"Ada apa?" tanya Binnie yang sedari tadi melihat Ririn yang terus saja memandang selembaran brosur itu.
"Indah kan?" Ririn yang bertanya kepada temannya itu.
"Iya indah sekali, terkenal dengan pantainya luar biasa," jawab Binnie yang juga ikut melihat brosur itu.Ririn masih memandangi brosur, dengan sekali-kali bibirnya tersenyum manis. Binnie melihat ekspresi wajah Ririn, yang sepertinya senang sekali hanya melihat brosur itu."Pergilah!"Ririn yang mendengar apa yang dikatakan sama teman itu, ia menoleh ke arah Binnie. Ririn hanya mengelengkan kepalanya saja, sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan sama Binnie."Kenapa?"Saat Ririn ingin menjawab pertanyaan dari temannya itu, suara intruksi terdegar dan menandakan kalau waktu jam istirahat sudah selesai. Semua chef harus kembali lagi untuk memasak.Kali ini Ririn tak melakukan kesalahan seperti kemarin, dirinya juga memasak seperti biasanya yang selalu nikmat dan memuaskan para tamu yang datang."Kau sudah membaik Ririn?"Ririn terlonjak kaget mendengar pertanyaan itu yang tiba-tiba saja, Ririn kepalanya menoleh ke samping dan melihat kalau kepala chef yang berbicara seperti itu kepada dirinya."Sepertinya," jawab Ririn diseratai dengan senyumana."Pergilah!!""Ha?" bingung Ririn mendengar apa yang dikatakan sama kepala chefnya itu."Chef melihat kamu terus saja memperhatikan brosur itu. Jika kamu suka pergilah, jangan hanya memandangi lembaran kertas itu aja.""Membuang uang," timpal Ririn disertai dengan gelengan kepalanya."Sudah waktunya kau membuat dirimu bahagia.""Tapi..." bingung Ririn."Kau sudah bekerja keras, pasti uangmu sangat banyak dan sekarang waktunya, kamu menikmati uangmu itu untuk kebahagiaan dirimu sendiri."Semangatlah." kepala chef menepuk pundam Ririn, lalu berjalan untuk melihat chef yang lainnya.Ririn terdiam setelah mendengar perkataan dari kepala chef-nya, yang mana mengatakan kalau dirinya harus berjalan-jalan agar membuat dirinya sendiri merasa bahagia.Ririn mengakui kalau selama ini hidupnya ini, hanya tentang bekerja saja, karena tujuannya adalah pengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Agar bisa pesta pernikahan yang mewah dan juga membangun rumah impian bersama dengan sang mantan pacar itu.Tapi semua itu hanyalah tinggal kenangan saja, karena orang yang ia impikan selama ini adalah orangnya telah menghancurkan hatinya hingga hancur berkeping-keping seperti ini."Berliburlah sekalian membuat hatimu menjadi tenang dan jauh lebih baik."Ririn menoleh dengan cepat dan mendapati kalau kepala chef-nyalah yang bicara. Ia terkejut sekali karena atasan ini, yang selalu saja tiba-tiba bicara."Akan saya pikirkan chef." Ririn hanya menjawab itu dan ia kembali melakukan aktivitasnya untuk memasak.***Setelah ia memeluk Binnie dilobi hotel, untuk berpisah karena arah rumahnya yang berbeda. Ririn seperti biasa ia berjalan menuju halte bus, kali ini dirinya tak ditemani dengan earphone dan ponselnya.Barang-barang miliknya rusak karena ia hancurkan, akibat rasa frustasinya yang mengetahui perselingkuhan tersebut. Ririn berjalan sambil matanya yang membaca lembaran brosur itu.Ririn menatap sekeliling orang-orang Yang sepertinya juga baru pulang bekerja seperti dirinya. Ingatannya kembali mengingat perkataan, yang dilontarkan sama kepala chef-nya tersebut.Didalam bus juga Ririn memikirkan ucapan kepala chef-nya itu, yang tergiang dikepalanya ini. Selama ini dirinya terus saja bekerja keras, sehingga sering mengambil pekerjaan di saat hari-hari besar.Agar uangnya cepat terkumpul banyak, tapi Ririn menyadari kalau itu semua hanyalah sia-sia semata. "Apa aku harus pergi?"
Selama perjalanan menuju ke rumahnya, ia selalu bertanya-tanya akan hal itu. Tapi ia takut hanya membuang uang saja, tapi dilain hati dirinya ingin pergi ke tempat dimana ia impiakan selama ini.
Saking Ririn yang memikirkannya, hingga ia tak menyadari kalau dirinya sudah sampai di halte bus yang ia tuju. Hampir saja, Ririn tak bisa turun. Untung saja, ia menyadari kalau dirinya sudah sampai halte bus di dekat rumahnya.
Saat dirinya memikirkan hal itu, hingga membuat ia melamun sambil berjalan menuju rumahnya.
Bruk.
"Maaf." Ririn membungkukkan kepalanya berkali-kali, kepada orang yang sudah ia tabrak dengan tubuhnya ini.
"Maaf, maaf saya tak hati-hati." Ririn mendongakkan kepala dan tubuhnya langsung saja membeku saat melihat orang yang ia tabrak adalah mantan kekasihnya selingkuh itu.
"Ririn."
Ririn pura-pura tak mengenali pria itu dan langsung saja melewati tubuh Miko. Kakinya berjalan cepat, agar pria tersebut tak mengejarnya.
"Ririn, kita harus bicara."
Semua yang dikatakan sama Miko ia hiraukan dan ia abaikan sama sekali. Ririn malu karena di sepanjang perjalanan, Miko terus saja memanggil dirinya dan mengatakan kalau 'kita harus bicara bicara'
Tapi Ririn masih kekeuh dengan pendiriannya, yang tak ingin bicara sama sekali sama Miko. Bagi Ririn kemarin malam, sudah sangat cukup bicara dan tak perlu mengatakan apapun lagi sama sekali.
"Cukup Miko!" tegas Ririn yang muak dengan pria itu, yang masih saja mengikuti dirinya.
"Kita harus bicara." Miko berkata dengan nada yang lembut sekali.
"Bicara? untuk apa? semua sudah jelas!" Ririn mendorong tubuh Miko, agar menyingkir dari dirinya.
Saat ia sudah sampai didepan rumahnya, sebuah tangan memeluk pinggangnya dengan erat. Ririn tau jelas siapa tangan yang memeluk, pinggangnya ini.
"Maaf, maaf, maaf." Miko berulang kali harus mengatakan kata itu sambil tangannya memeluk erat pinggang Ririn dari belakang.
"Kau tau Miko, disana aku melihat kau memeluk pinggang Mba Vanya. Seperti yang kau lakukan kepadaku hari ini, bedanya hari itu kau memeluk kakakku sendiri bukan pacarmu."
Ririn yang mengingat jelas yang terjadi hari itu. Ia berusaha menguatkan dirinya, agar tak menangis lagi. Seharian ini ia sudah cukup merasa bahagia dan melupakan masalah yang terjadi.
Tapi pria ini datang lagi dan menemuinya. Membuat ia kembali mengingat apa yang mereka lakukan kepada dirinya. Ririn dengan sekuat tenaga melepaskan tangan itu, yang sudah lancang memeluk dirinya.
"Tangan menjijikan ini, dilarang menyentuh gue!!" maki Ririn sambil berusaha melepaskan tangan Miko dari pinggangnya.
Ririn menatap tajam ke arah Miko, lalu ia masuk ke dalam rumahnya. Tapi suara pintu rumahnya terbuka dan Ririn melihat Mba Vanya yang keluar.
"Suruh pacarmu itu jaga sikap!" Ririn berkata seperti itu dengan tegas kepada kakaknya.
Lalu Ririn masuk ke dalam rumahnya dan langsung saja menuju ke dalam kamarnya. Tubuhnya terjatuh dilantai, ia hampir saja goyah perasaanya ini.
Pelukan hangat dari Miko yang selalu ia rindukan. Membuat perasaanya kembali mengingat masa lalu yang indah bersama dengan Miko.
"Tak boleh Ririn, kau harus move-on." Ririn yang bicara kepada dirinya sendiri, agar tak termakan ucapan pria itu lagi.
Hubungan sudah hancur karena perselingkuhan dan tak boleh kau masih menyimpan rasa kepada pengkhianat tersebut.
Ririn bangkit untuk berdiri dan berjalan menuju ke lemari kamarnya, ia membuka laci kecil dan mengambil buku tabungan miliknya. Ia membuka buku tabungan yang mana adalah uang, untuk modal membangun rumah tangga bersama dengan Miko.
"370 juta."
Uang yang selama ini dirinya kumpulkan lumayan banyak. Ririn mengambil brosur itu lagi yang berada di tas miliknya dan mengeluarkannya.
"Apa harus pergi? hati ini sepertinya memang butuh ketenangan."
Hari Ririn menjadi bimbang karena ada rasa gejolak didalam dadanya. Pertengkaran batin antara pergi atau tidak.
Ririn berjalan menuju jendela kamarnya, ia ingin melihat apa yang dilakukan pasangan selingkuhan itu. Ririn melihat kalau kakaknya, yang sepertinya sedang marah-marah sama Miko.
Mungkin saja marah karena Miko yang memeluk dirinya. "Mari kita pergi Ririn." tangannya menyentuh dadanya, yang mana masih jelas merasakan kesakitan sebuah pengkhianatan.
"Mari kita pergi ke Hawai."
Ririn sudah menetapkan pada sebuah pilihan, yang baik bagi dirinya.
Di pagi buta seperti ini. Dirinya sudah dipaksa untuk bangun dari tidurnya dan tiba-tiba saja Roy mengatakan kalau kakaknya sedang menunggu didalam mobil sedan berwarna putih. Roy menipunya dengan mengatakan hal tersebut, membawanya pada pukul 6 pagi hari. Bahkan matahari saja belum muncul.Bahkan Ririn ingin meminta bantuan dari Ares, tapi pria itu sama sekali tak bisa dihubungi. Padahal semalam dirinya tidur bersama dengan Ayah dari anaknnya, di kamar rumah sakit. Membuat Ririn mengucapkan sumpah serapah kepada Roy, yang seenaknya saja membawa dirinya di pagi hari ini."Tersenyumlah agar cantik," ucap Roy kepada wanita itu yang sedang duduk."Apa yang elu lakukan sama gue Roy?" Ririn menatap tajam adik dari Ares.Tapi bukannya menjawab apa yang dikatakan sama Ririn, Ares malah memerintahkan kepada staff untuk melakukan hal magic kepada Ririn, yang sedang marah-marah itu."Roy!!
Pukul 8 malam hari di rumah sakit. Ririn tetap berada disamping kakaknya yang tak juga terbangun. Hati Ririn hancur melihat alat-alat yang menempel ditubuh Vanya. Ririn juga tak henti-hentinya untuk menangis.Ririn memegang dengan lembut tangan Vanya, sambil berdoa kepada Tuhan, agar membuat Vanya cepat sadar. Tapi kakaknya tak juga sadar, padahal kata dokter kakaknya akan bangun. Tapi kenapa Vanya belum juga membuka matanya.Kriet. Pintu terbuka dan membuat Ririn menoleh, mendengar suara itu."Rin. kembalilah ke kamar kamu." Roy mendekati wanita hamil tersebut."Masih ada disini?" Ririn yang kaget karena Roy masih berada dirumah sakit, dirinya mengira kalau Roy akan kembali."Hm, priamu itu memintaku untuk menemanimu," jawab Roy yang berdiri disamping Ririn.Ririn hanya menganggukan kepalanya saja. Tatapan matanya kembali melihat ke arah Vanya. "Kapan kakak
Ares mendobrak pintu berkali-kali, tapi pintu ruang bawah itu sangat kuat dan membuat Ares susah menembusnya. Oleh karena itu Ares menembakan pintu terbuka dan membuat kunci pintu hancur. Membuatnya menjadi lebih mudah masuk ke dalam ruang bawah tersebut Bibirnya menyeringai bak seorang iblis. Tatapan matanya dan aura yang Ares keluarkan berubah seketika, saat melihat orang yang dicarinya. Ares menatapnya seakan ingin membunuh langsung Miko, yang sedang duduk dengan wajah yang babak belur. Pria itu langsung saja bangun disaat melihat kedatangan Ares, dengan tangan yang membawa senjata api tersebut. Ares mendekati pria bajingan itu dan membuatnya saling berhadapan dengan pria yang sudah membuat akal sehatnya menghilang. Tapi bukannya takut dengan kedatangan Miko.
Vanya akhirnya mendapatkan pertolongan. Ambulance membawanya pergi tubuhnya menuju rumah sakit bersama dengan Ririn yang tak ingin berpisah dengan kakaknya tersebut. Sedangkan Roy menelpon rumah sakit untuk menyediakan segalanya dan tak lupa juga memberitahu Ares melalui sekretarisnya tentang apa yang terjadi hari ini. Ares sangat sibuk sekali karena jadwal hari ini begitu padat sekali dengan berbagai macam rapat. Hingga membuat kakaknya melupakan ponselnya. Roy yang mengangkat panggilan masuk dari nomer asing di ponsel milik Ares dan yang mendengar suara-suara Ririn meminta pertolongan. Tapi setelah itu panggilannya terputus dan Roy menghubungi balik tapi ponsel tersebut tidak aktif lagi. Lantas dengan cepat Roy melacak semua jaringan itu dengan berbagai cara yang dirinya ketahui, hingga ia menemukan lokasinya. Untung saja Roy biasa menemukan lokasinya dengan cepat. Jika tidak kedua bersaudara itu akan dalam bahaya, terutama Ririn
Miko semakin mendekati Ririn yang terus saja mundur-mundur. Tapi Miko mendekati wanita yang terlihat jelas kalau sedang ketakutan. "Jika saja kamu kebih nurut, pasti tak akan terjadi hal ini." Miko menyeringai sinis dan tatapan mata Miko sangat tajam, seperti pedang yang siap menghunus siapapun.Vanya berdiri dengan susah payah, walapun harus menahan rasa sakit akibat tubuhnya yang menerima hantaman keras oleh Miko. Vanya harus bangkit karena ia melihat adiknya dalam keadaan yang berbahaya, Vanya tak akan membiarkan Miko melukai Ririn dan bayinya.Vanya menarik tangan Miko agar menjauh dari adiknya. Menahannya dengan sekuat tenang, walaupun dengan tubuh yang sakit. "Lari Ririn, keluar dari apartemen ini!!" teriak Vanya kepad adiknya."Tidak, tidak. Kita harus keluar bersama!!" ucap Ririn yang melihat kakaknya terus menahan Miko."Cepatlah, tak punya banyak waktu. Keluarlah!!" teriak Vanya.
Entah keberanian dari mana membuat Ririn melakukan hal gila ini dengan bawa-bawa pisau. Tapi jika dirinya tak melakukan hal ini, pasti Ririn akan di lecehkan lagi sama Miko. Ririn tak ingin membiarkan hal itu terjadi."Baiklah sayang. Aku tak dekat-dekat dengan dirimu."Ririn sedikit tenang karena ancaman dirinya ini sangat ampuh dan membuat Miko tak akan berniat untuk melecehkan dirinya lagi. "Dimana kakak gue?" tanya Ririn kepada Miko.Arah pandangan mata Ririn berahli melihat ke arah telunjuk tersebut. Dugaan dirinya sepertinya memang benar, kalau kakaknya tersebut disembuyikan sama Miko. "Buka pintunya," perintah Ririn. Pasti pintu itu terkunci jika tidak, pasti kakaknya akan keluar dan menemui dirinya."Baiklah, tapi pisau itu jauhkan dari tangan kamu." Miko yang masih panik dengan apa yang dilakukan sama Ririn. Miko hanya menuruti apa yang dikatakan sama Ririn, tapi setelah itu ia akan me