“Dia … bekerja di Torres Lumière,” jawab Sofia. Dia mulai merasa ada sesuatu yang janggal, sebab tidak biasanya Jose menyinggung tentang sang suami.“Berhati-hatilah, Sofia. Sebaiknya jangan mencari masalah, baik itu pada suamimu … atau Tuan Marquez.” Ucapan Jose membuat Sofia mengerutkan alis dengan dalam.Dia sungguh tidak mengerti.“Tuan Jose … kenapa Anda bersikap seolah-olah mereka itu monster?” Sofia ingin sekali memukul meja, tetapi tangannya hanya mengepal di pangkuan. Rahang wanita itu menegang. Dia tidak terima suaminya dikatakan tidak baik, setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Galtero belakangan ini.Jose tercengang sesaat, mendengar bahwa Sofia benar-benar tidak tahu siapa Galtero sebenarnya. Pria itu memejamkan mata, seolah sedang mempertimbangkan ucapan yang hampir keluar dari mulutnya. Dia mengembuskan napas pelan.“Ya, benar, aku berlebihan karena ingin melindungi semua modelku,” tanggap Jose akhirnya. Dia berdiri, lalu mengulurkan tangan mempersilakan Sofia unt
Wajah Sofia bersemu merah ditatap intens oleh Galtero. Belum lagi dia duduk di atas paha keras pria itu. Keduanya saling berhadapan.Galtero menciumnya lagi, menuntut terlalu dalam dan menggebu. Meraih satu tangan Sofia, menuntunnya untuk menyentuh bagian dirinya yang menegang.“Aku akan diam,” desah pria itu, lalu menyandarkan tubuh pada punggung sofa.Akhirnya … Sofia mengerti maksud sang suami.Galtero memang tidak menyakitinya secara fisik, juga tidak memaksa untuk berhubungan intim. Dia hanya memberi waktu, membiarkan Sofia menerima memuaskannya dengan sepenuh hati.Ini membuat Sofia tersenyum kecil.Mengandalkan nalurinya sebagai wanita dewasa, Sofia mengambil kendali dengan lembut. Saat Galtero meraba punggungnya, dia menahan tangan pria itu.“Biar aku yang menyentuhmu,” bisiknya, membuat sudut bibir Galtero berkedut tipis.Kancing kemeja dilepas satu per satu. Sofia sengaja mengulur waktu. Bukan untuk menghindar, tetapi karena dia ingin menyiksa pria itu secara perlahan, sebel
Setelah menginap sehari di klinik, akhirnya dokter memberikan izin Sofia pulang, dengan catatan menjaga kondisi kehamilannya. Bahkan untuk aktivitas seksual, dokter melarangnya.Saat ini dia duduk di samping Galtero yang mengemudi mobil. Diam-diam, dalam sunyi dan embus mesin pendingin, ekor matanya melirik sisi wajah tampan Galtero.Sofia mereguk air liurnya sendiri tatkala batinnya bingung, entah keberuntungan atau bukan menikah dengan pria ini.Sejak percakapan kemarin, sudah dapat dipastikan dinding pembatas yang dibangunnya runtuh. Tidak dipungkiri, hatinya ingin mengenal suami arogannya ini lebih dalam, apalagi ada anak yang akan lahir beberapa bulan lagi.Saking fokus pada pikirannya sendiri, Sofia tidak sadar bahwa mobil terhenti di rambu lalu lintas.Galtero menyadari istrinya melamun.Pria itu mendekat dan mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di samping telinga Sofia. Sambil menyentuh perut wanitanya, dia berbisik, “Apa yang kamu pikirkan?”Sofia terperanjat. Refleks dia meno
“Kalimat seperti itu tidak pantas keluar dari bibirmu. Terutama saat kamu mengandung anakku.” Galtero meraih dagu Sofia, ibu jarinya menopang lembut dan telunjuknya mengusap bibir wanita itu yang mengering. Bahkan pria itu menyeka air mata yang baru saja keluar. Mengecup pipi Sofia dengan bibir panasnya. Namun, rasa gundah Sofia tak juga padam. “Kenapa … kenapa kamu membiarkan aku percaya kalau Carlitos anakmu? Kamu penipu, Galtero!” serunya. Sofia terkekeh kecil, tetapi matanya masih memerah dan cairan bening jatuh lagi membasahi pipinya. “Apa ini … alasanmu bilang … aku tidak perlu cemburu pada mereka?” sambung Sofia lagi. Suaranya masih bergetar. Dia ingin menghujat pria itu, tetpi suaranya tercekat. Makin banyak bicara, dia jadi sadar—rasa sayangnya justru bertambah di tengah kebencian yang mendidih. Tatapan Galtero tidak lepas dari wajah Sofia. PandangN wanita itu jelas menyiratkan kekecewaan mendalam. Namun, dia juga tidak berusaha menjelaskannya lebih jelas. Membiarkan Sofi
“Aku harus pergi sekarang,” gumam Sofia. Ekor matanya melirik ke arah Galtero yang masih terbaring dengan mata terpejam. Napasnya teratur dan dalam.Sofia menjulurkan jemari, menyentuh perlahan ujung dagu pria itu untuk memastikan. Masih pulas. Efek alkohol semalam pasti belum benar-benar hilang.Dia buru-buru bersiap. Hanya saja sebelum pergi, Sofia membuatkan air lemon hangat dicampur madu, menuangkannya ke dalam gelas tahan panas dan meletakkannya di atas nakas.[Minum ini. Habiskan.]Dia menulis singkat di secarik memo dan menyelipkannya di bawah gelas.Begitu keluar kamar, Carlitos langsung menyambutnya. Bola sepak di tangan anak itu terjatuh saat Sofia tak menghentikan langkah.“Umm … Carlitos, aku sedang sibuk. Tidak bisa main,” katanya, suara Sofia pelan sambil mengusap pipi bocah itu.Carlitos mengerucutkan bibir, wajahnya menjadi sendu. “Aku kangen Mama. Sekarang Mama kerja jauh. Bibi juga sibuk. Aku main sama siapa?”Sofia terdiam sejenak. Satu sisi ingin menjauh, tetapi si
Nicolas berpuas hati melihat wajah Galtero menegang. Pria itu lalu terbahak-bahak sendiri, hingga mengundang perhatian dari para anggota tim.“Ah, tentu saja aku harus memanggilmu … Nyonya Galtero, bukan?” Dari nada bicaranya saja sangat jelas sebuah sindiran.Sofia cukup tahu diri untuk tidak melibatkan suami pemarahnya lebih jauh. Dia pun sedikit membungkuk. “Tuan Marquez, mohon maaf … kami tidak—”“Kita pergi bersama,” sela Galtero. Dia menyatukan jemari dengan Sofia. Lalu mengecup punggung tangannya tepat di depan mata Nicolas. Tatapan mata birunya menyiratkan bahwa Sofia miliknya, wanitanya, dan tidak ada siapa pun, atau bahkan seekor lalat yang boleh menyentuhnya.Diperlakukan seposesif itu di depan umum membuat Sofia memerah. Bukan karena tersipu, melainkan merasa ngeri. Merinding. Ada sisi batinnya yang muak, tetapi juga ….‘Galtero terlalu posesif. Tapi anehnya, hatiku malah merasa aman,’ batin Sofia.Dua pria bermata biru terang itu saling menatap, sarat akan kebencian yang