LOGINPagi itu, koridor Fakultas Ekonomi terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah kaki Soraya di lantai keramik yang mengkilap diiringi oleh suara bisik-bisik yang mendesis seperti ular.Soraya mengenakan gaun baru yang dia beli kemarin sore, gaun midi berwarna biru navy yang elegan, dipadukan dengan blazer putih. Dia terlihat seperti wanita karir sukses, atau... seperti istri muda pejabat. Penampilannya sangat kontras dengan mahasiswa lain yang rata-rata memakai kemeja flanel, kaos, atau jaket almamater lusuh.Dia berjalan tegak, pandangannya lurus ke depan. Di tangannya, dia mendekap buku diktat statistik Brata erat-erat di dada, seolah buku itu adalah perisai yang bisa melindunginya dari tatapan tajam orang-orang."Itu tuh orangnya...""Gila, beneran beda banget ya sekarang. Dulu kucel naik angkot, sekarang...""Katanya kemarin dia bawa mobil sport merah. Masuk parkiran mal kayak artis.""Duit dari mana coba? Bapaknya kan meninggal ninggalin utang?""Ya taulah... 'kerja
Mesin mobil sport merah marun itu menderum halus saat Soraya menginjak pedal gasnya perlahan. Berbeda dengan angkot yang biasa dia tumpangi yang berisik dan panas, kabin mobil Dosen Rian ini kedap suara dan sejuk. Aroma kulit jok yang mahal bercampur dengan pewangi citrus khas Rian memenuhi udara, menciptakan ilusi kemewahan yang memabukkan.Soraya menyetir membelah jalanan Margonda yang macet parah sore itu. Di dashboard, tergeletak sebuah kartu hitam, black card yang Rian berikan tadi."Habiskan limitnya kalau perlu. Beli baju bagus. Ke salon. Makan enak. Lupakan kemiskinan kamu sejenak."Itu perintah Rian.Soraya melirik kartu itu. Dia bisa saja membelokkan setir ke mal terdekat, membeli tas seharga motor, atau makan steak seharga gajinya sebulan. Tapi anehnya, perutnya tidak lapar dan hatinya tidak menginginkan barang-barang itu. Fasilitas ini... rasanya hampa. Seperti memegang emas di tengah gurun pasir saat yang kamu butuhkan hanyalah seteguk air."Apa gunanya mobil bagus
Minggu sore itu, Puncak Pass kembali diguyur hujan gerimis. Di dalam mobil Jeep Rubicon milik Dosen Brata yang melaju menuruni bukit, keheningan terasa tebal dan kaku. Soraya duduk di kursi penumpang, memandang pepohonan pinus yang bergerak mundur di balik kaca jendela. Dia mengenakan kembali pakaian "sopan" yang dibawanya: kemeja flanel dan celana jeans. Gaun merah dan pakaian minim lainnya sudah terlipat rapi di dalam koper di bagasi, seolah menjadi kostum panggung yang disimpan setelah pertunjukan selesai. "Saya turunkan kamu di rest area Cibubur," suara Brata memecah kesunyian. Matanya tetap fokus ke jalanan yang licin. "Dari sana kamu bisa pesan taksi online. Saya tidak mau mobil saya terlihat masuk ke gang rumahmu. Terlalu mencolok." "Baik, Pak," jawab Soraya pelan. "Kamu belajar cepat. Bagus. Nilai E di portal akademik sudah saya ubah jadi A-min. Kenapa min? Karena mental kamu masih perlu diperbaiki." "Terima kasih, Pak." Mobil berhenti di rest area. Soraya turun,
Jam dinding berdentang dua belas kali. Tengah hari.Di luar, matahari bersinar terik, membakar kabut sisa pagi hingga tak berbekas. Namun di dalam ruang tengah villa yang luas itu, suasana terasa beku.Soraya duduk bersimpuh di lantai karpet, dikelilingi tumpukan kertas buram yang penuh dengan coretan rumus. Rambutnya yang tadi pagi diikat rapi kini sudah sedikit berantakan, beberapa helai jatuh menutupi wajahnya yang serius. Dia menggigit ujung pulpennya, keningnya berkerut dalam, mencoba memecahkan soal Uji Hipotesis Dua Arah yang diberikan Brata.Dosen Brata duduk di sofa tepat di belakangnya. Dia sudah mengganti pakaian larinya dengan kemeja kasual yang lengan bajunya digulung rapi. Di tangannya ada sebuah buku tebal berbahasa Inggris, tapi matanya lebih sering melirik ke arah punggung Soraya daripada ke halaman buku."Lima menit lagi," suara Brata memecah keheningan. Datar, tapi menekan.Soraya tersentak. "Sebentar, Pak. Ini nilai hitungannya koma-komaan. Susah.""Hidup it
Alarm di ponsel Soraya bergetar tepat pukul 04.45 pagi. Tidak ada tombol snooze. Soraya langsung melompat turun dari kasur seolah ada pegas yang melontarkannya. Jantungnya berpacu, bukan karena semangat pagi, tapi karena takut. Di rumah ini, keterlambatan satu detik adalah dosa besar. Dia membasuh wajahnya dengan air keran yang sedingin es, membuat matanya yang masih lengket langsung terbuka lebar. Dia mengenakan setelan training panjang yang dia bawa, satu-satunya pakaian sporty yang dia miliki lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Saat dia membuka pintu kamar tamu dan melangkah ke teras depan, kabut masih sangat tebal. Jarak pandang tidak lebih dari lima meter. Udara Puncak yang menusuk tulang langsung menembus jaket tipisnya. Dosen Brata sudah ada di sana. Dia sedang melakukan peregangan di halaman rumput yang basah oleh embun. Dia mengenakan kaos lari lengan panjang ketat yang memperlihatkan postur tubuhnya yang tegap dan celana lari hitam. Sepatu larinya terlihat
Air dingin membasuh wajah Soraya, melunturkan sisa-sisa bedak tebal dan lipstik merah yang tadi menjadi topengnya. Di wastafel porselen putih itu, air keruh berwarna kecokelatan mengalir berputar menuju lubang pembuangan, membawa serta citra "wanita penggoda" yang dipaksakan Brata. Soraya mengangkat wajahnya, menatap cermin. Wajah aslinya terlihat pucat. Ada lingkar hitam di bawah mata yang tidak bisa disembunyikan lagi. Tanpa make-up, dia terlihat jauh lebih muda, lebih rapuh, dan... lebih polos. Seperti anak SMA yang tersesat di dunia orang dewasa. Dia sudah mengganti gaun satin merah itu dengan setelan piyama panjang berbahan katun motif kotak-kotak. Baju yang sangat biasa, tidak seksi, bahkan cenderung kedodoran. Tapi anehnya, Soraya merasa lebih telanjang sekarang daripada saat memakai gaun itu. Karena sekarang, tidak ada lagi lapisan kepalsuan yang melindunginya. "Udah, Soraya. Jangan nangis lagi. Mata kamu udah bengkak," bisiknya menguatkan diri. Dia menghela n







