“Dia tidak mau makan?” tanya Galtero melalui telepon. Pagi-pagi sekali, pria itu sudah direpotkan dengan Isabel yang bertingkah.Galtero memerintah Armando mengirim makanan ke rumahnya, tetapi Isabel menolak.“Benar, Tuan. Nona Isabel membuangnya. Beliau bilang akan makan jika Tuan datang sendiri ke sini,” terang Armando, suaranya agak gemetaran. Mungkin dia sudah siap dilahap bulat-bulat oleh Tuannya karena gagal menjalankan tugas.Galtero menarik napas dan memijat pelipis—padahal kepalanya tidak benar-benar pusing. Ia melirik ke belakang, menatap Sofia yang masih tidur, selimut membalut tubuhnya sampai ke leher.“Biarkan dia kelaparan,” ucapnya dingin dan menghujam, lalu menutup sambungan.Tanpa Galtero tahu, Sofia sebenarnya sudah bangun sejak tadi. Kehamilan membuatnya lebih sensitif terhadap suara dan gerakan. Dia mendengar semuanya.‘Apa yang dilakukan pada Isabel? Memangnya kenapa? Mereka ketemuan lagi?’ batin Sofia penuh tanya.Darahnya mendidih. Carlitos sudah tinggal bersama
Sementara Sofia masih dengan kebingungannya, Isabel sibuk menghubungi Nicolas. Namun, nomor telepon itu mendadak tidak aktif. Begitu pula asistennya. “Nicolas sialan, jawab aku!” umpatnya. Tangan Isabel gemetar memegang ponsel. Matanya menyapu ruangan, dan panik … sebab semua pintu dan jendela terkunci rapat. “Galtero Torres berengsek!” geramnya sambil memukul pahanya sendiri hingga nyeri. “Argh!” Dia mencoba membuka seluruh pintu. Tidak bisa. Bahkan berteriak pun percuma. Rumah itu terlalu sunyi. Bahkan memang sengaja dididirikan kedap suara. Benar-benar menjaga privasi pemiliknya yang tidak ingin tersentuh apa pun. “Sofia Morales ... kamu mengambil semuanya. Masa depanku,” lirih Isabel, memelototi dinding kosong seolah itu wajah musuhnya. Dan senyum Sofia ada di sana. Satu pesan masuk. Bukan dari Nicolas, melainkan dari berondong simpanannya. [Kamu belum bayar jasaku. Kirim sekarang, atau aku jual video hubungan intim kita.] Mata Isabel membelalak. Jarinya dengan cepat membal
Jeep Grand Cherokee hitam Galtero berhenti di halaman rumah yang tidak terlalu luas dan tanpa gerbang itu. Ia turun, langkahnya menghentak lantang, penuh amarah yang sudah terlalu lama dia kubur.Tidak sulit baginya membuka pintu rumah. Sidik jarinya masih terdaftar di sistem. Tentu karena hunian itu pemberian darinya.Rumah itu bercahaya redup, khas Isabel yang sedang menjerat pria. Aroma bunga kering bercampur sesuatu yang lebih menyengat.Hentakan kaki begitu cepat terdengar dari arah tangga.“Gal?” Isabel muncul sambil merapikan rambut yang berantakan. “Kenapa kamu datang ... umm … mendadak?”Galtero tidak menjawab. Dia justru mendekat, menarik rambut Isabel, dan mencium lehernya. Ini basah. Bukan karena air setelah mandi.“Aku memberimu belas kasih karena kamu sendirian membesarkan Carlitos,” desisnya. “Tapi apa balasanmu?”“Aduh, Gal ... sakit.”“Aku bilang jangan sentuh Sofia!” bentaknya, dengan mata Galtero yang menyala penuh amarah.Isabel berkaca-kaca. “Aku tidak begitu! Me
Mereka memutuskan langsung pulang tanpa membeli crema catalana. Sofia masih menggigil, dan Galtero belum mengenakan apa-apa selain celana panjang. Bentley abu-abu yang dikemudikan Galtero membelah jalanan malam Barcelona. Lampu kota memantul di kaca jendela, menciptakan bayang-bayang kelabu di wajah Sofia yang diam menatap ke luar. Monte Sereno Nomor 1 menyambut mereka dalam kesunyian. Begitu mesin mati, Galtero langsung melepas sabuknya, lalu sabuk Sofia. Dia turun, mengitari mobil, dan membuka pintu untuknya. Sofia baru saja menurunkan satu kaki, masih mengambang di udara, ketika tubuhnya kembali terangkat. “Galtero…,” bisik Sofia pelan. Pria itu tidak menjawab. Hanya membawa Sofia masuk ke dalam dengan langkah panjang. Di dalam kamar, dia tidak menurunkan Sofia ke tempat tidur. Malah berjalan terus ke kamar mandi, menyalakan keran dan menyiapkan air panas. Butir-butir uap segera mengisi ruangan. “Air hangat bisa bantu merilekskan pembuluh darah,” kata pria itu, kini sudah dud
“Sofia.”Suara yang biasanya tegas itu kini terdengar agak gemetar, dihantam angin laut yang dingin menusuk.Bisik-bisik pengunjung pantai menghantam telinganya.“Kasihan banget … dia lagi hamil, katanya.”“Tapi perempuan cantik. Sayang banget kalau beneran bunuh diri.”“Katanya sih dia depresi .…”Galtero mengepalkan tangan. Tidak mungkin rasanya Sofia bertindak seceroboh itu.Sepatu boot Galtero melangkah mantap menerjang pasir. Mata biru terangnya terkunci pada satu pemandangan, dan tangannya sudah siap membelah kerumunan orang-orang.“Tunggu.” Intonasinya dingin, dominan, dan sedikit gugup.Dia menyingkirkan beberapa orang di depannya tanpa basa-basi. Seketika matanya melebar melihat sosok di atas tandu.“Silakan jalan lagi,” ucapnya pelan. Membiarkan tim SAR menjalankan tugas setelah memastikan wanita pucat itu bukan istrinya.Napas Galtero berembus kasar. Dia menyapu pantai dengan tatapan tegang. Hari sudah berganti gelap. Namun, dia tidak menunggu bantuan. Kakinya terus melangk
Sementara Sofia terus berjalan di atas pasir basah, pikirannya berkecamuk dengan berita-berita miring yang menyebar begitu cepat. Di sisi lain, seorang wanita berambut pirang tersenyum puas menatap layar telepon genggam. “Ini belum seberapa, Sofia Morales,” desisnya. Jari Isabel membuka file lain di ponselnya—berkas rahasia yang diambil diam-diam dari sekretaris pribadi CEO Lumière waktu itu. Tatapan Isabel penuh kebencian. Layar ponsel dalam genggamannya menampilkan bukti pembayaran fasilitas panti jompo Renata oleh Torres Lumière. Tanpa ragu, Isabel mengirimkannya ke seorang buzzer bayaran dengan nomor sekali pakai. Setelahnya, dia terbahak pelan. Tawa itu terhenti oleh suara dingin di belakangnya. “Apa yang kamu tertawakan?” Nicolas menyambar, begitu tajam. Pria itu hanya mengenakan handuk, tubuhnya basah bukan oleh air mandi, tetapi karena keringat. Isabel meringis. Dia bisa mencium sisa-sisa tubuh perempuan lain yang baru saja disentuh pria itu. Padahal dia sendiri yang memb