Ririn sudah keluar dari apartement, ia sendirian berjalan dalam keadaan yang menangis tersedu-sedu. Hatinya merasakan amat kesakitan.
7 tahun bukan waktu yang sebentar, sudah terlalu banyak hal yang sudah dirinya lewati bersama dengan Miko. Ririn sangat mencintai pria itu dan mempercayainya.
Tapi orang yang ia cintai dan percayai malah orang yang akan menghancurkan hatinya berkali-kali lipat.
Semua yang sudah ia susun tentang rumah tangga bersama dengan Miko harus pupus dan hanya menjadi tinggal kenangan yang menyakitkan.
Tak akan ada lagi hari pernikahan dan impian dirinya untuk membangun rumah tangga dengan pria itu. Uang yang sudah ditabung selama ini untuk pernikahan, hanyalah sia-sia saja.
Ririn berada dihalte bus sendiri saja, waktu sudah menunjukan pukul 10 malam. Hawa dingin yang menusuk tubuhnya yang begitu dingin.
Tapi hawa dingin itu tak dirasakan sama Ririn, ia hanya merasakan rasa sakit saja dan tak merasakan apapun sama sekali.
Tangan Ririn menghapus dengan kasar air mata yang keluar dari mata indahnya. Karena bus yang akan di naiki sudah datang.
Ririn menuju ke kursi belakang dan duduk, matanya menatap ke arah luar jendela bus. Untung saja suasana dibus tak terlalu ramai.
Membuat ia bisa menangis sepuasnya, tanpa harus ada orang bertanya, kenapa dirinya menangis seperti ini. Ririn membutuhkan waktu 15 menit, untuk sampai ke halte bus yang berada didekat rumahnya.
Ririn keluar dari bus dan berjalan menuju rumahnya yang berada digang. Selama berjalan menuju rumahnya.
Matanya terus saja menghapus air matanya, agar ke dua orang tuanya tak bertanya tentang keadaan dirinya.
Saat dirinya sudah sampai didepan pintu rumahnya, ia menghapus air matanya dengan kasar lagi. Menghirup udara dalam-dalam dan ia keluarkan.
Ririn tak ingin ke dua orang tuanya khawatir dan juga marah. Ririn juga tak ingin ada pertengkaran lagi.
Cukup dirinya, Mba Vanya dan juga Miko yang tau. Ririn tak ingin orang tuanya tau dan pasti ia sangat yakin akan ada perang yang terjadi dirumah.
Keluarganya sudah harmonis dan bahagia, jadi dirinya tak ingin, hanya karena masalah percintaan saja akan membuat keluarganya menjadi tak nyaman.
"Semua baik-baik saja Ririn." Hanya kata-kata itu saja yang bisa ia ucapkan, agar membuat perasaanya menjadi terhibur.
Ririn tersenyum paksa, walaupun hatinya menjadi hancur berkeping-keping. Senyuman ini dilakukannya agar ke dua orang tuanya tak khawatir kepadanya.
Kakinya berjalan masuk ke rumah dan mendepati Ayahnya yang berada disofa sedang menonton Tv.
Tapi Ririn tau kalau Ayahnya itu sedang menunggu dirinya dan juga Mba Vanya, ia kembali memastikan tak ada lagi air mata yang keluar dari matanya ini.
Setelah itu ia berjalan mendekati Ayahnya dan duduk disamping pria itu, ia merangkul lengan Ayahnya dan menyandarkan kepalanya ke bahu Ayahnya Fahri.
"Kamu sudah pulang? tadi dari mana?" tanya Fahri Ayahnya Ririn.
"Menghirup udara segar saja Ayah," bohong Ririn.
"Kakakmu belum pulang juga? Ayah kira kalian pergi bersama."
"Iya tadi aku sama Mba pergi bersama dan ada temannya, jadi aku pulang lebih dahulu. Mungkin Mba malam ini akan menginap."
Walupun ia sakit mengatakan hal itu, ia ingin sekali berkata jujur. Tapi lagi-lagi ia tak ingin membuat ke dua orang tunya bersedih.
"Kakak kamu itu selalu saja menginap."
Ririn tersenyum sinis mendengar kata kakaknya yang selalu menginap, ia baru tau kalau kakaknya itu menginap dengan pacarnya atau lebih benar mantan pacarany. Mereka bahkan sudah melakukan hubungan suami dan istri.
"Mamah sudah tidur?" tanya Ririn yang mengalihkan pembicaraan agar tak terus bicara tentang Mba Vanya.
"Iya, Mamah kamu sudah tidur nyenyak."
"Ayah tak tidur?"
"Ayah tak bisa tidur, ke dua putri Ayah belum juga pulang ke rumah."
"Ayah so sweet sekali." Ririn yang semakin mengeratkan rangkulan ditangan Ayahnya itu.
"Tidurlah didalam kamar kamu dan cepat istirahat saja karena besok kamu harus bekerja."Ayah Fahri sambil mengelus puncak kepala putrinya itu.
"Sebentar saja Ayah seperti ini, sangat nyaman." Ririn memejamkan matanya, karena bahu Ayahnya ini begitu nyaman dan membuatnya sedikit melupkan ras hatinya yang mendalam.
**
Pagi yang cerah, tapi tidak suasna hati Ririn yang masih harus menatap perasaanya yang sudah hancur bekeping-keping ini.
Ririn membuka matanya, tubuhnya menjadi jauh lebih baik. Pastinya ia karena kenyamanan Ayahnya tadi malam. Membuat ia bisa tidur dengan nyenyak.
Ririn bergegas mandi dan bersiap-siap karena ia akan bekerja kali ini, ia melihat sekeliling kamarnya yang berantakan sekali.
Ia melihat jam dan dirinya harus bergegas agar tak telat. Ririn tak ingin lagi membuat kesalahan lagi dan membuat ia dimarahi sama atasannya itu.
10 menit sudah berlalu dan Ririn sudah siap dengan pakaian casual miliknya dan tak lupa juga bag yang selalu ia bawa untuk menyimpan baju kokinya dan juga perlengkapan dirinya yang lain.
Ririn tak bisa berkaca karena cerminnya yang sudah rusak, kamarnya ini begitu mengenaskan sekali akibat ulahnya yang marah-marah.
"Semuanya harus baik-baik saja."
Ririn selalu berucap seperti itu, agar ia bisa menyakinkan dirinya yang sedang terluka, kalau semuanya akan baik-baik.
Tanpa sarapan pagi, Ririn sudah keluar dari rumahnya. Tak lupa juga ia selalu memberikan kecupan untuk ke dua orang tuanya.
Ririn bahkan tak perlu lagi mencari tau Mba Vanya lagi disetiap paginya, karena ia sudah tau apa yang mereka lakukan dibelakang dirinya.
Setiap hari ia akan selalui berjalan dari rumahnya menuju halte bus, ia berjalan kaki. Saat ia sedang berjalan kaki.
Ririn melihat keramaian, pantas saja ramai ada stand-stand kecil yang berjejeran dan menampilkan banyak hal di stand itu.
Kepalanya berdongkak untuk melihat tulisan itu, festival pertukaran budaya. Ririn memasuki festival itu karena memang hanya jalan ini satu-satunya ia menuju ke halte busnya.
Memang setiap sebulan sekali akan ada festival selama 1 minggu, makannya ia tak terlalu shock. Setiap Ririn melewati berbagai stand tersebut.
Dirinya selalu saja ditawari lembaran brosur. Dulu ia selalu menolak lembaran brosur itu, agar ia tak membacanya dan malah membuatnya menjadi tertarik.
Semua itu ia lakukan agar ia bisa menabung dengan banyak-banyak, agar ia bisa cepat menikah dengan kekasihnya dengan uang tabungan yang ia kumpulkan.
Tapi sangat disayangkan kalau pria itu malah mengkhianati dirinya. Ririn mengelengkan kepalanya agar ia tak memikirkan pria itu lagi.
Hingga membuat dirinya menjadi sedih dan menangis kembali. Ririn bekerja harus dengan suasan yang indah, agar masakan yang ia masak menjadi lezat.
Ririn sudah berada didalam bus dan seperti biasa, dirinya akan duduk dibelakang bus. Ririn pun membaca-baca brosur itu sambil menunggu dirinya sampai ke tempat tujuannya.
Semua brosur ini, berisi tentang berbagai keindahan negara-negara yang ada didunia. Ririn tersenyum melihat keindahan negara hanya dari brosur ini saja.
Ririn selalu melihat keindahan negara hanya ada dari Tv dan paling saat ia melihat film atau drama.
Hanya sebatas itu saja, lain hal kakaknya yang sudah bekeliling dunia. Sedangkan ia hanya fokus menabung dan menabung saja.
Saat ia membaca brosur lain, ada satu hal yang membuat Ririn sangat tertarik. Tempat dimana ia selalu inginkan kujungin.
"Hawai." tempat dimana ia ingin kunjungi karena keindahannya.
Tempat dimana Ririn kecil pernah berkata kepada Ayahnya, akan mengunjungi tempat tersebut saat ia sudah menghasilan uang sendiri dengan bekerja.
"Hawai."
Di pagi buta seperti ini. Dirinya sudah dipaksa untuk bangun dari tidurnya dan tiba-tiba saja Roy mengatakan kalau kakaknya sedang menunggu didalam mobil sedan berwarna putih. Roy menipunya dengan mengatakan hal tersebut, membawanya pada pukul 6 pagi hari. Bahkan matahari saja belum muncul.Bahkan Ririn ingin meminta bantuan dari Ares, tapi pria itu sama sekali tak bisa dihubungi. Padahal semalam dirinya tidur bersama dengan Ayah dari anaknnya, di kamar rumah sakit. Membuat Ririn mengucapkan sumpah serapah kepada Roy, yang seenaknya saja membawa dirinya di pagi hari ini."Tersenyumlah agar cantik," ucap Roy kepada wanita itu yang sedang duduk."Apa yang elu lakukan sama gue Roy?" Ririn menatap tajam adik dari Ares.Tapi bukannya menjawab apa yang dikatakan sama Ririn, Ares malah memerintahkan kepada staff untuk melakukan hal magic kepada Ririn, yang sedang marah-marah itu."Roy!!
Pukul 8 malam hari di rumah sakit. Ririn tetap berada disamping kakaknya yang tak juga terbangun. Hati Ririn hancur melihat alat-alat yang menempel ditubuh Vanya. Ririn juga tak henti-hentinya untuk menangis.Ririn memegang dengan lembut tangan Vanya, sambil berdoa kepada Tuhan, agar membuat Vanya cepat sadar. Tapi kakaknya tak juga sadar, padahal kata dokter kakaknya akan bangun. Tapi kenapa Vanya belum juga membuka matanya.Kriet. Pintu terbuka dan membuat Ririn menoleh, mendengar suara itu."Rin. kembalilah ke kamar kamu." Roy mendekati wanita hamil tersebut."Masih ada disini?" Ririn yang kaget karena Roy masih berada dirumah sakit, dirinya mengira kalau Roy akan kembali."Hm, priamu itu memintaku untuk menemanimu," jawab Roy yang berdiri disamping Ririn.Ririn hanya menganggukan kepalanya saja. Tatapan matanya kembali melihat ke arah Vanya. "Kapan kakak
Ares mendobrak pintu berkali-kali, tapi pintu ruang bawah itu sangat kuat dan membuat Ares susah menembusnya. Oleh karena itu Ares menembakan pintu terbuka dan membuat kunci pintu hancur. Membuatnya menjadi lebih mudah masuk ke dalam ruang bawah tersebut Bibirnya menyeringai bak seorang iblis. Tatapan matanya dan aura yang Ares keluarkan berubah seketika, saat melihat orang yang dicarinya. Ares menatapnya seakan ingin membunuh langsung Miko, yang sedang duduk dengan wajah yang babak belur. Pria itu langsung saja bangun disaat melihat kedatangan Ares, dengan tangan yang membawa senjata api tersebut. Ares mendekati pria bajingan itu dan membuatnya saling berhadapan dengan pria yang sudah membuat akal sehatnya menghilang. Tapi bukannya takut dengan kedatangan Miko.
Vanya akhirnya mendapatkan pertolongan. Ambulance membawanya pergi tubuhnya menuju rumah sakit bersama dengan Ririn yang tak ingin berpisah dengan kakaknya tersebut. Sedangkan Roy menelpon rumah sakit untuk menyediakan segalanya dan tak lupa juga memberitahu Ares melalui sekretarisnya tentang apa yang terjadi hari ini. Ares sangat sibuk sekali karena jadwal hari ini begitu padat sekali dengan berbagai macam rapat. Hingga membuat kakaknya melupakan ponselnya. Roy yang mengangkat panggilan masuk dari nomer asing di ponsel milik Ares dan yang mendengar suara-suara Ririn meminta pertolongan. Tapi setelah itu panggilannya terputus dan Roy menghubungi balik tapi ponsel tersebut tidak aktif lagi. Lantas dengan cepat Roy melacak semua jaringan itu dengan berbagai cara yang dirinya ketahui, hingga ia menemukan lokasinya. Untung saja Roy biasa menemukan lokasinya dengan cepat. Jika tidak kedua bersaudara itu akan dalam bahaya, terutama Ririn
Miko semakin mendekati Ririn yang terus saja mundur-mundur. Tapi Miko mendekati wanita yang terlihat jelas kalau sedang ketakutan. "Jika saja kamu kebih nurut, pasti tak akan terjadi hal ini." Miko menyeringai sinis dan tatapan mata Miko sangat tajam, seperti pedang yang siap menghunus siapapun.Vanya berdiri dengan susah payah, walapun harus menahan rasa sakit akibat tubuhnya yang menerima hantaman keras oleh Miko. Vanya harus bangkit karena ia melihat adiknya dalam keadaan yang berbahaya, Vanya tak akan membiarkan Miko melukai Ririn dan bayinya.Vanya menarik tangan Miko agar menjauh dari adiknya. Menahannya dengan sekuat tenang, walaupun dengan tubuh yang sakit. "Lari Ririn, keluar dari apartemen ini!!" teriak Vanya kepad adiknya."Tidak, tidak. Kita harus keluar bersama!!" ucap Ririn yang melihat kakaknya terus menahan Miko."Cepatlah, tak punya banyak waktu. Keluarlah!!" teriak Vanya.
Entah keberanian dari mana membuat Ririn melakukan hal gila ini dengan bawa-bawa pisau. Tapi jika dirinya tak melakukan hal ini, pasti Ririn akan di lecehkan lagi sama Miko. Ririn tak ingin membiarkan hal itu terjadi."Baiklah sayang. Aku tak dekat-dekat dengan dirimu."Ririn sedikit tenang karena ancaman dirinya ini sangat ampuh dan membuat Miko tak akan berniat untuk melecehkan dirinya lagi. "Dimana kakak gue?" tanya Ririn kepada Miko.Arah pandangan mata Ririn berahli melihat ke arah telunjuk tersebut. Dugaan dirinya sepertinya memang benar, kalau kakaknya tersebut disembuyikan sama Miko. "Buka pintunya," perintah Ririn. Pasti pintu itu terkunci jika tidak, pasti kakaknya akan keluar dan menemui dirinya."Baiklah, tapi pisau itu jauhkan dari tangan kamu." Miko yang masih panik dengan apa yang dilakukan sama Ririn. Miko hanya menuruti apa yang dikatakan sama Ririn, tapi setelah itu ia akan me