Beranda / Romansa / Sentuhan Adik Sahabatku / Bab 05. Hancur Oleh Daniel, Diselamatkan Birru

Share

Bab 05. Hancur Oleh Daniel, Diselamatkan Birru

Penulis: eslesta
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-10 16:43:28

“Ini kan rumahnya, Mbak?” tanya Birru sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan nomor rumah. Ia pernah ke sini sekali, bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu.

Mobil yang dikemudikan Birru melambat, lalu benar-benar berhenti di depan sebuah rumah sederhana dua lantai dengan pagar hitam yang catnya sudah mulai mengelupas dimakan cuaca.

Jennar tersenyum kecil. “Iya. Makasih, Ru. Ternyata benar kamu pernah ke sini.”

Ia merapikan tasnya, hendak membuka pintu mobil.

“Aku nggak diajak mampir?” goda Birru, suaranya ringan tapi ada sesuatu yang mendesak di balik itu.

Jennar menoleh cepat, tiba-tiba gugup. “Eh? Kamu mau mampir?”

Birru tertawa pelan, menggeleng. “Enggak, Mbak. Bercanda. Mending Mbak masuk dan istirahat. Wajah Mbak cape banget.”

Ucapan itu dikeluarkan Birru tanpa memikirkan dampaknya. Begitu selesai bicara, ia justru terdiam, tercengang pada dirinya sendiri dan berpikir sejak kapan dia peduli pada seorang perempuan?

Jennar hanya menghela napas. “Ya sudah. Makasih, ya. Hati-hati pulangnya.”

“Ya, Mbak.”

Birru memperhatikan Jennar turun dari mobil. Cara langkahnya pelan, sedikit gontai, membuat Birru ingin turun juga dan memastikan ia sampai dengan baik, tetapi ia menahan diri.

Jennar membuka pagar dan menghilang di balik pintu rumah.

Begitu pintu itu tertutup, Birru menghela napas panjang. Pandangannya turun pada jok penumpang. Aroma parfum Jennar yang tipis masih tertinggal, manis, tidak memaksa tapi menempel.

“Sial,” umpatnya lebih pada perasaan aneh yang semakin mendesak di dada.

Pria berusia dua puluhan itu menekan pedal gas lagi, tapi hatinya seakan tertinggal di depan pagar rumah Jennar.

Sementara itu di ruang keluarga yang televisinya menyala, Ghea hampir melompat dari sofa saat mendengar pintu ruang tamu dibuka.

“Itu pasti Mbak Jennar pulang!” serunya bersemangat.

Jennar yang muncul dari lorong ruang tamu, hanya melirik singkat. Pengalaman mengajarinya kalau semakin besar senyum Ghea, semakin besar kemungkinan ada permintaan menyusul.

“Ghea, Mbak mandi dulu, ya,” ucap Jennar, lebih mirip peringatan daripada permohonan.

Tidak sampai tiga detik, suara Priska, ibunya, melengking dari arah dapur.

“Baguuus! Anak perawan pertama Mama baru pulang? Tidur di mana kamu?!” Ia berjalan mendekat sambil membawa mangkuk bubur kacang hijau, yang langsung disodorkan ke Ghea.

Jennar berbalik, menghadap sang ibu. “Aku tidur di tempat Alexa, Ma. Maaf nggak ngabarin, HP lowbat semalam.”

Priska mengenduskan hidungnya. “Kamu bau sekali! Kamu tidur di rumah Alexa atau kamu jadi anak nakal, hah?!”

Ghea tersentak kecil . “Maksud Mama … Mbak Jennar mabuk?”

“Lihat aja penampilan kakakmu itu. Kusut, bau,” gerutu Priska.

Jennar mengepal rahang. Setiap pulang, selalu begini.

Tidak pernah ada ruang untuk menjelaskan, tidak pernah ada ruang untuk sekadar dipahami. Hanya tuntutan, hanya penilaian. Seolah-seolah ia selalu menjadi anak yang salah dan terkadang ia berpikir bukan anak kandung.

“Ma, sudahlah. Jennar pusing dan lengket. Jennar ke kamar dulu,” katanya singkat, memilih mundur daripada membalas.

Jennar naik ke lantai dua dengan langkah cepat. Begitu sampai di dalam kamar, ia mengembuskan napas lega karena ruang paling aman dalam hidupnya hanya kamar tidurnya yang tidak terlalu luas ini.

Perempuan bertubuh ramping itu melepas pakaiannya satu per satu, dan aroma alkohol langsung menyergap hidungnya. Baju itu berbau klub, berbau putus asa, dan tiba-tiba saja ia merasa itu sedikit berbau Birru?

Ia langsung menggelengkan kepalanya.

Jennar buru-buru meraih handuk dan masuk ke kamar mandi.

Begitu air hangat menyentuh kulitnya, tubuhnya otomatis merileks, tapi pikirannya tetap liar berlari. Tampak kilasan wajah Daniel dengan senyum yang dulu ia percaya, pelukan yang membuatnya merasa aman, dan semua itu kini berubah menjadi racun.

“Enam tahun, Daniel…” gumamnya lirih, suara bergetar.

Air shower jatuh deras, seolah menertawakan ketidaktahuannya. Jennar mengangkat tangan, memukul dinding dengan pelan namun penuh emosi yang terpendam.

“Pantes selalu nunda rencana pernikahan. Ternyata ada orang lain yang bisa dia peluk…”

Suara itu menggantung di udara dan terlalu pahit untuk dilanjutkan.

Kakinya melemas. Jennar perlahan merosot, duduk di lantai kamar mandi, memeluk lututnya. Air hangat mengucur lewat rambutnya, bercampur dengan air mata yang akhirnya tak bisa ia tahan lagi.

Tangisnya lirih, tertahan, tapi pecah pada setiap helaan napas.

Waktu seperti mengalir tanpa suara di sekitar Jennar. Saat gelombang amarahnya mulai mereda, pikirannya tiba-tiba berbelok ke arah yang tak terduga—ke seseorang yang seharusnya tak pernah ia pikirkan, Birru.

Jennar menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Apa aku sebinal itu?!”

Wajahnya memerah bukan hanya karena air hangat, tapi juga karena malu yang merayap hingga ke dada.

Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan itu. Namun bayangan itu justru semakin jelas, semakin nyata, dan semakin mengikat. Ironisnya, Jennar tak menyadari bahwa momen memalukan yang ingin ia lupakan itulah yang tanpa sadar mulai mengikatnya pada Birru.

***

Jennar menarik napas dalam, mencoba merapikan lipatan kerah blazer merah yang sudah dia pakai sejak pagi. Matanya masih saja terasa sembab, bekas air mata semalaman yang tumpah tak henti, mengingat Daniel.

Gadis cantik itu memaksakan diri bekerja, meskipun tumpukan dokumen di meja hanya membuat denyut kepalanya semakin nyaring, tapi diam di rumah akan lebih menyiksa.

“Kayaknya aku butuh kopi deh…” bisiknya pelan, seperti membujuk diri yang hampir runtuh.

Matanya menoleh ke arah Helena, atasannya yang sedang sibuk mengetik tanpa suara. Jennar berharap, perempuan itu tak keberatan kalau dia izin sebentar keluar membeli kopi.

Belum sempat ia bangkit, ponselnya bergetar keras. Nama Alexa memenuhi layar.

“Ya, halo, Lex?” suaranya keluar dengan nada berat dan enggan.

“Lo ngantor hari ini?” Alexa langsung tanya tanpa basa-basi.

Jennar menarik napas dalam, mencoba menyembunyikan gelisah. “Hmm. Gue nggak mungkin ambil cuti. Di rumah makin kepikiran. Mending kerja,” jawabnya, berusaha terdengar tegar walau hatinya berkecamuk.

“Tapi dengan Lo ke kantor, bukannya nanti ketemu Daniel. Lo siap?” Alexa terdengar cemas.

Jennar meraih dompet dari tasnya, menahan napas sejenak. “Harus siap. Lagian, waktu pacaran aja jarang ketemu. Dia di lantai delapan, gue di lantai lima.”

Kata-katanya terdengar seperti pembelaan yang rapuh.

“Pokoknya kalau ketemu dia, lo harus tunjukin kalau lo kuat. Jangan roboh, Jen.” Alexa menyemangati, suaranya bergetar penuh perhatian.

Jennar memasang senyum tipis yang dipaksakan, meskipun sahabatnya tak bisa melihat. "Iya, Lex. Thanks buat sarannya."

“Ya udah, bye. Take care, Jen.”

”Lo juga, Lex. Bye...”

Telepon terputus, Jennar bersiap untuk turun.

Jennar akhirnya keluar dari ruangan divisinya setelah pamit singkat pada Helena, melewati plakat NeoLand Development yang terpajang besar dan beberapa rekan kerja yang menatapnya iba karena mendengar berita gosip di kantor tentang percintaannya.

Setibanya di lift, ia menghembuskan napas panjang dan kali ini lebih lega. Setidaknya beberapa menit ke depan, ia jauh dari dokumen, tatapan orang, dan beban yang menempel di bahunya.

“Aku benar-benar butuh kopi,” bisiknya lelah.

Sampai di lobi, ia menuju kafe kecil bernama Roasted Coffee yang ada di sudut. Lampu hangat, aroma biji kopi panggang, dan suasana sore yang lengang membuat tempat itu terasa aman.

Jennar memesan Americano panas lalu menunggu di dekat kasir, memainkan sedotan kecil sambil menatap barista yang menyiapkan pesanannya.

“Satu Americano panas buat Kak Jennar,” kata si Barista, menyerahkan pesanannya.

Jennar meraih paper cup itu. Ketenangannya tiba-tiba pecah saat suara lembut seorang wanita terdengar dari belakang.

“Oh, God! Kamu lihat nggak barusan? Matanya sembab. Kasihan banget, pasti dia nangis semalaman,” kata wanita itu.

“Masa?” balas suara seorang pria yang familiar.

Jennar refleks menoleh singkat. Akan tetapi ia langsung menelan saliva, dan menyesalinya. Namun rasanya mustahil untuk tidak melihat saat nama-nama itu muncul di belakangnya.

Jennar akhirnya memutar tubuhnya. Dan benar saja, Daniel dan Kinanti berdiri hanya beberapa langkah darinya.

Kinanti menebar senyum anggun ke arahnya. “Oh, hai, Jennar.”

Tangan Daniel tiba-tiba menyisip erat menggenggam tangan Kinanti, seolah ingin mempertegas sesuatu. “Kamu sendirian aja, Jen?” suaranya terdengar ringan, tapi nada tajamnya, menusuk ke dalam.

Jennar mengangkat dagu, berusaha menahan gejolak dalam dada. Ingin ia tunjukkan, Alexa benar bahwa ia kuat, tak mudah runtuh. Namun kata-kata itu terkunci rapat, tak mampu terucap.

Tiba-tiba, sebuah kehangatan menyentuh bahunya. Seseorang berdiri di sampingnya, begitu dekat—seolah memang tempatnya berada di sana.

“Kamu kok beli kopi lama banget?” suara lembut itu berbisik di telinganya, tenang dan natural, jauh dari kepura-puraan.

Jennar menoleh tanpa sadar. Suaranya tercekat.

Birru membalas senyum kecil, dengan lembut meraih paper cup kopi dari tangan Jennar dan menarik tangannya.

“Ayo, aku harus ke atas. Meeting sebentar lagi mulai. Jangan sampai kamu bikin aku telat.” lanjutnya seraya mengelus rambutnya. “Ngomong-ngomong, kamu kok cantik banget hari ini?”

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuhan Adik Sahabatku   Bab 07. Malam Tak Terlupakan. (21++)

    Birru kaku seketika saat bibir Jennar menyentuh bibirnya, pelan tapi pasti melumat tanpa ampun. Dunia di sekitarnya mendadak sunyi, waktu seakan berhenti. Tubuh Birru terdiam, otaknya bergolak antara melawan dan menyerah. Seharusnya dia mendorong Jennar atau bangun dari situ, tapi anehnya, ada rasa hangat yang tiba-tiba merayapi dadanya, menyelimuti segala keraguannya. “Mbak, Jennar, ini nggak benar,” bisik Birru, suaranya tercekat, berusaha menahan getaran perasaannya yang bertentangan. Bau alkohol yang pekat menyusup ke hidungnya, bercampur dengan aroma manis lipstik Jennar yang membuat pikirannya makin kabur. Ironisnya, justru hal itu meruntuhkan segala benteng yang ia pasang. “Tak ada yang benar atau salah malam ini, Birru,” Jennar menjawab diantara cecapan lembutnya di bibir Birru. Tangannya menempel hangat di pipi Birru, seperti menjaga agar pria itu tetap tinggal di sana, dalam pelukannya. Menyerah, Birru mulai menggerakkan bibirnya pelan. Jennar tersenyum, matanya terpejam

  • Sentuhan Adik Sahabatku   Bab 06. Godaan Belum Usai.

    Cantik? Apa-apaan ini? Sejak kapan ia bisa disini? Jennar berjalan pelan di samping Birru, tumit stilettonya memantul nyaring di lantai marmer lobi. Dia bisa merasakan tatapan Daniel yang masih menempel di punggungnya dari dalam kafe—tatapan yang menusuk, seolah Daniel punya hak atas hidupnya setelah semua pengkhianatan itu. Untung tadi Birru datang tepat waktu, menyudahi potensi drama murahan antara dia dan Kinanti. Dan untungnya— kenapa juga dia ada disini? “Sama-sama…” ucapan itu tiba-tiba terlepas dari bibir Birru tanpa beban. Tangan kanannya santai memegang paper cup kopi Americano milik Jennar, sementara tangan kiri masuk dalam saku celana. Jennar menatapnya dengan mata terbelalak, ragu. “Maksudnya?” suaranya pelan, seperti menunggu jawaban yang aneh. Birru melirik setengah malas. “Oh, ya ampun. Kalau gitu makasih ya, Birru,” jawab Jennar, nadanya datar, pikirannya masih tertinggal di masa lalu yang remuk itu. “Mbak memang susah banget bilang makasih, ya?”

  • Sentuhan Adik Sahabatku   Bab 05. Hancur Oleh Daniel, Diselamatkan Birru

    “Ini kan rumahnya, Mbak?” tanya Birru sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan nomor rumah. Ia pernah ke sini sekali, bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu. Mobil yang dikemudikan Birru melambat, lalu benar-benar berhenti di depan sebuah rumah sederhana dua lantai dengan pagar hitam yang catnya sudah mulai mengelupas dimakan cuaca. Jennar tersenyum kecil. “Iya. Makasih, Ru. Ternyata benar kamu pernah ke sini.” Ia merapikan tasnya, hendak membuka pintu mobil. “Aku nggak diajak mampir?” goda Birru, suaranya ringan tapi ada sesuatu yang mendesak di balik itu. Jennar menoleh cepat, tiba-tiba gugup. “Eh? Kamu mau mampir?” Birru tertawa pelan, menggeleng. “Enggak, Mbak. Bercanda. Mending Mbak masuk dan istirahat. Wajah Mbak cape banget.” Ucapan itu dikeluarkan Birru tanpa memikirkan dampaknya. Begitu selesai bicara, ia justru terdiam, tercengang pada dirinya sendiri dan berpikir sejak kapan dia peduli pada seorang perempuan? Jennar hanya m

  • Sentuhan Adik Sahabatku   Bab 04. Antara Ingatan Kabur dan Godaan Baru

    Setelah berhasil melewati satu sarapan paling canggung di apartemen sahabatnya itu, Jennar akhirnya pamit. Jarum jam tepat menunjuk angka delapan ketika ia mencondongkan tubuh, mencium pipi Alexa, lalu menarik napas panjang sebelum meraih sepatu haknya. “Lo yakin nggak mau diantar?” Alexa memeluk lengannya sendiri, matanya meneliti wajah Jennar yang masih sedikit kacau. Jennar mencoba tersenyum. “Nggak perlu, Lex. Gue pesan ojek online aja. Lagipula lo ada da—” “Aku aja yang antar, Kak.” Suara Birru memotong kalimatnya. Pemuda itu muncul dari lorong dengan tampilan jauh lebih rapi daripada saat sarapan, dengan kaus polo hitam menempel pas di tubuhnya, jeans gelap, rambut basah yang disisir asal, dan kunci mobil Alexa berputar di jarinya. Ia berdiri santai seperti tidak ada yang aneh dengan aksinya. Alexa melotot, “Tumben?! Biasanya kamu paling anti urusan antar jemput manusia, dik.” Birru mengangkat bahu. Lalu Jennar merasakan tatapan Alexa jatuh padanya, seperti menan

  • Sentuhan Adik Sahabatku   Bab 03. Canggung, Hangat, dan Birru

    Jennar mendadak kaku. Bekas lipsticknya juga mungkin masih rancu.Suasana di apartemen mewah Alexa mendadak terasa terlalu hening.Jennar berdiri kaku di ujung meja. Bibirnya seolah rapat tak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Alexa yang tadi mempertanyakan tentang hubungannya dengan Birru.“Jen, lo tidur dimana?” Alexa memecah keheningan dengan nada pertanyaan yang diselipi curiga. Ia masih berdiri di ambang pintu kamar, matanya tak lepas mengamati makanan yang terhidang di meja. Bubur ayam tersaji lengkap, tapi sudah dingin. Teh melati yang masih mengepul tipis memberi petunjuk, Birru lah yang menyiapkannya.“Eum… Lex. Itu…” gumam Jennar, nyaris tak terdengar.Alexa mengembuskan napas keras.Pandangannya yang awalnya hanya menuntut penjelasan, pelan-pelan merayap turun, menyapu setiap detail dari Jennar yang terlihat salah tempat pagi itu.Blazer Jennar kusut, blousenya miring karena kancing bagian atas tidak bertemu dengan lubang yang semestinya. Riasannya luntur dengan eyeliner

  • Sentuhan Adik Sahabatku   Bab 02. Godaan Yang Tak Jennar Ingat

    “Eungh...” sebuah lenguhan kecil terlepas dari bibirnya. Pagi mulai menyelinap lewat celah jendela apartemen lantai 10. Jam digital di atas nakas menyala redup, menunjukkan pukul enam. Dari kejauhan, suara klakson kendaraan bergemuruh samar di jalan raya, tapi di dalam kamar tamu bercat putih itu, sunyi begitu pekat. Jennar Marissa terbaring tertelungkup di ranjang queen size, selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya yang dingin. Napasnya tersengal halus. Tubuhnya bergerak pelan, bergeser ke posisi terlentang. Keningnya berkerut, mata berat itu terbuka perlahan, matanya bergerak memandang sekeliling ruangan dengan pandangan samar, lalu mengerang pelan. “Ini… kamar tamu di apartemen Alexa...” gumamnya serak. Sakit kepala mendadak menebal, seolah jarum menusuk setiap sisi otaknya. Ingatannya mulai muncul samar: semalam dia mabuk. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, merasa sangat dingin, ia menarik selimut ke samping dengan tangan gemetar. Napasnya tercekat saat menyadari ia terbaring ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status