Home / Romansa / Sentuh Aku Seperti Kau Milikku / Bab 3 Malam yang dingin

Share

Bab 3 Malam yang dingin

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-07-01 12:00:36

“Lancang!” Mata kelabu Valesco itu menatap Leah nyalang

Dia terengah. Tangannya masih menggantung di udara, seolah dia sendiri kaget dengan apa yang baru saja ia lakukan. Matanya membelalak. Napasnya memburu, dan tubuhnya sedikit gemetar.

Valesco pikir Leah akan marah padanya karena menamparnya

Valesco pikir Leah akan membencinya atau bahkan menangis

Namun Leah justru mengulas senyum tipis sambil mengusap pipinya sendiri

“Maafkan aku, aku memang lancang” gumam Leah pelan, matanya menatapnya tak mengerti.

Valesco mengangkat kedua tangannya, lalu memukul keras-keras kepalanya sendiri. Sekali. Dua kali. Napasnya makin tak beraturan.

“Aku bilang jangan dekati aku sialan!” desisnya lirih, seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. “Kenapa kau diam saja? Kenapa kau... membuatku merasa seperti ini, hah?! Kenapa kau membuatku merasa bersalah?!!”

Leah menahan nafasnya. Matanya terpejam berusaha mentralkan emosinya. Dia tak boleh membawa emosi dalam melakukan tugasnya, emosi dalam bentuk apapun itu. Baik kemarahan, kasihan atau bahkan perasaan cinta.

Valesco tertawa pendek. Tertawa getir. “Kau pikir aku bisa mengendalikan ini? Tidak Leah. Aku tidak bisa! Kau pikir ini romantis? Aku hampir—” ia menunduk, menekan pelipisnya sendiri. “Aku hampir mencium seseorang hanya karena dia bilang dia tidak melihat luka sialan itu…”

Matanya kini berkaca-kaca. Tapi ia cepat membalikkan badan, seolah tak ingin siapapun melihat sisi rapuh itu.

Brak!

Pintu ditutup dengan keras, suara dentumannya menggema hingga ke rongga dada Leah, membuat jantungnya berdegup tak beraturan.

Hening.

Leah berdiri mematung, lampu gantung di atasnya terus berkilau dingin seperti tidak peduli. Bekas tamparan di pipinya masih terasa panas, tapi bukan itu yang menyakitkan.

Yang menyakitkan adalah cara Valesco menutup dirinya. Seperti pintu besi berkarat yang tak ingin disentuh siapa pun.

“Kondisimu lebih parah dari yang kupikirkan Valesco Arden” Gumam Leah

Leah duduk lama dalam diam, hanya denting jam dinding yang menemani, detik demi detik yang terasa menekan dadanya perlahan. Ia menggigit bibir bawahnya—sebuah kebiasaan lama ketika emosi terlalu rapat untuk diluapkan. Tapi air mata tidak turun. Tidak malam ini. Dia sudah terlalu terbiasa menampung luka dalam diam.

Setelah helaan napas panjang, Leah melepas gaun pengantinnya. Gaun itu ia gantung rapi di sisi lemari, lalu membuka pintu walk-in closet. Cahaya lampu menyala otomatis, menyinari deretan pakaian yang kini terasa seperti milik orang lain. Bukan miliknya. Bukan juga milik mereka.

Tangannya mengambil piyama berwarna biru pucat—lembut, polos, tanpa renda atau motif. Ia menyukai yang sederhana, sesuatu yang tidak membuatnya merasa sedang bersandiwara. Sesuatu yang bisa mengingatkan bahwa ia tetap manusia meski hidup di dalam drama orang lain.

Setelah mengganti baju, Leah berdiri sejenak di depan cermin besar. Menatap bayangan dirinya—wajah yang tampak tenang, tapi tatapannya menyimpan badai. Lalu ia berbalik, meninggalkan ruangan, keluar kamar, dan menyusuri koridor sepi menuju ruang kerja Valesco.

“Permisi” bisiknya pada salah satu pelayan yang sedang merapikan taplak meja kecil. “Valesco dimana?”

“Ada diruang kerja beliau, Nyonya”

Leah mengangguk “Dimana ruang kerjanya?” Tanya Leah

“Ruang paling ujung dilorong ini. . Tapi… beliau tidak ingin diganggu”

“Tak apa, aku juga tak ingin mengganggunya” Leah menunduk sopan, namun tetap melangkah menuju pintu berukir kayu gelap itu. Pintu tidak tertutup rapat. Sedikit terbuka. Dan dari celah itu, Leah sempat melihatnya.

Seorang wanita—tidak dikenal, berdiri terlalu dekat dengan Valesco. Lengan wanita itu melingkari tubuh pria itu. Valesco tidak balas memeluk, tapi juga tidak menolak. Ia hanya berdiri mematung dengan napas yang terengah.

Valesco menoleh tiba-tiba—ia tahu Leah melihatnya.

Untuk sesaat, hanya keheningan yang mengikat ketiganya dalam udara yang menggumpal tegang. Mata kelabu Valesco menatap Leah tanpa emosi. Tidak ada rasa bersalah, tidak juga penjelasan. Hanya tatapan datar, dingin seperti baja yang baru diasah.

Langkahnya perlahan saat ia keluar dari ruang kerja. Menutup pintu perlahan di belakangnya, membatasi wanita itu dari pandangan Leah. Tapi tidak cukup cepat untuk menghapus senyum menyindir wanita itu.

Leah berdiri tegak. Tidak bergerak. Tidak berkata sepatah kata pun sampai Valesco berdiri hanya beberapa langkah darinya. Barulah ia membuka suara

“Siapa dia?”

Valesco menarik napas pelan, matanya tetap tenang, bahkan kosong. “Temanku” jawabnya. “Namanya Alisa.”

Seolah itu cukup.

Namun sebelum Leah bisa bertanya lebih jauh, pintu di belakang Valesco kembali terbuka.

Alisa keluar. Wanita itu berdiri dengan angkuh, tubuhnya bersandar ringan di kusen pintu, mengenakan blus satin mahal yang terbuka sedikit di dada, rambut hitam panjangnya tertata rapi seperti tak tersentuh waktu.

Tatapannya menyapu Leah dari atas ke bawah. Lalu tersenyum—bukan senyum ramah, tapi senyum milik seseorang yang tahu dirinya merasa unggul.

“Karena kau sudah lebih tenang, bisa aku pergi sekarang?” Tanya Alisa

Valesco tidak menjawab. Matanya menutup sesaat, rahangnya mengencang.

Leah menatap balik, matanya jernih, tajam. Tidak tersulut. Tapi dalamnya seperti air yang bisa menenggelamkan.

“Aku tidak tahu, ternyata seorang teman boleh memeluk pria yang baru saja menikah di hari yang sama” ucap Leah pelan, kalimatnya sederhana namun penuh api tersembunyi.

Alisa tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Sayang, kalau kau tahu sejarah kami, kau pasti tidak akan setenang ini” bisiknya.

Leah tidak bergerak. Tak perlu.

“Dan kalau kau tahu luka-luka yang dia tutupi, mungkin kau tidak akan kuat satu minggu bersama dia” lanjut Alisa, kini setengah mengejek, setengah memperingatkan.

Valesco menepis lengan Alisa yang sempat menyentuh bahunya. “Cukup, Alisa. Pergilah”

“Tentu” jawab wanita itu, mengangkat tangan seperti menyerah. Tapi sebelum pergi, ia menatap Leah satu kali lagi. “Good luck, Mrs. Arden. Kau akan membutuhkannya.”

Setelah itu, Alisa berjalan pergi dengan langkah anggun dan penuh percaya diri.

Pintu koridor menutup kembali.

Leah dan Valesco berdiri saling diam. Beberapa detik yang terasa seperti seabad.

“Kalau kau tak ingin aku ikut campur... katakan dari awal” kata Leah. Nadanya tenang. Tapi matanya... kosong.

Valesco memijit batang hidungnya, seperti seseorang yang kelelahan menahan pikiran sendiri. “Kepala pelayan yang memanggilnya” katanya akhirnya. “Aku tak tahu dia datang”

Leah memperhatikan ekspresi Valesco lalu beralih pada telapak tangannya yang diperban. Perban baru karena tadi Valesco belum memilikinya “Kau terluka?” tanya Leah

Valesco menunduk sesaat, menatap tangannya sendiri seperti baru menyadari adanya perban putih yang membalut. Jemarinya sedikit bergetar saat ia menjawab “Aku memukul kaca jendela…”

Nada suaranya pelan. Datar. Tapi Leah bisa membaca yang tak diucapkan—kemarahan yang tak terarah, rasa bersalah yang ia telan dalam diam, dan kebingungan yang terlalu rapat untuk dipisahkan satu per satu.

Mata Leah masuk kedalam ruang kerja. Kini Leah sadar jika ruangan itu sangat berantakan. Kursi terbalik, beberapa kertas berserakan di lantai, vas bunga pecah di sudut ruangan, dan tirai yang menggantung setengah lepas seperti sempat ditarik dengan kasar. Bukan hanya kaca jendela yang jadi korban. Seluruh ruangan memancarkan aroma amarah yang baru saja reda, namun belum benar-benar hilang.

Leah tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak bertanya soal Alisa, atau tentang apa yang membuat Valesco begitu meledak-ledak. Ia tahu—kadang pertanyaan hanya akan memaksa luka membuka sebelum waktunya. Dan ia bukan datang malam ini untuk menjadi hakim atas kekacauan yang belum selesai dibersihkan.

Beberapa detik sunyi, lalu Leah bertanya—suara pelannya tenang, tapi tak berarti kosong.

“Jadi... apakah kita akan menjalani malam pertama kita seperti pasangan pengantin lainnya, atau tidak?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Tak menuduh. Tak menantang. Hanya sebuah kejujuran sederhana dari seseorang yang lelah menebak arah hubungan mereka. Nada Leah tidak menggoda. Tidak pula penuh harapan. Hanya datar—nyaris seperti pertanyaan logistik: tidur di mana, dengan siapa, dan untuk apa.

Valesco terdiam. Rahangnya mengencang sesaat, lalu mengendur. Matanya menatap Leah sejenak, lalu berpaling, seperti takut kalau tatapan itu bisa mengungkap sesuatu yang belum siap ia buka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Sumpah ngeselin banget kepala pelayannya ga menghargai Leah sebagai istri Valesco,manggil perempuan lain di saat hari pertama pernikahan tuannya!.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 159 His daughter

    Gadis kecil itu mengenakan hoodie abu-abu dan celana tidur, rambutnya tergerai acak. Mata abunya terlihat kontras di bawah cahaya lampu gudang yang pucat. Ia menggenggam payung lipat yang tampak belum sempat dipakai, dan di wajahnya tidak ada ketakutan. Hanya rasa ingin tahu yang tenang dan sedikit keheranan.“Papa?” suaranya lembut tapi membuat dada Alesco menegang. “Papa ngapain di sini?”Alesco membeku sesaat. Ia tidak pernah berniat memperlihatkan sisi ini pada putrinya. Tangannya masih memegang senjata yang belum ia letakkan. Dengan cepat ia menurunkannya, menyandarkannya di meja kerja, lalu menatap Valeriah datar.“Kenapa kau bangun sepagi ini?” suaranya rendah, nyaris serak.Valeriah mengangkat bahu. “Aku dengar suara dari jendela. Kupikir ada orang. Tapi ternyata Papa.” Ia menatap sekitar, mata mudanya menangkap peti-peti besar yang belum tertutup rapat. “Ini semua... apa?” tanyanya lagi,

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 158 Side to side

    Alesco keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang, hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang. Rambutnya basah, tetes air mengalir perlahan di sepanjang punggungnya yang berotot dan berhenti di garis pinggang, membuat cahaya lampu malam yang hangat memantul samar di kulitnya.Ia mengambil celana training longgar dari walk in closet, memakainya dengan gerakan otomatis, tenang, presisi, seperti seseorang yang terbiasa mengatur segalanya dengan disiplin militer. Saat ia merapikan sabuk, suara hujan di luar makin deras, mengguyur atap rumah hingga terdengar seperti irama berat dari jauh.Leah sudah tertidur. Napasnya tenang, perutnya naik turun perlahan. Alesco beranjakduduk di tepi ranjang, menatapnya istrinya dengan lembut. Tangannya menyentuh perut Leah lama. Seolah ia mencoba mengingat sensasi kehidupan itu untuk menahan dirinya tetap manusia.Ponsel yang ia lekatakn di atas nakal berbunyi — pesan singkat dari Morgan.“P

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 157 Tidak malam ini, sayang

    Rumah mereka di pinggiran kota Columbus masih terang saat mobil Alesco berhenti di depan gerbang.Jam menunjukkan pukul 01.16 dini hari ketika penjaga membukakan gerbang secara otomatis dan menunduk hormat padanya.Alesco masuk pelan, menutup pintu tanpa suara. Di ruang tamu, lampu gantung masih menyala lembut. Leah tertidur di sofa, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Buku terbuka di dadanya, rambutnya berantakan.Pemandangan yang bagi kebanyakan orang sederhana tapi bagi Alesco, itu seperti pisau tajam yang menusuk pelan.Ia berjalan mendekat, menatap wajah istrinya dari jarak dekat. Ada noda kecil di kemejanya, bukan darah, tapi debu logam halus yang berkilat samar. Ia berusaha menyibakkannya sebelum Leah terbangun, tapi terlambat.“...Ale?” suara lembut itu terdengar.Leah membuka mata perlahan, matanya setengah sayu.“Kau baru pulang?”“Ya,” jawabnya cepat. “Ada urusan di pelabuhan.

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 156 Rahasia Alesco

    Udara di pelabuhan Cleveland malam itu terasa berat. Dingin yang menusuk datang dari perairan luas di belakang kompleks terminal kargo, bercampur bau logam, solar, dan debu garam yang menempel di udara. Lampu-lampu sodium di sepanjang dermaga memantulkan warna oranye redup di permukaan air, membuat bayangan peti-peti besi tampak seperti siluet monster raksasa yang berbaris di bawah langit kelabu.Sebuah SUV hitam berhenti di sisi dermaga 17—area yang secara resmi digunakan untuk pengiriman alat berat. Tapi malam ini, di bawah bendera legalitas perusahaan logistik “LES International Shipping”, aktivitas yang berlangsung jauh dari kata bersih.Dari dalam SUV, pintu terbuka perlahan. Sepasang sepatu kulit menginjak tanah lembab.Alesco keluar tanpa suara.Kemeja hitamnya terbalut mantel panjang hingga lutut, kerahnya tegak menahan angin malam. Sorot matanya menatap lurus ke arah tumpukan kontainer yang tertata rapi, tapi hanya ia dan beberapa

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 155 Niat tersembunyi

    Leah baru saja meninggalkan kamar dengan langkah pelan, membawa piring kue dan gelas jus yang sempat ia tawarkan sebelumnya. Pintu tertutup lembut di belakangnya, meninggalkan Althea dan Valeriah berdua di ruangan yang kini terasa terlalu sunyi.Althea menarik napas kecil, menatap sekeliling kamar yang begitu berbeda dari bayangannya tentang kamar anak lima tahun. Meja panjang di sisi jendela penuh dengan kuas, cat air, dan kertas tebal. Lampu sorot kecil diarahkan tepat ke kanvas, membuat ruangan itu lebih menyerupai studio seniman ketimbang kamar anak-anak.“Valeriah” panggil Althea pelan, mencoba memulai percakapan. “Lukisanmu … cantik sekali. Tante jarang lihat anak seusiamu bisa menggambar dengan detail seperti itu.”Valeriah tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar kuasnya di tangan, lalu menatap cat air yang mulai mengering di paletnya. “Tante bilang cantik, tapi tadi tatapan tante seperti tidak suka” ucapnya tenang, tanpa menatap Althea.Althea terdiam sesaat, tidak menyangka

  • Sentuh Aku Seperti Kau Milikku   Bab 154 Kunjungan Althea

    Suara bel terdengar dua kali sebelum Leah sempat menurunkan piring dari meja makan. Ia buru-buru menyeka tangannya dengan serbet, lalu melangkah ke pintu utama. Udara sore di Ohio terasa sejuk ketika daun pintu terbuka dan di sana berdiri sosok yang membuat Leah sempat terdiam beberapa detik.“Althea?” gumamnya pelan.Wanita itu tersenyum lembut, tapi ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya hari ini. Althea tidak lagi mengenakan jas putih dan kacamata tipis seperti saat di klinik.Rambut hitam pendeknya kali ini ditata rapi ke samping, sedikit bergelombang di ujung, dan bibirnya berwarna merah pekat, kontras mencolok di kulit pucatnya. Blazer krem yang pas di tubuhnya dipadukan dengan blus satin berpotongan rendah, membuat tampilannya jauh lebih feminin, hampir… menggoda.“Semoga aku tidak datang terlalu cepat,” ucap Althea sambil tersenyum ramah, seolah tak menyadari tatapan Leah yang masih sempat menilai dari ujung ram

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status