เข้าสู่ระบบ
“Ra, bibir kamu luka kenapa itu?”
Rara tersentak kaget mendengar pertanyaan Hani, sahabatnya sejak masih kecil. Ia buru-buru menutupi luka di bibirnya dengan tangan dan berkata canggung, “Nggak kenapa-kenapa, kok! Ini tadi ada kulit terkelupas aja.”
Hani menatapnya curiga. Ia memandang sekelilingnya yang ramai kemudian berbisik di telinga Rara, “Karena Satrio, ya?”
Rara seketika menegang. Ia buru-buru menggeleng. “Mana ada. Aku kan nggak ketemu dia hari ini. Sibuk nyari hadiah ulang tahun buat sahabat aku ini!” ucap Rara kemudian tertawa-tawa sumbang.
Jawaban Rara tidak mengendurkan tatapan curiga Hani. Malah, wajah gadis itu semakin mengeras. Tapi, ia akhirnya menghela napas pasrah. Toh, tidak ada yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Rara dalam menyimpan masalahnya sendiri.
“Yaudah, nikmatin pestanya, ya. Kalau pengin sesuatu, kabarin aja,” ucap Hani akhirnya sambil menepuk-nepuk bahu Rara.
Rara tersenyum lebar. Ia mengangguk-anggukkan kepala. “Selamat ulang tahun ya, Han. Hadiahnya aku taruh mana, nih?”
Hani menunjuk pojokan ruangan yang terdapat plang bertuliskan ‘Tempat Menaruh Hadiah”. “Di pojokan yang ada plang itu aja. Makasih hadiahnya, ya,”
Rara lagi-lagi mengangguk riang. Ia menatap kepergian Hani yang mulai menyambut tamu lainnya. Senyum lebar Rara kemudian memudar. Ia berbalik badan dan berjalan menuju pojok ruangan untuk menaruh hadiah.
Setelah menaruhnya, Rara mengamati sekeliling. Orang-orang tengah asik berjoget di tengah ruangan, mengikuti irama musik yang dimainkan oleh DJ. Beberapanya lagi tengah bercengkrama di sofa-sofa yang bertebaran di ruangan sambil menyeruput minuman beralkohol.
Rara menghela napas. Sejujurnya, ia sedang tidak mood untuk datang ke acara ramai ini. Tapi, tidak mungkin, kan, ia mangkir dari acara ulang tahun sahabatnya sendiri yang bahkan sudah ia anggap seperti saudara sendiri.
Ini semua karena Satrio! Batin Rara emosi. Ia meneguk minuman alkohol yang ditawarkan pelayan sebelumnya.
Kalau saja tadi dia tidak bertemu Satrio, pasti ia akan lebih menikmati pesta sahabatnya ini!
Satrio adalah pacarnya sejak awal kuliah. Mereka pertama kali kenal ketika mengerjakan tugas kelompok untuk salah satu mata kuliah. Saat itu, kelompoknya berisikan orang-orang yang kabur-kaburan dan hanya Satrio yang aktif mengerjakan bersamanya. Hal itu memicu kedekatan Satrio dengan Rara hingga akhirnya mereka saling menyukai dan memutuskan untuk menjalin hubungan.
Awalnya, semua berjalan dengan lancar. Hubungan mereka terasa manis dan menyenangkan hingga membuat teman-temannya iri. Hingga saat Satrio memintanya untuk berhubungan intim di tahun kedua hubungan mereka.
Rara tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, dia memang orang yang cukup masuk dalam pergaulan bebas. Tapi, ia tidak menyangka Satrio adalah orang yang cukup … gila.
Rara awalnya mengira Satrio akan bermain dengan lembut dan perlahan mengingat sifat pria itu cukup gentlemen. Tapi, ternyata pria itu kasar dalam berhubungan! Ia suka memukulnya, menggunakan berbagai alat yang menyakitinya, dan tidak suka melakukan penetrasi kepada Rara lebih dulu sebelum melakukan penyatuan!
“Emang kalau berhubungan tuh gini, yang,” itu kata Satrio dulu ketika Rara menangis memohon agar Satrio berhenti bermain kasar. Maka, dalam rangka menuruti nafsu pacarnya, Rara harus pasrah menerima berbagai hal tersebut.
Rara meringis ketika minuman di tangannya menyentuh luka di bibirnya. Luka di bibir ini juga karena Satrio. Ia tadi berbohong kepada Hani kalau ia tidak menemui Satrio walaupun sebenarnya memang benar, sih, karena Satrio sendirilah yang menemuinya!
Rara menghela napas pelan. Kepalanya mulai pusing ketika lampu ruangan menjadi kerlap-kerlip karena pesta semakin menggila. Rara menaruh gelas kosong di meja dan beranjak pergi dari ballroom hotel tersebut.
Ia butuh minuman yang lebih keras.
Rara menekan tombol di lift menuju lantai paling atas. Ada bar hotel di lantai tersebut. Sepertinya tidak akan masalah jika dia menghabiskan setengah tabungannya untuk meminum 2-3 gelas alkohol kuat.
TING! Lift sampai di lantai tujuan Rara. Gadis itu segera menuju bar dan masuk ke dalamnya.
Berbeda dengan ballroom tadi, suasana bar sangat damai dan hening. Tidak ada orang lain di sana selain dirinya. Sepertinya memang masih terlalu dini untuk mabuk-mabukan.
Rara segera duduk di kursi bartender dan memesan minuman. Ketika sampai, ia segera menyesapnya perlahan hingga habis dan memesan ulang lagi. Hal itu terus Rara lakukan selama beberapa menit hingga terdengar suara pintu bar dibuka.
“Rara?”
Rara menoleh dengan mata sayu. Alkohol sudah mulai menguasainya. Ia menyipitkan mata
“Om Jefri?” Rara buru-buru bangkit dari kursi, “Malam, om. Maaf tadi belum sempet nyapa om di ruang pesta,”
Jefri menggeleng sambil tersenyum tipis, “Om juga baru datang sebenarnya. Santai aja,”
Pria itu kemudian duduk di sebelah Rara dan memesan minuman ke bartender. Rara memerhatikan pria paruh baya itu lamat-lamat.
Jefri Nicelson adalah ayah dari sahabatnya. Seorang duda sejak Hani SMA. Sama seperti mengenal Hani, Rara juga mengenal pria paruh baya itu sedari kecil. Pria itu adalah definisi orang kaya sesungguhnya.
Jefri berkecimpung dalam usaha perhotelan dan sudah memiliki banyak cabang hotel di negara ini. Hotel yang menjadi tempat pesta Hani sekarang, Hotel Amerson, juga adalah salah satu hotel yang dikelola Jefri.
Meski begitu, Jefri bukanlah orang kaya yang arogan. Ia justru sangat ramah dan baik hati dengan perangai yang tenang. Pria itu selalu bersuara lembut. Rara tidak ingat Jefri pernah menaikkan nada suaranya meski dalam keadaan marah sekalipun. Berbeda sekali dengan ayah Rara yang kasar dan sukanya marah-marah.
Rara ingat Jefri suka mengajaknya tiap kali ingin bepergian bersama Hani. Berkat itu, Rara jadi bisa mencoba berbagai pengalaman baru, seperti bermain di taman bermain, mencoba jet ski, pergi ke kebun binatang, dan masih banyak lagi.
“Kenapa nggak di ballroom, Ra?” tanya Jefri memecahkan lamunan Rara.
“Pusing dikit, om, soalnya rame banget hehe,” balas Rara dengan senyum malu.
Jefri tertawa, “Bukannya kamu tipe orang yang suka keramaian? Biasanya paling heboh malah,”
Rara hanya meringis. Dalam hati, ia kembali mengutuk Satrio.
“Ra, kamu luka?” Tanya Jefri sambil menunjuk bibir Rara, “Kenapa?”
Rara buru-buru menggeleng, “Karena kulit terkelupas aja, om!”
Jefri bergumam. Sama seperti Hani, pria itu juga menatapnya curiga. Rara meringis dalam hati, insting bapak dan anak memang sama kuatnya!
Rara mengalihkan pandangan kembali ke minumannya kemudian menegaknya hingga tandas. Ia kemudian menghela napas.
Sudah terlanjur dicurigai begini, sebaiknya ia cerita saja, kan?
“Ini karena pacar saya, om,” ucap Rara, “Dia ngajak saya untuk begituan hari ini,”
Rara meremas dressnya kencang. Merasa Jefri tak menanggapinya, Rara melanjutkan ceritanya.
“Awalnya, ia ngajak lewat sms tapi saya tolak karena mau cari hadiah Hani dan bilang kalau malam ini mau ke acara ultah Hani juga jadi nggak mau capek, tapi dia malah datengin saya ke toko dan seret saya ke mobil,”
Bulir-bulir air mata menumpuk di sudut mata Rara. Ingatannya akan pertengkaran tadi memunculkan kembali perasaan sakit hatinya.
“Dia maksa saya terus-terusan. Baru pas saya mohon-mohon, dia akhirnya terima tapi katanya mau cium saya aja sebagai gantinya. Tapi, dia cium saya kasar, om, … dia gigit bibir saya kenceng banget sampe berdarah,”
Rara mulai terisak. Kepalanya jadi sangat sakit karena teringat dengan berbagai perlakuan kasar yang Satrio lakukan kepadanya.
“Saya capek, om … Pacar saya selalu kasar tiap main. Saya nggak suka …”
Rara menutup wajahnya yang berair. Ia yakin make upnya sudah luntur semua sekarang. Di sebelahnya, Jefri khidmat mendengarkan sambil meminum alkoholnya pelan-pelan.
“Tapi, tiap kali saya tegur, dia pasti selalu bilang emang kalau main pasti bakal gitu–”
“Nggak, Ra. Yang namanya berhubungan, kedua belah pihak harus sama-sama enak,” potong Jefri, “Pacar kamu bohongin kamu,”
“Tapi, gimana, om?! Dia selalu bilang kalau saya cuma ngibul! Ngejek saya tiap saya selalu ungkit itu! Saya sendiri juga nggak tahu berhubungan baik itu gimana!” seru Rara dengan wajah memerah padam.
Ia menatap sengit ke Jefri yang menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Pokoknya, pacar kamu itu gak bener. Hubungan intim itu harus baik-baik–”
“Kalau gitu, coba om tunjukkin gimana berhubungan yang baik itu!” seru Rara sengit membuat Jefri membelalakkan mata kaget.
Mata Rara melotot ketika merasakan sapuan bibir Jefri di bibirnya. Ia bingung untuk bereaksi sehingga hanya mengatupkan bibirnya rapat.Biasanya, dalam keadaan seperti ini, Satrio akan menggigit bibirnya kencang hingga ia terpaksa membukanya dan Satrio bisa melakukan ciuman lebih dalam yang terasa kasar baginya. Jantung Rara berdebar kencang, merasakan kekhawatiran kuat kalau Jefri akan melakukan hal yang sama. Mata Rara semakin membulat ketika merasakan lidah Jefri menyapu bibirnya. Sapuan yang terasa begitu lembut dan tidak terburu-buru, meski Jefri semakin menekan bibirnya sekarang. Gawat, ini membuat tubuhnya melemah! Rara menutup matanya dengan alis bertaut kencang ketika sapuan lidah Jefri semakin intens. Seolah dia tengah merayu Rara untuk membuka mulutnya. Tangan gemetar Rara mencengkram bahu Jefri dan perlahan membuka mulutnya ..KRUYUK!Lidah Jefri seketika berhenti. Pria itu memundurkan kepalanya dan melihat wajah merah padam Rara. Ia seketika mendengus geli dengan serin
“Satrio! Dasar gila!”Hani segera bangkit dan mendorong tubuh Satrio hingga jambakannya di rambut Rara terlepas. Pria itu mundur beberapa langkah dengan napas menggebu, membuat beberapa pasang mata menatap mereka. “Wanita ular itu kan yang nyuruh kamu begini?! Nolak aku terus-terusan! Ngehindar terus!”“Masih belum sadar juga?!” Hani menggeram dan hendak bergerak mendekati Satrio. Tapi, Rara buru-buru menahan pundak Hani. “Lepasin, Ra! Dia harus dipukul minimal sekali!”Rara menggeleng-geleng panik. Semua pengunjung sudah melihat mereka, tentu saja ia tidak bisa membiarkan Hani sang putri dari keluarga terhormat, melakukan tindakan yang mencoreng nama baiknya itu. Meskipun Hani melakukan hal yang benar sekarang, tapi para pengunjung yang tidak mengerti konteksnya bisa salah paham dengan keadaan sekarang!“Biar aku yang ngomong,” ucap Rara menenangkan, “Nggak papa. Kan kamu juga ngawasin aku,”Hani ingin membentah, tapi melihat tekad di mata Rara meski gadis itu gemetar meluruhkan a
Rara memejamkan mata ketika wajah Jefri mendekat. Tubuhnya gemetar. Sungguh, melihat Jefri sekarang sangat membuatnya takut! Tidak hanya karena merasa semua ini salah, ia juga teringat dengan Satrio ketika mereka akan berhubungan intim Rara sudah hendak menangis dan pasrah pada keadaannya ketika tiba-tiba ..CTAK! “Aw!”… Jefri menyentil dahinya. Rara seketika membuka mata. Ia melihat Jefri mendengus geli kepadanya dan beranjak berdiri. “Padahal kamu yang ajak, tapi kamu juga yang gemetaran,” ejek Jefri. Rara seketika manyun, “Padahal sebelumnya aku udah klarifikasi terus–!”“Kamu takut kan, Ra?”Rara terdiam. Ia memerhatikan Jefri yang duduk di sebrangnya sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. “Kamu keinget Satrio tadi, kan?”Rara menundukkan kepala. Ia tak bisa membantah ucapan Jefri karena nyatanya memang begitu. Berhubungan intim menjadi hal yang menakutkan bagi Rara karena perlakuan kejam Satrio padanya. “Kalau kamu emang beneran mau dibantu, kamu harus putusin dia dulu,
Rara duduk dengan tegang di sebelah Jefri. Ia menelan ludah gugup lalu melirik pria paruh baya di sebelahnya. Wajah pria itu masih mengeras sedari awal. Tatapan matanya yang biasanya lembut kini terlihat tajam, membuat Rara ketakutan. Ugh, dia jadi teringat dengan kejadian semalam. Bisa-bisanya dia berkata hal memalukan seperti itu ke ayah sahabatnya sendiri!“Om, yang semalem maaf ya–”“Itu pacar kamu?”Rara tersentak mendengar pertanyaan Jefri. Ia membuang pandangan, menundukkan kepala, dan mengangguk pelan. Jefri yang melihat gerak-gerik Rara menghela napas kencang. Pegangannya di kemudi semakin kencang. “Anak zaman sekarang bener-bener ya,” gumam Jefri kesal, “Apa dia selalu begitu tiap sama kamu?”“Awalnya enggak, tapi sejak tahun kedua jadi begitu,”Jefri ber-hm singkat mendengar jawaban itu. Rara menggigit bibir pelan lalu lanjut berkata lirih, “Saya sebenarnya bingung kenapa dia tiba-tiba berubah begitu,”Mata Rara berkaca-kaca, “Apa saya banyak kekurangannya makanya dia ja
“Apa?”“Iya! Om ajarin aku gimana berhubungan intim yang baik itu! Jadi, aku bisa bilang ke Satrio biar dia bisa baik-baik juga!”“Tunggu-tunggu,” Jefri menggelengkan kepala, “Daripada kamu berusaha nyadarin dia, mending kamu putusin dia aja,”“Nggak bisa, om!” Rara berteriak frustasi, “Aku udah coba selama dua tahun ini, tapi tiap kali minta, Satrio pasti bakal lebih gila lagi! Aku udah nggak sanggup hadapinnya lagi!”Rara meremas pergelangan tangan Jefri erat-erat, “Jadi om bantuin aku, ya? Jelasin ke aku semuanya langsung biar aku bisa ajarin Satrio juga!”“Kamu mabuk, Ra,” Jefri mengibaskan tangannya yang digenggam Rara kemudian beranjak berdiri sambil mengeluarkan ponselnya. “Saya telepon Hani,”“Om! Please, om!”Rara ikut berdiri dan mengekori langkah Jefri yang terburu-buru, “Aku cuma minta ini doang, om. Setelah itu, aku bakal menghilang dari hidup om beneran, deh! Aku sembunyiin semuanya jadi nama om tetep baik terus kalau ketahuan aku siap tanggung–”DUK! Kepala Rara terant
“Ra, bibir kamu luka kenapa itu?”Rara tersentak kaget mendengar pertanyaan Hani, sahabatnya sejak masih kecil. Ia buru-buru menutupi luka di bibirnya dengan tangan dan berkata canggung, “Nggak kenapa-kenapa, kok! Ini tadi ada kulit terkelupas aja.”Hani menatapnya curiga. Ia memandang sekelilingnya yang ramai kemudian berbisik di telinga Rara, “Karena Satrio, ya?”Rara seketika menegang. Ia buru-buru menggeleng. “Mana ada. Aku kan nggak ketemu dia hari ini. Sibuk nyari hadiah ulang tahun buat sahabat aku ini!” ucap Rara kemudian tertawa-tawa sumbang. Jawaban Rara tidak mengendurkan tatapan curiga Hani. Malah, wajah gadis itu semakin mengeras. Tapi, ia akhirnya menghela napas pasrah. Toh, tidak ada yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Rara dalam menyimpan masalahnya sendiri. “Yaudah, nikmatin pestanya, ya. Kalau pengin sesuatu, kabarin aja,” ucap Hani akhirnya sambil menepuk-nepuk bahu Rara. Rara tersenyum lebar. Ia mengangguk-anggukkan kepala. “Selamat ulang tahun ya, Han. Hadiah







