Share

SNAI4

Penulis: Chocoberry pie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-05 12:05:00

Pagi itu, cahaya matahari belum benar-benar menerobos masuk ke dalam ruang makan. Udara di dalam rumah masih dingin, tenang, dan nyaris membeku seperti ketegangan yang menggantung di antara dinding-dindingnya.

Renxia duduk diam di meja panjang, menyendok bubur hangat yang tak benar-benar terasa. Kimono sutra tipis berwarna pucat masih membalut tubuhnya dengan lembut, namun kini terasa terlalu terbuka, terlalu ringan. Setiap gesekan bahan di kulitnya mengingatkan pada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Renxia tahu dari suara langkahnya yang berat tapi santai. Ia bahkan belum mendongak, tapi aroma maskulin yang tajam dan bersahaja telah lebih dulu menyentuh hidungnya. Parfum kayu yang hangat, dengan jejak samar jeruk dan rempah. Aroma yang sama yang melekat di mimpinya. Atau ... mungkin justru sesuatu yang nyata.

Ia mendongak pelan, saat matanya benar-benar melihat sosok adik iparnya itu.

Pria itu baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, berantakan, dengan tetesan air yang mengalir turun ke lehernya. Kaos putih tipis yang menempel di tubuhnya mulai transparan di beberapa bagian, menampakkan garis otot dadanya yang tajam dan penuh tenaga. Ia hanya mengenakan celana panjang linen yang tergantung rendah di pinggang, memperlihatkan perut rata dan pinggul yang mengancam batas nalarnya.

“Pagi,” sapanya, dengan suara rendah dan senyum tipis yang nyaris seperti ejekan.

Renxia menunduk lagi. Suapan buburnya terasa hambar. Bahkan tangan yang menggenggam sendok ikut gemetar.

“Tidur nyenyak?” tanya Andre, menarik kursi dan duduk di hadapannya.

“Cukup,” jawabnya pelan.

Andre menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan, dan tanpa malu menelusuri tubuh Renxia dari ujung kaki hingga ke lehernya dengan tatapannya. “Cukup? Kau kelihatan ... agak lemas.”

Renxia menahan napas, ia tak menjawab dan sebisa mungkin berusaha tidak terpancing dengan perkataannya.

“Karena mimpi?” lanjutnya. “Atau ... karena mimpi itu terlalu nyata?”

“Apa maksudmu?” tanyanya dengan suara bergetar.

Andre mencondongkan tubuh, bisikannya nyaris menyentuh wajah Renxia. “Apa kamu biasa menggeliat seperti itu saat tidur? Atau ... hanya saat disentuh seseorang?”

“Berhenti, Andre,” desis Renxia.

Andre tersenyum miring. “Kamu menggigit bibirmu semalam. Persis seperti sekarang.”

Renxia nyaris menjatuhkan sendok dari genggamannya.

“Aku tidak tahu apakah kamu sadar atau tidak,” lanjut Andre, suaranya rendah dan nyaris terdengar seperti mantera, “tapi ... kimono sutra itu nyaris tak menutupi apa-apa. Untung saja aku ....”

“Cukup!” potong Renxia tajam.

Andre menatapnya datar, tapi sudut bibirnya tetap melengkung nakal. “Aku cuma khawatir kamu masuk angin.”

Renxia mengepalkan tangan di bawah meja. Lidahnya kelu. Seluruh tubuhnya gemetar antara amarah dan ketakutan terhadap perasaannya sendiri.

“Hentikan,” ulangnya dengan suara lebih pelan.

Tapi Andre tak mundur. Ia malah bergerak pelan, mengurung Renxia di antara tubuhnya dan tepi meja.

“Aroma tubuhmu masih sama seperti semalam,” bisiknya. “Kimono itu ... aku bisa memejamkan mata dan menggambarnya ulang. Dengan detail.”

Renxia tercekat, tangannya mengepal menahan perasaannya. “Kamu—”

“Tapi kamu belum memilih,” lanjut Andre, jari telunjuknya menyusuri lengan Renxia begitu pelan, seolah menyiram bara. “Kau ingin memukulku ... atau menci—”

“Cukup!” Renxia berdiri mendadak, mendorong dadanya, dan melangkah cepat ke arah kamarnya, kain kimononya bergoyang bersama langkah gugupnya.

Di balik punggungnya, tawa lirih Andre mengikutinya.

Renxia tak tahu apa yang lebih membuatnya kesal. Ucapan Andre, atau kenyataan bahwa tubuhnya bereaksi pada setiap kalimatnya.

Dan satu hal yang tak berani ia pikirkan sekarang, kalau itu semua memang mimpi, kenapa tubuhnya masih mengingat semuanya. Sentuhan itu, rasa itu seperti menari di bawah kulitnya.

Begitu menutup pintu kamar dengan keras, ia bersandar sejenak, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Tapi pikirannya terus dipenuhi oleh satu pertanyaan yang menyesakkan, apakah semalam benar-benar hanya mimpi?

Ia menuju kamar mandi, menarik tali pengikat kimononya dengan gugup. Cahaya lampu menyinari kulitnya yang masih terasa hangat oleh kata-kata Andre. Perlahan, ia mendekat ke cermin. Matanya menyapu permukaan tubuhnya, mencari sebuah jejak.

Matanya menyipit seperti tak yakin, lalu mengerjap dan ….

Tatapannya menajam pada sesuatu yang ia lihat dari pantulan cermin di depannya. Suatu tanda samar. Garis tipis. Seperti ... bekas sentuhan.

“Shit...” bisiknya.

Ia mengepalkan tangannya dengan gemas. Ingin memaki Andre, menyebut lelaki itu tidak tahu diri, kurang ajar, dan terlalu menggoda untuk ukuran manusia waras. Tapi lidahnya terasa kelu. Seluruh pikirannya berkecamuk.

Di antara amarah dan kebingungan, ada satu perasaan aneh yang tak bisa ia tolak. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak bisa berhenti berpikir, apakah yang terjadi malam itu benar-benar hanya sebuah mimpi atau justru sebuah kenyataan yang disusupi oleh hasrat terlarang.

—-

Malam telah larut. Kamar itu terlalu sunyi, hanya diisi dengung lembut AC dan cahaya redup dari lampu meja di sudut kamar tidur. Renxia duduk di ujung ranjang dengan punggung melengkung, daster panjang warna lavender membalut tubuhnya. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajah, tangan menggenggam ujung selimut dengan gelisah.

Johan baru keluar dari kamar mandi. Handuk kecil tersampir di bahunya, rambutnya masih sedikit basah. Ia melirik ke arah istrinya, mendesah pelan, lalu naik ke tempat tidur dan menyandarkan punggungnya di headboard, menarik napas panjang.

“Kenapa bengong?” tanyanya singkat, matanya setengah terpejam.

Renxia menoleh perlahan, ragu. “Nggak apa-apa. Cuma ... lagi mikir aja.”

“Skripsi kamu lagi?” tebak Johan tanpa menatap.

Renxia diam sejenak, lalu menggeleng. “Bukan. Bukan soal kampus.”

Johan membuka matanya, menoleh. “Terus?”

“Ini soal rumah,” ucap Renxia, nyaris seperti bisikan. Ia memeluk lututnya, mencoba mencari pijakan di dalam pikirannya sendiri. “Aku ... aku merasa nggak tenang di sini, Han.”

“Kenapa?” Johan mengerutkan kening. “Ada yang rusak atau perlu renovasi? Atau ... kamu ngerasa kesepian?”

Renxia menelan ludah. “Bukan. Ini soal ... Andre.”

Suasana langsung berubah. Johan mengangkat alis, duduk lebih tegak.

Renxia buru-buru melanjutkan. “Aku tahu dia adikmu. Aku tahu dia keluarga. Tapi aku tetap merasa seperti tinggal serumah dengan orang asing.”

Johan menatapnya lekat. “Renxia, dia bukan orang asing. Dia adikku, adikku satu-satunya.”

“Aku tahu. Tapi ... aku belum pernah benar-benar kenal dia sebelumnya. Tiba-tiba tinggal serumah, tiap hari ketemu, ruang gerakku terasa sempit,” suara Renxia gemetar, tapi ia masih berusaha terdengar masuk akal. “Ini memang rumah kita, Han. Tapi aku merasa ... seperti tamu di rumah sendiri.”

Johan mengembuskan napas keras, lalu mengusap wajahnya. “Dia cuma sementara di sini.”

Renxia mengangguk pelan. “Aku cuma ... merasa risih. Waktu aku di dapur, dia sering tiba-tiba muncul dan nawarin bantuan, padahal aku nggak minta. Kalau aku duduk di sofa, dia suka duduk terlalu dekat. Bahkan pernah —” Ia berhenti, menggigit bibirnya, lalu memilih kata. “... dia pernah nyentuh rambutku. Mungkin maksudnya baik. Tapi aku nggak nyaman.”

Johan bangkit dari duduknya, berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kamu terlalu sensitif.”

Renxia mendongak, terluka. Ia ingin sekali mengatakan semuanya, bahkan bagaimana cara Andre menggodanya. Tapi Renxia tahu, itu justru akan memperkeruh keadaan.

“Aku nggak ngada-ngada, Han.”

“Dia bukan tipe yang suka ganggu orang. Andre cuma ... caranya bergaul emang beda. Dia lebih ... ekspresif,” kata Johan, seperti membela. “Dia memang seperti itu ke semua orang.”

“Tapi aku bukan semua orang, Han. Aku istrimu, kakak iparnya,” ucap Renxia, suaranya akhirnya meninggi sedikit. “Dan ini rumah kita. Aku berhak merasa nyaman.”

Johan menghentikan langkahnya, menatap Renxia dengan lelah. “Lalu kamu mau aku ngapain? Usir dia?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   REN6

    Renxia semakin panik saat jemari itu merambat naik, licin dan penuh keberanian, menyusuri pangkal pahanya yang mulus. Sentuhan itu lalu menyelinap ke balik kain segitiga berbahan renda yang ia kenakan dengan rapi. Seketika tubuhnya menegang, napasnya tersengal. Ia menundukkan kepala, kedua kelopak mata terpejam rapat, seolah berusaha menolak kenyataan yang justru menggetarkan darahnya.Jari nakal itu mengusap bagian paling intim, membuatnya bergidik. Sebuah sensasi terlarang yang memaksa gairah lama yang selama ini terkubur di balik rutinitas rumah tangga itu bangkit kembali. Jantungnya berdegup keras, saking kerasnya hingga ia takut Johan bisa mendengarnya. Tangannya meremas pinggiran meja lebih kuat, menahan tubuh yang mulai terasa lemas dan nyaris bergetar tak terkendali.Dalam kepanikan, ia sempat melirik Johan. Lelaki itu baru saja mengangkat cangkir latte, matanya fokus menatap layar ponselnya. Tapi sejenak kemudian, ia melangkah mendekati istrinya, hendak menyingkap tirai kecil

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI5

    “Bukan gitu maksudku. Aku nggak mau kalian berdua bertengkar. Aku cuma .... Kenapa nggak kamu minta dia tinggal di apartemen kita yang satu lagi? Yang kosong itu.” “Dan biarkan dia sendirian? Nggak mungkin,” Johan menggeleng keras. “Dia belum stabil. Aku nggak bisa tinggal jauh darinya. Kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Renxia menunduk, kecewa. “Lalu aku harus bagaimana? Harus pura-pura nggak apa-apa terus tiap hari?” Johan tak menjawab. Ia berjalan ke sisi tempat tidur, duduk kembali dengan letih. “Aku capek, Renxia. Besok aku harus bangun pagi untuk persiapan meeting proyek kantor kita. Aku nggak sanggup ngelayani kamu debat sekarang.” Ia lalu berbaring, menarik selimut, dan membelakangi istrinya. Renxia mematung. Ia masih ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya menatap punggung suaminya yang dingin, keras, tak tersentuh. Seakan jarak mereka bukan cuma karena posisi tidur ... tapi dunia yang sama sekali berbeda, dunia yang sama sekali tak b

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI4

    Pagi itu, cahaya matahari belum benar-benar menerobos masuk ke dalam ruang makan. Udara di dalam rumah masih dingin, tenang, dan nyaris membeku seperti ketegangan yang menggantung di antara dinding-dindingnya.Renxia duduk diam di meja panjang, menyendok bubur hangat yang tak benar-benar terasa. Kimono sutra tipis berwarna pucat masih membalut tubuhnya dengan lembut, namun kini terasa terlalu terbuka, terlalu ringan. Setiap gesekan bahan di kulitnya mengingatkan pada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Renxia tahu dari suara langkahnya yang berat tapi santai. Ia bahkan belum mendongak, tapi aroma maskulin yang tajam dan bersahaja telah lebih dulu menyentuh hidungnya. Parfum kayu yang hangat, dengan jejak samar jeruk dan rempah. Aroma yang sama yang melekat di mimpinya. Atau ... mungkin justru sesuatu yang nyata.Ia mendongak pelan, saat matanya benar-benar melihat sosok adik iparnya itu. Pria itu baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya mas

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI3

    Johan menatap laptopnya beberapa detik, lalu tiba-tiba matanya membesar. Ia bangkit dari kursinya, suara kursi terseret membelah keheningan pagi.“Yes! Ini dia!” serunya, penuh semangat. “Gila, ini bisa jadi konsep branding baru buat proyek satelit kita!”Renxia yang masih menahan napas di dekat dapur, menoleh dengan bingung. Andre hanya terkekeh ringan, bersandar santai di sisi meja, matanya masih tak lepas dari Renxia.Johan tak peduli. Ia berjalan mondar-mandir, mengetik sesuatu di ponsel, lalu berhenti tiba-tiba, menepuk pelipisnya sendiri.“Kenapa aku baru kepikiran sekarang?” gumamnya sambil tergesa mengambil jaket yang tergantung di kursi bar. “Aku harus ke kantor. Harus bikin pitch deck-nya sekarang juga!”Ia melewati Renxia dengan cepat, sempat mengecup sekilas kening istrinya, dingin dan tergesa, seperti sebuah kebiasaan tanpa rasa. Lalu membuka pintu, dan menghilang begitu saja.—Siang itu, matahari bersinar terik, memantulkan cahaya ke aspal kampus yang mulai lengang. Lan

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI2

    Rumah itu terlalu senyap untuk ukuran sebuah pernikahan muda. Jam hampir menunjukkan tengah malam dan suara detiknya terasa seperti cambuk di telinga Renxia. Ia duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan kimono satin tipis yang menempel erat di kulit lembutnya, menatap pintu kamar yang tak kunjung terbuka.Sudah tiga hari berturut-turut Johan pulang larut. Hari ini, bahkan belum ada kabar. Tapi bukan itu yang paling mengganggu Renxia malam ini.Tapi Andre, adik iparnya itu kini terlalu sering muncul tanpa aba-aba. Muncul di dapur hanya dengan celana olahraga tipis dan tubuh setengah basah sehabis berenang, handuk melilit pinggangnya seadanya. Ia menyapa Renxia dengan suara parau dan senyum menyudut yang tak pernah sepenuhnya polos. Kadang hanya berdiri, bersandar pada dinding dengan tatapan yang terlalu berani menelusuri garis leher dan belahan dada Renxia, tanpa bicara, tanpa berkedip, terlalu diam, tapi menelan semua dengan matanya.Renxia mencoba tak menggubris, menepis getaran aneh

  • Sentuhan Nakal Adik Iparku   SNAI 1

    Air hangat masih menetes dari rambut Renxia saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Handuk putih membalut tubuhnya, menempel erat di kulit lembap yang masih beruap. Dingin AC kamar menggerayangi pundaknya, membuat bulu-bulu halus di lengannya meremang.Renxia menghela napas. Kamar itu terasa terlalu sunyi. Terlalu luas untuk dirinya sendiri. Sejak pagi, Johan tak terlihat batang hidungnya. Pria yang dinikahinya enam bulan lalu karena perjodohan keluarga. Tampan, mapan, dan dihormati, tapi jarang pulang, jarang bicara, dan terasa asing baginya. Lelaki itu memperlakukan Renxia seolah benda manis yang diletakkan di etalase pernikahan untuk sekedar dipamerkan.Ia membuka lemari, hendak mengambil piyama. Tapi langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak biasa.Matanya menyipit. Hatinya menegang saat merasakan aroma asing di udara. Seperti parfum pria yang maskulin, segar, tapi bukan milik suaminya. Suara napas itu terdengar lirih dan dalam.Renxia menoleh cepat ke arah kasur. Tak ada siap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status