MasukBirru kaku seketika saat bibir Jennar menyentuh bibirnya, pelan tapi pasti melumat tanpa ampun. Dunia di sekitarnya mendadak sunyi, waktu seakan berhenti. Tubuh Birru terdiam, otaknya bergolak antara melawan dan menyerah. Seharusnya dia mendorong Jennar atau bangun dari situ, tapi anehnya, ada rasa hangat yang tiba-tiba merayapi dadanya, menyelimuti segala keraguannya. “Mbak, Jennar, ini nggak benar,” bisik Birru, suaranya tercekat, berusaha menahan getaran perasaannya yang bertentangan. Bau alkohol yang pekat menyusup ke hidungnya, bercampur dengan aroma manis lipstik Jennar yang membuat pikirannya makin kabur. Ironisnya, justru hal itu meruntuhkan segala benteng yang ia pasang. “Tak ada yang benar atau salah malam ini, Birru,” Jennar menjawab diantara cecapan lembutnya di bibir Birru. Tangannya menempel hangat di pipi Birru, seperti menjaga agar pria itu tetap tinggal di sana, dalam pelukannya. Menyerah, Birru mulai menggerakkan bibirnya pelan. Jennar tersenyum, matanya terpejam
Cantik? Apa-apaan ini? Sejak kapan ia bisa disini? Jennar berjalan pelan di samping Birru, tumit stilettonya memantul nyaring di lantai marmer lobi. Dia bisa merasakan tatapan Daniel yang masih menempel di punggungnya dari dalam kafe—tatapan yang menusuk, seolah Daniel punya hak atas hidupnya setelah semua pengkhianatan itu. Untung tadi Birru datang tepat waktu, menyudahi potensi drama murahan antara dia dan Kinanti. Dan untungnya— kenapa juga dia ada disini? “Sama-sama…” ucapan itu tiba-tiba terlepas dari bibir Birru tanpa beban. Tangan kanannya santai memegang paper cup kopi Americano milik Jennar, sementara tangan kiri masuk dalam saku celana. Jennar menatapnya dengan mata terbelalak, ragu. “Maksudnya?” suaranya pelan, seperti menunggu jawaban yang aneh. Birru melirik setengah malas. “Oh, ya ampun. Kalau gitu makasih ya, Birru,” jawab Jennar, nadanya datar, pikirannya masih tertinggal di masa lalu yang remuk itu. “Mbak memang susah banget bilang makasih, ya?”
“Ini kan rumahnya, Mbak?” tanya Birru sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan nomor rumah. Ia pernah ke sini sekali, bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu. Mobil yang dikemudikan Birru melambat, lalu benar-benar berhenti di depan sebuah rumah sederhana dua lantai dengan pagar hitam yang catnya sudah mulai mengelupas dimakan cuaca. Jennar tersenyum kecil. “Iya. Makasih, Ru. Ternyata benar kamu pernah ke sini.” Ia merapikan tasnya, hendak membuka pintu mobil. “Aku nggak diajak mampir?” goda Birru, suaranya ringan tapi ada sesuatu yang mendesak di balik itu. Jennar menoleh cepat, tiba-tiba gugup. “Eh? Kamu mau mampir?” Birru tertawa pelan, menggeleng. “Enggak, Mbak. Bercanda. Mending Mbak masuk dan istirahat. Wajah Mbak cape banget.” Ucapan itu dikeluarkan Birru tanpa memikirkan dampaknya. Begitu selesai bicara, ia justru terdiam, tercengang pada dirinya sendiri dan berpikir sejak kapan dia peduli pada seorang perempuan? Jennar hanya m
Setelah berhasil melewati satu sarapan paling canggung di apartemen sahabatnya itu, Jennar akhirnya pamit. Jarum jam tepat menunjuk angka delapan ketika ia mencondongkan tubuh, mencium pipi Alexa, lalu menarik napas panjang sebelum meraih sepatu haknya. “Lo yakin nggak mau diantar?” Alexa memeluk lengannya sendiri, matanya meneliti wajah Jennar yang masih sedikit kacau. Jennar mencoba tersenyum. “Nggak perlu, Lex. Gue pesan ojek online aja. Lagipula lo ada da—” “Aku aja yang antar, Kak.” Suara Birru memotong kalimatnya. Pemuda itu muncul dari lorong dengan tampilan jauh lebih rapi daripada saat sarapan, dengan kaus polo hitam menempel pas di tubuhnya, jeans gelap, rambut basah yang disisir asal, dan kunci mobil Alexa berputar di jarinya. Ia berdiri santai seperti tidak ada yang aneh dengan aksinya. Alexa melotot, “Tumben?! Biasanya kamu paling anti urusan antar jemput manusia, dik.” Birru mengangkat bahu. Lalu Jennar merasakan tatapan Alexa jatuh padanya, seperti menan
Jennar mendadak kaku. Bekas lipsticknya juga mungkin masih rancu.Suasana di apartemen mewah Alexa mendadak terasa terlalu hening.Jennar berdiri kaku di ujung meja. Bibirnya seolah rapat tak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Alexa yang tadi mempertanyakan tentang hubungannya dengan Birru.“Jen, lo tidur dimana?” Alexa memecah keheningan dengan nada pertanyaan yang diselipi curiga. Ia masih berdiri di ambang pintu kamar, matanya tak lepas mengamati makanan yang terhidang di meja. Bubur ayam tersaji lengkap, tapi sudah dingin. Teh melati yang masih mengepul tipis memberi petunjuk, Birru lah yang menyiapkannya.“Eum… Lex. Itu…” gumam Jennar, nyaris tak terdengar.Alexa mengembuskan napas keras.Pandangannya yang awalnya hanya menuntut penjelasan, pelan-pelan merayap turun, menyapu setiap detail dari Jennar yang terlihat salah tempat pagi itu.Blazer Jennar kusut, blousenya miring karena kancing bagian atas tidak bertemu dengan lubang yang semestinya. Riasannya luntur dengan eyeliner
“Eungh...” sebuah lenguhan kecil terlepas dari bibirnya. Pagi mulai menyelinap lewat celah jendela apartemen lantai 10. Jam digital di atas nakas menyala redup, menunjukkan pukul enam. Dari kejauhan, suara klakson kendaraan bergemuruh samar di jalan raya, tapi di dalam kamar tamu bercat putih itu, sunyi begitu pekat. Jennar Marissa terbaring tertelungkup di ranjang queen size, selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya yang dingin. Napasnya tersengal halus. Tubuhnya bergerak pelan, bergeser ke posisi terlentang. Keningnya berkerut, mata berat itu terbuka perlahan, matanya bergerak memandang sekeliling ruangan dengan pandangan samar, lalu mengerang pelan. “Ini… kamar tamu di apartemen Alexa...” gumamnya serak. Sakit kepala mendadak menebal, seolah jarum menusuk setiap sisi otaknya. Ingatannya mulai muncul samar: semalam dia mabuk. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, merasa sangat dingin, ia menarik selimut ke samping dengan tangan gemetar. Napasnya tercekat saat menyadari ia terbaring ta







