LOGINTak lama setelah kejadian itu, mereka kembali masuk ke ruang utama.
Leah mengajak Valesco duduk di lantai, di antara anak-anak dan orang dewasa dengan berbagai kondisi. Rey duduk tak jauh dari mereka, menggambar mobil dan pesawat di atas kertas lecek. Seorang wanita tua memeluk bantal dan bersenandung sendiri, sementara dua pria lain saling tertawa melihat mainan robot.
Valesco, yang duduk di samping Leah, tampak kaku di awal. Tapi saat salah satu anak perempuan kecil dengan pita biru menghampirinya dan menyodorkan gambar bunga berwarna-warni, ia menerima kertas itu perlahan.
“Itu buat Om” kata gadis kecil itu malu-malu.
Valesco menerimanya dan menatao gambar bunga itu. Warna warni yang tak menyatu namun justru membuatnya terasa hidup. Biru di atas merah, kuning di samping hitam, garis hijau yang keluar dari kelopak, semua serampangan… tapi jujur.
Valesco menatap gambar itu lama, seakan-akan sedang membaca sesuatu yang hanya ia d
“Haruskah kita pergi ke pernikahan mereka?” tanya Alesco, suaranya berat dan dingin seperti batu yang dilempar ke air tenang.Leah menoleh dari depan cermin, jemarinya yang semula sibuk merapikan pita kecil di pinggang gaunnya terhenti. Ia melihat pantulan wajah suaminya di cermin, tatapan tajam yang berusaha disembunyikan di balik ekspresi tenang.“Alesco,” ucap Leah pelan, “ini bukan soal kita setuju atau tidak. Mereka menikah, dan kita diundang. Akan terasa tidak sopan kalau kita tidak hadir.”Alesco bersandar di ambang pintu, tangan disilangkan di dada. “Sopan?” ulangnya datar. “Aku tidak peduli soal sopan, Sunshine. Aku tidak punya urusan untuk menghadiri pernikahan orang yang—” ia berhenti, menahan kata-kata yang terlalu kasar untuk diucapkan di depan Leah.Leah menghela napas, berbalik menghadapnya. “Yang apa, Alesco?” tanyanya lembut, meski sorot matanya tajam. “Yang pernah dekat denganmu? Yang kau pikir aku masih menyimpan sesuatu untuknya?”
“Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Tapi cintaku... cintaku tidak cukup untuk memaafkan pembunuhan. Tidak cukup untuk membuat aku berpura-pura tidak melihat apa yang kau lakukan di ruangan ini.” Ungkap Leah jujur.Alesco terdiam.Tidak ada satu pun otot di wajahnya yang bergerak.Udara di ruangan itu terasa berat, seolah dinding baja ikut menahan napas bersama mereka.Kata-kata Leah menggantung di antara suara detak jam di dinding bawah tanah itu, memantul di antara senjata dan bayangan mereka sendiri.“Jadi itu artinya…” suara Alesco akhirnya pecah, pelan tapi tajam seperti pisau yang menembus tenang. “Kau menyesal menikah denganku?”Leah menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak pernah menyesal mencintaimu” katanya jujur, suaranya serak tapi pasti. “Yang aku sesali adalah... aku terlalu ingin menyelamatkanmu dari dirimu sendiri, padahal aku tidak tahu seberapa dalam luka yang kau mil
Leah kaget.Dibandingkan takut, dia justru membeku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kata-kata Alesco barusan terngiang di kepalanya, pelan tapi jelas.“Ini salahku...” Gumam Leah pelanAlesco menatapnya sekilas, mata abu gelapnya berkilat samar dalam redup cahaya sore. “Tidak, Sunshine,” ujarnya tenang, namun nada suaranya dingin seperti baja. “Kau hanya memeluk sisi yang salah dari diriku terlalu erat.”Leah ingin bertanya lebih jauh, tapi langkah Alesco sudah lebih dulu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pagar kawat itu, menempelkan sidik jarinya di sebuah panel kecil di sisi pintu besi. Bunyi klik pelan terdengar, lalu pintu terbuka.Tanpa menoleh, ia menatap Leah dengan lirih, “Masuklah. Aku tidak ingin kau mengetahuinya dari mulut orang lain.”Leah ragu, tapi mengikuti langkahnya. Hawa lembap semakin kuat, udara beraroma logam menampar hidungnya begitu mereka masuk ke area itu.
Seperti tak membiarkan akhir pekan mereka berlalu dengan tenang, kediaman keluarga kecil Alesco kini kembali didatangi oleh tamu. Bukan satu, melainkan dua.Mobil hitam elegan berhenti di depan teras, dan tak lama, dari sana turun sepasang wajah yang dulu begitu akrab di mata Leah: Vincent dan Alisa.Leah yang baru saja duduk di ruang tamu bersama secangkir teh, sontak membeku di tempat. Sedetik matanya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, seolah waktu tiga bulan terakhir yang hening dan tanpa kabar itu kini menamparnya tanpa aba-aba.Alisa turun lebih dulu, langkahnya anggun, gaun putih krem yang ia kenakan memantulkan cahaya matahari pagi. Rambut panjangnya bergelombang lembut, ditata dengan rapi, sementara tangannya menggandeng Vincent dengan mantap.Pemandangan itu terlalu serasi, terlalu tiba-tiba.Sungguh sesuatu yang tak pernah Leah bayangkan akan ia lihat hari ini.Belum sempat Leah berdiri, Alesco yang baru saja muncul dari ara
“Kenapa dia ada di sini?” Tanya Alesco dengan napas berat“Untuk Valeriah” jawab Leah pelan, menatap suaminya dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan di wajahnya. “Valeriah butuh pendampingan psikolog”Alesco menghela napas panjang, tapi nada napasnya lebih menyerupai upaya menahan diri daripada sekadar lelah. “Pukul delapan pagi di hari weekend, Sunshine?” ucapnya datar, dingin, tapi jelas terdengar sindiran di balik suaranya. “Sepertinya niat baik itu datang terlalu pagi.”Leah menelan ludah kecil, merasa suasana di ruang tamu semakin berat. Ia bisa merasakan amarah Alesco yang masih menggantung, seperti bara yang belum padam meski sudah disiram air. Ia berusaha tersenyum, meski ekspresinya kaku.“Mungkin Thea memang terbiasa bekerja pagi, sebelumnya juga dia datang cepat” katanya pelan, mencoba menormalkan keadaan.Althea langsung menimpali dengan senyum yang terlalu man
Pagi itu, udara di rumah keluarga Arden terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari menembus tirai tipis ruang tamu, menebarkan cahaya lembut di antara aroma kopi dan wangi roti panggang dari dapur. Leah baru saja menata bunga di meja ketika suara bel pintu terdengar.Ia menoleh cepat, tersenyum kecil.“Oh Althea, silahkan masuk” Ucap Leah mempersilahkanAlthea berdiri di ambang pintu dengan tampilan yang sama seperti pertama kali datang. Blazer krem terbuka di bagian dada, menampakkan garis tipis gaun hitam di dalamnya. Bibirnya berlapis lipstik merah yang berani, kontras dengan kulitnya yang pucat halus. Rambutnya disisir rapi, sedikit bergelombang di ujung, memberikan kesan elegan sekaligus menggoda.“Selamat pagi, Leah,” sapanya lembut, dengan senyum yang sudah terlatih. “Kau kelihatan segar sekali hari ini.”Leah terkekeh pelan, menyingkir memberi jalan. “Kau selalu tahu cara memuji orang, Thea. Masuklah, aku baru saja membuat teh. Ria masih di kamarnya, dia bangun agak siang har







