LOGIN“Bukan gitu maksudku. Aku nggak mau kalian berdua bertengkar. Aku cuma ... ah..." sahutnya frustasi, "Kenapa nggak kamu minta dia tinggal di apartemen kita yang satu lagi? Yang kosong itu.”
“Dan biarkan dia sendirian? Nggak mungkin,” Johan menggeleng keras. “Dia belum stabil. Aku nggak bisa tinggal jauh darinya. Kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Renxia menunduk, kecewa. “Lalu aku harus bagaimana? Harus pura-pura nggak apa-apa terus tiap hari?” Johan tak menjawab. Ia berjalan ke sisi tempat tidur, duduk kembali dengan letih. “Aku capek, Renxia. Besok aku harus bangun pagi untuk persiapan meeting proyek kantor kita. Aku nggak sanggup ngelayani kamu debat sekarang.” Ia lalu berbaring, menarik selimut, dan membelakangi istrinya. Renxia mematung. Ia masih ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya menatap punggung suaminya yang dingin, keras, tak tersentuh. Seakan jarak mereka bukan cuma karena posisi tidur ... tapi dunia yang sama sekali berbeda, dunia yang sama sekali tak bersinggungan. Beberapa jam kemudian, jarum jam menunjuk pukul dua dini hari. Tanpa suara, Johan bangkit. Ia menyambar hoodie dan dompet kecil, lalu melangkah ke pintu kamar. Tanpa menyalakan lampu, ia membukanya perlahan dan menyelinap keluar seperti bayangan. Renxia membuka matanya di balik selimut. Ia tak tidur sedetik pun setelah memikirkan pembicaraan tadi. Tak satu pun kata keluar dari bibirnya, tapi di dadanya, luka itu terasa semakin nyata. Malam itu Renxia benar-benar tak bisa tidur. Matanya menatap nanar ke langit-langit, sementara tubuhnya berselimut cemas. Kamar yang seharusnya jadi tempat paling aman kini terasa seperti jerat. Lampu kecil di sudut ruangan ia biarkan menyala, bukan karena ia takut gelap, tapi karena takut akan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi di balik kegelapan itu. Ingatannya kembali pada malam sebelumnya. Saat bayangan tubuh masuk tanpa suara, saat desah napas asing memenuhi ruang pribadinya, menyentuh di tengkuknya. Johan mengatakan bahwa Andre, adik iparnya, memiliki trauma, masih tidak stabil, tapi jelas ... ada yang tak bisa ia pahami dari sorot mata pria itu. Renxia duduk bersandar di sofa, memeluk lutut. Ia tak berani tidur di ranjangnya hanya karena tak bisa melupakan kejadian malam sebelumnya. Ia bahkan tak berani mengadu, karena walaupun ia mengadu, siapa yang akan percaya? Johan bahkan lebih memihak Andre daripada dirinya. Jam bergulir perlahan. Satu jam berlalu semenjak Johan pergi. Akhirnya, rasa kantuk mengalahkan ketegangan. Mata Renxia mengatup di antara rasa waspada dan kelelahan. Ia tertidur di atas sofa, masih dalam posisi duduk, kepalanya bersandar di bantalan lengan, tubuhnya menggigil kecil dalam piyama lavender tipisnya. Dari sudut ruangan, suara klik samar terdengar menyudahi gagang pintu kamar Renxia yang bergerak berputar pelan. Seseorang masuk. Langkahnya nyaris tak bersuara, seperti bayangan yang menyatu dalam gelapnya malam. Tatapan matanya lurus pada tubuh Renxia yang mengecil di sudut ruangan. Nafasnya berat, namun tenang. Tak ada ekspresi gila atau kacau seperti yang Johan katakan. Yang ada hanya obsesi yang mengakar terlalu dalam. Andre melangkah mendekat dengan perlahan. Renxia yang telah lelap dalam tidurnya, bahkan tak menyadari kehadirannya. Lelaki muda itu berjongkok di hadapannya. Ia menyentuh tangan gadis itu dengan lembut, seolah menyentuh porselen yang rapuh. Lalu perlahan ia mengangkat tubuh Renxia dari sofa. Ia menggendongnya dengan sangat hati-hati dan meletakkannya ke atas ranjang, merapikan selimut, lalu duduk di tepi tempat tidur, menatap wajah Renxia yang tertidur lelah. Ia menyentuhkan bibirnya ke kening Renxia, sentuhan yang baginya adalah janji, tapi bagi dunia, adalah pengkhianatan. Lalu ia berbisik. “Ren ... jangan khawatir. Aku bakal tetap di sini. Aku bakal jagain kamu, sampai kamu lihat sendiri wajah suami kamu saat topengnya terbuka nanti.” Andre tersenyum tipis. Tangannya membelai helai rambut Renxia sebelum akhirnya ia bangkit dan menghilang dalam senyap yang pekat. — Pagi itu, aroma kopi yang baru diseduh menyebar di udara. Renxia sedang menuangkan dua cangkir saat Andre masuk ke dapur dengan langkah santai, mengenakan kaus longgar dan celana tidur yang terlihat terlalu mahal untuk sekadar piyama. Rambutnya masih basah, aroma parfum maskulin yang lembut tercium samar, aroma kayu bercampur rempah tipis, yang hangat, sedikit menusuk hidung tapi membekas. Renxia hanya melirik sekilas. "Johan belum pulang, ya?" gumam Andre sambil duduk di kursi tinggi dapur, matanya tajam menatap Renxia yang memutar tubuhnya canggung. "Padahal, dia keluar rumah sejak sebelum subuh tadi, kan?" Renxia terdiam sejenak, ia menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar kata-kata Andre. Bagaimana dia bisa tahu kalau Johan sudah keluar sebelum subuh tadi."Aku nggak tahu," sahutnya cepat. "Mungkin dia sibuk kerja."
Andre tersenyum miring, sedikit congkak. Ia melangkah mendekat, lalu berbisik di telinga Renxia seakan sedang berusaha memprovokasinya. “Kerja subuh-subuh? Wih, semangat amat." Nada itu menyentil. Ada sorot yang Renxia tangkap di mata Andre, bukan sekedar iseng, tapi seperti ingin menunjukkan kalau dia tahu lebih dari yang seharusnya. Renxia memalingkan wajah, hendak menjawab, tapi— Klik. Suara pintu utama terbuka. Renxia refleks panik. Ia tidak ingin suaminya salah paham atas kedekatannya dengan adiknya."Cepat! Sembunyi!"
Tanpa memberi penjelasan lebih jauh, Renxia menarik tangan Andre yang masih tertawa geli, membungkuk, dan mendorongnya masuk ke kolong meja dapur besar yang memiliki tirai rendah di sekeliling bawahnya. Andre sempat berbisik, "Nggak perlu se-panik itu juga, Renxia. Atau kamu takut aku cerita hal-hal kecil … yang kamu nikmati diam-diam?" Renxia menatap tajam ke arah tirai meja sembari menggertakkan gigi. "Diam." Johan masuk dengan langkah tergesa, masih mengenakan celana gelap dan jaket, wajahnya lelah. Ia membuka kulkas, mengambil air minum, lalu bersandar di counter dapur. "Aku dapat telepon tadi malam," ucap Johan. "Satpam perusahaan bilang ada penyusup yang coba masuk dari belakang gedung. Aku ke sana, bantu cek rekaman CCTV, sampai subuh baru beres." "Kenapa kamu nggak kasih kabar?" Renxia bertanya pelan. Suaranya lembut, tapi tidak bisa menyembunyikan nada khawatir yang tulus. Johan mengusap wajahnya. "Ponselku ketinggalan. Maaf." Renxia menunduk, mencoba mengontrol debaran jantungnya yang belum turun sejak Andre sembunyi di bawah meja. Tapi ketenangannya runtuh ketika ia merasa sesuatu menyentuh mata kakinya. Jemari itu terasa panas dan ringan. Renxia menelan kasar salivanya. Ia mundur setengah langkah, tapi Andre malah lebih menggodanya. Jemari lelaki itu menelusuri dengan sentuhan perlahan ke arah betisnya. Renxia memaksa dirinya tetap tenang. "Kamu baik-baik aja di rumah, kan?" tanya Johan. "Hmm? Iya. Aku … baik-baik saja." "Kamu kenapa … keliatannya wajahmu agak pucat." Renxia tersenyum paksa. "Mungkin cuma ... karena kurang tidur." Saat itu Andre yang masih bersembunyi di bawah meja, menyentuh bagian belakang lututnya. Lembut, seperti angin, membuat lututnya gemetar. Renxia segera mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh. "Renxia?" Johan menyentuh bahunya, membuatnya menoleh cepat. "Iya?" suaranya agak tinggi saking gugupnya. Johan mengerutkan dahi. "Kamu pasti benar-benar kurang tidur semalam." Renxia hanya tertawa kecil, berpura-pura tenang. Tapi di bawah meja, Andre justru tertawa tanpa suara, dan satu tangannya mulai merambat ke arah yang lebih tinggi lagi. Renxia mencengkeram sisi meja kuat-kuat. Di antara napasnya yang tercekat dan denyut darah yang mulai menggila. Pikirannya hanya berteriak satu hal pada lelaki yang tersembunyi di bawah sana. Jangan sekarang! Please … demi apapun, jangan lakuin itu di depan Johan!“Kamu kenapa Ren?” tanya Andre begitu Renxia melangkah masuk ke lobi apartemen. Andre bisa merasakan kegelisahan, panik dan bagaimana gemetarnya tubuh istrinya. Ia langsung mengedarkan pandangannya, mencari tau sesuatu yang mungkin mengganggu Renxia. Namun semua terlihat biasa saja. Terlalu tenang seperti biasanya. Tanpa ragu ia memeluk tubuh Renxia. “Jangan takut. Kamu aman, ada aku di sini,” lirih Andre sembari mengecup kening istrinya dengan lembut. Renxia menoleh ke belakang. Ia menatap sosok lelaki di kejauhan sana. Sosok mantan suami yang pernah membuatnya kecewa. … Malam itu adalah malam pertama pernikahan mereka. Walaupun bukan yang pertama baginya, namun jantungnya tetap saja berdebar dengan kencang. Seperti yang dirasakannya saat ini, ia berbaring dengan gelisah. Tangannya menggenggam tepian selimut yang menutupi tubuhnya. Namun sesaat kemudian ia kembali menyibaknya kembali. Tatapan matanya tertuju pada
“Lalu… kamu setuju?” Livi mendengarkan cerita Renxia dengan seksama. “Dia… nggak bisa ditolak.”“Nggak bisa ditolak? Dia… maksa kamu?”Renxia meletakkan surat nikahnya di atas meja. “Dia … gendong aku keluar apartemen, lalu bawa aku ke kantor catatan sipil.”Livi meletakkan kedua lengannya bertumpu di atas meja untuk menyangga dagunya. “Aah … romantisnya. Dia bahkan nggak peduli orang mau gosipin apapun tentang kalian.” Renxia mengangkat tangan kanannya dan menjentikkan jarinya ke kening sahabatnya itu. “Ini gara-gara kamu. Memangnya dibayar berapa kamu, sama dia, sampai tega mengkhianati teman kamu sendiri.”Livi langsung mengelak, namun jari Renxia lebih gesit. Jemari itu mendarat di keningnya dengan sentilan keras yang mau tak mau membuatnya meringis merasakan ngilu di satu titik di kepalanya. Livi mengusap keningnya dengan bibir mengerucut saking kesalnya. “Dih … kamu kira aku semacam orang yang mau jual sahabat
“Sebaiknya kamu kasih tau teman kamu buat jauhin dia,” sahut Renxia. Andre masih menatapnya seolah dengan tatapan itu ia dapat membaca semua hal yang tersembunyi dalam pikiran Renxia. “Kamu yakin itu teman kamu?” tanya Renxia, seperti memperjelas bahwa pemikirannya tidak keliru. Andre meneguk isi gelasnya hingga tandas sebelum ia melangkah mendekat, membuat si pemilik tubuh ramping itu terkunci di antara tubuhnya dengan meja dapur. Lelaki muda itu mendekatkan bibirnya ke telinga Renxia. Gerakan yang membuat tubuh Renxia memegang. Ia dapat merasakan hembusan napas yang membelai lehernya. Jantungnya berdegup lebih kencang, saat kegelisahan menyelimuti tubuhnya. Ia bahkan menahan napas, karena takut debaran itu akan terdengar oleh lelaki muda yang jelas sengaja menggodanya.“Bagaimana kalau … teman aku nggak mau menjauh dari perempuan itu?” bisik Andre. Suara maskulin yang begitu dekat itu membuat Renxia mau tak mau menelan lud
Renxia membeku saat melihat sosok yang sangat dikenalnya itu berdiri di depan pintu. Ia sama sekali tak menyangka kalau Livi akan mengkhianatinya. Andre melangkah perlahan, ia mendekat dengan hati-hati seakan satu saja gerakan yang salah, akan membuat perempuan di hadapannya lari. Renxia tertawa pelan. Entah kenapa ia merasa situasi yang dihadapinya sangat lucu. “Harusnya aku tau … apartemen mewah, dengan harga murah,” gumamnya seolah menertawakan kebodohannya. “Maaf, aku terpaksa —”Renxia menghela napas ia tahu tak ada gunanya berdebat dengan lelaki muda itu. Andre bisa melakukan apapun keinginannya, apalagi dengan posisinya saat ini. “Livi sialan,” kesalnya. “Jangan salahkan Livi, aku yang memintanya buat bujuk kamu,” cetus Andre cepat, “karena … aku takut Johan ganggu kamu lagi. Aku —”“Kamu nggak takut citra kamu hancur gara-gara ini? Kamu nggak takut saham Sunggana Corporation bakal anjlok gara-gara
“Apa maumu?” tegas Livia, “biarkan dia pergi. Jangan ganggu Renxia lagi. Dia sengaja pergi dari rumah itu, buat jauhi kamu.”Lelaki itu menjatuhkan rokok yang tersisa separuh ke lantai. Sepatu hitam berkilatnya menjejak hingga bara itu lenyap, menyisakan arang.“Liv, aku nggak pernah ada niatan buat ganggu dia sama sekali. Justru aku mau jaga dia. Aku nggak mau dia terluka,” sahutnya dengan nada frustasi, “aku cuma takut Johan nyakitin dia lagi.”“Johan? Bukannya mereka sudah nggak ada hubungan lagi? Bukannya Renxia udah ngalah, ninggalin Johan buat perempuan itu?”“Johan … bahkan hampir nyelakain dia.” Andre mendecak kesal saat teringat kembali peristiwa itu.Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide. Wajah lesunya seketika berubah.“Aku punya ide. Apa kamu mau b
Pintu kamar terhempas ke tembok, menimbulkan suara gaduh. Namun para jurnalis seolah tak peduli. Mereka langsung menyeruak masuk ke dalam kamar. Suara teriakan terdengar saat lampu blitz menghujani sepasang sejoli yang ada di dalamnya. “Hei! Apa-apaan ini?” Teriak lelaki bertujuh gempal yang ada di dalam ruangan itu. Tangan kekarnya meraih kamera dan segera membantingnya ke lantai. “Pak! Anda sudah merusak properti kami!” Protes sang jurnalis. Ia meraih kameranya yang pecah mencari beberapa bagian. “Oh! Silahkan tuntut! Aku juga bakal tuntut kalian,” ucap lelaki itu sembari menarik salah satu name tag di leher mereka, “karena mengganggu ketenangan di tempat umum, masuk tanpa ijin, juga… pelecehan!”“Tapi Pak Andre, Anda dikabarkan membawa mantan istri kakak Anda ke …”Lelaki itu mengerutkan keningnya. “Andre? Andre siapa? Aku bawa istri siapa? Dia itu istriku. Apa salahnya kami staycation di sini?”Tanpa ragu, lelaki







