang teman boleh memeluk pria yang baru saja menikah di hari yang sama” ucap Leah pelan, kalimatnya sederhana namun penuh api tersembunyi.
Alisa tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Sayang, kalau kau tahu sejarah kami, kau pasti tidak akan setenang ini” bisiknya.
Leah tidak bergerak. Tak perlu.
“Dan kalau kau tahu luka-luka yang dia tutupi, mungkin kau tidak akan kuat satu minggu bersama dia” lanjut Alisa, kini setengah mengejek, setengah memperingatkan.
Valesco menepis lengan Alisa yang sempat menyentuh bahunya. “Cukup, Alisa. Pergilah”
“Tentu” jawab wanita itu, mengangkat tangan seperti menyerah. Tapi sebelum pergi, ia menatap Leah satu kali lagi. “Good luck, Mrs. Arden. Kau akan membutuhkannya.”
Setelah itu, Alisa berjalan pergi dengan langkah anggun dan penuh percaya diri.
Pintu koridor menutup kembali.
Leah dan Valesco berdiri saling diam. Beberapa detik yang terasa seperti seabad.
“Kalau kau tak ingin aku ikut campur... katakan dari awal” kata Leah. Nadanya tenang. Tapi matanya... kosong.
Valesco memijit batang hidungnya, seperti seseorang yang kelelahan menahan pikiran sendiri. “Kepala pelayan yang memanggilnya” katanya akhirnya. “Aku tak tahu dia datang”
Leah memperhatikan ekspresi Valesco lalu beralih pada telapak tangannya yang diperban. Perban baru karena tadi Valesco belum memilikinya “Kau terluka?” tanya Leah
Valesco menunduk sesaat, menatap tangannya sendiri seperti baru menyadari adanya perban putih yang membalut. Jemarinya sedikit bergetar saat ia menjawab “Aku memukul kaca jendela…”
Nada suaranya pelan. Datar. Tapi Leah bisa membaca yang tak diucapkan—kemarahan yang tak terarah, rasa bersalah yang ia telan dalam diam, dan kebingungan yang terlalu rapat untuk dipisahkan satu per satu.
Mata Leah masuk kedalam ruang kerja. Kini Leah sadar jika ruangan itu sangat berantakan. Kursi terbalik, beberapa kertas berserakan di lantai, vas bunga pecah di sudut ruangan, dan tirai yang menggantung setengah lepas seperti sempat ditarik dengan kasar. Bukan hanya kaca jendela yang jadi korban. Seluruh ruangan memancarkan aroma amarah yang baru saja reda, namun belum benar-benar hilang.
Leah tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak bertanya soal Alisa, atau tentang apa yang membuat Valesco begitu meledak-ledak. Ia tahu—kadang pertanyaan hanya akan memaksa luka membuka sebelum waktunya. Dan ia bukan datang malam ini untuk menjadi hakim atas kekacauan yang belum selesai dibersihkan.
Beberapa detik sunyi, lalu Leah bertanya—suara pelannya tenang, tapi tak berarti kosong.
“Jadi... apakah kita akan menjalani malam pertama kita seperti pasangan pengantin lainnya, atau tidak?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Tak menuduh. Tak menantang. Hanya sebuah kejujuran sederhana dari seseorang yang lelah menebak arah hubungan mereka. Nada Leah tidak menggoda. Tidak pula penuh harapan. Hanya datar—nyaris seperti pertanyaan logistik: tidur di mana, dengan siapa, dan untuk apa.
Valesco terdiam. Rahangnya mengencang sesaat, lalu mengendur. Matanya menatap Leah sejenak, lalu berpaling, seperti takut kalau tatapan itu bisa mengungkap sesuatu yang belum siap ia buka.
Leah berjalan pelan menyusuri koridor panjang yang dipenuhi cahaya matahari yang cukup terik, pantulan kaca jendela besar di sisi kiri rumah menyilaukan matanya sesekali. Langkahnya lambat, tidak karena lelah, tapi karena ia tak tahu harus melangkah ke mana. Rumah itu terlalu besar. Terlalu sunyi. Dan semuanya... terlalu sempurna.Dinding marmernya berkilau tanpa cela. Karpetnya tertata presisi tanpa satu helai pun tergeser. Vas-vas kristal di sudut-sudut ruangan memamerkan bunga yang seragam dan segar, seperti diganti setiap beberapa jam. Bahkan aroma di udara pun teratur. Wangi lavender lembut bercampur sandalwood, tidak pernah terlalu kuat tapi tidak pernah benar-benar menghilang.Leah berhenti di depan sebuah rak buku yang tertata simetris. Ia menyentuh salah satu buku tua berjudul asing dalam bahasa Prancis, tapi tak menarik perhatiannya lebih dari dua detik. Semuanya terasa steril. Tak ada jejak manusia disini. Hanya kebiasaan dan kendali.Ia mulai melangk
Leah masih duduk di meja makan yang kini sepi. Sisa percakapan pagi itu masih menggantung seperti awan mendung yang enggan pergi. Tapi pikirannya tak berhenti pada kemarahan.Ia mulai menarik benang kenangan, pada alasan mengapa dirinya bisa berdiri di titik ini. Kenapa Valesco, seorang pria dengan kuasa dan dunia sebesar itu, justru memilih membeli dirinya dari ibu kandungnya sendiri.Bukan karena ia cantik. Bukan karena ia tenang. Tapi karena ia mengerti.Leah mengenali pola. Ia tahu tanda-tanda trauma masa kecil, tahu bagaimana seseorang bisa membangun dinding pertahanan begitu tinggi hingga tak ada satu pun emosi yang bisa masuk, atau keluar.Ia pernah mendampingi anak-anak yang memaki dan menggigit karena merasa dunia mengkhianati mereka. Ia pernah menenangkan anak-anak yang menangis tanpa suara karena tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa sakit mereka.Dan saat ia melihat Valesco—ia tahu. Valesco sedang hidup dengan salah satu dari mereka. Tapi bedanya, pria ini dewasa. D
Leah terbangun. Tubuhnya terasa berat, seperti ditarik oleh beban yang tak terlihat. Matanya perlahan terbuka mencari penyebab beban berat ditubuhnya dan ternyata itu adalah Valesco, yang memeluknya erat dari belakang.Napas hangat Valesco menyentuh tengkuknya dengan ritmenya tenang... terlalu tenang untuk pria yang biasanya selalu diliputi badai. Lengan kokohnya melingkar di pinggang Leah, bukan dalam pose menggoda, tapi seperti seseorang yang sedang berpegangan pada sesuatu agar tidak tenggelam.Perlahan, ia memiringkan tubuhnya, berusaha melihat sedikit ekspresi pria itu dari sudut matanya.Senyum kecil terpatri dibibirnya begitu menatap wajah Valesco. Alis suaminya itu sedikit berkerut, seolah dalam tidurnya, pria itu tak benar-benar bebas dari bayangan yang menghantui.“tenang Valesco” Gumam Leah menenangkan meskipun dalam pikirannya terisi tanya: apa yang sebenarnya terjadi semalam?Ia mengingat perbincangan terakhir mere
Hari pertama sebagai istri Valesco berlalu dengan cepat, tapi tak meninggalkan jejak manis seperti pengantin baru lainnya. Tak ada pelukan hangat, tak ada percakapan lembut sebelum tidur. Hanya ruang makan besar yang sunyi, beberapa tatapan tak sengaja, dan waktu yang berjalan seperti debu yang mengendap di perabotan tua—diam, namun terasa berat.Malam itu, Leah berdiri di depan sebuah pintu gelap di ujung lorong lantai dua. Ruang pribadi Valesco. Ia sempat ragu. Ruangan itu tak pernah dikunci, tapi juga tak pernah terbuka sepenuhnya untuk siapa pun. Pelayan pun tampaknya menghindari masuk kecuali disuruh. Ada semacam aura tak terlihat yang menjaga ruangan itu—bukan kekuasaan, melainkan luka.Leah mengetuk pelan.Satu kali.Dua kali.Tak ada jawaban.Ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba menangkap suara—tapi yang terdengar hanya gemerisik hujan dari luar dan detak jantungnya sendiri.Khawatir terjadi sesuatu, L
Valesco ArdenLeah mempertanyakan kenapa pria itu dikenal sebagai pria yang cukup…. gila.Ada beberapa rumor yang beredar—berbisik dari satu ruang pesta ke ruang rapat, dari bisik-bisik sosialita hingga meja redaksi majalah bisnis dan semuanya menggambarkan sosok Valesco dengan aura gelap yang sama: tidak bisa diprediksi.Sebagian mengatakan pria itu menderita gangguan kecemasan akut. Bahwa ia pernah kabur dari sebuah acara konferensi internasional hanya karena air minumnya disajikan di gelas yang bentuknya tidak simetris. Orang-orang menyebutnya “aneh”, padahal mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di balik sorot mata tajam pria itu.Yang lain bersikeras Valesco mengidap OCD parah, obsesif terhadap kebersihan dan kontrol. Bahwa ia pernah memecat seluruh staf rumah tangganya hanya karena salah satu dari mereka mengubah posisi lampu aroma terapi di kamar tidurnya. Semua harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Bahkan napas pun, di dekatnya, harus terasa teratur.D
Malam turun sepenuhnya di luar jendela besar rumah Arden. Hujan rintik mulai mengguyur kaca, menorehkan suara halus yang mengisi kesunyian rumah megah itu. Jam sudah menunjukkan pukul 00.37. Rumah sepi. Pelayan sudah kembali ke paviliun kecil di sisi timur bangunan. Hanya lampu-lampu lantai dua yang masih menyala—termasuk di kamar kerja Valesco Arden.Pria itu duduk di kursinya, tubuh membungkuk dengan tangan menggenggam erat sisi meja. Matanya sembab, tapi tak ada air mata yang mengalir. Di depannya, sebotol kecil obat antipsikotik dan segelas air putih. Tangannya sedikit gemetar ketika membuka tutup botol, lalu menjatuhkan dua tablet ke telapak tangannya yang pucat yang terbalut oleh perban.“Dokter bilang cukup satu” gumamnya. “Tapi kadang... satu saja tidak cukup untuk menghentikan suara-suara ini.”Tanpa pikir panjang, ia menelan keduanya.Obat itu memang dirancang untuk menekan impuls, menurunkan aktivitas berlebih di saraf-saraf tertentu. Tapi dosis yang salah... bisa memicu ef