MasukSatu minggu berlalu dengan kesibukan masing-masing. Kevin, yang baru kembali dari perjalanan bisnis selama seminggu, hari ini berangkat ke kantor lebih siang dari biasanya.
Saat baru keluar dari unit apartemen miliknya, ia melihat Eliza sedang berdiri di depan lift.
"Eliza?"
Sapaan itu membuat Eliza menoleh. "Loh, Kak Kev?"
Kevin memandang Eliza yang terlihat rapi dengan riasan natural. "Mau ke mana, Eli?" tanyanya.
"Mau ke butik, Kak," jawab Eliza singkat.
"Ya sudah, yuk sekalian. Aku juga mau ke kantor," kata Kevin sambil langsung menggenggam tangan Eliza tanpa meminta izin.
Eliza terkejut, tetapi akhirnya mengikutinya menuju lift. “A-aku sendiri aja, Kak. Gak usah repot-repot.” Ia mencoba menolak halus.
"Hmm, santai aja. Nanti kalau sudah selesai tinggal telepon atau chat saja," ujar Kevin sambil menyerahkan ponselnya, memberi isyarat agar Eliza memasukkan nomor ponselnya.
Eliza menurut dan mengetik nomor ponselnya di handphone Kevin. Tanpa sepengetahuan Eliza, Kevin menyimpan kontak itu dengan nama "Mine" dan langsung menghubungi nomornya.
"Simpan ya," kata Kevin lagi.
"O-oke Kak," jawab Eliza, geli dengan sikap Kevin yang protektif namun manis. Ada desir aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Mereka pun berjalan beriringan, saling bercanda dengan ringan menuju basemen.
Perjalanan menuju mall memakan waktu lebih lama karena jalanan sudah mulai padat merayap.
"Sejak kapan kenal sama Angel?" tanya Kevin memulai percakapan, setelah kurang lebih sepuluh menit tanpa suara yang hanya terdengar alunan musik dalam mobil.
"Hmm... kurang lebih tiga tahunan, Kak. Angel kakak senior aku, dan dia sering ngasih ide dan masukan ke aku. Karena nyambung dan nyaman sama Angel akhirnya kita berdua bersahabat sampai sekarang," jelas Eliza. "Lalu kami sama-sama punya ide untuk merintis usaha dari hasil design kami berdua, akhirnya ada deh itu butik kecil," sambungnya dengan senyum lebar.
Kevin terkekeh melihat Eliza yang tampak begitu bersemangat menjelaskan.
"Kenapa gak buat yang besar aja sekalian?" tanya Kevin lagi.
"Yahh, namanya juga masih belajar, Kak. Teruuus tuh selama ini aku nggak tahu kalau yang punya mall itu Papanya Angel!" protes Eliza mengingat pada saat itu Angel tidak pernah berbicara mengenai statusnya.
"Oh yaa?" tanya Kevin antusias, ia tertawa melihat Eliza yang manyun.
"Iya, Kak Kevin! Seriuss!" seru Eliza sambil mengangkat dua jarinya.
Kevin tertawa. "Terus kapan kamu tahu?"
"Hmm, waktu Angel maksa ambil outlet yang lebih besar, dan jelasin kalau ini mall papanya. Jadi kami nggak perlu mikirin biaya sewa tenant," kata Eliza.
Kalau mengingat itu, Eliza masih saja terkejut. Walaupun ia berasal dari keluarga yang berkecukupan juga, tapi dunia Kevin dan Angel benar-benar berada di level yang berbeda.
"Terus kenapa tetap milih outlet kecil?" tanya Kevin lagi.
"Aku dan Angel ‘kan baru belajar wirausaha, lebih baik mulai dari yang kecil dulu sambil lihat perkembangannya gimana. Terus Angel juga setuju deh," kenang Eliza. Itulah yang membuat persahabatan mereka awet sampai sekarang. Saling menghargai dan terbuka.
"Hm, good job buat kalian berdua!" seru Kevin sambil mengangkat jempolnya ke Eliza.
"Thank you, Kak Kevin!" Eliza senang dan mengembangkan senyum manisnya.
"Di butik mau ngapain? Sibuk?"
"Palingan cuma cek stock dan kontrol bentaran aja sih, Kak," jawab Eliza.
"Lunch bareng, ya? Aku juga hari ini santai di kantor karena weekend," ajak Kevin.
"Yah, maaf banget Kak Kev. Aku udah terlanjur janjian sama teman buat makan siang," jawab Eliza serba salah. Dapat ajakan tiba-tiba dari Kevin, padahal hari ini dia terlanjur membuat janji dengan Aldi.
"Oh, it’s okay, Eli," Kevin mengusap lembut puncak kepala Eliza, meski ada sedikit rasa kecewa di hatinya.
"Thank you, Kak," sahut Eliza salah tingkah.
"Dinner boleh?" tanya Kevin lagi, yang masih berharap.
"Kalau dinner boleh, Kak Kev," jawab Eliza mengiyakan ajakan Kevin.
Entah keberanian dari mana dia menerima ajakan makan malam dari pria yang baru dia kenal dan baru bertemu beberapa kali.
"Nanti aku jemput di butik ya," balas Kevin santai.
Tak terasa, mereka sudah tiba di pelataran basement lantai tiga dan Kevin memarkirkan mobil di pelataran khusus CEO yang dekat dengan pintu masuk.
Kevin membuka pintu untuk Eliza. Dan menemaninya berjalan ke butik.
Ternyata di butik sudah ada Aldi yang duduk manis menunggu Eliza.
"Kak Aldi, udah lama?" sapa Eliza ke Aldi pada saat melihat Aldi duduk di sofa berwarna abu-abu di sudut ruangan.
"Hai, Eliza Sayang," balas Aldi sambil melambaikan tangannya. "Loh, Kevin?" Aldi tampak bingung melihat Kevin yang tiba-tiba muncul setelah Eliza masuk ke dalam butik.
Kevin hanya tersenyum tipis dan melambaikan tangan. Ia juga tak menyangka akan bertemu Aldi di sini.
‘Ternyata si Aldi yang ngajak Eliza,’ gumam Kevin dalam hati, mendadak merasa panas.
"Eh, kalian saling kenal, Kak?" tanya Eliza sambil menunjuk ke arah kedua laki-laki di ruangan ini.
"Ya iyalah. Ini sahabat aku, Tuan Muda Kevin!" jawab Aldi ringan, karena julukan Kevin dari dulu adalah Tuan Muda. "Eliza kenapa bisa bareng Kevin?" lanjut Aldi penasaran.
"Oh iya Kak, itu..." Mendadak Eliza bingung mau jawab apa.
Kevin yang mulai gerah, segera berpamitan ke mereka berdua. "Ya sudah aku ke kantor ya. Duluan, Al!" seru Kevin sambil berpamitan ke Aldi, lalu mengusap lembut puncak kepala Eliza.
Aldi hanya mengangguk, meski banyak pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Apalagi melihat perlakuan manis pria itu pada Eliza yang mematung di tempat.
Aldi lantas mengajak Eliza pergi ke salah satu resto yang ada di mall untuk makan siang.
Setelah itu, mereka lanjut pergi ke bioskop.
Tanpa sepengetahuan mereka berdua, ternyata ada yang mengawasi gerak-gerik mereka dari kejauhan.
Suasana di dalam theater sudah gelap, menandakan film sudah mulai diputar.
Eliza tampak fokus menonton saat tiba-tiba merasakan tangan besar Aldi menggenggam tangannya dan mengusapnya dengan gerakan seduktif.
Eliza merasa tidak nyaman, tapi tidak menarik tangannya dan berusaha fokus pada layar besar di hadapannya.
"Eliza Sayang, kenapa belum mau terima aku jadi pacar kamu?" bisik Aldi yang kini sudah begitu dekat dengannya. Eliza dapat merasakan hangat napasnya di dekat leher.
"Hm... belum kepikiran untuk pacaran, mau fokus kuliah dulu, Kak," balas Eliza singkat dan tersenyum, berusaha menolak Aldi sehalus mungkin.
Aldi yang melihat samar muka manis Eliza menjadi tidak tahan ingin mencium bibirnya.
Namun, Eliza dengan cepat menarik mundur badannya dan mengalihkan perhatiannya.
"Sorry," kata Aldi.
Eliza mengangguk pelan, "Nggak apa-apa, Kak. Tapi tolong jangan diulangi lagi," katanya. Suaranya terdengar tenang, tapi juga tegas di saat bersamaan.
Aldi tampak canggung. "Oh iya, kamis ini datang ke acara ulang tahunku ya. Bawa sahabatmu juga," ujarnya, berusaha mencairkan suasana.
"Hmm, oke, Kak," jawab Eliza, yang sebenarnya sudah tidak fokus menonton.
"Nanti aku chat kamu untuk lokasi dan waktunya," ujar Aldi, tampak senang.
Pria yang ikut masuk ke dalam bioskop dan duduk tak jauh dari mereka, segera melaporkan semua yang dia lihat dan dengar pada tuannya.
Malam semakin larut, dan para tamu mulai berpamitan. Nita yang berdiri di samping Tian, merasakan kelelahan yang menyenangkan.Tian menunduk, bibirnya berbisik parau ke wanita yang kini resmi menjadi istrinya. "My wife?"Nita menoleh, senyum manis terukir di bibirnya. Matanya memancarkan gairah yang sama. "Yes, my husband?"Tian tersenyum penuh kemenangan. Tian dan Nita meninggalkan para tamu dan keluarga yang masih berada di ballroom. Mereka hanya melambaikan tangan singkat, tidak peduli dengan tradisi pelemparan bunga. Raja dan Ratu malam itu menghilang di antara kerumunan pengiring dan bodyguard yang sigap mengawal mereka menuju private elevator.Beberapa detik kemudian, lift membawa mereka langsung ke puncak hotel.Ceklek! Suara pintu kamar Presidential Suite terbuka, menyambut mereka.Nita memekik tertahan. “Oh my…”Kamar itu sangat luas, dengan langit-langit tinggi dan jendela kaca penuh dari lantai ke langit-langit yang menawarkan pemandangan gemerlap kota London. Ruangan itu m
Dua minggu berlalu dalam sekejap mata. Dua minggu penuh dengan persiapan gila-gilaan, ciuman curian di ruang rapat, dan Tian yang selalu berhasil membuat Nita melupakan segala hal kecuali kehadirannya.Dengan segala persiapan dalam waktu singkat, hari yang dinantikan pun tiba. Hari di mana Nita Clarissa Winston akan resmi menjadi Nyonya Christian Alexander, Ratu dari The Golden Star.Semua tamu VIP London, mulai dari kalangan bisnis, politik—tentu saja yang bersih—hingga sahabat dekat, berkumpul di ballroom hotel termewah yang disewa penuh oleh Tian.Seluruh ruangan disulap menjadi taman surgawi yang dominan warna putih bersih dan emas. Alih-alih dekorasi yang ramai, Tian memilih sentuhan elegan yang sangat berkelas.Ribuan kuntum mawar putih yang melambangkan kemurnian cinta, lily putih yang elegan, dan bunga-bunga daisy kecil yang memberikan sentuhan kesederhanaan Nita, bertebaran di setiap sudut, di meja-meja bundar, hingga menara bunga di atas altar. Aroma wangi bunga segar memenu
Yah, Tian memilih menuju kantor karena jarak kantor lebih dekat dari pada mereka harus menghabiskan waktu 45 menit untuk tiba di rumah. Ia tidak memiliki kesabaran sepanjang itu. Begitu melihat Nita memakai gaun pengantin, semua kendali Tian hilang."Oh my, Tian." Nita tersenyum, ia menjatuhkan asal tasnya ke lantai dan melingkarkan kedua tangannya di leher Tian. Ia tahu Tian berada di ambang batas.Sialnya, gerakan halus itu membuat Tian semakin panas, membuat pria itu hilang akal. "You make me crazy, love!" geram Tian yang kembali melumat bibir ranum Nita. Ciuman itu kuat dan liar, menuntut pembalasan atas setiap detik yang mereka buang di butik tadi.Nita membalasnya tak kalah liar. Tian terlalu hebat, mengajarnya begitu cepat untuk menjadi seorang yang ahli dalam ciuman.Bibir mereka beradu dengan ciuman yang dalam, lidah, dan saliva saling bertukar, memabukkan. Tian mengangkat tubuh Nita, kaki Nita secara naluriah mengunci pinggangnya, menggendongnya ala koala. Pria itu berjalan
Kata-kata seduktif Tian spontan membuat wajah Nita memanas. Ia masih belum terbiasa dengan sisi Tian yang blak-blakan dan mendominasi seperti ini. Ia memukul pelan bahu Tian."Sayang! Aku hanya ingin membuat kejutan kecil..." jawabnya dengan nada manja."Kejutan kecil sudah cukup membuatku gila," balas Tian, matanya berkobar penuh gairah."Dang!" Tian kembali melumat bibir Nita begitu dalam, menciumnya dengan intensitas yang tinggi, seolah tak peduli mereka berada di butik mewah. Ia merengkuh pinggang Nita erat-erat, membenamkan Nita dalam pelukannya.Tepat saat ciuman mereka semakin memanas, Ms. Evelyn membuka pintu tanpa aba-aba, hendak memberikan daftar pengukuran terakhir. Ia terkesiap, segera menutup matanya."Ma-maaf..." ujarnya tidak enak dan kembali menutup pintu, memberikan waktu untuk calon pengantin. Wajah Ms. Evelyn memerah, ia tidak menyangka fitting baju bisa seintim ini.Blush! Wajah Nita merona merah hingga ke telinga. "Sayang..." Nita memukul dada Tian dengan gemas.T
Tidak lama kemudian, Nita masuk ke dalam ruangan Tian. Ia terlihat cantik dan segar, mengenakan dress kasual yang rapi. Tian yang melihat kekasihnya datang langsung berdiri dan membuka kedua tangannya.Nita tertawa bahagia dan berlari kecil, langsung masuk ke dalam pelukan Tian. Ia menghirup dalam-dalam aroma tubuh Tian yang maskulin."I miss you so bad!" Tian mengeratkan pelukannya, mengecup puncak kepala kekasihnya dan turun menciumi bibir ranum Nita dengan ciuman yang singkat namun penuh hasrat."Kita bertemu setiap hari, Tian!" jawab Nita, usai Tian melepaskan bibirnya. Ia memukul pelan dada Tian karena gombalannya yang berlebihan.Tian hanya menjawab dengan menaikkan bahu acuh. "Aku tahu. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku merindukanmu setiap detik.""Gombal," Nita tertawa. "By the way, aku melihat Sir Geoffrey di luar, dan dia terlihat... kacau?" tanyanya, keningnya berkerut. Nita sempat melihat Geoffrey di lobi, dan penampilan pria tua itu benar-benar menyedihkan.Tian ter
Tiga hari berlalu. Segala persiapan pernikahan kilat Nita dan Tian sudah berjalan serba cepat dan mulus. Selama tiga hari ini, Tian tidak pernah sedetik pun meninggalkan Nita sendirian.Saat ini, Tian sedang berada di kantornya, The Golden Star. Ia tampak tenang, menyelesaikan beberapa berkas penting yang berhubungan dengan transfer aset Sir Geoffrey—memastikan seluruh jaringan Edward dan ayahnya benar-benar lumpuh.Tiba-tiba, suara pintu ruangannya dibuka dengan kasar, bahkan nyaris terhantam dinding. Sir Geoffrey, Ayah Edward, masuk dengan wajah panik, lusuh, dan putus asa. Pria yang dulunya angkuh dan berkuasa itu kini terlihat seperti pria tua yang rapuh. Ia sudah tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh, kini hanya seorang ayah yang mencari anaknya yang menghilang.Sir Geoffrey mendekat ke meja Tian, nadanya memohon, bergetar. "Tuan Alexander! Edward... Edward menghilang! Dia tidak bisa dihubungi! Kau pasti tahu di mana anakku, bukan?"Tian bersandar di kursi executive-nya, ekspresi







