Ada yang penasaran gak ya sama kisahnya Nicolas? Keluarga Marquez segitunya banget sam Sofia. T.T
“Mi Amor!” Galtero langsung menahan tubuh istrinya yang melipat kesakitan. Tangannya panik menyentuh perut Sofia yang sedikit menegang. “Apa ini kontraksi? Jangan bilang ….” Suaranya terputus dan napasnya memburu.Sofia menggigit bibir, keringat dingin membasahi pelipisnya. Perut bawahnya memang mengeras tidak seperti biasanya.“Aku tidak tahu … rasanya seperti diremas,” cicitnya. Mata Sofia mulai berkaca-kaca. Bahkan kepalanya seperti berdenyut.“Diam, jangan bergerak!” Galtero menyeka keringat di kening Sofia. Lalu ia berteriak pada sopir, “Cepat ke rumah sakit sekarang!” Tangannya terus menggenggam perut Sofia, seolah itu bisa melindungi janin yang sedang memberontak di dalam rahim wanitanya.Sorot mata birunya menajam, dengan suara gemetar ia berkata lirih, “Bertahan, Mi Amor. Aku tidak akan biarkan siapa pun, bahkan tubuhmu sendiri, melawan anak kita.”Apa pun akan ia lakukan demi buah cintanya. Galtero memejam sesaat, menyesali momen panas mereka barusan yang pada akhirnya meny
Isela meremas tangannya sendiri sampai buku jarinya memutih. Dadanya begitu sesak dan panas. Sikap pria di hadapannya begitu manis pada wanita yang berdiri di sampingnya, sambil bergelayut manja.Ia menelan ludah. Sebagai wanita tentu ingin disayangi, dihargai, dan dilindungi. Seharusnya ia juga tahu sejak awal Nicolas tak akan pernah bisa memberikan sesuatu yang dibutuhkan wanita. Isela menghela napas berat.Baru saat ia hendak memutar badan, dan kesulitan karena trolinya penuh, suara wanita dan pria yang tidaklah asing itu terdengar.“Kamu … Isela?”Isela ingin menghindar, tetapi terlambat. Akhirnya ia menoleh dan tersenyum kecil.“Nyonya Sofia, Tuan Muda Torres.” Isela mengangguk sopan, matanya sempat melirik rangkulan tangan Galtero di pinggang Sofia.“Kebetulan sekali. Umm ….” Sofia tak meneruskan ucapannya. Ia melirik suaminya yang tampak tak acuh. “Kasihan dia. Trolinya berat.” Ia menyenggol pelan pinggang pria itu.Galtero hanya merespons datar. “Hm.”Pria itu menoleh ke belak
Ferrari Roma merah melaju kencang. Nicolas seolah lupa untuk sesekali menggunakan rem. Setirnya ia cengkeram erat. Mata birunya menyorot jalanan dengan tajam.“Kirim detail alamatnya. Sekarang, satu menit,” tegasnya. Sambungan telepon masih terhubung.“Baik, Tuan.”Sekitar satu menit kemudian, notifikasi pesan diterima. Nicolas mendapat titik lokasi asistennya. Mobilnya membaca koordinat itu. Ia makin menambah kecepatan.“Benar bukan, kamu tidak akan bisa kabur dariku, Isela!” seringainya. Kepercayaan diri Nicolas memuncak tak tergoyahkan. Namun, saat tiba di salah satu gang sempit, matanya menyipit.Ia menghubungi anak buahnya lagi, memastikan tidak salah alamat. Semua datanya benar. Bahkan anak buahnya sudah menunggu di dalam gang. Musim dingin membuat tempat ini sepi, seperti tanpa penghuni.Nicolas memindai permukiman yang menurutnya kumuh, berbau dan sesak. Sampai ia harus menghindari sarang laba-laba. Penampilannya yang flamboyan membuat pria itu menjadi pusat perhatian sejak ke
Darah Nicolas berdesir, perut bawahnya menegang dan dada bidangnya yang ditumbuhi rambut agak lebat bergerak turun naik dengan cepat. Ia membelalak merasakan sentuhan lembut dari kulit yang dirindukannya.“Tuan Marquez … sentuh aku,” lenguh suara seseorang yang belakang ini memorak-porandakan pikiran pria itu.“Kemana saja kamu, Isela?” Tangan Nicolas sudah siap membawa panggul wanitanya mendekat, untuk mencecap manis dari tubuh itu.Hanya saja saat ia menggunakan seluruh tenaganya, Isela justru menghilang dari pandangan. Sentuhan yang tadi begitu nyata dan menggairahkan mendadak menguap bersama air hangat.“Argh … sialan kamu, Isela! Wanita tidak tahu diri!” Nicolas bangkit dari jacuzzi. Ia duduk di tepi sebentar, menenangkan miliknya yang kembali menegang.Sejak berhasil merenggut kesucian asistennya yang cantik, Nicolas menjadi candu pada wanita itu. Meskipun banyak wanita berhasil ia tarik ke atas ranjang, tidak ada yang memuaskannya seperti sang asisten. Bahkan Isabel pun tak seb
Hari-hari terus bergulir. Suhu makin dingin, salju tebal menumpuk di trotoar dan halaman rumah-rumah. Namun, tubuh Nicolas bergejolak bagai air mendidih. Wajahnya kaku, dan matanya enggan menatap semua orang yang duduk di hadapannya.“Sudah selesai?” Suara dingin pria itu bagai sebuah peringatan.Seorang pamannya yang sudah sepuh mendengkus. “Sabarlah. Tidak perlu terburu-buru.”Tanpa sepatah kata bantahan atau sahutan, Nicolas berdiri dari kursinya. Ia meraih jas yang tersampir pada punggung kursi. Mata birunya sempat melirik tajam pada wanita cantik nan anggun yang duduk menggunakan gaun biru tua. Sudut bibirnya hanya berkedut setipis helai rambut seaman mengejek.Pamannya mengejar, menahan lengan Nicolas. “Mau ke mana kamu, hah? Duduk diam. Ikuti acaranya sampai selesai!”“Yang tunangan bukan aku. Tapi kalian dengan wanita itu,” sarkas Nicolas. Tangannya terkepal menahan diri agar tidak mendorong pamannya yang bawel ini.“Nicolas Marquez!” Para anggota keluarga lainnya menatap kesa
Ibu jari Galtero nyaris saja menyentuh kontak Nicolas. Sofia yang melihatnya merasa merinding. Napasnya tersengal dan tiba-tiba ia menepis lengan suaminya. Ponsel di tangan Galtero nyaris terjatuh kalau saja ia tak menangkap ponselnya. “Ada apa?” “Tadi … aku … minta tolong Tuan Jose menghubungi Tuan Nicolas. Sudah tidak perlu kamu telepon,”dustanya. Jantungnya berdebar tak karuan. Sofia berharap tipuannya berhasil. “Baguslah, aku tidak perlu bicara dengannya.” Dengan cepat Galtero menaruh ponselnya lagi. Perasaan Sofia jadi lebih tenang. Ia lantas mengirim pesan pada Jose. [Tolong jaga Isela.] “Siapa yang kamu hubungi?” Tiba-tiba tanya pria itu, ternyata Galtero menyadarinya. Bibir Sofia terkunci rapat. Sifat Galtero yang pencemburu membuatnya berhati-hati. Ia bahkan menghapus riwayat pesan teks. Sofia mengedik bahu. “Tidak ada.” “Bukan Jose? Sepertinya bukan kebetulan kalian di rumah sakit yang sama.” Ekor mata pria itu melirik tajam pada Sofia. Tubuhnya seketika mematung.