Sofia tersentak ketika memasuki kamar, suaminya sudah duduk di sofa dengan laptop di atas meja. Seingatnya, dia tidak mendengar suara mesin mobil apa pun. Tidak mungkin suaminya pulang berjalan kaki.Pria itu tampak sibuk, sehingga Sofia berlalu saja ke kamar mandi. Mulai melepas satu per satu pakaiannya. Dia ingin berendam untuk mengusir penat. Uap tipis air hangat memenuhi udara dan arom terapi mulai menenangkan.Baru saja dia menikmati ketenangan sejenak, pintu kamar mandi sudah terbuka lebar. Sofia terlonjak, dia yakin tidak mendengar suara langkah sebelumnya. Sejak kapan pria itu masuk?Galtero masuk sambil menanggalkan pakaiannya di lantai. Pria itu mendekat, dan ujung jemarinya menyusuri lembut kulit lengan Sofia yang bersandar di pinggir bathtub.Wanita itu memejam sejenak saat rasa panas memasuki pori-porinya. Dia menggigit bibir bagian dalam, menahan lenguhan. Terlalu lelah pergi dan berdebat, Sofia mengamati sosok rupawan turut berendam, lalu menarik pinggangnya hingga dia
Sofia tersenyum kecut dan cepat menarik tangannya. Dia berniat melepas cincin pernikahan mereka, tetapi Galtero segera memeluk pinggulnya dengan kuat, menahannya tanpa suara. “Jangan pernah melepasnya lagi,” desis pria itu, napasnya terdengar sedikit bergetar. Sofia balas menatap . “Kalau kamu tidak ingin aku melepasnya, itu artinya aku berhak mengusir semua orang yang ingin merebutnya, bukan?” Bibirnya melengkung sinis. Dalam sekejap, Galtero menarik wajahnya. Bibir mereka bertaut. Ciumannya dalam dan penuh kuasa. Sofia tidak menghindar, justru membalas dengan gairah yang sama panas. Tangannya melingkar di leher suaminya, seperti mengikatkan luka yang mereka tabur bersama. Dia sudah memperhitungkan semua. Naluri seorang perempuan bisa membaca sinyal sesama. Meskipun tidak melihat langsung, Sofia tahu ada napas berat seseorang yang mengintip di balik tembok batas. Wanita itu harus tahu bahwa dia tak akan pernah menang. Karena Sofia Morales-lah istri resmi Fernando Galtero. Jika d
Derap langkah berat sepatu boots hitam menggema di sepanjang lorong panjang. Suasana hangat mendadak lenyap seiring dengan tatapan tajam yang tertuju lurus pada satu titik, menjadikan atmosfer berubah dingin dan menusuk. Dengan celana hitam pas badan, kaos turtle neck tipis senada yang dilapisi jaket kulit halus, serta jam tangan logam di pergelangan kiri, pria itu membuat siapa pun tidak berani menatap terlalu lama. Langkahnya terhenti di depan pintu putih yang tidak tertutup rapat. Seorang pria tambun bergegas menghampiri. “Akhirnya Anda datang, Tuan.” Alih-alih langsung masuk, Galtero menatap isi ruangan. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya datar. “Dia belum makan dan belum minum obat,” lapor Alonso sambil ikut menatap ke dalam. “Dia bilang hanya mau makan kalau Anda datang.” “Hm. Terima kasih, Paman.” Galtero melangkah masuk. Tatapannya langsung tertuju pada anak kecil berwajah pucat dan bersandar lemah di kepala ranjang. Di sampingnya duduk seorang wanita berambut merah
Pintu kamar mandi yang tertutup dan aroma keringat Isabel membuat Sofia sesak. “Jawab aku, Sofia!” desis Isabel, mempererat cengkeraman pada lengan Sofia hingga hampir memutih. Tubuh Sofia gemetaran sesaat, ingin menjerit, tetapi dia menahan diri. Wajahnya tampak pucat karena muak. “Jawab!” tuntut Isabel. “Lepas.” Perlahan, Sofia menoleh ke lengannya, lalu tatapannya naik ke wajah Isabel yang tampak garang. Bisa saja dia menjerit, tetapi untuk apa memberi kemenangan pada wanita itu? Sofia menepis tangan itu dengan tenang, lalu mencuci wajahnya di wastafel. “Jadi benar kamu hamil?!” ulang Isabel, embusan napasnya memburu Selesai mengeringkan wajah, barulah Sofia membalas dengan suara datar, “Apa kamu selalu sefrontal ini pada semua perempuan yang pernah tidur dengan Galtero? Atau ….” Dia menjeda ucapannya, lalu maju selangkah. “Hanya padaku karena kamu takut?” Tangan Isabel mengepal kuat dan tubuhnya gemetaran. Namun, wanita itu masih berani mengangkat kepala. “Kami memilik
Sofia menoleh pada Galtero yang membelai luka di jarinya dengan pelan. Namun, tatapan pria itu tertuju tajam padanya, seolah menguliti isi pikirannya.Sofia menelan ludah saat Galtero mengecup dalam luka itu dan pandangan mereka masih terpaut sangat pekat. Ini jelas mengerikan. Luka sekecil itu, bagi Galtero lebih dari sekadar sayatan, tetapi pemberontakan. Jantung Sofia berdentam kuat bukan karena suka dengan sikap suaminya, melainkan otak dan hatinya sibuk merangkai alibi yang masuk akal agar pria itu percaya. Dia yakin, satu kata saja salah terucap, entah apa yang akan terjadi dengan hidup sialnya ini.“Katakan, siapa yang berani melukaimu!” tuntut Galtero, suaranya dalam dan menekan. Dia menarik pinggang Sofia dengan pelan bagai hewan buas yang sedang bersandiwara agar mangsanya luluh.Tidak. Sofia bukan luluh, justru bergidik ngeri. Pria itu memiliki temperamen yang buruk, suasana hatinya sulit diterka, meskipun mereka sudah tinggal di bawah atap yang sama.“Bagaimana kalau aku
Tangan wanita itu tidak lagi diam di atas perut liat Galtero. Menyusup ke tubuh kekar seolah tahu betul bagaimana membakar hasrat pria itu dengan mudah. Aroma parfum yang familiar menyeruak memenuhi indera penciuman. “Aku merindukanmu,” bisik suara mendayu manja dari balik punggung. Dalam satu gerakan cepat, Galtero membalikkan tubuh, mendorong wanita itu hingga jatuh terduduk di sofa. Mata mereka bertaut, begitu panas dan tajam. “Kenapa datang ke sini?” Suara Galtero terdengar dingin dan tegas. “Di mana Carlitos?” “Kami membutuhkanmu, Galtero. Carlitos mencarimu,” ucap wanita itu dengan wajah berubah sendu. Namun, jemari nakalnya masih sempat menyusuri dada bidang Galtero, mencoba mengulang percikan yang dulu pernah mereka rajut. “Dia jatuh dari tangga,” lanjut Isabel, kali ini air mata benar-benar mengalir di pipinya. “Dia ingin kamu di rumah sakit. Sebagai papanya.” Galtero terdiam. Tangannya mengepal dan pandangannya lurus ke dinding, pada retakan di sudut yang dia b