MasukPagi itu, cahaya matahari belum benar-benar menerobos masuk ke dalam ruang makan. Udara di dalam rumah masih dingin, tenang, dan nyaris membeku seperti ketegangan yang menggantung di antara dinding-dindingnya.
Renxia duduk diam di meja panjang, menyendok bubur hangat yang tak benar-benar terasa. Kimono sutra tipis berwarna pucat masih membalut tubuhnya dengan lembut, namun kini terasa terlalu terbuka, terlalu ringan. Setiap gesekan bahan di kulitnya mengingatkan pada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya. Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Renxia tahu dari suara langkahnya yang berat tapi santai. Ia bahkan belum mendongak, tapi aroma maskulin yang tajam dan bersahaja telah lebih dulu menyentuh hidungnya. Parfum kayu yang hangat, dengan jejak samar jeruk dan rempah. Aroma yang sama yang melekat di mimpinya. Atau ... mungkin justru sesuatu yang nyata. Ia mendongak pelan, saat matanya benar-benar melihat sosok adik iparnya itu. Pria itu baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, berantakan, dengan tetesan air yang mengalir turun ke lehernya. Kaos putih tipis yang menempel di tubuhnya mulai transparan di beberapa bagian, menampakkan garis otot dadanya yang tajam dan penuh tenaga. Ia hanya mengenakan celana panjang linen yang tergantung rendah di pinggang, memperlihatkan perut rata dan pinggul yang mengancam batas nalarnya. “Pagi,” sapanya, dengan suara rendah dan senyum tipis yang nyaris seperti ejekan. Renxia menunduk lagi. Suapan buburnya terasa hambar. Bahkan tangan yang menggenggam sendok ikut gemetar. “Tidur nyenyak semalam?” tanya Andre, menarik kursi dan duduk di hadapannya. “Cukup,” jawabnya pelan. Andre menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan, dan tanpa malu menelusuri tubuh Renxia dari ujung kaki hingga ke lehernya dengan tatapannya. “Cukup? Tapi kamu kelihatan ... agak lemas.” Renxia menahan napas, ia tak menjawab dan sebisa mungkin berusaha tidak terpancing dengan perkataannya. “Karena mimpi?” lanjutnya. “Atau ... karena mimpi itu terlalu nyata?” “Apa maksudmu, Ndre?” tanyanya dengan suara bergetar. Andre mencondongkan tubuh, bisikannya nyaris menyentuh wajah Renxia. “Apa kamu biasa menggeliat seperti itu saat tidur? Atau ... hanya saat disentuh seseorang?” “Berhenti, Andre,” desis Renxia. Andre tersenyum miring. “Kamu menggigit bibirmu semalam. Persis seperti sekarang.” Renxia nyaris menjatuhkan sendok dari genggamannya. “Aku tidak tahu apakah kamu sadar atau tidak,” lanjut Andre, suaranya rendah dan nyaris terdengar seperti mantera, “tapi ... kimono sutra itu nyaris tak menutupi apa-apa. Untung saja aku ....” “Cukup!” potong Renxia tajam. Andre menatapnya datar, tapi sudut bibirnya tetap melengkung nakal. “Aku cuma khawatir kamu masuk angin.” Renxia mengepalkan tangan di bawah meja. Lidahnya kelu. Seluruh tubuhnya gemetar antara amarah dan ketakutan terhadap perasaannya sendiri. “Hentikan,” ulangnya dengan suara lebih pelan. Tapi Andre tak mundur. Ia malah bergerak pelan, mengurung Renxia di antara tubuhnya dan tepi meja. “Aroma tubuhmu masih sama seperti semalam,” bisiknya lagi. “Kimono itu ... aku bisa memejamkan mata dan menggambarnya ulang. Dengan detail.” Renxia tercekat, tangannya mengepal menahan perasaannya. “Kamu —” “Tapi kamu belum memilih,” lanjut Andre, jari telunjuknya menyusuri lengan Renxia begitu pelan, seolah menyiram bara. “Kamu ingin memukulku ... atau menci—” “Cukup!” Renxia berdiri mendadak, mendorong dadanya, dan melangkah cepat ke arah kamarnya, kain kimononya bergoyang bersama langkah gugupnya. Di balik punggungnya, tawa lirih Andre mengikutinya. Renxia tak tahu apa yang lebih membuatnya kesal. Ucapan Andre, atau kenyataan bahwa tubuhnya bereaksi pada setiap kalimatnya. Dan satu hal yang tak berani ia pikirkan sekarang, kalau itu semua memang mimpi, kenapa tubuhnya masih mengingat semuanya. Sentuhan itu, rasa itu seperti menari di bawah kulitnya. Begitu menutup pintu kamar dengan keras, ia bersandar sejenak, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Tapi pikirannya terus dipenuhi oleh satu pertanyaan yang menyesakkan, apakah semalam benar-benar hanya mimpi? Ia menuju kamar mandi, menarik tali pengikat kimononya dengan gugup. Cahaya lampu menyinari kulitnya yang masih terasa hangat oleh kata-kata Andre. Perlahan, ia mendekat ke cermin. Matanya menyapu permukaan tubuhnya, mencari sebuah jejak. Matanya menyipit seperti tak yakin, lalu mengerjap dan …. Tatapannya menajam pada sesuatu yang ia lihat dari pantulan cermin di depannya. Suatu tanda samar. Garis tipis. Seperti ... bekas sentuhan. “Shit...” bisiknya. Ia mengepalkan tangannya dengan gemas. Ingin memaki Andre, menyebut lelaki itu tidak tahu diri, kurang ajar, dan terlalu menggoda untuk ukuran manusia waras. Tapi lidahnya terasa kelu. Seluruh pikirannya berkecamuk. Di antara amarah dan kebingungan, ada satu perasaan aneh yang tak bisa ia tolak. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak bisa berhenti berpikir, apakah yang terjadi malam itu benar-benar hanya sebuah mimpi atau justru sebuah kenyataan yang disusupi oleh hasrat terlarang. —- Malam telah larut. Kamar itu terlalu sunyi, hanya diisi dengung lembut AC dan cahaya redup dari lampu meja di sudut kamar tidur. Renxia duduk di ujung ranjang dengan punggung melengkung, daster panjang warna lavender membalut tubuhnya. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajah, tangan menggenggam ujung selimut dengan gelisah. Johan baru keluar dari kamar mandi. Handuk kecil tersampir di bahunya, rambutnya masih sedikit basah. Ia melirik ke arah istrinya, mendesah pelan, lalu naik ke tempat tidur dan menyandarkan punggungnya di headboard, menarik napas panjang. “Kenapa bengong?” tanyanya singkat, matanya setengah terpejam. Renxia menoleh perlahan, ragu. “Nggak apa-apa. Cuma ... lagi mikir aja.” “Skripsi kamu lagi?” tebak Johan tanpa menatap. Renxia diam sejenak, lalu menggeleng. “Bukan. Bukan soal kampus.” Johan membuka matanya, menoleh. “Terus?” “Ini soal rumah,” ucap Renxia, nyaris seperti bisikan. Ia memeluk lututnya, mencoba mencari pijakan di dalam pikirannya sendiri. “Aku ... aku merasa nggak tenang di sini, Han.” “Kenapa?” Johan mengerutkan kening. “Ada yang rusak atau perlu renovasi? Atau ... kamu ngerasa kesepian?” Renxia menelan ludah. “Bukan. Ini soal ... Andre.” Suasana langsung berubah. Johan mengangkat alis, duduk lebih tegak. Renxia buru-buru melanjutkan. “Aku tahu dia adikmu. Aku tahu dia keluarga. Tapi aku tetap merasa seperti tinggal serumah dengan orang asing.” Johan menatapnya lekat. “Renxia, dia bukan orang asing. Dia adikku, adikku satu-satunya.” “Aku tahu. Tapi ... aku belum pernah benar-benar kenal dia sebelumnya. Tiba-tiba tinggal serumah, tiap hari ketemu, ruang gerakku terasa sempit,” suara Renxia gemetar, tapi ia masih berusaha terdengar masuk akal. “Ini memang rumah kita, Han. Tapi aku merasa ... seperti tamu di rumah sendiri.” Johan mengembuskan napas keras, lalu mengusap wajahnya. “Dia cuma sementara di sini.” Renxia mengangguk pelan. “Aku cuma ... merasa risih. Waktu aku di dapur, dia sering tiba-tiba muncul dan nawarin bantuan, padahal aku nggak minta. Kalau aku duduk di sofa, dia suka duduk terlalu dekat. Bahkan pernah —” Ia berhenti, menggigit bibirnya, lalu memilih kata. “... dia pernah nyentuh rambutku. Mungkin maksudnya baik. Tapi aku nggak nyaman.” Johan bangkit dari duduknya, berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kamu terlalu sensitif.” Renxia mendongak, terluka. Ia ingin sekali mengatakan semuanya, bahkan bagaimana cara Andre menggodanya. Tapi Renxia tahu, itu justru akan memperkeruh keadaan. “Aku nggak ngada-ngada, Han.” “Dia bukan tipe yang suka ganggu orang. Andre cuma ... caranya bergaul emang beda. Dia lebih ... ekspresif,” kata Johan, seperti membela. “Dia memang seperti itu ke semua orang.” “Tapi aku bukan semua orang, Han. Aku istrimu, kakak iparnya,” ucap Renxia, suaranya akhirnya meninggi sedikit. “Dan ini rumah kita. Aku berhak merasa nyaman.” Johan menghentikan langkahnya, menatap Renxia dengan lelah. “Lalu kamu mau aku ngapain? Usir dia?”“Kamu kenapa Ren?” tanya Andre begitu Renxia melangkah masuk ke lobi apartemen. Andre bisa merasakan kegelisahan, panik dan bagaimana gemetarnya tubuh istrinya. Ia langsung mengedarkan pandangannya, mencari tau sesuatu yang mungkin mengganggu Renxia. Namun semua terlihat biasa saja. Terlalu tenang seperti biasanya. Tanpa ragu ia memeluk tubuh Renxia. “Jangan takut. Kamu aman, ada aku di sini,” lirih Andre sembari mengecup kening istrinya dengan lembut. Renxia menoleh ke belakang. Ia menatap sosok lelaki di kejauhan sana. Sosok mantan suami yang pernah membuatnya kecewa. … Malam itu adalah malam pertama pernikahan mereka. Walaupun bukan yang pertama baginya, namun jantungnya tetap saja berdebar dengan kencang. Seperti yang dirasakannya saat ini, ia berbaring dengan gelisah. Tangannya menggenggam tepian selimut yang menutupi tubuhnya. Namun sesaat kemudian ia kembali menyibaknya kembali. Tatapan matanya tertuju pada
“Lalu… kamu setuju?” Livi mendengarkan cerita Renxia dengan seksama. “Dia… nggak bisa ditolak.”“Nggak bisa ditolak? Dia… maksa kamu?”Renxia meletakkan surat nikahnya di atas meja. “Dia … gendong aku keluar apartemen, lalu bawa aku ke kantor catatan sipil.”Livi meletakkan kedua lengannya bertumpu di atas meja untuk menyangga dagunya. “Aah … romantisnya. Dia bahkan nggak peduli orang mau gosipin apapun tentang kalian.” Renxia mengangkat tangan kanannya dan menjentikkan jarinya ke kening sahabatnya itu. “Ini gara-gara kamu. Memangnya dibayar berapa kamu, sama dia, sampai tega mengkhianati teman kamu sendiri.”Livi langsung mengelak, namun jari Renxia lebih gesit. Jemari itu mendarat di keningnya dengan sentilan keras yang mau tak mau membuatnya meringis merasakan ngilu di satu titik di kepalanya. Livi mengusap keningnya dengan bibir mengerucut saking kesalnya. “Dih … kamu kira aku semacam orang yang mau jual sahabat
“Sebaiknya kamu kasih tau teman kamu buat jauhin dia,” sahut Renxia. Andre masih menatapnya seolah dengan tatapan itu ia dapat membaca semua hal yang tersembunyi dalam pikiran Renxia. “Kamu yakin itu teman kamu?” tanya Renxia, seperti memperjelas bahwa pemikirannya tidak keliru. Andre meneguk isi gelasnya hingga tandas sebelum ia melangkah mendekat, membuat si pemilik tubuh ramping itu terkunci di antara tubuhnya dengan meja dapur. Lelaki muda itu mendekatkan bibirnya ke telinga Renxia. Gerakan yang membuat tubuh Renxia memegang. Ia dapat merasakan hembusan napas yang membelai lehernya. Jantungnya berdegup lebih kencang, saat kegelisahan menyelimuti tubuhnya. Ia bahkan menahan napas, karena takut debaran itu akan terdengar oleh lelaki muda yang jelas sengaja menggodanya.“Bagaimana kalau … teman aku nggak mau menjauh dari perempuan itu?” bisik Andre. Suara maskulin yang begitu dekat itu membuat Renxia mau tak mau menelan lud
Renxia membeku saat melihat sosok yang sangat dikenalnya itu berdiri di depan pintu. Ia sama sekali tak menyangka kalau Livi akan mengkhianatinya. Andre melangkah perlahan, ia mendekat dengan hati-hati seakan satu saja gerakan yang salah, akan membuat perempuan di hadapannya lari. Renxia tertawa pelan. Entah kenapa ia merasa situasi yang dihadapinya sangat lucu. “Harusnya aku tau … apartemen mewah, dengan harga murah,” gumamnya seolah menertawakan kebodohannya. “Maaf, aku terpaksa —”Renxia menghela napas ia tahu tak ada gunanya berdebat dengan lelaki muda itu. Andre bisa melakukan apapun keinginannya, apalagi dengan posisinya saat ini. “Livi sialan,” kesalnya. “Jangan salahkan Livi, aku yang memintanya buat bujuk kamu,” cetus Andre cepat, “karena … aku takut Johan ganggu kamu lagi. Aku —”“Kamu nggak takut citra kamu hancur gara-gara ini? Kamu nggak takut saham Sunggana Corporation bakal anjlok gara-gara
“Apa maumu?” tegas Livia, “biarkan dia pergi. Jangan ganggu Renxia lagi. Dia sengaja pergi dari rumah itu, buat jauhi kamu.”Lelaki itu menjatuhkan rokok yang tersisa separuh ke lantai. Sepatu hitam berkilatnya menjejak hingga bara itu lenyap, menyisakan arang.“Liv, aku nggak pernah ada niatan buat ganggu dia sama sekali. Justru aku mau jaga dia. Aku nggak mau dia terluka,” sahutnya dengan nada frustasi, “aku cuma takut Johan nyakitin dia lagi.”“Johan? Bukannya mereka sudah nggak ada hubungan lagi? Bukannya Renxia udah ngalah, ninggalin Johan buat perempuan itu?”“Johan … bahkan hampir nyelakain dia.” Andre mendecak kesal saat teringat kembali peristiwa itu.Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide. Wajah lesunya seketika berubah.“Aku punya ide. Apa kamu mau b
Pintu kamar terhempas ke tembok, menimbulkan suara gaduh. Namun para jurnalis seolah tak peduli. Mereka langsung menyeruak masuk ke dalam kamar. Suara teriakan terdengar saat lampu blitz menghujani sepasang sejoli yang ada di dalamnya. “Hei! Apa-apaan ini?” Teriak lelaki bertujuh gempal yang ada di dalam ruangan itu. Tangan kekarnya meraih kamera dan segera membantingnya ke lantai. “Pak! Anda sudah merusak properti kami!” Protes sang jurnalis. Ia meraih kameranya yang pecah mencari beberapa bagian. “Oh! Silahkan tuntut! Aku juga bakal tuntut kalian,” ucap lelaki itu sembari menarik salah satu name tag di leher mereka, “karena mengganggu ketenangan di tempat umum, masuk tanpa ijin, juga… pelecehan!”“Tapi Pak Andre, Anda dikabarkan membawa mantan istri kakak Anda ke …”Lelaki itu mengerutkan keningnya. “Andre? Andre siapa? Aku bawa istri siapa? Dia itu istriku. Apa salahnya kami staycation di sini?”Tanpa ragu, lelaki







