Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Kevin mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan singkat ke Eliza.
Drrzztt
Pop up notifikasi di ponsel Eliza berbunyi. Namun, yang empunya sedang asik bermain game tembak-menembak di ponselnya.
"Tunggu bentar ya Kevin, nanggung udah mau chicken!" gumam Eliza sendiri.
"Yess chickenn!" seru Eliza senang karna memenangkan permainan bersama timnya.
Eliza menutup aplikasi game, mengganti dengan cepat membuka aplikasi pesan.
📨
‘Sore, sudah bisa dijemput?’ [Kevin]
Eliza segera membalas pesan dari Kevin, ‘Sore juga kak. Bisa kak... Ditunggu hehehe.’ [Eliza]
‘Ok! On the way!’ [Kevin]
*****
Setelah mendapatkan pesan dari Eliza, Kevin segera keluar dari kantornya menuju butik Eliza menggunakan lift khusus CEO.
"Hai..." sapa Kevin yang sudah ada didepan butik.
"Hai Kak..." sahut Eliza, berdiri dari duduknya.
"Yukk..." ajak Kevin sambil mengangguk pelan kepalanya.
"Oke kak!” ujar Eliza ke Kevin, “Ani, aku duluan ya..." lalu berpamitan ke karyawannya.
"Siap Nona Eliza!!" jawab Ani sambil mengangkat ke dua ibu jarinya.
"Senangnya jadi Nona Eliza... Dikelilingi oppa oppa korea... Apalah aku si kentang! Nasib nasib..." gumam Ani melihat Nona Elizanya.
*****
Di dalam mobil...
"Kita ke Segarra aja mau? Mumpung masih sore," ujar Kevin ke Eliza. Dari tadi siang Kevin mencari di website rekomendasi restaurant yang nyaman dan bisa lihat sunset.
"Boleh kak... Tapi, bukannya kalau kesana kudu reservasi dulu ya?"
"Sudah kok!" jawab Kevin sambil mengedipkan mata.
"Wahh keren! Semoga bisa lihat sunset!" senang Eliza membayangkan sunset yang indah.
Empat puluh menit perjalanan ke Seggara Western Restaurant yang berada di Jakarta Utara. Restaurant yang cozy dan mewah. Memiliki live music dan pemandangan yang sangat indah berhadapan langsung dengan pantai.
Akhirnya Kevin dan Eliza tiba di parkiran restaurant.
"Tiba juga... " seru Eliza.
“Iya, kamu lelah??" tanya Kevin sambil mengusap lembut kepala Eliza. Entah kenapa menjadi kebiasaan baru Kevin kepada gadis imut ini.
"Gakk kak... Kan tadi ketiduran," jawab Eliza sambil ketawa. Yess... Baru lima belas menit perjalanan Eliza sudah ketiduran.
"Hahah..." tawa renyah Kevin melihat tingkah Eliza.
"Silahkan, Nona Eliza!" ujar Kevin sambil membuka pintu penumpang untuk Eliza.
"Thank you kak..." Eliza turun dari mobil.
Mereka berdua jalan menuju meja yang sudah di reservasi oleh Kevin. Yang ternyata lokasinya pas berhadapan dengan pantai.
"Duduk," Kevin menarik kursi untuk Eliza.
"Thank you kak," lagi-lagi Kevin berlaku manis ke Eliza.
"Kenapa sweet begini sih?" gumam Eliza dalam hati mendapatkan perlakuan manis dari Kevin.
Kevin duduk di sebelah Eliza. Karna dia memesan meja yang langsung bisa melihat View Pantai.
"Selamat sore, ini daftar menunya," sapa seorang waiters.
"Sore," jawab Eliza santai, menerima buku menu.
Kevin dan Eliza memilih makanan dan memesan makanan mereka. Tak lama kemudian pesanan mereka sudah ada di depan mereka.
Sambil menanti sunset, Kevin dan Eliza memakan hidangan yang tersedia. Semua tampak menggugah selera.
"Enak banget gorengannya kak!" gumam Eliza pada saat memakan fish and chips.
"Serius??" tanya Kevin sambil mengambil potongan makanan yang ada ditangan Eliza dan memakannya.
"Isshhh... Iseng banget sihh kak!" gerutu Eliza yang melihat makanannya sudah berpindah dari tangannya ke mulut Kevin.
"Tuhh masih banyak!" tunjuk Kevin cuek ke tumpukan gorengan.
"Iya iya..." jawab Eliza manyun. Dan mengambil lagi fish and chips dari piring.
Tak terasa warna langit sudah menjadi jingga. Sunset sudah mulai terlihat.
"Hmm, cantikkk bangett...!" seru Eliza melihat betapa indahnya fenomena yang ada di depan matanya ini.
"Iyah cantik!" balas Kevin yang sedang menatap wajah gadis di sampingnya. Wajah mungil yang begitu indah dipandang.
Angin semilir pantai yang menerpa rambut lembut Eliza membuatnya terlihat begitu cantik di mata Kevin.
"Hmmm sadar Kevin!" gumam Kevin menyadarkan dirinya sendiri yang sudah sangat lama melihat Wajah Eliza bak boneka.
"Mau jalan-jalan ke pinggir pantai?" tawar Kevin.
"Emang boleh kak? Mau banget kalau bisa!" seru Eliza kegirangan seperti anak kecil yang dikasih permen.
"Ya sudah, yuk!" Kevin berdiri dari duduknya, menunggu Eliza bersiap-siap.
Eliza pun berjalan disamping Kevin.
Kevin dan Eliza menikmati suasana malam di pinggir pantai. Masing-masing hanyut pada pikiran mereka. Tak sadar mereka jalan terlalu jauh dari lokasi restaurant dan pusat keramaian.
"Harta atau nyawa?" Suara bariton mengagetkan mereka berdua.
Kevin refleks menarik tangan Eliza untuk berlindung di belakangnya, ternyata ada tiga orang preman yang menghadang mereka.
"Harta atau nyawa??!" tanya ulang bos preman yang merasa tidak direspon oleh pasangan di depannya.
Kevin hanya diam sambil menaikkan lengan panjangnya sampai ke sikunya.
"Eli, berlindung di belakangku, kamu tidak perlu khawatir, hmm?" ujar Kevin menenangkan Eliza.
"Ok kak!" jawab Eliza dengan tenang.
Kevin pun maju siap untuk menghajar preman-preman didepannya ini.
"Wahhh berani juga nih pria kaya manja, ceweknya putih bening euy..." pada saat belum selesai preman ini bicara.
Bugh!
Kevin tak tahan mendengar ocehan preman didepannya.
"Brengsek! Hajar!!" seru bos preman ke anak buahnya tidak terima mendapatkan pukulan dari Kevin.
Kevin menghajar tiga preman didepannya. Bagi Kevin preman jalanan seperti ini tidak ada arti baginya.
Eliza yang melihatnya pun terperanjat kaget.
"Woww daebak!" seru Eliza pelan.
Tiba-tiba saja seorang preman menghampiri Eliza dan meraih tangan Eliza dengan kasar. Dengan cepat Eliza memutar tangannya agar terlepas dan memberikan tendangan ke bagian perut ke pria tersebut.
Kevin terperanjat melihat aksi Eliza. Dengan mudahnya dia menjatuhkan pria kekar di sampingnya.
Walaupun begitu, rasa khawatir tidak bisa hilang di hati Kevin. Pria tampan itu berlari menuju Eliza. Karena perkelahian Kevin dengan tiga preman membuatnya menjauh dari Eliza.
"Kamu gak di apa-apain ‘kan, Eli?" tanya Kevin khawatir.
"Iyah kak..." jawab Eliza santai sambil mengangkat ibu jarinya.
"Syukurlah, kecil-kecil cabe rawit!" seru Kevin lega sambil mengusap puncak kepala Eliza.
"Iyaahh dong... Ini mahh kecil!" ujar Eliza sombong melihat preman di sampingnya.
"Ya udah yuk!" ajak Kevin.
“Terus mereka berempat kak?" tanya Eliza sambil menunjuk satu per satu preman yang sudah terkulai di pasir.
"Tinggalin aja, biar masuk angin!" sahut Kevin asal.
"Hahahahah boleh... Boleh!" Eliza tertawa mendengar ucapan asal Kevin dan menyetujui ide Kevin.
Mereka berdua pun jalan kembali menuju Restaurant.
"Mau pulang kemana ?"
"Ke apartmentnya Dina aja kak."
"Ok... Let’s go!" balas Kevin dan menggenggam tangan Eliza.
Deg deg deg!
Jantung Eliza berdetak begitu kencang, entah perasaan nyaman apa yang dia rasakan saat ini.
Di saat yang sama, Kevin juga merasakan jantungnya berdegup cepat, ia tidak berani menoleh ke arah Eliza.
Mereka jalan dalam diam dengan pikiran mereka masing-masing.
Part 186Edward menurunkan ponselnya, matanya melotot tajam menatap Tian. Rasa takut yang nyata kini menggantikan kesombongannya. Suaranya terdengar berat, penuh kepanikan yang tertahan."Apa yang kau lakukan pada Ayahku?!" teriak Edward, tubuhnya maju satu langkah, tapi nyalinya langsung menciut saat melihat tatapan membunuh dari mata Tian.Tian tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya memiringkan kepala, menyeringai angkuh. "Bukankah kau tadi bilang aku tidak punya hak untuk ikut campur, Edward?" Tian melangkah perlahan, mendekat ke Edward. "Sekarang, kurasa aku sudah memiliki semua hak itu. Ayahmu... ada di tangan orang-orangku."Nita memegang lengan Tian, terkejut dengan pengakuan itu. Tian memang CEO, tapi ia tidak menyangka Tian memiliki jaringan sejauh ini."Kau... kau tidak mungkin!" Edward menggeleng tak percaya, napasnya tersengal-sengal. Ia baru sadar, pria yang ia anggap remeh ini jauh lebih berbahaya dari semua musuh ayahnya."Aku bisa melakukan apa saja, Edward," bisik Ti
Part 185Sontak semua yang ada di ruangan terpusat pada Tian. Wajah Winston tampak tegang, sementara Edward membeku di tempatnya.Nita pun tidak paham apa maksud dari pembicaraan sang kekasih. Ia melihat ponsel Tian, merasa ada yang aneh. "Tian?" gumamnya, penuh tanya.Edward yang tadinya memasang wajah arogan, sempat tersentak dan membeku beberapa detik, hingga kembali ke kesadarannya. Ia menatap Tian dengan mata penuh kebencian dan kebingungan.Tian tersenyum lembut pada Nita, ia mengusap punggung Nita. "Kamu tidak perlu khawatir. Mulai sekarang biar aku yang bereskan cecunguk ini!" katanya, suaranya meyakinkan.Kemudian, Tian melihat ke arah Winston, berjalan mendekat sambil membawa serta Nita yang mengikutinya dari belakang."Ayah," panggil Tian dengan nada hormat. "Kamu tidak perlu khawatir. Sesuai janjiku, biar aku yang mengurusnya." Tian berhenti tepat di depan Winston, menatap ayah kekasihnya itu dengan mata penuh keyakinanWinston tersenyum hangat, sepertinya ia tidak salah m
Akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung yang terbilang mewah, perusahaan milik Winston—ayah Nita. Dari luar saja, ketegangan sudah terasa. Dan benar saja, begitu mereka berada di lobi perusahaan, suasananya terasa begitu mencekam. Para staf hanya bisa berdiri di sudut-sudut ruangan, ketakutan, melihat beberapa petugas dari kantor pajak dan entah dari mana lagi berlalu-lalang, menggeledah setiap meja dan lemari arsip.Nita mengepalkan tangannya. "Sialan Edward!" umpatnya dalam hati."Sebaiknya kita langsung ke ruangan Ayah," usul Tian, matanya mengawasi keadaan sekitar dengan tenang. Ia tidak ingin Nita panik.Nita mengangguk, hatinya terasa sesak. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk."Tunjukkan ruangannya, sayang," sambung Tian, tangannya semakin erat menggenggam tangan Nita.Nita membalas genggaman Tian, seolah mencari kekuatan. Mereka berjalan cepat, melewati para staf yang menatap mereka dengan tatapan iba. Nita tahu, ayahnya sedang mengalami kesulitan, dan ini semua karena u
Part 183"Maaf, Tian..." Nita merasa bersalah akan pemikirannya yang picik. Ia yang terbiasa menyelesaikan segala urusannya sendiri pun tidak memikirkan perasaan Tian. Ia selalu berpikir, ia bisa mengatasi semuanya sendirian. Tapi, ia lupa, ia punya Tian sekarang.Tian tersenyum tipis, kelembutannya kembali terpancar di wajahnya. "Bukan masalah, sayang. Sekarang, apa pun yang ada di kehidupan kamu, libatkan aku. Jangan pernah merasa sendiri.""Terima kasih," Nita melingkarkan kedua tangannya di pinggang Tian, masuk ke dalam dekapan pria itu. Menyandarkan kepalanya di dada bidang yang menenangkan. Ia bisa mendengar detak jantung Tian, yang terasa begitu damai.Tian bernapas lega, ia mengusap punggung Nita. "Aku akan selalu ada untukmu, Nita. Kita akan lalui ini bersama. Aku janji.""Hmm, aku percaya Tian," bisik Nita, suaranya mantap. Ia benar-benar yakin dengan pria di depannya ini.Tian mengurai pelukannya, menatap wajah Nita lekat. "Jadi, apa yang dilakukan pria berengsek itu?" tany
Part 182Ia memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut yang kini bergerak memainkan klitorisnya. "Ahh, sayang!" desahnya, suaranya parau karena gairah.Tubuhnya bereaksi terlalu kuat terhadap setiap sentuhan Ken. Rubi mendesah tak kuasa, "Sayang...""Iya, sayang?" sahut Ken, suaranya serak, sembari menjilati leher halus Rubi. Ia tahu, istrinya sudah berada di ambang batas.Rubi menahan tangan suaminya yang terus saja memainkan inti tubuhnya. "Tahan, sayang," ucap Rubi mendesis, suaranya penuh permohonan. Tiba-tiba tangannya merambat ke area sensitif suaminya, mengelus kejantanan Ken yang sudah menegang."Ugh, sayang!" Ken menggeram, sorot matanya penuh gairah saat jemari dan tangan lembut Rubi perlahan mengurut kejantanannya.Ken memejamkan mata, membiarkan Rubi mengambil kendali. Rubi, dengan senyum menggoda, membenamkan wajahnya. Membuka mulut dan menjulurkan lidahnya. "Uhm...""Dang! Sayang... Argghhh!" Ken menggeliat, ia menggeram menahan napas. Urat-urat di bagian bawahnya terasa
Part 181Di Paris, pasangan pengantin baru yang seharusnya menikmati bulan madu mereka malah sedang asyik menelpon dengan Margareth. Keduanya, yang tanpa henti saling bercumbu tadi, tertawa keras mendengar cerita yang keluar dari ponsel."Seriously, Mam?" tanya Rubi tidak percaya. Ia memeluk erat Ken, suaminya."Ya, sayang. Mami juga terkejut," balas Margareth dari seberang telepon. "Mereka tidak bisa diam, saling ejek seperti dulu, tapi sekarang ada kata 'sayang' dan 'kamu' di tengah-tengahnya.""Jadi, di mana mereka berdua sekarang?" tanya Ken, yang ikut bergabung dalam percakapan itu. Ia duduk di samping Rubi dan memeluk istrinya."Lagi main rumah-rumahan dengan Celina," jawab Margareth, menahan tawa gelinya.Ken dan Rubi saling melempar pandangan tidak paham. "Maksud Mam?" tanya Ken.Margareth menghela napas, "Yah... mereka sedang gladi menjadi seorang Papa dan Mama."Seketika tawa Ken meledak. "Oh, dang! Seorang Tian? Tian?" Ia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Pria sedin