siapa yang Sofia liat? jangan lupa tinggalkan komentar, ulasan dan vote juga yaaaaaaa Terima kasih Teman Teman
“Mau ke mana? Kabur lagi?” Suara lantang itu terdengar familiar. Meskipun ditutup matanya, Isela akan tetap mengenalinya.Tatapan Isela penuh luka pada pria yang makin mendekat. Andai saja bisa, ia ingin meluapkan amarahnya. Namun, wanita itu tidak bisa melakukan apa pun, mengingat status mereka yang bagaikan bumi dan langit. Ia menunduk hormat.Mathilda mengeratkan genggaman tangannya. Pengasuh itu mengingat garangnya wajah pria yang tadi ia tabrak.“Tidak apa, Nyonya,” bisik Isela kali ini menenangkan, meskipun hatinya juga gelisah tak karuan.“Sebaiknya kita hubungi Nyonya Sofia atau Tuan Torres,” bisik Mathilda lagi. Kepalanya sudah pening memikirkan apa yang akan dilakukan Nicolas.Isela menggeleng pelan. “Tidak perlu. Ini masalahku. Jangan merepotkan Tuan dan Nyonya Torres.”Nicolas sudah berdiri tegak dengan satu tangan masuk dalam saku. Dagu berjanggutnya terangkat dan mata birunya memindai tubuh sang asisten yang agak berisi pada dada dan bokong.“Kamu tidak pandai sembunyi,”
Sementara itu di ruang rawat, Mathilda tak hentinya mengintip ke luar melalui celah pintu. Napas pengasuh itu berembus kasar dan keringat dingin mengucur, padahal setiap sudut rumah sakit terpasang pendingin.“Nyonya … ada apa? Kenapa wajah Anda pucat?” tegur Isela dari atas ranjang.Kondisi Isela jauh lebih baik setelah dokter memberinya obat. Ia juga dirujuk ke psikiater untuk memperbaiki mentalnya.Mathilda meletakkan jari di depan bibir. Ia mendekati Isela dengan langkah mengendap bagai pencuri, lalu menutup tirai yang mengelilingi ranjang.“Pelankan suaramu, Nona,” bisik Mathilda.Isela mengangguk. Jujur saja, situasi menegang. Wanita itu meraba tengkuknya yang terasa dingin, berbeda dengan pakaian Mathilda yang sudah lembap.“Di luar sana ada Tuan Marquez. Dia pasti mencariku, mau menculikku, karena aku tidak membuka pintu untuk anak buahnya. Astaga, Nona … dia itu penjahat,” adu Mathilda.Mata Isela membola. Jantungnya berdegup sangat cepat, napasnya bahkan tertahan sejenak.“M
Nicolas menatap tajam ke depan. Ia bersandar pada dinding koridor yang dilalui banyak orang. Area ini jalan utama memasuki rumah sakit dari lobi. Pria itu yakin, jika adiknya dirawat inap, pasti Galtero ada di sini.“Sialan!” umpatnya, nada suaranya tinggi. Beberapa orang yang melintas menoleh padanya. Namun, Nicolas tak acuh, menganggap mereka tidak ada. “Dia benar-benar melarangku bertemu Sofia.”Dada Nicolas turun naik dengan cepat. Kalau ia membuat ulah, pasti pamannya akan datang ke Barcelona dan menjemputnya. Sekarang ia hanya diam saja?Ia menghampiri petugas keamanan. “Aku mau lihat CCTV,” ucapnya angkuh.“Maaf, Tuan. Rekaman tidak bisa kami berikan secara asal. Jika berkenan, apakah keluarga Anda dirawat di sini?”Nicolas menggeleng.Petugas masih bersuara ramah. “Tidak bisa, Tuan.”Nicolas naik pitam, tangannya mengepal kuat. Matanya menyala penuh bara.“Kami tidak bisa menyalahi aturan, Tuan. Membiarkan orang asing melihat rekaman rumah sakit tanpa kepentingan. Anda tidak a
Pemberitahuan itu masuk melalui email. Sepasang mata biru menatap layar ponsel dengan tajam. Ia sampai mengabaikan para tamu yang ada di sekitarnya.“Pembayaran Torres Memorial Hospital?” gumam Nicolas. Ia menarik napas, pikirannya jelas tertuju pada Sofia. “Apa dia sakit?” katanya lagi.Meskipun tubuhnya terlihat hadir di mansion Manassero, tetap saja pikirannya terbelah antara Sofia dan asisten cantiknya yang sampai sekarang tak juga ia temui.Ia mengedik pada anak buahnya yang berdiri dekat dinding, mengawasi acara sakral dua keluarga besar berpengaruh agar terlaksana dengan lancar.Lelaki berpakaian formal dengan alat komunikasi lengkap itu mendekat, setengah membungkuk di samping Nicolas.“Siapkan izin terbang ke Barcelona malam ini.” Dada Nicolas membusung, napasnya sempat tertahan.“Baik, Tuan.” Pengawalnya beranjak sambil menghubungi seseorang.Jemari Nicolas mengetuk-ngetuk lengan kursi. Ia menatap setiap anggota keluarganya yang begitu gembira dengan pertunangan ini. Ia muak
“A–apa … ponselku? U–untuk apa?” Bagaimanapun ia menutupi, ternyata akan ketahuan juga. Keringat mengalir deras di sepanjang tulang punggungnya. Rongga dadanya seolah menyempit. Bagaimana ini? batinnya gelisah.Telepon genggamnya terus berdering mendesak untuk diterima. Sedangkan tangan Galtero makin terulur, mendekati saku gaun Sofia.“Mana?” Suara Galtero dingin dan mengintimidasi.Sofia menelan ludah. “Biasanya kamu tidak begini, kenapa sekarang—”“Berikan padaku sebelum aku katakan kesalahanmu.” Ucapan pria itu membuat napas Sofia terputus. Jangan-jangan suaminya ini tahu apa yang ia lakukan?Dengan bibir gemetaran, Sofia berusaha menjelaskan. “Umm … Gal … sebenarnya itu … aku hanya—”Dalam sekejap Galtero merebut benda pipih dari saku gaun. Sofia memelotot, jantungnya seakan merosot ke lambung. Gerakan suaminya sangat cepat, sampai ia tak sempat menangkisnya.Sofia memeluk perutnya erat-erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang kacau. Tatapan Galtero menusuk, seolah hendak
Dada Sofia kembang kempis dengan cepat. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tubuhnya berjengit tatkala pintu kamar ditutup kencang oleh pria itu. Ia memejamkan mata beberapa saat mencoba berpikir jernih. Hanya Nicolas yang terlintas dalam benaknya, tetapi pria itu jauh tidak mungkin juga bisa membantunya dalam waktu cepat. Tangannya menggulir layar ponsel hingga suara Carlitos yang merdu mengalihkan pikirannya. “Aku main sendirian saja. Aku sudah besar.” Anak itu bicara pada Mathilda yang terkekeh pelan. “Baiklah. Tuan Muda bisa panggil aku kalau butuh sesuatu.” “Namaku Carlitos. Jangan panggil Tuan Muda.” Bibir kecilnya bergerak maju. Seketika ide brilian terlintas di benak ibu hamil itu. Ia mendekati mereka. Lalu mengusap pucuk kepala Carlitos dengan lembut. “Wah, kamu sudah besar, ya? Umm … boleh Bibi bicara berdua dengan Mathilda?” Suara Sofia mengalun halus, meskipun dadanya berdentam tak karuan dan telapak tangannya berkeringat. “Tentu, boleh. Aku main dulu, ya.” Carlitos ge